Jam 8 pagi saya terbangun karena suara berisik orang-orang sedang ngobrol di balik
dinding kamar saya. Di samping saya Audya masih terlelap. Puteri dan Rani entah ke
mana. Nampaknya sedari subuh mereka sudah bangun. Baca lebih lanjut
Aleut!
Sepotong Cerita Ngaleut Rancabali

Rombongan Aleut ngaleut Rancabali. Photo Mariana Putri
Oleh: Mariana Putri (@marianaaputri)
Hari minggu kemaren aku mengisi waktu bareng Komunitas Aleut dalam kegiatan ngaleut. Judul ngaleut kali ini adalah ‘Ngaleut Rancabali”. Kami mengunjungi Kampung Rancabali dan kompleks perkebunan teh yang erat kaitan dengan Max I. Salhuteru, salah satu tokoh yang berjasa dalam nasionalisasi perkebunan teh Sperata dan Sinumbra di Ciwidey, tahun 1957. Di Rancabali pula, Max I. Salhuteru dimakamkan.
Selain mengunjungi makam Max I. Salhuteru, kami pun mengunjungi sebuah patung dada Max I. Salhuteru yang berada di Ciwidey. Kondisi patung sudah tak terlalu terawat. Baca lebih lanjut
Rasia Bandoeng
RASIA BANDOENG
atawa
Satu percinta-an yang melanggar peradatan “Bangsa Tiong Hoa” satu cerita yang benar terjadi di kota Bandung dan berakhir pada tahon 1917.
Diceritaken oleh Chabanneau *******
Diterbitkan pertama kali oleh Gouw Kim Liong, tahun 1918
Dicetak oleh Drukkerij Kho Tjeng Bie & Co., Batavia
Diterbitkan ulang dengan penambahan oleh Ultimus
Disalin dan diberi catatan oleh Komunitas Aleut!
Disunting oleh Ridwan Hutagalung
Rancangan sampul oleh Ridwan Hutagalung
Novel Rasia Bandoeng pertama kali terbit pada tahun 1918 secara bersambung dan seluruhnya terdiri dari tiga jilid.
Novel ini memang sempat heboh pada masanya karena isinya yang mengungkap sebuah kisah nyata hubungan cinta terlarang sesama marga Tionghoa di Bandung tempo dulu.
Sudah lama isi novel Rasia Bandoeng menjadi perhatian Komunitas Aleut, tidak melulu karena isi ceritanya tetapi juga karena banyaknya nama tempat yang disebutkan di situ. Di awal tahun 2016 ini Komunitas Aleut mengemas novel Rasia Bandoeng dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti Ngaleut Rasia Bandoeng, Tjerita Boekoe, dan terakhir, menerbitkan ulang novel lama itu dalam bentuk yang Anda terima sekarang ini.
Untuk penerbitan ulang novel Rasia Bandoeng ini, ketiga jilid yang semula terpisah sekarang digabung menjadi satu buku saja. Pada isi naskah dilakukan sedikit perubahan ejaan lama ke dalam ejaan baru, selebihnya disalin sesuai dengan aslinya. Selain itu ada tambahan catatan kaki untuk berbagai istilah yang sudah tidak umum sekarang, serta lampiran artikel investigatif oleh Lina Nursanty Rasia Bandoeng yang pernah dimuat secara serial di HU Pikiran Rakyat.
Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Jun 2016
Pengarang: Chabanneau *******
Halaman : 296
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-75-3
Harga umum 85,000
Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu,
Bandung 40264
Harga di Kedai Preanger 75,000
Pernik KAA 2015
Pernik KAA 2015; Serba-serbi Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika 1955.
Catatan Liputan Komunitas Aleut!
Penyunting: Ridwan Hutagalung
Nugent dalam bukunya Creative History (1967) menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mempelajari sejarah dari dua segi, yaitu bagaimana sejarah itu dapat menolong kita untuk hidup dan bagaimana sejarah itu dapat menolong kita menjadi pribadi yang lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Nugent mengatakan dengan tegas bahwa “Know other peoples, know yourself”.
Sejarah sebagai pengalaman manusia memberikan berbagai alternatif untuk memilih begitu banyak cara hidup (a multitude of ways). Setiap orang adalah produk masyarakat dan masyarakat adalah produk masa lampau, produk sejarah. Dengan mempelajari sejarah kita akan mampu menghindari berbagai kesalahan dan kekurangan masyarakat masa lampau untuk kemudian memperbaiki masa depan.
Sejarah juga selalu melahirkan panggung bagi orang-orang besar. Namun demikian, tak banyak yang mencatat peran orang-orang di balik layar panggung sejarah. Ada banyak peristiwa kecil di balik panggung sejarah. Peristiwa-peristiwa itu terangkai menuju pada peristiwa besar. Peristiwa kecil menentukan kesuksesan aktor di panggung sejarah.
Di balik hingar bingar Peringatan ke-60 Tahun KAA Tahun 2015 ada banyak peristiwa sejarah. Ribuan warga Kota Bandung, mulai dari usia dini, remaja, hingga lanjut usia bergemuruh mengumandangkan gema Dasasila Bandung. Setiap warga mempunyai caranya tersendiri untuk menghormati lahirnya Nilai-nilai Luhur Dasasia Bandung.
Buku ini telah merekam dengan baik semua peristiwa di balik layar itu. Tak hanya mengabadikan peristiwa sejarah, namun lebih dari itu Komunitas Aleut! telah melestarikan ruh gotong royong warga Kota Bandung yang masih terus menyala-nyala. Gotong royong adalah ruh kreatif Konferensi Asia Afrika.
Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Mei 2016
Penulis: Ridwan Hutagalung (ed.)
Halaman : 222
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-73-9
Harga Rp.65.000
Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu
Bandung 40264
Mengungkap dan Mengenal Kembali Alat Transportasi di Bandung Baheula
Oleh: Novan Herfiyana (@novanherfiyana)
Siang itu, Waktu Indonesia bagian Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung sudah menunjukkan pukul satu. Hitungan menitnya lebih sedikitlah tanpa tawar-menawar ala penjual dan pembeli di pasar tradisional. Dalam suasana siang itu, kami, pegiat Aleut di Komunitas Aleut, sudah menuntaskan acara #NgaleutTransportasi.
Di luar kawasan Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution Bandung yang berada di Jalan Belitung No. 1 Kota Bandung, ada pegiat Aleut yang hendak pulang menuju kawasan Alun-alun Bandung yang berada di Jalan Asia Afrika. Mereka mempertimbangkan antara naik angkot atau berjalan kaki sebagaimana sejak awal acara yang ngaleut. Soalnya, motornya diparkirkan di kawasan Alun-alun Bandung.
Ada juga pegiat Aleut yang tinggal naik motor karena motornya sudah diparkirkan di tempat parkir di kawasan Taman Lalu Lintas. Pegiat Aleut yang “semacam” ini sudah mencermati lokasi akhir tempat acara. (Bandingkan dengan kesempatan lain ketika lokasi akhir tempat acara yang direncanakan di kawasan Gasibu, ternyata “terpaksa” berakhir di salah satu halaman minimarket di Jalan Banda karena hujan deras). Jangan lupakan pula pegiat Aleut yang tinggal memboseh sepeda karena sepeda yang dimilikinya diajak ngaleut.
Bagaimana dengan penulis sendiri? Saya sendiri tinggal memilih angkot yang berada di kawasan Taman Lalu Lintas. Malah ada beberapa alternatif trayek angkot yang menuju tempat tinggal saya. Dalam ngaleut kali ini, saya memang lebih memilih naik angkot daripada naik kendaraan (motor) sendiri yang mesti diparkirkan di lokasi awal acara (Monumen Km Bandung 0 + 00). Alasannya, kalau membawa motor, saya mesti balik lagi menuju lokasi awal acara sebagaimana sebagian pegiat Aleut tadi. (Sebetulnya mah “pilih-pilih” untuk parkir). Baca lebih lanjut
Komunitas Aleut: Mencintai Kota dari Dekat
Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)
“Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.”
(Joko Pinurbo)
***
Seseorang datang ke kantor Pemkot Bandung hendak melihat dokumentasi catatan sejarah tentang kota tempat lahirnya, namun sayang sejarah yang dia cari hanya tersaji pada tiga lembar kertas folio. Tiga lembar saja! Dia adalah Haryoto Kunto (alm). Berangkat dari kekecewaan itulah akhirnya beliau menulis beberapa buku tentang Bandung yang sangat lengkap, di antaranya adalah Wajah Bandoeng Tempo Doeloe dan Semerbak Bunga di Bandung Raya, tak lama kemudian beliau ditasbihkan sebagai Kuncen Bandung.
Kelahiran Komunitas Aleut sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku Sang Kuncen Bandung itu. Komunitas ini, satu dari beberapa komunitas lain yang—seperti sepenggal puisi Joko Pinurbo yang saya kutip di awal tulisan—merasakan kegelisahan terhadap kondisi kota yang semakin hari kian berubah. Pembangunan merangsek di segala penjuru, yang celakanya kadang kurang memperhatikan unsur sejarah yang menjadi ingatan kolektif warga kota.
Cikal bakal komunitas ini diawali ketika Direktur Program Radio Mestika FM Bandung, yaitu Ridwan Hutagalung, membuat satu program di radionya yang bernama “Afternoon Coffee”. Acara ini sepekan sekali disajikan untuk membahas sejarah Kota Bandung yang sumbernya sebagian besar diambil dari buku-buku Haryoto Kunto.
Ridwan–di tengah tahun 2005, kemudian dilibatkan oleh panitia ospek mahasiswa baru Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran untuk ikut dalam acara yang relatif segar, yaitu ospek tanpa kekerasan, dan sebagai gantinya adalah mengunjungi situs-situs bersejarah di Kota Bandung. Gagasan ini ternyata mendapatkan respon yang positif dari para peserta ospek. Dari situlah kemudian muncul ide untuk mendirikan sebuah komunitas yang fokus utamanya pada apresiasi sejarah kota. Maka pada tahun 2006 resmilah didirikan Komunitas Aleut. Baca lebih lanjut
#PojokKAA2015: Ulin Jarambah
Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)
“Omat ulah ulin di ranjěng, aya jurig samak!”
Aya wěh kolot baheula mah, nyaram barudakna těh jeung mamawa lelembut sagala. Tapi da ari budak mah nya langsung ngabuligirkeun maneh tinggal salěmpak pas nempo ranjěng těh. Paduli teuing rěk diculik ku jurig samak ge, nu penting mah bisa guyang jeung munding.
Ah asa resep ngabayangkeun pas masih lehoan keneh těh, kasusah hirup sigana ngan ukur pelajaran Matěmatika. Masih bisa ngalaman ulin jarambah sapertos nu dicaritakeun Us Tiarsa dina “Basa Bandung Halimun”. Pedah ari kuring mah ulin jarambahna di lembur, lain orang Kota. Kuring jadi mikir ari barudak zaman kiwari masih ngalaman teu nya? Baca lebih lanjut
#PojokKAA2015: Ode *) Enam Jam di Bandung
Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)
Untuk enam jam pesta akbar di kota kami ini, dana yang dikeluarkan miliyunan. Pasukan pengamanan ribuan. Pedagang mengungsi, papan baca sebuah koran ditumbangkan dulu, untuk kedepannya direkonstruksi kembali, seperti nasib yang terjadi pada tiang-tiang bendera.
Kekuatan pengamanan di pusat kegiatan ribuan orang setara ratusan peleton. Sedangkan kami hanya berkekuatan sapta orang, setara satu peleton pun tidak. Hanya setengah lusin personil lebih satu orang dengan senjata utama kartu pengenal yang kami rebut dari Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA).
Kami milisi dari komunitas non-subsidi yang cinta mati pada kota ini. Doktrin kami belajar bersama dan berbagi ilmu. Mungkin kami tanpa pelatihan khusus tapi semangat belajar adalah nafas yang menjadi modal kami untuk terus bergerilya memberikan berita yang tak biasa. Baca lebih lanjut
Menelusuri Taman di Kota Bandung
Oleh: Arya Vidya Utama (@aryawasho)
Hari Minggu tanggal 20 Oktober 2013, Komunitas Aleut berkesempatan untuk menelusuri beberapa taman yang ada di Kota Bandung. Kegiatan ini merupakan kegiatan kedua Komunitas Aleut di pekan ke-3 bulan Oktober. Kegiatan pertama berlangsung pada tanggal 19, yaitu kegiatan Ngaleut Kampung Adat Cirendeu.
Sebagai titik awal penelusuran, kami memilih boulevard yang berada di depan Masjid Istiqamah. Boulevard di Kota Bandung belakangan ini cukup sulit ditemui setelah boulevard yang menjadi ikon Bandung di Jalan Pasteur hilang akibat pembangunan jalan layang Pasupati. Kondisi boulevard di depan Masjid Istiqamah cukup terawat, hanya sedikit sampah yang terlihat di lokasi ini. Sayangnya di lokasi ini saya tidak sempat mengambil gambar, sehingga cukup sulit untuk membuktikan persepsi saya mengenai boulevard di sini.
Masih dari boulevard ini, saya beserta Hani menjelaskan Tjitaroemplein. Di atas lahan Tjitaroemplein pernah berdiri sebuah monumen untuk memperingati percakapan pertama melalui radio telepon antara Hindia Belanda (Indonesia) dengan Belanda pada tanggal 3 Juni 1927, di stasiun pemancar Malabar.
Bentuk monumen berupa bola besar yang mengibaratkan bumi dan dua patung lelaki berhadap-hadapan tanpa busana di kedua sisinya. Ekspresi sebuah patung tampak sedang berteriak dan yang lainnya menempelkan telapak tangan di telinga. Monumen ini melambangkan jarak bumi menjadi tidak berarti lagi melalui komunikasi radio telepon.

Pada tahun 1950-an, monumen ini diruntuhkan karena dianggap melanggar norma kesusilaan. Setelah monumen diruntuhkan, kemudian dibangunlah sebuah masjid di atas lahan Tjitaroemplein. Nama masjid tersebut adalah… Masjid Istiqamah.
Kemudian sebagai titik kedua penelusuran, kami mendatangi Taman Lansia. Taman ini dahulu bernama Tjilakiplein. Taman ini memiliki aliran air yang berasal dari Sungai Cikapayang. Aliran ini berada di tengah-tengah taman. Taman Lansia sendiri terbagi menjadi 2 segmen. Segmen pertama membentang dari tepi Jalan Diponegoro hingga persimpangan Jalan Cisangkuy dan Jalan Cimandiri, sedangkan segmen berikutnya membentang hingga simpang Jalan Citarum.
Di segmen pertama, terlihat terjadi banyak aktivitas. Hal ini wajar, mengingat perjalanan kami dilaksanakan pada hari Minggu yang bertepatan dengan pasar kaget mingguan. Sayangnya, pada segmen ini taman digunakan juga untuk berjualan oleh beberapa pedagang pasar kaget, sehingga kurang nyaman bagi para pejalan kaki. Bahkan di foto kedua, terlihat adanya tumpukan sampah di dekat kanal air. Cukup disayangkan.
Di segmen kedua, kondisi taman lebih kondusif dibandingkan segmen pertama. Terlihat beberapa orang bersantai di segmen ini. Selain itu, di segmen ini juga terlihat beberapa orang yang berolahraga jalan santai, mengingat aktivitas di segmen ini tidak seramai segmen pertama.
Dari Taman Lansia, kami bergerak menuju Taman Cibeunying. Taman ini diresmikan pada tanggal 6 September 1986 dengan nama “Taman PKK Cibeunying”, merupakan hasil kerja sama antara Tim Penggerak PKK Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung dengan Dharma Wanita Unit Perumtel (sekarang Telkom) Pusat. Sempat beralih fungsi menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina, pada awal tahun 2013 oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman fungsinya dikembalikan lagi menjadi taman.
Taman ini cukup luas. Saat kami mendatangi taman ini, terjadi banyak aktivitas. Saya melihat ada beberapa orang membawa anjing peliharaan mereka, ada yang duduk bersantai di gazebo, ada juga anak-anak yang sedang berlarian. Kondisi taman ini terbilang bersih, walapun di beberapa titik terlihat ada sampah gelas air mineral.
Luas Taman Cibeunying tidak hanya hingga tulisan “Cibeunying Park” pada foto di atas. Di belakang tulisan ini, masih terdapat taman yang juga bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Menurut Kabid Taman Dinas Pertanaman dan Pemakaman (Distankam) Kota Bandung, Dadang Darmawan, pihaknya sedang menjajaki kemungkinan pemasangan wi-fi di Taman Cibeunying. Beberapa provider telekomunikasi sudah melakukan pengajuan, namun pihak Distankam masih mempelajari dan menyeleksi terlebih dahulu. Sebagai fakir koneksi wi-fi, saya sangat mengharapkan adanya koneksi internet di taman ini, hehehe.
Dari Taman Cibeunying, kami beranjak menuju Taman Cilaki. Sesuai dengan namanya, taman ini terletak di Jalan Cilaki. Mudah untuk menemui taman ini, karena taman ini terletak dekat dari SD Ciujung dan SD Priangan.
Kondisi taman cukup terawat dan terhitung bersih, karena tidak terlihat adanya sampah yang berserakan. Dari gambar di atas, terlihat jelas bahwa Taman Cilaki digunakan sebagai tempat berolahraga karena di tengah taman terdapat lantai beton dan terdapat tiang yang posisinya berseberangan. Umumnya, tiang seperti ini digunakan sebagai tempat menggantungkan jaring, baik itu untuk bulutangkis ataupun bola voli.
Taman ini juga memiliki sebuah bale di sudut yang dekat dengan Jalan Jamuju.
Bale ini cukup nyaman untuk berteduh dari sinar matahari, mengingat Taman Cilaki tidak terlalu rindang. Jika tertarik berkegiatan di taman ini, saya menyarankan untuk menggunakan krim tabir surya jika tidak ingin kulit menghitam.
Kemudian kami bergerak menuju Lapangan Supratman, yang terletak hanya beberapa puluh meter saja dari Taman Cilaki. Lapangan ini sudah ada sejak pembangunan ruas Jalan Supratman di jaman penjajahan Belanda.
Serupa dengan Taman Cilaki, lapanganini juga berfungsi sebagai tempat berolahraga. Namun, jika kita lihat lebih seksama, taman ini lebih difungsikan sebagai lapangan sepakbola karena di kedua ujung lapangan terdapat dua buah gawang.
Pada tahun 2010, lapangan ini pernah dijadikan lokasi syuting film Obama Anak Menteng. Menurut Damien Dematra, penulis skenario dan co-sutradara film Obama Anak Menteng, lokasi ini dipilih karena dinilai memiliki kesamaan dengan Jalan Matraman, tempat Obama dulu tinggal.
Walikota Bandung saat ini, Ridwan Kamil, berencana mengubah lapangan ini menjadi sebuah lapangan sekaligus Taman Persib. Kombinasi lapangan dan taman ini akan dibuat nyaman. Taman sebagai tempat nongkrong akan difasilitasi dengan wifi. Sedangkan lapangan, selain untuk bermain bola, suatu saat pun bisa dijadikan tempat untuk menggelar nonton bareng pertandingan. Rumput di Lapangan Supratman yang terkesan tak terurus ini juga sudah direncanakan Ridwan Kamil untuk diperbaiki.
Dari Lapangan Supratman, kami beranjak menuju Taman Anggrek. Taman yang berlokasi di Jalan Anggrek ini dahulu bernama Wilhelminaplein. Taman Anggrek sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda.
Pada saat kami berkunjung ke taman ini, kondisi taman berbeda dengan apa yang saya lihat 4 bulan yang lalu. Taman terlihat bersih dan bebas dari tuna wisma. Taman dicat warna oranye karena taman ini diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon. Taman ini merupakan taman bertema fotografi. Kondisi taman terhitung bersih, sampah hanya terdapat di beberapa bagian taman dalam jumlah kecil. Taman ini kini semakin nyaman digunakan anak-anak untuk bermain, seperti yang terabadikan di foto di atas.
Dari Taman Anggrek, kami bergerak menuju Taman Salam. Taman yang terletak di Jalan Salam ini tidak terlalu banyak diketahui warga Kota Bandung. Hal tersebut tercermin dari mayoritas pegiat yang baru kali itu berkunjung ke Taman Salam.
Kondisi Taman Salam sangat terawat dan sangat rindang. Kondisi taman yang terawat ini menurut saya karena taman ini terletak di wilayah perumahan, sehingga ada anggaran dari setiap penghuni rumah untuk merawat taman. Taman ini juga representatif untuk digunakan sebagai ruang beraktivitas selama tidak membuat kegaduhan. Saran saya jika berkunjung ke taman ini, gunakanlah lotion anti-nyamuk karena serangan nyamuk di taman ini cukup ganas.
Masih di sekitar Jalan Salam, kami menemukan bekas menara listrik di jaman kolonial.
Hal yang membuat saya cukup yakin bahwa bangunan ini adalah bekas menara listrik adalah karena saya dan Ayan (@SadnessSystem) menemukan plakat kecil yang bertuliskan GEBEO. GEBEO adalah perusahan listrik di jaman kolonial.
Setelah dari menara listrik Jalan Salam, kami bergerak menuju titik terakhir perjalanan, yaitu Taman Cempaka.
Sama seperti Taman Anggrek, taman ini juga diperbaiki menggunakan dana CSR dari Bank Danamon dan merupakan taman dengan tema fotografi. Taman ini sudah ada sejak jaman kolonial, dengan nama Nassauplein.
Kondisi taman dalam keadaan baik, karena baru satu bulan diperbaiki. Namun disayangkan, taman ini tidak bersih karena sampah berserakan dimana-mana, belum lagi jumlah tempat sampah kurang dan tempat sampah yang adapun penuh.
Meskipun demikian, Taman Cempaka sangat representatif untuk digunakan sebahai tempat berkegiatan. Taman ini cukup luas, rindang, dan juga dilengkapi arena bermain anak, sehingga cocok juga untuk dijadikan tempat berekreasi keluarga.
Seperti biasa kami mengakhiri kegiatan dengan berfoto bersama.
Ditulis juga di http://aryawasho.wordpress.com/2013/10/20/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-1/ dan http://aryawasho.wordpress.com/2013/11/06/menelusuri-taman-di-kota-bandung-bagian-2/