Tulisan berikut ini bukan milik kami, karena hanya merupakan salinan dari salah satu bab buku Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia karya Dick Hartoko (Penerbit Djambatan, 1985). Bab yang disalin ini berjudul “Bukan Hanya Kina,” satu tulisan mengenai Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1879). Seperti juga pada bab-bab lainnya yang menuliskan riwayat singkat tokoh-tokoh penulis Hindia Belanda ini, setiap bab tersebut memuat juga cuplikan pendek karya tulis dari tokoh bersangkutan dan diberi tanda “Fragmen”. Untuk Junghuhn, fragmennya diambil dari buku Jawa Jilid 1.
Dick Hartoko, yang namanya tercantum pada sampul buku ini juga sebenarnya bukanlah penulis murni buku ini, karena isinya sebenarnya merupakan penulisan kembali buku lain yang berbahasa Belanda, yaitu Oost-Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys (Em. Querido’s Uitgeverij, BV, Amsterdam, 1972). Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam buku ini lebih mengutamakan yang memiliki minat pada bidang sastra dengan alasan bahwa mata seorang sastrawan sering kali lebih tajam daripada lensa seorang ilmuwan; bahwa mereka dapat lebih mendalam menghayati obyeknya, sehingga hasilnya bukan semata khayalan, melainkan hasil simpati dan empati karena turut menderita dan merasakan nasib rakyat yang dilukiskannya.
Kisah penulisan ulang buku karya Rob Nieuwenhuys ini dimulai dengan Sub-Panitia Pelaksana Perjanjian Kebudayaan Indonesia-Belanda pada tahun 1974 yang menanyakan kepada Dick Hartoko, apakah sanggup menerjemahkan atau menyadur isi buku Oost-Indische Spiegel. Yang mula-mula dilakukan adalah memilah isi buku berdasarkan relevansinya untuk kalangan pembaca Indonesia. Tidak semua isi dari karya asli, Oost-Indische Spiegel, dituliskan kembali, melainkan dipilih dengan kriteria a) turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, b) memberikan informasi mengenai sejarah bangsa, c) empati atau penghayatan mengenai alam dan masyarakat Indonesia, dan d) secara obyektif bermutu sastra.
Untuk keperluan pekerjaan ini, Rob Nieuwenhuys turut mengupayakan agar Dick Hartoko dapat berangkat ke Belanda dan mengadakan konsultasi langsung dengannya dengan tinggal di rumah Rob di Pondok Baru, Frisia Selatan. Rob memberikan keleluasaan penuh kepada Dick dalam pekerjaan ini, artinya, ada kebebasan untuk merombak, menyadur, dan mengubah buku aslinya, asal hasilnya menjadi cukup menarik bagi para pembaca di Indonesia saat itu. Jadi tak perlu heran bila satu waktu nanti membaca buku asli karya Rob dan membandingkannya dengan karya Dick ini, ditemukan ketidaksesuaian dengan buku asalnya, Oost-Indische Spiegel.
Tulisan ini untuk melengkapi apa yang sudah pernah ditulis oleh rekan-rekan saya terdahulu di Komunitas Aleut. Dapat dibaca di sini dan di sini.
Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën
Jauh sebelum tahun 1900 di Amsterdam, Belanda, sudah ada sebuah perkumpulan yang hirau pada keadaan orang buta, namanya Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Belanda dan Jajahannya). Hingga saat itu, kegiatan perkumpulan ini hanya terbatas di negeri Belanda saja.
Pada tahun 1900, Bapak Lenderink, Direktur Institut Pendidikan Tunanetra di Amsterdam, menerbitkan sebuah brosur yang menyatakan dengan data-data bahwa jumlah tunanetra di Hindia sangat besar, namun tidak ada tindakan apa pun bagi mereka yang malang ini, dan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan buruk ini adalah dengan mendirikan suatu lembaga, yang pertama-tama, memberikan pendidikan kepada anak-anak Eropa yang buta atau yang statusnya disamakan dengan mereka, dan kedua, sebagai sekolah keterampilan bagi masyarakat pribumi.
Lenderink kemudian mengajukan permohonan kepada Menteri Koloni saat itu, J.F. Cremer, yang segera membentuk sebuah komisi di Hindia yang terdiri dari para pejabat tinggi dan warga sipil untuk menyelidiki apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib orang buta di tanah jajahan ini. Namun komisi ini tidak pernah mengadakan pertemuan dan juga tidak menyusun laporan apa pun.
Pada bulan Juni di tahun yang sama, Dr. Westhoff, yang pantas disebut sebagai “sahabat para tunanetra”, mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal dengan permohonan agar pemerintah mempertimbangkan secara serius pendirian sebuah institut untuk orang buta di Bandung.
Saat itu, Residen Priangan belum memberikan rekomendasi yang mendukung pendirian tersebut, dan mengemukakan alasan-alasan yang kelak terbukti keliru. Ia menyatakan bahwa inisiatif pendirian institut lebih cocok dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan amal. Petisi ini pun akhirnya tidak dipenuhi.
Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederlands Indië
Sementara itu, perkumpulan di negeri Belanda menyediakan dana sebesar 10.000 gulden untuk memulai lembaga ini dalam skala kecil. Dr. Westhoff menerima tawaran pembentukan sebuah komite; ia pun berdiskusi dengan Residen Priangan, Jhr. Van Benthem van den Bergh, dan Pendeta Van Lingen, yang keduanya menyatakan kesediaan untuk membantu.
Setelah itu, dicari dukungan dan ditemukan dari orang-orang cukup berpengaruh, sehingga pada Mei 1901 dapat diadakan rapat yang kemudian mewujudkan pendirian Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederl. Indië (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Hindia Belanda) mulai 1 Juli 1901 untuk jangka waktu 29 tahun. Bandung ditetapkan sebagai tempat kedudukan perkumpulan ini. Dalam kepengurusan ini, Jhr. Th. Van Bentehem van den Bergh menjabat sebagai ketua dan Dr. Westhoff terpilih sebagai wakil ketua. Lalu ada E.H. Carpentier Alting, seorang notaris, sebagai bendahara.
Kedatangannya kala itu menjadi perbincangan luas, khususnya di kalangan para Nasionalis. Perjumpaannya dengan Ki Hajar Dewantara disebut-sebut sebagai momen bersejarah bagi perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Ia adalah Rabindranath Tagore, pemenang penghargaan Nobel di bidang sastra tahun 1913. Tagore mengunjungi Hindia Belanda di tahun 1927 atas usaha dari Bond van Kunstkringen, termasuk Bandoengsche Kunstkring di dalamnya.
Rabindranath Tagore, atau sering disebut Gurudev, adalah seorang sastrawan Bengali yang menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern India dan dunia. Lahir pada 7 Mei 1861 di Kolkata (saat itu Calcutta), India, Tagore berasal dari keluarga Brahmin yang kaya dan terpelajar. Ayahnya, Debendranath Tagore, adalah seorang pemimpin spiritual dan reformis sosial, sementara ibunya, Sarada Devi, meninggal dunia ketika Tagore masih muda. Keluarga Tagore dikenal sebagai pusat intelektual dan budaya, yang mempengaruhi perkembangan awal Rabindranath.
Tagore tidak pernah menempuh pendidikan formal secara konsisten. Sebagai gantinya, ia belajar di rumah dengan bimbingan guru privat dan melalui pengalaman langsung. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk belajar hukum, tetapi ia lebih tertarik pada sastra dan seni. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang budaya Barat yang memberikan pengaruh besar pada karya-karyanya kemudian hari.
Tagore adalah penulis produktif yang menciptakan ribuan puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Karyanya yang paling terkenal adalah kumpulan puisi “Gitanjali”, yang membuatnya meraih Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913. Ia tercatat sebagai orang non-Eropa pertama yang menerima penghargaan ini.
Tagore mendirikan sekolah eksperimental di Santiniketan pada 1901, yang lalu berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Sekolah ini menekankan pembelajaran holistik, harmoni dengan alam, dan integrasi budaya Timur dan Barat.
Rabindranath Tagore disebut sebagai tokoh penting dan berpengaruh karena kemampuannya untuk menyatukan seni, sastra, pendidikan, dan filosofi dalam satu visi yang holistik. Karyanya melampaui batas geografis dan budaya, menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Ia adalah simbol kebangkitan budaya India dan Asia pada awal abad ke-20.
Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941, tetapi warisannya tetap hidup melalui karya-karyanya yang terus dibaca, dinyanyikan, dan dipelajari. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah sastra dunia dan sebagai duta budaya India yang membawa pesan perdamaian, kebebasan, dan kemanusiaan.
Terlalu ceroboh jika melewatkan nama ini dalam riwayat perjalanan Bandoengsche Kunstkring. Kebesaran namanya kala itu menjadi incaran berbagai negara. Tiket pertunjukannya di Eropa selalu habis meskipun dibandrol dengan harga mahal.
Anna Pavlova adalah sosok yang namanya begitu melekat dalam dunia balet, seorang legenda yang mengubah wajah seni tari di zaman modern. Dalam catatan ensiklopedia online britannica.com, Anna Pavlovna Pavlova yang terlahir dengan nama Anna Matveyevna Pavlova, lahir pada 12 Februari 1881 di St. Petersburg, Rusia, Pavlova tumbuh dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia memiliki ketertarikan besar pada dunia tari.
Di usia 10 tahun, impiannya mulai mendekati kenyataan ketika ia diterima di Imperial Ballet School, lembaga balet paling bergengsi pada masanya di Rusia. Namun, perjalanan Pavlova tidaklah mudah. Tubuhnya yang tinggi, ramping, dengan kaki yang melengkung tajam dan pergelangan kaki yang tipis dianggap tidak sesuai dengan standar balerina ideal pada waktu itu — yang lebih mengutamakan tubuh kecil dan padat. Rekan-rekan sekelasnya bahkan mengejeknya dengan julukan seperti The broom (Sapu) dan La petite sauvage (Si Liar Kecil).
Pavlova tidak menyerah. Ia justru menjadikan ciri fisiknya yang unik sebagai kekuatan. Dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa, ia menguasai teknik balet dengan gaya yang khas — lembut, anggun, dan penuh emosi.
Tahun 1905 menjadi momen penting dalam kariernya ketika ia menarikan The Dying Swan, sebuah tarian solo yang koreografinya dirancang oleh Michel Fokine dengan musik dari komponis Camille Saint-Saëns. Tarian ini begitu mnegesankan sehingga menjadi identitas yang melekat pada Pavlova sepanjang hidupnya. Gerakannya yang penuh kelembutan dan ekspresi emosional yang mendalam membuat penonton terpukau, seolah-olah melihat seekor angsa yang sedang meregang nyawa dengan keindahan yang tragis.
Pada tahun 1906, Pavlova diangkat sebagai Prima Ballerina, gelar tertinggi bagi seorang penari balet. Namun, ia tidak puas hanya tampil di panggung Rusia. Pada tahun 1911, Pavlova membentuk kelompok baletnya sendiri, The Pavlova Ballet Company. Bersama rombongan ini, ia melakukan tur keliling dunia, termasuk ke Amerika, Jepang, Australia, hingga Hindia Belanda. Langkahnya yang berani membawa balet ke negara-negara yang sebelumnya belum mengenal seni ini menjadikannya pionir dalam memperkenalkan balet ke khalayak yang lebih luas.
Pavlova tidak hanya dikenal karena bakatnya yang luar biasa, tetapi juga karena inovasinya. Ia memodifikasi sepatu baletnya dengan tambahan sol keras untuk mendukung kakinya yang melengkung, sebuah inovasi yang kemudian menjadi dasar bagi desain modern pointe shoes. Selain itu, keberhasilannya sebagai balerina bertubuh ramping dan tinggi membuka jalan bagi para penari dengan bentuk tubuh yang berbeda untuk bersinar di dunia balet.
Sebagian kalangan memang menganggapnya old fashioned atau konservatif, tapi bagi sebagian lainnya dia adalah seorang inovator karena keberhasilannya menggabungkan ballet dengan bentuk-bentuk tari tradisional dari berbagai wilayah dunia, termasuk merevitalisasi jenis-jenis tarian yang sudah dilupakan orang. (The Swan Brand: Reframing the Legacy of Anna Pavlova. Jennifer Fisher. Cambridge University Press. 2012).
Dedikasinya pada seni balet begitu besar hingga ia tetap tampil, pun saat kondisi kesehatannya menurun. Pavlova meninggal pada 23 Januari 1931 akibat radang paru-paru. Konon, di ranjang kematiannya, Pavlova meminta kostum The Dying Swan dibawakan kepadanya, seolah menandakan bahwa balet adalah bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan.
Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang. Berikut ini adalah catatan perjalanannya.
Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan langsung menuju ke lokasi pertama di Cinunuk, yaitu lokasi sebuah pin di google maps dengan keterangan “Makam Ki Darman”. Tapi setelah tiba di lokasi, ternyata tidak ada makam di situ, hanya satu area bekas kantor pemerintah yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pagar depan terkunci. Di sebelah kiri ada sebuah plang khas pemerintahan yang kurang jelas terbaca dari tempat kami berdiri. Ke belakang, masih ada halaman. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan makam di sini. Lalu, kenapa ada orang yang nge-pin lokasi ini sebagai lokasi makam Ki Darman? Salah pin?
Setelah menelusuri riwayat dalang Partasuwanda melalui cerita dari putranya, Mumun Partasuwanda, yang sudah ditulis di sini , kami mendapatkan beberapa nama tokoh yang mengawali keberadaan seni wayang golek di Jawa Barat. Di antaranya dalang Dipaguna Permana yang didatangkan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829), lalu Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, yang didatangkan pada masa Bupati Bandung Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846). Semua tokoh tersebut di atas berasal dari Tegal.
Dari empat nama di atas, Dipaguna dan Ki Rumiang yang berprofesi sebagai dalang, sedangkan Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, dan Ki Surasungging pembuat alat musik. Yang memelopori pertunjukan wayang dengan bahasa Sunda adalah murid dari Ki Rumiang, yaitu dalang Anting.
Setelah melihat ada pin dengan tag Makam Ki Darman di google map, tentu saja kami merasa perlu untuk mendatanginya dengan harapan bisa melanjutkan potongan-potongan cerita tentang awal perkembangan seni wayang golek di Jawa Barat. Sayangnya, pin itu tidak diletakkan pada posisi yang tepat, sehingga kami tidak menemukannya.
Di sebrang jalan tempat kami kebingungan mencari lokasi yang disebut sebagai Makam Ki Darman itu ada sebuah rumah tua yang letaknya menjorok ke dalam dan di depannya punya jalan masuk sendiri. Di bagian dalam ada beberapa rumah. Kami ke sana mencoba bertanya. Ternyata keluarga ini dari kalangan ulama dan masih berkerabat dengan Hoofd Penghoeloe Hasan Mustapa . Mereka menunjukkan lokasi makam yang letaknya lebih jauh ke dalam dari lokasi pin yang kami datangi. Untuk ke sana, harus ambil jalan memutar melewati Jalan Pandanwangi. Kalau masuk lebih jauh, bisa ketemu kampus UPI Cibiru.
Tidak terlalu jauh dari mulut jalan, agak menjorok di sebelah kiri jalan sudah terlihat keberadaan kompleks makam. Tidak terlalu besar. Kami masuk melalui jalan tanah lalu parkir di sebuah blok makam kecil yang berpagar dan terpisah dari makam-makam lainnya. Kami menemui seorang bapak yang tinggal di area makam itu. Ternyata beliau sama sekali tidak tahu soal Ki Darman, malah menunjukkan sebuah makam lain yang tidak terurus yang disebutnya sebagai makam Ki Takrim, yang juga seorang dalang dan cukup sering didatangi orang-orang dari jauh untuk berziarah. Nama Ki Takrim tidak ada dalam list kami, tapi si bapak mengatakan bahwa tokoh itu juga termasuk dari kalangan perintis wayang golek.
Makam Ki Dalang Takrim yang sudah tertutup oleh rimbunan tanaman dan alang-alang
Update: Beberapa hari kemudian baru kami temukan informasi yang lebih meyakinkan soal lokasi makam Ki Darman ini, yaitu di Kampung Babakan Sukamulnya RT.03/13, Cinunuk, Cileunyi. Sementara ini kami belum ke sana, mungkin dalam waktu dekat ini.
Hari Minggu kemarin, untuk ke sekian kalinya, kami mampir lagi ke lokasi puing-puing Candi Bojongemas yang terletak di tepi Jalan Babakan Patrol, Desa Bojongemas, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Dari foto-foto kunjungan selama ini terlihat kondisi saat candi belum berpagar, kemudian diberi pagar, dan sekarang pagarnya hilang. Plang yang terpasang di depan pun kondisinya mengenaskan, semua bidang mukanya habis oleh karat. Harus mau bersusah payah untuk coba membacanya.
Sudah sedari awal pun sebenarnya kami tahu soal ketiadaan informasi mengenai keberadaan candi ini, tapi ya tidak membuat situs ini jadi harus diskip dari perhatian. Dari pengalaman selama ini, bila kebetulan lewat jalan ini, ya pasti berhenti mampir sebentar, melihat-lihat lagi, walaupun pasti tidak akan ada informasi tambahan yang akan kami dapat. Jadi yang dimaksud dengan kabur pada judul di atas adalah ya informasinya.
Dua foto di atas adalah kondisi Candi Bojongemas pada saat kami berkunjung, 10 Maret 2024. Foto Komunitas Aleut. Pada cuplikan peta di bawahnya tertera nama Bodjongomas. Sialnya, pada saat memotong bagian yang diperlukan malah terlupa menyalin judul petanya. Nanti bila sudah ketemu akan kami cantumkan sumbernya.
Pulang dari perjalanan momotoran ini, iseng lagi browsing sana-sini tentang Candi Bojongemas, paling tidak, niatnya hanya ingin mengumpulkan atau mencatat ulang apa yang pernah ditulis orang dan dipublikasikan, baik di internet ataupun di buku-buku. Anggap saja bagian dari kerja pengumpulan data awal, ya walaupun hanya sekadar.
Dari internet, masih ketemu berita yang itu-itu juga, seputar kondisinya yang semakin memprihatinkan dan kekurangtanggapan pihak terkait untuk mengurusnya. Dugaan yang pernah diajukan mengenai latar belakang keberadaan candi ini dimention juga sedikit-sedikit, walaupun tidak banyak berarti. Misalnya soal periodenya yang mungkin semasa dengan Kerajaan Tarumanagara, atau kemungkinan keterhubungannya dengan Kerajaan Kendan dan Candi Bojongmenje di Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Mengenai penemuannya, tidak ada catatan angka tahun yang cukup jelas, namun dari cerita yang banyak diulang, disebutkan ditemukan di dalam sungai Ci Tarum pada saat pengerjaan pelurusan sungai itu, bisa jadi penemuannya berlangsung pada awal tahun 2000-an. Wartawan Kompas, Cornelius Helmy, yang menulis artikel dengan judul “Sungai Cikapundung; Rumah bagi Tiga Peradaban,” dan muncul pada HU Kompas edisi 9 Oktober 2010, menyebutkan: Jawa Barat ternyata juga memiliki tinggalan percandian. Pada 1984, ditemukan sejumlah candi di Jabar, seperti Batujaya dan Cibuaya di Karawang. Bojongmenje dan Bojongemas di Kabupaten Bandung menyusul pada 2002. Batujaya dikatakan sebagai yang tertua di Jawa dan Candi Bojongmenje dan Bojongemas diyakini berasal dari zaman yang sama dengan candi tua di kompleks Dieng.
Pada bagian lain tulisan itu: Buktinya adalah penemuan Candi Bojongmenje di Cicalengka dan Bojongemas di Solokanjeruk, Kabupaten Bandung. Candi ini sebagian ahli memperkirakan dari abad ke-7 M. Ada juga penemuan arca di sekitar Kebun Binatang Bandung, diduga dari era yang sama.
Ada juga yang mengatakan bahwa keberadaan candi itu sudah diketahui oleh masyarakat pada sekitar tahun 1980-an, seperti yang ditulis di Tribun Jabar ini. Repot juga sih, penemuannya yang baru berselang beberapa tahun ke belakang saja begitu sulit mendapatkan informasinya, apalagi soal kapan didirikannya dan bagaimana keberlangsungannya hingga akhirnya berada di tengah aliran Ci Tarum sebagaimana yang juga disampaikan di Tribun Jabar di atas.
Dulu ada warga lokal bernama Pak Adam yang mengetahui banyak soal penemuan dan hal-hal yang berhubungan dengan batuan candi, termasuk proses pemindahannya dari dalam sungai ke tepi jalan, namun beliau telah wafat beberapa tahun lalu dan tak ada yang menyimpan ingatan tentang cerita-cerita yang diketahui oleh Pak Adam. Hanya seorang warga lokal lain yang masih ingat sedikit-sedikit, misal bentuk awal susunan batuan candi tersebut seperti yang disampaikannya kepada Kompas.
Plang candi yang sudah lama mulai menunjukkan karat, akhirnya habis juga semua permukaannya. Tulisan di atasnya semakin kabur, semakin sukar dibaca, membuat pemandangan situs ini semakin aneh: tumpukan batuan yang entah apa ceritanya dan plang atau papan informasi yang entah apa isi tulisannya.
Dari arsip foto lama yang kami punya, kami salinkan saja di sini tulisan utamanya:
Sejarah: Candi Bojongemas yang selama ini dikenal masyarakat, sebenarnya dahulunya merupakan bangunan Pasaduan yaitu tempat yang dianggap suci dan sangat disakralkan oleh pemeluk ajaran Kandaan penganut mayoritas masyarakat Sunda, ada pun tokoh ajaran Kandaan adalah Rajaresiguru Manikmaya seorang Waisnawa (penganut agama Syiwa). Sebagai bukti telah ditemukannya arca Durga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Sedikit informasi lain kami dapatkan dari buku Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya (Edisi Revisi). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2011. Pada bagian yang khusus membahas tentang Candi Bojongmenje sebanyak tiga setengah halaman, paragraf terakhirnya ternyata mengenai Candi Bojongemas, namun hanya begini bunyinya: Runtuhan bangunan candi juga ditemukan di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongemas, Kecamatan Solokan Jaya. Lokasi ini berada di tepi barat Sungai Citarum Lama. Batu-batu candi ini dipindahkan karena di lokasi tersebut dilakukan pelurusan sungai. Bagian candi yang masih tersisa adalah pipi tangga, ambang pintu, dan balok-balok batu yang kemungkinan merupakan bagian tubuh candi. Ya segitu saja.
Dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Endang Widyastuti (Balai Arkeologi Bandung) dengan judul “Di Situs Indihiang Kota Tasikmalaya” dan dimuat dalam majalah Purbawidya Vol. 6, No.1, Juni 2017, disebut nama Candi Bojongemas satu kali, demikian … “Beberapa tinggalan yang telah diyakini sebagai bangunan suci atau candi yang telah tercatat adalah kompleks percandian Batujaya, Cibuaya, Cangkuang, Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, dan Bojongemas. Bangunan-bangunan suci tersebut selain kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang diyakini berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, kemungkinan berasal dari masa Kerajaan Sunda.” Jadi ada dugaan periodenya dari masa Kerajaan Sunda, namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang ini.
Masih dari Endang Widyastuti, kali ini dalam sebuah hasil penelitian berjudul “Bentuk dan Pola Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat Bagian Timur” yang dimuat dalam Ringkasan Hasil Penelitian Balai Arkeologi Jawa Barat Tahun 2019. Demikian kutipannya: Lokasi-lokasi yang ditengarai menyimpan tinggalan berupa bangunan suci tersebut diantaranya Candi Bojongmenje, Candi Ronggeng, Batu Kalde, Bojongemas, dan Lingga yoni Indihiyang. Bangunan-bangunan tersebut diyakini sebagai bangunan suci meskipun ditemukan dalam kondisi yang sudah runtuh berdasarkan adanya temuan berupa arca nandi, lingga, yoni, atau gabungan dari arca-arca tersebut serta beberapa bongkah batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan. Adanya arca-arca tersebut mengindikasikan adanya bangunan suci di lokasi tersebut, meskipun secara untuh bentukbangunan belum terungkap. Ada penjelasan tambahan untuk Candi Bojongemas, yakni sebagai sebuah bangunan suci, mungkin sama maksudnya dengan istilah Pasaduan seperti yang tercantum pada plang Situs Candi Bojongemas.
Untuk menambah ketidakjelasan, di plang itu ada tertulis ditemukannya arcaDurga Nahesasuramardini, penduduk setempat menyebutnya Arca Putri yang sampai sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Kami coba cari informasi tentang arca ini, tapi tidak ada yang cukup meyakinkan, yang jelas ejaan umum untuk nama itu adalah Durga Mahisasuramardini dan bukan Nahesasuramardini. Ya mungkin salah ketik saja.
Website wikipedia mempunyai satu halaman sendiri tentang arca Durga yang pernah ditemukan, tapi dari daftar yang ada, tidak ada yang dari sekitar Bandung. Di situs KITLV ada foto sebuah arca Durga dengan keterangan dari Bandung dan sudah dipindahkan ke Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia (sekarang Museum Nasional), namun tidak ada rincian lebih lanjut tentang nama lokasi yang lebih spesifik. Foto ini dibuat oleh Isidore van Kinsbergen sebelum tahun 1900. Dari keterangan yang ditulis oleh Junghuhn (1844), sepertinya patung Durga ini adalah yang ditemukannya di daerah pergunungan utara Bandung, di suatu tempat bernama Pamoyanan, tidak jauh dari Cipanjalu.
Arca Durga dari Pamoyanan, dekat Cipanjalu. KITLV 87628. Foto oleh Isidore van Kinsbergen, sebelum 1900. Caption asli: Beeld van Doerga afkomstig uit Bandoeng, overgebracht naar het Museum van het Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen te Batavia.
Arca Durga yang disebut berasal dari Tenjolaya, Cicalengka. Caption asli: Beeld uit Tendjolaja bij Tjitjalengka bij Bandoeng. KITLV 162754. Circa 1890.
Masih dari situs KITLV, ada satu foto arca Durga lainnya yang diberi keterangan “dari Tjitjalengka.” Foto ini sudah sering kami lihat dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986) dan disebutkan berasal dari Desa Tenjolaya, Cicalengka. Tentang arca ini tercatat juga dalam laporan N.J. Krom, pada nomor 115 dan 116.
Pada nomor 115 dari Cicalengka, disebutkan: Di halaman tempat kediaman kontrolir (dahulu) sebuah patung batu Polynesis kasar batu, mungkin berasal dari Tenjolaya. Sedangkan nomor 116 dari Tenjolaya dengan informasi awal dari katalog Verbeek nomor 58: Bekas-bekas tangga dan terras dari tanah, pada bagian teratas terdapat tiga alas kaki dan patung-patung. Salah satu dari patung-patung tersebut kini terdapat di Cicalengka (no 115). Dari desa ini terdapat juga sebuah kala dari batu, kini disimpan di Museum Pusat Jakarta; dari koleksi penggalian purbakala yang dikirim kesana itu terdapat patung Durga dari batu, tasbih, cincin mas, kalung, pecahan mas, senjata-senjata dari besi, kepingan arca batu dari sebuah bangunan, tempat penemuannya disebut “Warung Peuteuy”. Dari tempat tersebut ditemukan juga sisa-sisa bangunan diduga dari tempat yang sama ialah bukit Pamuruyan; dimana terdapat juga sebuah patung dan sebuah cincin.
Dari situs wikimedia commons, ada satu foto arca Durga dengan caption: Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, National Museum, Jakarta, Java (By Photo Dharma from Sadao, Thailand – 091P1010349 Durga Mahisasuramardini, Dampiang, West Java, 8-9th c, CC BY 2.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=50791558). Dari hasil penelusuran internet, ditemukan foto arca yang sama dengan keterangan asal dari Damping, sebuah nama tempat di Losari, Cirebon. Dari catatan-catatan di atas, tidak ada informasi tentang arca Durga dari Bojongemas. Mungkin satu saat nanti perlu mencari dan melihat langsung ke Museum Nasional.
Yang menarik, saat menelusuri informasi arca ini malah ketemu satu artikel dari situs Pemerintah Kabupaten Bandung yang menyebutkan keberadaan batu prasasti Candi Bojongemas. Disebutkan bahwa prasasti itu ditemukan di dasar sungai Ci Tarum, dengan kondisi tulisan yang sudah tidak terbaca. Saat ini prasasti disimpan oleh salah seorang warga Kampung Sapan. Informasi mengenai batu prasasti ini, ya lebih gelap lagi. ***
Jika akhir pekan tanpa pergi kemana-mana sepertinya terasa hampa. Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar.
Pagi itu begitu cerah seakan-akan merestui perjalanan ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu saya pun berangkat bersama rekan komunitas aleut. Kami berangkat melewati Jalan Pasir Koja, lalu berbelok kanan, ada sebuah Jalan yang bertuliskan Siti Munigar. Sehari sebelum ngaleut, saya menyempatkan menyusuri rute ngaleut yang telah disusun sebelumnya. Karena saya pernah beberapa kali melewati jalan tersebut, namun ngga ngeuh ternyata Jalan Siti Munigar terdapat sesuatu yang menarik.
Bagian utara Jalan Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.
Sebelumnya saya sudah sempatkan membaca beberapa tulisan di website Komunitas Aleut yang membahas tentang Jalan Siti Munigar, kalau saya ringkas, kira-kira seperti ini: jalan kecil bernama Siti Munigar ini ternyata merupakan bagian dari sejarah keluarga Orang Pasar. Sebutan Orang Pasar ini mengacu pada para pedagang lama di Pasar Baru Bandung yang ternyata saling memiliki kaitan kekeluargaan.
Siang itu, saya bersama Komunitas Aleut sedang berada di TMP Cikutra. Saat itu, kami melakukan kegiatan berjudul “Ngaleut Cikutra”. Selama kegiatan berlangsung, kami berkeliling di sekitaran TMP Cikutra untuk melihat beberapa nisan pahlawan terkenal seperti E.F.E. Douwes Dekker dan Abdoel Moeis,
Di tengah perjalanan berkeliling di dalam TMP Cikutra, saya tersandung oleh batu nisan kecil di bawah. Nisan itu terlepas dari kayu yang menjadi tempatnya. Mungkin nisan itu jatuh karena kurang terawat atau kurang direkat pada kayu.
Nisan tidak dikenal di atas tanah (sumber foto: Irfan TP)
Karena merasa tidak enak telah tersandung nisan, saya pungut nisan itu. Tapi ada yang aneh pada nisan itu, yakni tidak adanya nama almarhum di nisan. Berbeda dengan nisan lainnya yang bernama, nisan yang saya pegang hanya tertulis tidak dikenal sebagai nama almarhum.
Setelah memperhatikan keadaan sekitar, ternyata ada selusin nisan tertulis tidak dikenal. 12 nisan itu berlokasi di satu blok yang sama. Wajah nisan – nisan terlihat sama, yakni mulai menggelap dan meretak ke berbagai arah. Continue reading →
Emah berkata “Seandainya saya dulu jelek. Gadis-gadis jelek dipulangkan kerumah setelah beberapa hari atau minggu. Orang Jepang tidak menginginkan mereka. Gadis-gadis cantik harus tinggal. Saya tetap tinggal disana. 3 tahun lamanya saya tinggal di bordil militer mulai dari 1945”.
Emah (lahir tahun 1926 di Cimahi, Jawa – Barat) adalah seorang Jugun Ianfu atau bahasa Inggrisnya comfort women. Istilah comfort women biasanya ditujukan untuk gadis atau perempuan yang dipaksa melacur oleh Jepang selama Perang Dunia II. Setelah rape of Nanking tahun 1938 (http://www.historyplace.com/worldhistory/genocide/nanking.htm ) yang benar-benar mengerikan, beberapa petinggi militer Jepang menyarankan pimpinan militer Jepang untuk membuka pusat rekreasi untuk para tentara yang bertempur di lini depan. Mereka percaya hal ini berguna untuk menjaga tata tertib dan mental para tentara. Pusat rekreasi ini juga dipercaya dapat mencegah para tentara mengidap penyakit seksual. Sebenarnya pusat rekreasi ini adalah istilah halus untuk bordil militer.
Buku Schaamte en onschuld (rasa malu dan bersalah) karya antropolog Belanda, Hilde Janssen, dan portret para Jugun Ianfu yang mengesankan karya Jan Banning (http://www.janbanning.com/gallery/comfort-women/ ) sudah ada dalam daftar buku yang harus saya baca sejak terbitnya di bulan April 2010. Setelah membaca buku ini saya ingin berbagi cerita di sini supaya dunia tahu sejarah Jugun Ianfu. Jan Banning juga menerbitkan buku Comfort Women (http://www.uitgeverij-ipsofacto.nl/?m=25&p=2&s=0 ) dengan teks oleh Hilde Janssen, buku ini terbit dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Awal mula Jugun Ianfu yang pertama kali datang ke Indonesia tahun 1942 berasal dari Korea dan Cina. Sehubungan dengan naiknya permintaan untuk Jugun Ianfu dan kurangnya jumlah para wanita dari Korea dan Cina, militer Jepang mulai merekrut perempuan di Indonesia. Kebanyakan dari para perempuan ini diculik dari rumah, di jalan (Sanikem, lahir 1926 di Yogyakarta) bahkan di sawah selagi bekerja. Ada yang dijual oleh kepala desa ke Jepang seperti Kasinem (lahir 1931 di Salatiga, Jawa-Tengah) dan Rosa (lahir 1929, Pulau Saumlaki Maluku-Selatan). Yang termuda berumur 11 tahun, masih anak-anak. Tentara Jepang merekrut anak dan laki-laki dewasa untuk dijadikan romusha atau heiho, sementara para perempuan dipaksa bekerja di bordil militer.
Walaupun inisiatif militer, tetapi pengelola bordil militer berbeda-beda. Ada beberapa bordil yang dikelola langsung di bawah pengawasan departemen militer, ada bordil kepunyaan swasta. Para Jugun Ianfu yang bekerja di bordil militer ini harus menggunakan nama Jepang mereka: Hana, Miko dsb. Para wanita ini bekerja tiap hari dari siang hingga malam. Beberapa dari mereka bekerja tanpa henti. Hari libur mereka dapat jika mereka menstruasi atau untuk tes medis tiap bulan. Hanya sedikit Jugun Ianfu yang hamil. Menurut Giyem (lahir 1930 di Jawa-Tengah) dokter militer memberikan resep obat puyer (catatan: mungkin sama seperti Morning After pil sekarang ini?) kepada semua Jugun Ianfu untuk mencegah supaya mereka tidak hamil.
Selama bekerja sebagai Jugun Ianfu beberapa wanita ini mengingat tamu-tamu bordil yang berlaku baik kepada mereka, tetapi mereka juga membenci tamu-tamu yang kasar. Beberapa tamu kasar itu menganiaya Jugun Ianfu. Tanpa ragu mereka mengancam akan menusuk Jugun Ianfu dengan bayonet tajamnya jika hasrat mereka tidak dituruti.
Ada sejumlah Jugun Ianfu yang tidak bekerja di bordil militer. Beberapa dari mereka ditawan di rumah seorang Jepang, sebagian dijemput di rumah mereka tiap sore dan dibawa ke rumah orang Jepang. di mana mereka diperkosa setiap hari 3 tahun lamanya.
Akhirnya
Di akhir Perang Dunia II dan langsung setelah Jepang menyerah, bordil-bordil militer ditutup. Para Jugun Ianfu bebas untuk pulang ke tempat asal mereka. Beberapa memilih untuk tinggal di situ karena mereka takut menceritakan kejadian sebenarnya ke keluarga mereka..Yang kembali ke tempat asal diterima dengan baik oleh keluarga tetapi penduduk di sekitar mereka menghina dan menyebut mereka sebagai bekas Jepang. Hal ini membuat sakit hati para Jugun Ianfu. Ada juga Jugun Ianfu yang tidak bercerita ke seorang pun tentang pengalaman buruknya ini. Seperti Sarmi (lahir 1930 Jawa – Tengah), ia tidak pernah bercerita tentang ini, bahkan suaminya pun tidak tahu bahwa istrinya adalah eks Jugun Ianfu. Menurut Sarmi ini adalah pilihan terbaik untuk tidak membebani suaminya, anak-anak dan cucu-cucu mereka. Sarmi yakin bahwa dia sangat berdosa karena dia membiarkan Jepang memperkosanya. Selain Sarmi ada juga Jugun Ianfu yang tidak dapat mempunyai anak. Malu, segan dan trauma membuat banyak Jugun Ianfu enggan diwanwancara di rumah sendiri oleh penulis buku ini. Takut akan reaksi tetangga mereka hanya mau diwawancara di tempat lain.
Pengakuan
Menurut data statistik, terdapat 200.000 korban kejahatan seksual di negara-negara jajahan Jepang. Korban bukan hanya wanita dari Korea, Cina, Malaysia, Singapore, Philipina dan Indonesia tetapi juga dari Inggris, Australia dan Belanda. Wanita Eropa ini berada di wilayah jajahan Jepang pada waktu itu.
Tahun 1992 Jugun Ianfu di Korea dan Cina memulai lobby lewat Jugun Ianfu Advocacy Network untuk pengakuan resmi dari pemerintah Jepang tentang kejahatan seksual di masa perang ini. Tujuan utama mereka setelah pengakuan resmi adalah kompensasi untuk kerugian moral dan fisik yang mereka derita. LBH mengambil contoh dari Korea dan Cina dan mulai mendaftar Jugun Ianfu di Indonesia. Didaftar LBH ini tercantum 20.000 Jugun Ianfu berasal dari seluruh penjuru Indonesia (bukan hanya Jawa dan Sumatra). Yang mengejutkan untuk saya, pemerintah Indonesia ternyata menyarankan para Jugun Ianfu untuk tidak menuntut pemerintah Jepang mengeluarkan pernyataan resmi dan kompensasi. Menurut pejabat Indonesia akhir tahun 1990-an adalah tabu untuk menggali sisi gelap sejarah. Mereka menganjurkan para Jugun Ianfu berhenti menuntut pemerintah Jepang. Sikap pemerintah Indonesia yang mengecewakan ini sangat bertentangan dengan sikap pemerintah Korea dan Cina yang sepenuhnya mendukung para Jugun Ianfu di negara mereka.
Tidak peduli seberapa keras lobby ini, bahkan setelah kesaksian para Jugun Ianfu di Jepang akhir tahun 1990-an, pemerintah Jepang hingga sekarang pun tidak mengeluarkan pernyataan resmi tentang Jugun Ianfu. Saya bertanya-tanya sampai kapan Jepang mengelak untuk bertanggung jawab? Para Jugun Ianfu sekarang sudah sangat tua. Jika dalam jangka waktu dekat mereka tidak ada lagi, siapa yang akan menuntut Jepang untuk pengakuan resmi?
Ada sebuah film dokumenter Omdat wij mooi waren (Karena kami dulu cantik) ditayangkan di TV Belanda tanggal 15 Agustus 2010. Film ini dalam bahasa Belanda, Bahasa Indonesa, Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa dengan terjemahan dan narasi dalam Bahasa Belanda. Di film ini kita melihat penulis buku, Hilde Janssen bersama dengan fotografer Jan Banning mewawancara dan memotret para Jugun Ianfu. Mengharukan cerita mereka dan sangat kejam, tidak berperikemanusiaan pengalaman mereka. (http://www.youtube.com/embed/Hx4vRRH7rhc)
Catatan saya
Menurut saya istilah Jugun Ianfu dalam bahasa Inggris, comfort women itu istilah yang menyesatkan karena Jugun Ianfu dipaksa untuk melacur bukan atas kemauan mereka sendiri. Mungkin sekarang ini Jugun Ianfu bisa dikategorikan sebagai jaringan pedofilia karena banyak Jugun Ianfu yang yang waktu itu berumur 11 tahun. Mereka itu masih anak-anak!
Kadang saya mengerti pilihan beberapa Jugun Ianfu di buku ini untuk berdiam tentang masa lalunya. Saya mengerti ini karena ada 3 Jugun Ianfu di keluarga saya dan suami saya. Mendengar cerita mereka sewaktu kecil dan setelah sekarang dewasa saya mengerti. Selama membaca buku ini hati saya miris membayangkan perasaan para Jugun Ianfu: malu, dipakai, kotor dan dikucilkan. Mudah-mudahan kekejaman seperti ini tidak terjadi lagi. Kita harus belajar dari sejarah bukan?