Tag: Aleut! (Page 2 of 2)

Ngapain sih banggain sisa kolonial ?

Oleh : M.Ryzki Wiryawan
………….
Ngapain sih kita membangga-banggakan peninggalan kolonial ?

Kalimat tersebut muncul kala diadakan curah pendapat di penghujung acara ngaleut taman kota Bandung, menurut Agung, seorang rekan Aleut dari sahabat kota, kalimat tersebut sempat muncul dalam suatu rubrik kompasiana. Yang jelas, tema ini sangat menarik untuk dibahas, karena bisa jadi masyarakat salah kaprah dalam memandang sejarah.

Gampangnya gini aja deh, peninggalan sejarah itu ada dua macem, yang berwujud and yang tidak berwujud. Yang berwujud itu contohnya bangunan-bangunan tua, taman-taman kota, dan situs-situs megalitikum dsb-lah, sedangkan yang tidak berwujud itu contohnya bahasa, musik, budaya hidup, dll. Intinya gitu. Tapi saya bagi lagi, sejarah itu ada yang positif and negatif, tugas kita adalah menyaring dan mengambil pelajaran dari kedua jenis peninggalan sejarah tersebut.

Saya pikir sudah cukup banyak kutipan yang menyebutkan pentingnya menjaga warisan sejarah. Namun bangsa Indonesia ini terkenal buruk dalam menghargai nilai warisan sejarah. Contohnya, saat menemukan Candi Borobudur yang berada dalam kondisi mengenaskan di awal abad XIX, Raffles mengatakan :

“Ketidakpedulian pribumi sama besarnya dengan para penguasa mereka, sehingga mereka pun menelantarkan karya-karya para leluhur mereka yang tidak dapat mereka tiru”

Ucapan Raffles 200 tahun lalu itu hampir sesuai dengan kondisi sekarang. Lihatlah bagaimana kasus penjualan artefak museum kerap terjadi, penghancuran bangunan bersejarah, atau yang paling dekat bagaimana mesin kapitalisme mengancam bukit pawon yang menyimpan situs manusia sunda purba.

Mari saya hubungkan dengan konteks ngaleut! taman kota kemarin. Dalam perjalanan ini kita bisa menemukan mana aja peninggalan sejarah yang positif dan negatif tersebut.

Di awal perjalanan, kita memasuki kompleks ITB yang didesain oleh Ir. Maclaine Pont. Beliau lahir tanggal 21 Juni 1884 di Meester Coenelis atau Jatinegara, Batavia. Setelah mengenyam pendidikan tinggi di Belanda dan kembali ke Hindia Belanda, beliau sangat mengapresiasi peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit, khususnya yang berada di kawasan Trowulan-Mojokerto. Apresiasinya kemudian ditelurkan dalam berbagai karya jurnalnya yang membahas situs tersebut.

Apresiasi Maclaine Pont terhadap budaya lokal tersebut, menjadikannya terpilih sebagai arsitek utama pembangunan THS. Perkembangan ini sesuai dengan pernyataan Thomas Karsten (perancang Bandung Utara), bahwa pembuatan bangunan selama ini yang selalu mengacu pada arsitektur barat asing dapat memunculkan isolasi bagi warga Eropa di lain pihak memunculkan resistensi dari warga pribumi.

Dari pemikiran ini muncullah kampus THS (Technische Hogeschool), sekarang ITB. Arsitektur bangunan utama kampus ini mengacu pada bangunan Minangkabau (sunda besar), yang lapisan-lapisannya membentuk “lembaran bunga teratai”. Atap yang berlapis-lapis diadopsi dari tradisi ruang berpilar yang dilacak dari relief-relief candi abad kesembilan di Jawa Tengah. Bentuk lainnya mengadopsi arsitektur Pendopo yang digunakan kaum ningrat di Jawa. Pembangunan kampus pun mengacu pada tradisi kosmos local, dimana gunung tangkuban parahu berada di poros utara. Apabila kita memandang dari arah selatan, akan terlihat jelas bagaimana gunung keramat ini berada di tengah bangunan aula barat dan timur. Gaya arsitektur ini digabungkan dengan teknologi tercanggih saat itu, yang dikenal sebagai busur berikat cincin, yang hanya satu-satunya tersisa di Hindia Belanda saat ini.

Tidak lupa, konsep kampus THS yang dirancang Maclaine Pont meniru gaya kampus di Amerika, dengan taman-tamannya sebagai ruang interaksi yang nyaman serta kondusif untuk belajar.

Dapat kita simpulkan, dari satu objek saja, bahwa peninggalan Belanda tidak murni berasal dari pemikiran kolonialisme. Mereka juga mengadopsi keagungan tradisi lokal Indonesia, teknologi tercanggih saat itu, serta konsep politik yang ada tentunya. Mari kita bandingkan dengan kondisi sekarang.

Berjalanlah sedikit ke kawasan Dipati Ukur, lihatlah ada berapa bangunan kampus yang menggunakan arsitektur lokal. Yang anda temukan hanyalah kampus-kampus yang dibangun dengan arstitektur minimalis, tidak banyak filosofi yang bisa dibanggakan darinya. Salah satu kampus (ITHB) bahkan dibangun dengan gaya Empire, dengan pilar-pilarnya yang megah, suatu gaya yang ditinggalkan Belanda karena “tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak cocok dengan iklim tropis”. Kampus-kampus di jalan Dipati Ukur ini bahkan tidak dilengkapi dengan taman-taman sebagai sarana interaksi dan belajar yang sehat, sehingga terpaksa mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu di kostan atau café bagi yang lebih beruntung. Ini baru satu contoh.

Tidak jauh dari kampus ITB, Aleut melewati taman ganesha, yang dulunya memiliki satu kolam, ternyata sekarang memiliki tiga kolam berukuran raksasa ! Taman ini memang berada di elevasi yang lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya, jadi wajar saja kalau hujan gede, taman ini bakal menjadi muara bagi aliran air yang berasal dari sekitarnya. Dahulu, Perancang taman ini sudah mempertimbangkannya sehingga mereka membuat dua buah selokan kecil, sebagai sarana aliran air yang terkumpul di taman. Sayangnya kedua selokan ini sudah tidak ada, akibatnya mau nggak mau air akan menggenangi taman ini, membawa sampah-sampah, mematikan vegetasi-vegetasi kecilnya, dan menghasilkan tanah becek yang tidak enak dipandang.

Lihatlah bagaimana Belanda mendesain perumahan-perumahannya dengan apik, dengan taman-taman sebagai pusat interaksi dan penunjang kesehatan, mereka juga berkepentingan menjaga kesehatan warga pribumi (seperti yang kita lihat di gempol), karena warga pribumi ini bekerja untuk mereka tentunya. Namun, merubah mental pribumi itu pekerjaan berat lain.

Tahun 1920’an, H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mencatat bahwa di masa tersebut orang-orang Pribumi masih kerap “Buang Hajat” di tengah jalan disamping kebiasaan buruk lainnya. Menurut catatannya, “Hari demi hari, Sidin, begitu kita sebut tukang kebun pribumi itu, membuang sampah dari rumah majikannya, dari dapur dan dari warung-warung… Bukannya ke tempat sampah, melintasi pagar,melainkan dengan tangannya yang halus, ke Jalanan…”

Tradisi ini masih kita pegang hingga sekarang, dengan “Tiisnya” kita membuang bungkus Cilok, gorengan, botol-botol plastik ke jalanan seperi Sidin si tukang kebon di tahun 20.

Nah, Pemerintah kota sekarang, yang dikenal dengan julukan “Wagiman”, walikota gila tanaman memiliki ide bagus. “Mengapa tidak kita pagari saja taman-taman tersebut, agar tidak dapat dimasuki dan dirusak oleh orang-orang pribumi…”

Jalan lagi dikit ke jalan sekitar perempatan Sultan Agung Tirtayasa, disini bisa diliat bangunan-bangunan dengan arsitektur kembar, yang didesain secara simetris. Ini adalah buah dari perancangan kota saat itu yang berkiblat ke barat. Sejak 1909, di Hindia Belanda perencanaan kota yang berhubungan dengan arsitektur bangunan di dalamnya diatur dengan sangat ketat, rancangan gedung pemerintahan, sekolah, pegadaian, kantor pos, dan penjara di koloni harus mengikuti pedoman resmi : Untuk setiap jenis gedung, telah ditetapkan sebuah keputusan, apa yang disebut “Rencana Normal”, dari situ hanya variasi yang diizinkan,,,

Apakah pemerintah saat ini punya arahan ?, So pasti punya, Lalu apakan arahan tersebut diaplikasikan, Hmm,, tentu saja, nanti akan saya instruksikan pada jajaran terkait,,, Begitulah kira2 percakapan fiktif saya dengan pejabat pemerintah.

Coba lihat di Dago dan Cipaganti, Yang dahulunya didesain sebagai perumahan Villa, yang daripada bangunan2nya tidak boleh berpagar dan tingginya gak boleh melebih tiga lantai untuk menjamin ketersediaan cahaya bagi para penghuninya. Kini bangunan-bangunan tersebut berdiri semaunya, peduli amat tetangga dapet cahaya matahari atau nggak. Mereka juga berlomba meninggikan pagar, bagai Belanda yang takut diintai pribumi…

Ini adalah sesuai dari catatan B. de Vistarini, seorang arsitek Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pada awal kedatangannya di nusantara, pemukim Belanda pertama membangun rumah-rumahnya dengan sangat tertutup. Dan bahkan hingga abad ke-XX mereka masih belum bisa melepaskan diri dari ketakutan terhadap Pribumi. Menurut Cuypers, di tahun 1919, rumah-rumah orang Eropa biasanya ditutupi oleh tembok yang dibangun mengelilingi seluruh bangunan, hanya dengan satu pintu masuk di bagian depan, dan satu lagi di belakang.

Nah lho, kaum elit negeri ini telah menjelma menjadi Belanda !

Akhir kata, Saya menganalogikan pendudukan Belanda bagai seorang ayah tiri yang galaknya bukan main, sering menghina, menyiksa, dan memperbudak kita, namun beliau telah mati dan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Lalu apakah kita akan membuang warisan tersebut ? Apakah tidak lebih baik apabila warisan itu kita gunakan sebagai modal guna perbaikan kelangsungan hidup kita ke depan…

Aleut! Masih ada!

Karena akhir2 ini banyak temen2 saya yang nanya2 soal Klab Aleut, ngapain aja, kemana aja, kenapa gak melulu jalan2 lagi, dll.. saya ingin ngasih info dikit ttg Klab Aleut yang dikopi dari Official FB nya Aleut

Kegiatan intensif Aleut belakangan ini masih dengan tema-tema : wisata-sejarah, apresiasi wisata, apresiasi sejarah, apresiasi film, apresiasi musik, apresiasi kuliner, belajar menulis dan fotografi.. dan masing2 kegiatan ada porsinya, dan kebeneran apresiasi sejarah dgn jalan2 masih jadi porsi terbesar..

Sedangkan program2 lain juga asik2 kok. Misalnya kaya apresiasi musik , kemarin kita mengadakan diskusi musik ddl, dengan bahan diskusinya adalah musik2 yang temen2 bawa sendiri, dan tidak ada cela-mencela dan gontok-gontokan hehehe…

terus ada apresiasi film yang kita namakan KINE ALEUT. Kegiatan ini maknyus tenan, nonton gratis, terus ada diskusinya gitu, diskusi santai aja, tipe dan genre filmnya juga macem2 kok, nggak cuma sejarah aja.. contoh film yg udah pernah ada Cinta dalam sepotong roti, Oeroeg, dll! cutting edge lah pokoknya

Lalu ada juga belajar menulis. Nah kalo yang ini mantep banget. Caranya, setelah kita habis kegiatan, para Pegiat Aleut (anggota), di sunnah kan untuk menulis review dari kegiatan yang tadi diikuti, bisa di FB, Multiply, blogspot, wordpress, asal bukan di twitter hehe. Dan hasil tulisan temen2 pun samasekali nggak akan teronggok nggak berguna, karena aka dibundel untuk jadi catatan tahunan Klab Aleut, dan insyaallah pun besar kemungkinan untuk dikomersilkan (dicetak oleh penerbit dan dijual bebas) mantep kann??.. Nah soal tulis menulis, Klab Aleut juga pernah menulis untuk semacam Guide Bandung, yaitu Bandung : Where To Go, yang diterbitkan oleh grup Intisari dan sudah bisa didapatkan di TOko Buku besar di kota anda..hehe keren kaan?? dapet duit lagi kalo diterbitin..

Nah kalo program apresiasi sejarah mah gak perlu ditanya lagi, jalan2 ke tempat2 sejarah yang mungkin bahkan belum pernah kalian dengar, dan bayangkan sebelumnya, yang sangat menantang, dan seringkali menyuguhkan eksotisme tersendiri..serius!

Nah ini contohnya waktu kita menyusuri bantaran Sungai Cikapundung, dan nemu tunnel air buatan Belanda! dan maen2 di sungai, hingga mencapai Curug Dago.. asik kaann!!

Dari jalan2 seperti itu, nggak hanya fun yang kita dapet.. kalo kita bisa memaknai dengan baik, kita juga bisa menganalisis apa saja yang kita lewati, karena kadang dengan berjalan kaki kita bisa menemukan paradigma berbeda dalam memandang sesuatu..bener nggak..

Seperti pada foto diatas, Klab Aleut jalan dengan tema “Taman di Bandung”, dari perjalanan itu, kita bisa tahu bagaimana minimnya ruang terbuka hijau di kota Bandung, bagaimana kondisi dulu dan sekarang, dll. Yang (harusnya) menggugah kita untuk lebih cinta sama hijau2 di kota tercinta ini..

nah ini orang yang sadar setelah ikut jalan2 sama Klab Aleut

nah, Untuk siapa pun yang ingin bergabung dengan Klab Aleut, silakan datang ke Jln. Sumur Bandung No. 4 atau hubungi Ryzki (085624253835), atau Bey (085624666243). Pendaftaran hanya Rp. 5.000,- (limaribu perak) itu juga buat biaya ganti pin keanggotaan. Semua kegiatan Klab Aleut tidak dipungut biaya alias gratis..kalo kegiatan, semua biaya tuh cuma untuk kamu sendiri, naek angkot, keluar duit ya buat biaya sendiri, dari saku masing2 langsung ke supir angkotnya, nggak ada panitia2an.. mantep!!

kalo kamu suka sesuatu yang lain drpd yang lain, pasti suka ikut Aleut! feel free to persuade you friend.. this note is free to be copied and re-posted

info lebih lanjut : http://www.facebook.com/friends/?ref=tn#/profile.php?id=1220483143&ref=ts

Gunung Puntang, 13 Desember 2009

Oleh : Ridwan Hutagalung
…and then the journey..

16 peserta :
Adi, Budhi, Ceppy (mpiw), Ari Yanto, Anna, Icha(nya) Indra, Naluri, DIlla, Ayan, Dimas, Yanstri, Ebi, Cici, Bey, Elgy, dan saya sendiri, Minyak Sereh.

Perjalanan Gunung Puntang yang sudah sempat batal minggu sebelumnya, terlaksana juga hari ini. Dari sekitar 20 pendaftar, 16 saja yang hadir di tempat berkumpul di Tegallega. Adi dan Budhi berangkat secara terpisah menggunakan sepeda motor (untuk keperluan mobile) dan sisa rombongan menggunakan angkot jurusan Banjaran yang kami minta mengantarkan sampai gerbang Wanawisata Gunung Puntang.

Perjalanan Gunung Puntang semestinya adalah perjalanan yang cukup santai, namun seperti halnya perjalanan-perjalanan sebelumnya dari komunitas Aleut, perjalanan ini pun segera menjadi suatu petualangan seru yang tak terbayangkan sebelumnya.

Sementara rekan-rekan memanfaatkan waktu untuk berfoto, sarapan, dan mempersiapkan berbagai keperluan lainnya, saya bertemu dan berbincang dengan pengelola baru Wanawisata Gunung Puntang. Pembicaraan seputar beberapa program wisata yang ingin dikembangkan oleh pihak pengelola, kebutuhan pengembangan informasi sejarah kawasan, sampai objek-objek menarik yang belum banyak diketahui publik di kawasan Gunung Puntang.

Pemandangan dan tatangkalan di sekitar eks stasiun radio Malabar

Yang juga sangat menarik, sesuai dengan salah satu tujuan ke Gunung Puntang kali ini, adalah ditemukannya sejumlah informasi seputar sejarah Radio Malabar dan berbagai peristiwa sekitar tahun 1942-1946. Informan yang berhasil saya temui adalah Pak Edi (57 tahun), warga asli Puntang, yang ayahnya dulu bekerja di Radio Malabar sampai tahun 1942 (kemudian pindah ke stasiun radio Palasari di Dayeuhkolot). Pak Edi juga memberikan dua nama lain yang masih dapat kami hubungi berkaitan dengan keadaan radio ini pada masa-masa terakhirnya, salah satunya adalah Cep Kandil (80an tahun). Tentang topik ini tentunya masih diperlukan sejumlah kunjungan lainnya.

Bekas kompleks Radiodorf

Sekarang kita kembali ke “the journey” dulu..
Sebagai upaya pendekatan kepada warga dan pengenalan medan yang lebih baik, kami sengaja menyewa 4 orang guide (termasuk 1 orang khusus pemandu gua) untuk membawa kami ke tujuan : Gua Belanda, Curug Siliwangi, menemukan puing-puing menara radio di lereng pegunungan.

Gua Belanda.
Sebutan Gua Belanda sebenarnya kurang meyakinkan. Lorong yang sempit dengan ketinggian bervariasi antara 150-180 cm (perkiraan berdasarkan ketinggian badan saya saja) dan lebar sekitar 150 cm ini rasanya akan cukup menyulitkan untuk orang Belanda yang memiliki badan jauh lebih besar. Karakter dinding yang terlihat tidak rapi juga menunjukkan bahwa gua ini tidak dibuat dalam waktu yang cukup banyak (terburu-buru). Pada masa Hindia Belanda, pembuatan gua pertahanan dan perlindungan selalu dibuat dengan rapi seperti yang masih dapat kita lihat di benteng-benteng Gunung Kunci dan Gunung Palasari, Sumedang, atau gua bekas saluran air di THR Djuanda. Saya cenderung mengambil simpulan bahwa gua ini dibuat pada masa dan untuk keperluan Jepang. Walaupun begitu, bagian dalam gua ini cukup aneh juga karena cukup lebar dan memiliki lapisan beton pada dindingnya. Jadinya lebih mirip Gua Belanda… Nah, lieur kan? Beberapa teman yang memperhatikan bagian dinding gua malah meragukan keaslian dinding itu. Rasanya seperti lapisan beton yang dipasang kemudian. Tapi sang guide keukeuh mengatakan bahwa semua bagian beton itu masih asli peninggalan Belanda. Baiklah kami simpan saja pertanyaan-pertanyaan ini untuk kunjungan berikutnya…

Oya, total panjang gua sekitar 200 meteran. Pada bagian tengah dibuat cabang yang saling berhubungan membentuk jalur segi empat.

Kompleks perkantoran dan stasiun pemancarnya

Curug.
Tujuan utama adalah Curug Siliwangi. Namun karena pertimbangan waktu dan jarak, kordinator guide kami menyarankan sebuah curug lain yaitu Curug Gentong yang konon belum pernah dikunjungi wisatawan. Kami setuju.
Trek ini ternyata menjadi sangat menarik dan di luar bayangan kami sebelumnya. Setelah cukup saling mengenal, guide kami menyarankan untuk membuka jalur melalui sisi hutan. Kami setuju lagi.
Saya ringkaskan saja beberapa hal dari trek curug ini :
Jaraknya sekitar 3,5 km dari Kolam Cinta.
Waktu tempuh dengan shortcut sambil membuka jalur jalan baru sekitar 3 jam sekali jalan.
Hutan belukar yang kami lalui memiliki sangat banyak tumbuhan tereptep dan salah suatu jenis pulus yang sama-sama bikin ateul. Tereptep bila tersentuh kulit terasa seperti yang nyetrum. Untunglah guide dan salah seorang peserta kami membawa bedog yang segera merapikan jalan lebih dulu sebelum kami lalui dengan aman.
Beberapa bagian trek ini memiliki kecuraman yang hampir vertikal (90 derajat) sehingga beberapa kali kami mesti pasang tali untuk naik-turun.
Sebagian besar jalur jalan adalah tanah lembab yang licin dengan jurang vertikal juga di satu sisinya. Bagian berjurang ini umumnya tertutupi oleh belukar lebat sehingga kami harus berjalan dengan ekstra hati-hati agar tidak terperangkap dan terjerumus ke dalam rimbunan tereptep di dinding jurang.
Ada banyak jenis jamur yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Sayang tidak semua yang terlihat dapat kami buat fotonya karena cahaya yang sangat kurang (tertutupi oleh pepohonan yang cukup tinggi) dan tidak banyaknya waktu tersedia untuk sesi foto dalam cahaya minim.

Jalur Sungai Cigeureuh

Dalam trek ini kami menyusuri dan menyeberangi badan Sungai Cigeureuh total sebanyak 8 kali.
Di beberapa titik dalam perjalanan ini kami juga menemukan puing-puing bekas bangunan yang kemungkinan berasal dari pondasi-pondasi bagi menara pemancar Radio Malabar dulu.
Tikusruk, tisoledat, tijalikeuh, dan tikosewad menjadi salah satu menu utama perjalanan.
Konon, selain sedikit orang dari kelompok-kelompok Pecinta Alam, belum pernah ada kunjungan wisatawan umum lainnya ke curug ini.

Tiba di depan curug masih menyisakan persoalan yang juga tidak mudah. Satu-satunya akses jalan mendekati curug bertingkat tiga ini hanyalah bentangan batang pohon yang sudah lumayan lapuk karena lembab. Di bawah bentangan batang pohon ini adalah bebatuan yang menjadi badan untuk curug ketiga. Semua peserta menyeberang dengan ekstra hati-hati sambil berpegangan pada bentangan tambang yang sudah dipasang oleh the guide.

Curug Gentong yang sempit dan terpencil

Tiba di curug (dasar curug kedua) ternyata tempatnya sangat sempit, sehingga kami berenambelas agak berhimpitan duduk di bebatuan yang tidak terendam air. Sebatang pohon lain melintang di atas kolam curug juga kami pergunakan untuk tempat duduk. Saatnya murak bekel…
Ini adalah botram yang mantap karena hampir semua perbekalan kami tamdaskan. Nasi rames, mie, kue-kue kering, kue-kue basah, agar-agar, kopi, air jeruk, air mineral, jeruk santang, mangga, coklat, dan entah apa lagi. Bila saja ada gula pasir, mungkin minyak kayu putih pun bakal digulaan…
Kuliner fantastis di lokasi hang-out yang spektakuler…
Suasana fantastis masih ditambah oleh turunnya kabut yang lumayan tebal..

Curug ini sempit sekali areanya, makanya diisi 16 orang saja sudah terasa sangat sempit. Kita menikmati suasana yang cukup langka ini sambil duduk saling mepet..

Dalam suasana berkabut kami putuskan untuk pulang, kuatir gelap segera turun dan perjalanan akan semakin sulit. Perjalanan pulang relatif lebih lancar walaupun masalah-masalah tijalikeuh tetap saja terjadi bergantian menimpa para peserta, apalagi dalam keadaan cahaya yang semakin berkurang. Yang cukup aneh adalah beberapa peserta perempuan kami yang sepanjang jalan pulang masih mampu menyanyikan puluhan lagu secara acak-acakan. Dalam perjalanan dengan medan yang sulit kami memang membutuhkan stamina dan kegilaan yang seperti ini. Salutlah buat Ebidilla Choir…

Perjalanan pulang kurang dari 3 jam. Kami tiba di kompleks warung sudah lewat jam 1900. Sasaran-sasaran impian langsung saja ditindaklanjuti, mie rebus, kopi, kurupuk, dan penganan sisa lainnya. Menunggu guide mencarikan angkot ternyata lebih dari 1 jam yang untungnya kami isi dengan obrolan riuh agak berguna seperti membicarakan karakter penyiaran berita TVOne, MetroTV, Tina Talissa, Ariel Peterpan, sampai gaya nyanyi dan kostum D’lloyd di tahun 1970an…

Dengan elf sewaan kami tiba di Kebon Kalapa sekitar jam 2100 dengan membawa kesan spektakuler dan berbagai luka kecil di sekujur badan yang baru terasa usai mandi…

Minyak Sereh.
15 Desember 2009

Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑