Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.
Deskripsi Makam Belanda Kebun Raya Bogor. Foto: Aditya Wijaya
Komplek permakaman Belanda di Kebun Raya Bogor letaknya berada di tengah hutan bambu. Suara angin menggoyang batang bambu hingga beradu bisa kita dengar dengan jelas. Terlihat beberapa orang tengah melihat-lihat permakaman ini dari dekat. Mungkin mereka seperti saya, mencoba membaca tulisan di atas nisan meskipun tidak mengerti dan menduga-duga mengenai kenapa bisa ada permakaman di tengah Kebun Raya Bogor.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari perjalanan Ngaleut Bogor yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut.
Makam Raden Saleh di Bogor. Foto: Aditya Wijaya
Beberapa waktu lalu sedang ramai film mengenai Raden Saleh yang berjudul “Mencuri Raden Saleh”. Ada kisah yang tak kalah menarik dengan film itu. Bagaimana nisan Raden Saleh ditemukan kembali setelah lama terlupakan di Bogor.
Raden Saleh yang bernama lengkap Saleh Sjarif Boestaman lahir di Semarang tahun 1814. Dia berasal dari keluarga bangsawan yang berkerabat dengan Bupati Pekalongan dan Semarang.
Di usia dini dia sudah memiliki bakat seni lukis. Dia menerima pelajaran menggambar dan melukis pertamanya dari pelukis A.A.J. Paijen. Seorang pelukis Belgia yang ketika itu tinggal di Weltevreden.
Prof Reinward, seorang pelukis dan ahli botani yang dikenal sebagai perancang Kebun Raya Bogor, menaruh perhatian padanya. Gubernur Jenderal Van de Capellen, menganggapnya sebagai pemuda yang menjanjikan dan mendukungnya pergi ke Belanda atas biayanya bersama keluarga De Linge, yang sering dikunjungi Raden Saleh. Sumber: Tulisan Oom Snuffelaar di koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 28-06-1930.
“Uih deui weh ka jalan ageung, teras ka kenca, engke aya bengkel, tah ti jalan sapaliheunana lebetna,” itu informasi dari seorang penjaga toko di Cisarua ketika kami salah ambil jalan.
Pagi itu saya bersama Komunitas Aleut mencari dua lokasi permakaman eks pemilik Perkebunan Cisarua di Cisarua, Kabupaten Bogor. Perkebunan Cisarua terbagi dalam dua bagian, Cisarua Utara dan Cisarua Selatan. Di masa lalu, wilayah perkebunan ini merupakan bagian Keresidenan Batavia dan Afdeling Buitenzorg.
Pemilik Kebun Cisarua Utara adalah J.M. Bik dengan administratur F.E. Keuchenius, sementara Kebun Cisarua Selatan dimiliki oleh B.Th. Bik yang merangkap sebagai administratur. Pada 1 Januari 1894 tercatat jumlah penduduk di Perkebunan Cisarua Utara sebanyak 3823 jiwa dan 3202 jiwa di Cisarua Selatan.
Beberapa bulan lalu Komunitas Aleut mengadakan Momotoran dengan tema mencari jejak Dipati Ukur. Momotoran ini mengunjungi beberapa tempat yang berkaitan dengan Dipati Ukur seperti Pabuntelan dan Gunung Lumbung. Tulisan Momotorannya dapat teman-teman lihat di website Komunitas Aleut.
Mencari sumber tertulis mengenai Dipati Ukur cukup sulit, salah satu sumber yang kami akses mengenai Dipati Ukur adalah catatan perjalanannya Van Oort dan Muller yang diterbitkan tahun 1833. Selain pencarian tulisan di catatan perjalanan Van Oort dan Muller mengenai Dipati Ukur kami juga menemukan tulisan sebuah makam keramat yang berada di ketinggian ditanami pohon hanjuang dan dikelilingi parit. Warga sekitar menyebut tempat ini sebagai sisa peninggalan Negara Dalem Djamboe Diepa.
Dari Cadas Pangeran, ke Cut Nyak Dhien, sampai ke tempat peristirahatan terakhir raja-raja Sumedang.
Sebelum melakukan perjalanan ini, saya mengenal Sumedang hanya dari kesenian Kuda Renggongnya, yang ketika saya kecil sesekali mengikuti iring-iringan Kuda Renggong jika di daerah saya ada orang kaya yang disunat. Setelah beranjak dewasa, pandangan tentang Sumedang sedikit bertambah setelah mendengar beberapa kisah tentang Kerajaan Sunda yang berhubungan dengan latar sejarah Sumedang.
Saat ikut momotoran dengan Komunitas Aleut ini, mantap sudah, saya dapat mendengar dan melihat jauh lebih banyak lagi.
Perjalanan kami mulai jam 07.30 dari Bandung dengan rombongan berjumlah lima motor. Sabtu pagi itu cuaca Bandung begitu cerah, dari daerah Ancol, kami menyusuri jalanan Soekarno Hatta yang lengang, melintasi jalanan Cibiru, lalu lewat UNPAD, Cileunyi, dan menyusuri jalanan berkelok Bandung-Palimanan yang sejuk. Lalu sampailah kami di tempat tujuan kami yang pertama, sebuah monumen di Cadas Pangeran.
Dalam obrolan sehari-hari di Komunitas Aleut ada banyak sekali topik yang dibahas berulang-ulang, seakan tidak pernah ada habisnya. Selain soal sejarah Bandung secara umum, biasanya juga tentang permuseuman, percagarbudayaan, kampung-kampung, kuliner tempo dulu, atau tokoh-tokoh masa lalu, baik dari kalangan pribumi ataupun bangsa lain. Salah satu yang sangat sering dibicarakan adalah tokoh Dipati Ukur. Kebetulan pula beberapa hari lalu, salah seorang rekan kami yang sedang menumpang ojek online mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari drivernya, “Ai Dipati Ukur teh nyaan aya?”
Dalam disertasinya yang dibukukan oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1982 dengan judul Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda, Dr. E. Suhardi Ekadjati menuturkan bahwa Ceritera Dipati Ukur melukiskan peristiwa yang sungguh-sungguh pernah terjadi pada awal abad ke-17 Masehi. Kesaksian-kesaksian orang-orang Belanda pada waktu terjadinya peristiwa yang berupa catatan harian Kompeni (dagh register) dan catatan serta kesaksian-kesaksian lainnya yang didapatkan di daerah Bandung, membuktikan hal tersebut.
Saya senang karena selalu ada cerita berbeda di setiap Momotoran. Diawali dengan keberangkatan yang agak siang dan perjalanan yang mengarah ke timur, terasa asing karena biasanya jalur selatan yang selalu menjadi jalur utama setiap kali momotoran.
Tema momotoran kali ini adalah Jejak Kereta Api Bandung-Tanjungsari. Sabtu, 30 Januari 2021, saya bersama teman-teman ADP 2020 menyambangi beberapa tempat yang berkaitan dengan jejak jalur Kereta Api Bandung-Tanjungsari yang sudah lama tidak aktif. Kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut melalui jalur yang sering saya sebut sebagai jalur neraka, karena kemacetannya yang selalu menguji kesabaran, Jalan Soekarno Hatta lalu Cibiru-Cileunyi-Jatinangor.
Atas: Plang Makam Bawah: Jembatan Cincin diambil dari pemakaman Foto: Inas Qori Aina
Tempat pertama yang kami tuju adalah Jembatan Cincin di Cikuda, Jatinangor. Jembatan ini biasanya hanya saya pandangi dari kampus tempat saya berkuliah. Baru kali ini saya menginjakkan kaki di atas jembatan ini. Bukan Cuma berjalan di atasnya, tapi kami pun menyempatkan untuk turun ke bawahnya dan mengamatinya dari area persawahan. Di bawah sini ada sebuah permakaman kecil yang katanya ada makam keramatnya, tapi entah makam yang mana. Dari pemakaman kecil ini kami dapat melihat secara utuh konstruksi jembatan itu.
Cukup lama kami eksplorasi di sekitar Jembatan Cincin Cikuda, sesekali kami juga menyimak berbagai informasi dan cerita yang disampaikan. Berikutnya, kami berangkat lagi menuju titik selanjutnya, yaitu Jembatan Cincin Kuta Mandiri. Untuk menuju jembatan ini kami melalui jalan perdesaan dengan pemandangan sawah yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Jembatan ini terletak di tengah Desa Kuta Mandiri, Tanjungsari, sehingga tak heran masih menjadi jalur utama mobilitas warga desa. Ketika kami tiba di sana kami pun harus berhati-hati karena banyaknya kendaraan yang melintas di jembatan ini.
Jembatan Cincin Kuta Mandiri Foto: Inas Qori Aina
Bentuk jembatan ini mirip dengan Jembatan Cincin Cikuda. Bedanya, di jembatan ini masih dapat dijumpai semacam tempat yang dulu digunakan untuk minggir (safety area) di saat kereta api melintas.
Setelah mendapatkan cerita tentang sejarah jembatan ini, kami bergegas menuju bekas Stasiun Tanjungsari. Bangunan bekas stasiun tersebut kini terletak di tengah permukiman warga yang cukup padat. Hanya sedikit peninggalan yang dapat saya lihat, yaitu papan nama stasiun serta bangunan bekas peron stasiun yang kini digunakan entah sebagai rumah atau taman kanak-kanak. Menurut Pa Hepi, bagian depan dari Stasiun Tanjungsari kini sudah tidak tersisa lagi.
Yang tersisa dari bekas Stasiun Tanjungsari foto: Inas Qori Aina
Tidak jauh dari Stasiun Tanjungsari, terdapat viaduct Tanjungsari yang dibangun melintasi Jalan Raya Pos. Bentuknya mirip dengan viaduct yang berada di Bandung. Hanya saja, Viaduct Tanjungsari tampak lebih sederhana dan lebih pendek.
Dari Tanjungsari kami melanjutkan perjalanan ke Citali. Saya dan teman-teman berhenti di pinggir jalan untuk memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki, ngaleut, menuju area persawahan milik warga sana. Siapa sangka, di tengah area sawah milik warga terdapat dua buah struktur bekas fondasi jembatan yang tidak selesai dibangun. Kami hanya memandangi struktur tersebut dari kejauhan, karena tidak berani melintasi jembatan kayu kecil yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang terlihat tenang tapi mungkin cukup dalam.
Jembatan kayu menuju bekas jembatan kereta api di Citali Foto:Inas Qori Aina
Perjalanan ini tidak cukup sampai di Citali, dan bukan hanya tentang kereta api. Satu yang tak kami lewatkan yaitu untuk mampir ke sentra ubi Cilembu yang berada di Desa Cilembu. Ketika memasuki gapura desa tampak kebun ubi yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Kami pun menyempatkan untuk mampir ke sebuah warung ubi Cilembu milik seorang warga lokal. Di sini kami berbincang mengenai asal mula berkembangnya ubi Cilembu hingga menjadi oleh-oleh yang terkenal saat ini.
Kebun ubi Cilembu Foto: Inas Qori Aina
Oleh-oleh ubi Cilembu telah kami kantongi, saatnya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Perjalan pulang kami melewati jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Perjalanan kami melewati Parakan Muncang dan melewati jalur Cicalengka-Rancaekek. Di tengah jalan raya Rancaekek tampak plang yang tidak telalu besar bertuliskan “Situs Candi Bojong Menje”. Untuk menuju situs candi tersebut kami harus memasuki sebuah gang yang cukup kecil. Saya tak habis pikir ketika tiba di sini. Konstruksi batuan candi hanya dilindungi oleh sekeliling pagar yang sudah karatan serta atap yang rusak.
Berbincang dengan Pak Ahmad, kuncen Candi Bojong Menje Foto: Komunitas Aleut
Di sini kami berbincang dengan penjaga candi yaitu Pak Ahmad. Ia menceritakan bagaimana awal mula penemuan situs ini serta kemungkinan masih adanya struktur candi lain yang kini berada di tengah bangunan pabrik.
Tak lama, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah bangunan bekas Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom). Kata Pa Hepi, bangunan tersebut kini digunakan sebagai bengkel entah oleh siapa dan masih dimiliki oleh PT Telkom.
Waktu semakin petang, kami mengejar waktu agar sempat untuk melihat satu lagi candi yang masih terletak di Kabupaten Bandung. Beruntungnya, matahari masih mau menemani kami sehingga saat kami tiba keadaan belum terlalu gelap. Candi terakhir yang kami singgahi adalah Candi Bojongemas. Keadaan di sini justru lebih parah daripada Candi Bojong Menje. Papan informasi sudah berkarat dengan tulisan yang tidak cukup jelas. Batuan candi pun hanya dikelilingi oleh pagar kayu yang sangat rentan untuk rusak.
Keadaan di sekitar Candi Bojongemas Foto: Inas Qori Aina
Hanya sebentar kami melakukan pengamatan, keadaan pun semakin gelap. Tandanya perjalanan kami hari itu selesai, dan harus segera pulang. Di perjalanan pulang, pikiran saya tak karuan merenungkan pengalaman dari perjalanan Momotoran ke kawasan timur yang baru saja saya lalui, seperti yang tidak asing karena sering dilalui, tapi ternyata punya banyak peninggalan masa lalu yang rasanya tidak terlalu populer dan jarang dibicarakan orang…
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman.
Momotoran merupakan salah satu kegiatan regular Komnuitas Aleut untuk mengobservasi sejarah suatu tempat. Pada tanggal 24 Oktober 2020, tim peserta pelatihan Aleut Program Development (APD) angkatan 2020 mendapat kesempatan pertama kalinya untuk momotoran ke kawasan Pangalengan. Tujuannya adalah untuk mengobservasi jejak-jejak perkebunan tempo dulu dan beberapa tokohnya.
Untuk Tim APD 2020, ini adalah pengalaman baru momotoran dengan total memakan waktu sekitar 13 jam. Namun, bagi sebagian angkatan lama, ini mungkin kegiatan momotoran yang sudah kesekian puluh kalinya mengunjungi kawasan Pangalengan. Meskipun telah sering kali momotoran, tetapi mereka selalu mendapat hal yang baru lagi dari setiap perjalanannya, karena itu tidak ada kata bosan dalam melakukannya.
Banyak hal yang didapat oleh Tim APD 2020 dari hasil momotoran ini. Bukan hanya sebatas kisah tentang K.A.R Bosscha serta perkebunannya, namun juga pelatihan untuk peka terhadap lingkungan sekitar. Skill berkomunikasi dan kemampuan berinisiatif setiap individu juga dilatih secara tidak langsung. Melalui program momotoran ini juga dilatih kemampuan secara kelompok, seperti kemampuan berkoordinasi dan mengorganisir suatu kelompok. Terasa program momotoran di Komunitas Aleut ini sangat banyak sekali manfaatnya, baik untuk diri sendiri maupun untuk khalayak umum. Tapi ya, semua akan kembali kepada tujuan masing-masing, apakah orang tersebut ikut hanya untuk sekadar liburan mengisi kekosongan waktu, ataukah malah hanya sekadar untuk menemukan sang pujaan hati?
Di rumah Bosscha. Foto: Reza Khoerul Iman.
Pada pertemuan hari Kamis sebelumnya, terlihat semua kebutuhan dan keinginan masing-masing peserta telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Pembagian tugas dalam momotoranpun sudah dipersiapkan, sampai setiap orang sudah ditentukan partnerperjalanannya untuk memenuhi kelancaran komunikasi dan keaktifan semua individu. Awalnya Pak Alex berpasangan dengan Madiha, begitu juga Pak Hepi berpasangan dengan Agnia, namun ketika bergabung dengan saya dan Annisa yang menunggu di Alun-alun Banjaran, terjadi perubahan komposisi. Ternyata ini bertujuan untuk melatih komunikasi sesama anggota baru.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh : Wildan Aji
‘t Oude moedertje zat bevend
Op het telegraafkantoor
Vriend’lijk sprak de ambt’naar
Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor
Trillend op haar stramme benen
Greep zij naar de microfoon
En toen hoorde zij, o wonder
Zacht de stem van hare zoon
(Potongan lirik lagu “Hallo Bandoeng” – Wieteke van Dort)
Sebelum mengikuti kegiatan momotoran ke kawasan perkebunan teh di Pangalengan pada hari Sabtu pagi lalu, saya mendengarkan sebuah lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu ini rasanya cocok sekali untuk menemani perjalananku kali ini bersama rombongan Komunitas Aleut. Rasanya seperti akan kembali melihat masa lalu Bandung dan kawasan sekitarnya.
Anggota rombongan yang berangkat ada 14 orang menggunakan 8 motor yang berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasirluyu Hilir, Buah Batu. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Malabar, setelah sebelumnya mampir dulu ke bekas perkebunan kina di Cinyuruan, Kertamanah, dan ke Pusat Penelitian Teh & Kina di Chinchona, Cibeureum.
Perkebunanan Teh Malabar tentunya sudah tidak asing lagi sebagai tempat wisata. Perkebunan ini bisa dibilang paling terkenal dan merupakan salah satu penghasil teh terbesar di dunia pada masanya dengan kapasitas produksi mencapai 1.200.000 kg/tahun. Sejak era Hindia Belanda produksi teh dari Perkebunan Malabar sangat terkenal dan produksinya dijual di pasar Eropa. Produksi teh hitam menggunakan metode orthodox dan hanya memakai tiga pucuk terbaik. Dengan metode ini proses pengolahan teh tidak dicacah namun digiling sehingga dapat menghasilkan citarasa teh yang lebih nikmat mengalahkan kualitas teh dari Tiongkok dan Srilanka yang saat itu juga menguasai pasar Eropa. Hingga saat ini Perkebunan Teh Malabar masih beroperasi dan konsisten menghasilkan teh dengan kualitas ekspor. Untuk proses pemasarannya, 90% produksi perkebunan teh ini untuk ekspor dan hanya 10% yang dipasarkan di dalam negeri.
Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh : Madihatur Rabiah
Sekilas terdengar suara melewati gendang telingaku :
Biippp….biipp…biip….
Alarm telah membangunkanku dari peristirahatan semalam …..
Oh, haii.. Kenalin aku adalah anak Jakarta yang bermigrasi sementara waktu ke Bandung dalam keperluan perkuliahan. dan baru-baru ini mengenal satu komunitas yang sedikit banyaknya memiliki peran sumbangsih bagi Kota Bandung dalam meyadarkan betapa pentingnya melihat dan mengetahui lebih dalam sejarah dari suatu tempat dan lingkungan sekitar. Tak banyak hal yang kutahui tentang Bandung karena aku masih baru saja mengenal Kota Kembang ini. Saat aku mengenal Komunitas Aleut, sehentak kubertanya pada diri ini, dan sempat terbersit sebuah lirik lagu:
“Open your eyes “
“Open your eyes”
“Open your eyes, look up to the sky and see ………”
Kata-kata dari lagu Bohemian Rhapsody – Queen itu terngiang dalam benak dan menyadarkanku bahwa ternyata banyak hal yang belum kuketahui dalam kehidupan ini. Ditambah lagi aku yang baru sedikit saja mengenal Bandung. Semenjak mengikuti program momotoran ke Pangalengan-Ciwidey bersama Komunitas Aleut kemarin, aku baru merasakan memotoran keliling salah satu daerah terkenal di Bandug ini, dan mendapatkan banyak hal dari sana.
Sabtu pagi, 24 oktober 2020, perjalanan ke Pangalengan melewati banyak tempat yang baru kukenal, di antaranya, Banjaran –Kertamanah – Pangalengan – Malabar – Pasir Malang – Cileunca – Gambung – Ciwdey – Buahbatu.