Category: Toponimi

Travelogue : Situ Cileunca, Pangalengan

Sekitar 45 Kilometer dari Kota Bandung, terdapat sebuah Danau yang menyimpan beribu pesona dan cerita, Situ Cileunca namanya. Lokasi tepatnya berada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berada di ketinggian 1550 Mdpl, membuat Situ Cileunca memiliki hawa yang sejuk dan menyegarkan. Bahkan di saat-saat tertentu suhu di sana dapat mencapai 10°Celcius. Selain suasana danau yang syahdu, ketika kita berada disana mata kita akan dimanjakan dengan pemandangan perkebunan teh yang berada di sekitar danau.

Sejarah Situ Cileunca

Situ Cileunca bukanlah Danau yang terbentuk secara alami, Situ ini merupakan Danau buatan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik dan sebagai cadangan air bersih bagi warga Bandung. Jika dilihat dari sejarahnya, pada awalnya kawasan Cileunca merupakan Kawasan Hutan Belantara yang dimiliki oleh seorang Belanda yang bernama Kuhlan (Ada yang mengatakan bahwa Kuhlan adalah Willem Hermanus Hooghland pemilik Borderij N.V. Almanak). Jika dilihat dari waktu pembangunannya, Situ Cileunca berhubungan dengan keberadaan Pemancar Radio Malabar yang berada di sekitar kawasan Pangalengan.

Situ Cileunca Tempo Dulu
Situ Cileunca tempo dulu di sekitar tahun 1920-1932 (Sumber: tropenmuseum.nl)

Pembangunan Situ Cileunca memakan waktu selama 7 tahun diperkirakan antara tahun 1919-1926. Membendung aliran Kali Cileuca dan dialirkan melalui Bendungan Dam Pulo. Konon pembangunan Situ Cileunca dikomandoi oleh dua orang pintar Arya dan Mahesti,  uniknya dari cerita yang beredar di masyarakat pembangunan Situ Cileunca tidak dilakukan dengan menggunakan cangkul, namun menggunakan halu (alat penumbuk padi).

Berenang Di Situ CIleunca
Sejak zaman kolonial, Situ Cileunca sudah dijadikan tempat wisata. (Sumber : tropenmuseum.nl)

Pada zaman dahulu, Situ Cileunca sudah dijadikan sebagai tempat wisata oleh orang Belanda, Para wisatawan ketika itu biasanya berenang di tepian atau menaiki perahu berkeliling danau. Dahulu pernah ada kapal Belanda yang dipenuhi oleh wisatawan tenggelam di Situ Cileunca. Semua itu masih perkononan hingga pada akhir 2016 ketika Situ Cileunca disurutkan untuk maintenance bendungan, warga menemukan bagian dari kapal belanda tersebut di dasar danau.

Kapal Belanda Situ Cileunca
Potongan Kapal Besi Zaman Belanda

Karena jaraknya yang tak begitu jauh dari Kota Bandung, Situ Cileunca dijadikan salah satu alternatif destinasi liburan bagi warga Bandung. Kini di Situ Cileunca selain menikmati pemandangan, sudah banyak kegiatan dan fasilitas yang bisa dinikmati di sekitar Kawasan Situ Cileunca. Mulai dari menaiki perahu berkeliling, wisata petik strawberry, berkemah hingga yang ekstrim seperti Outbound dan Rafting di Sungai Palayangan.

Jembatan Cinta, Situ Cileunca.

Salah satu spot favorit saya di Cileunca adalah Jembatan Cinta. Jembatan ini merupakan jembatan yang dibangun untuk menghubungkan dua desa di Cileunca, Desa Pulosari dan Desa Wanasari. Sebelum dibangun jembatan ini warga harus mengambil jalan memutar yang memakan waktu lebih lama. Warga pun berinisiatif membangun jembatan untuk mempermudah akses antar desa.  Kata warga sekitar, jembatan ini seringkali dijadikan sebagai tempat kumpul muda mudi dari kedua desa. Dikarenakan alasan itu maka jembatan ini pun dinamakan Jembatan Cinta. Lagipula segala seuatu yang diembel-embeli kata “cinta” terdengar lebih menjual kan?

Jembatan Situ Cileunca
Jembatan Cinta Situ Cileunca

Spot ini menjadi favorit saya karena dari sini kita dapat menikmati banyak hal, mulai dari pemandangan Perkebunan Teh Malabar di sebelah Timur Cileunca hingga mengamati kegiatan dan berinteraksi dengan warga sekitar. Ditambah lagi untuk mencapai spot ini tidak dipungut biaya (dasar mental gratisan, hehe).

Dalam tenang airnya, Situ Cileunca masih menyimpan banyak misteri yang belum terkuak.

Sudah pernah atau ingin datang ke Sini? Silahkan bagi pengalaman Anda di kolom comment di bawah ini.

 

Sumber: http://www.adiraoktaroza.com/2017/05/05/travelogue-situ-cileunca-pangalengan/

Kina Pertama

image

160 tahun yang lalu, Franz Wilhelm Junghuhn, menanam kina pertamanya di daerah Pangalengan. Tentu ini bukanlah kina pertama yang ditanam di Pulau Jawa. Lokasi ini juga bukanlah satu2nya tempat penanaman kina itu, sebab Hasskarl sudah pernah menanam bibit yang dibawanya dari Peru di Cibodas. Tapi di sinilah monumen peringatan penanaman kina didirikan pada tahun 1955.

Tak jauh dari jalan raya Pangalengan, Junghuhn juga menanam kina di daerah yang kelak bernama Kampung Kina, Cibeureum. Selain itu juga di halaman rumah kerjanya di sebuah komplek bukit dekat Wanasuka yang sekarang bernama Pasir Junghuhn dan kemudian di tempat tinggalnya yang baru di Lembang.

Jauh sebelum kedatangan keluarga Preangerplanters yang dipelopori oleh Willem van der Hucht, Junghuhn sudah berkali-kali mengelilingi wilayah Jawa bagian Barat. Ia sudah hadir di Pangalengan dan mendaki Malabar sebelum kedatangan Kerkhoven atau Bosscha.

Continue reading

Gedung Merdeka

Foto koleksi delcampe.net

Foto koleksi delcampe.net

Pada penutupan Konferensi Asia Afrika tanggal 24 April 1955, Presiden Sukarno memberikan nama baru bagi gedung Societeit Concordia, yaitu Gedung Merdeka. Sudah satu minggu sejak tanggal 18 April, Societeit Concordia dijadikan tempat konferensi negara-negara Asia-Afrika. Semangat menuju kemerdekaan bangsa-bangsa adalah hasil utama konferensi ini yang dituangkan dalam The Final Communique of the Asian-African Conference, salah satu isinya terkenal dengan sebutan Dasasila Bandung.

Societeit Concordia didirikan tahun 1895 oleh Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff, sebagai wadah berkumpulnya orang-orang Eropa yang tinggal di Bandung dan sekitarnya saat itu, kebanyakan anggotanya dari golongan elite. Warga Eropa golongan ini sedikit banyak ikut membangun Bandung menjadi perkotaan yang modern untuk ukuran saat itu. Continue reading

Tan Sim Tjong (3)

Bagian ketiga:

Pencarian Makam Tan Sim Tjong

SEMASA hidupnya, Tan Sim Tjong dikenal sebagai saudagar kaya yang memiliki tanah luas yang tersebar di antara Cibadak, Jalan Raya Barat (Jenderal Sudirman sekarang, RED), dan sekitar Kali Citepus. Selain sebuah rumah gedong besar, keluarga Tan Sim Tjong juga memiliki kebun yang ditanami pohon bambu Cina dan pohon jeruk. Saking luasnya kebun jeruk itu, isteri Tan Sim Tjong disebut warga sekitar dengan sebutan Nyonya Kebon Jeruk. Kini, area tersebut dinamai Kelurahan Kebon Jeruk.

Selain di wilayah itu, tanah Tan Sim Tjong juga ada di ujung Jalan Raya Barat, tepatnya di wilayah Elang. Pada saat itu, Elang masih merupakan area hutan dan pesawahan. Di area itulah Sim Tjong memilih lahan sebagai makam dirinya. Karena adanya makam orang Tionghoa, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan Sentiong.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Batu nisan makam Tan Sim Tjong di Kampung Sentiong, Jalan Elang, Kota Bandung.

Continue reading

Tan Sim Tjong (2)

Bagian kedua:

Gang Simcong dan SD Simcong

DI dalam roman Rasia Bandoeng, Tan Shio Tjhie digambarkan sebagai sosok yang progresif karena tidak menentang kehendak anaknya, Tan Tjin Hiauw, untuk menjalin hubungan asmara dengan Tan Gong Nio. Padahal, dalam adat budaya Tionghoa saat itu, perkawinan satu marga (she) adalah hal tabu dan terlarang. Tan Shio Tjhie tahu benar soal itu, namun ia berbesar hati mengantar anaknya itu untuk melamar sang pujaan hati.

Sosok Tan Shio Tjhie diyakini tak lain adalah Tan Sim Tjong oleh cucu cicitnya. Bagi sosok saudagar seperti Tan Sim Tjong, hubungan asmara anaknya dengan Tan Gong Nio adalah tantangan yang sangat berat karena itu artinya harus melawan adat. “Rupanya dia punya gebrakan pada masanya, contohnya mendukung perkawinan satu marga. Itu saya anggap sebagai sesuatu sosok yang progresif, menyayangi anak, dan memberi keleluasaan bergerak,” ujar cicit Tan Sim Tjong, Bambang Tjahjadi. Continue reading

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading

Gedung Swarha

Sumber foto: kitlv.nl

          Sumber foto: kitlv.nl

Foto ini menggambarkan suasana keramaian di Bandung saat merayakan Jubileum Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Foto diambil di sudut barat daya Alun-alun, di depan sebuah toko pakaian dan kelontong, Toko Tokyo. Pada gambar dapat dilihat plang nama Toko Tokyo di atas pintu gedung di sebelah kanan.

Toko Tokyo dibangun tahun 1914 dan hancur pada tahun 1940-an, kemungkinan pada sekitar peristiwa Bandung Lautan Api. Angka tahun pembangunan didapatkan dari angka yang tercetak besar pada atap gedung sebelah kanan. Dari sebuah foto udara yang dibuat oleh ML-KNIL tahun 1946 dan dimuat dalam buku karya RPGA Voskuil, “Bandung; Citra Sebuah Kota”, tampak lahan Toko Tokyo kosong dan belum ada bangunan penggantinya. Continue reading

Dua Dunia Trans7: Tebing Keraton

Setelah kunjungan terakhir pada bulan November 2014, hari Rabu, 5 Maret 2015, saya kembali ke Cadas Gedogan atau yang sekarang menjadi terkenal dengan nama Tebing Keraton. Kunjungan kali ini untuk keperluan sebuah program televisi, Dua Dunia dari Trans7. Belakangan ini saya beberapa kali diminta tim program ini menjadi narasumber untuk liputan beberapa lokasi di sekitar Bandung.

Menjadi nara sumber program semacam Dua Dunia kadang punya kesusahannya sendiri, beberapa kali saya minta menceritakan latar sejarah suatu lokasi yang justru tidak punya catatan sejarah. Dalam hal ini yang saya maksud bukanlah sejarah alam atau sejarah geologi lingkungan alam tertentu, karena pertanyaan yang diberikan pun tidak secara khusus mengarah ke sana. Akhirnya saya harus banyak-banyak mengumpulkan cerita yang beredar di dalam masyarakat.

Siang ini jalan menuju Tebing Keraton tidak terlalu ramai. Di pertigaan jalan setelah Warung Bandrek, dua mobil kami dicegat oleh sekelompok orang. Mereka meminta agar kami memarkirkan mobil di lokasi pertigaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan menyewa ojeg mereka. Tentu saja permintaan ini agak merepotkan karena kami membawa perlengkapan yang tidak ringan dan tidak mudah dibawa dengan menggunakan motor. Apalagi malam sebelumnya tim kami sudah survei ke lokasi sambil mengurus izin untuk kegiatan rekaman gambar hari ini. Setelah kami menjelaskan ini, akhirnya kedua mobil kami diperkenankan untuk jalan terus menuju Tebing Keraton. Continue reading

Cadas Gedogan atau Tebing Keraton

Sebetulnya ini tulisan yang sudah agak telat. Telat, karena kemeriahan objek yang akan saya tulis ini sudah agak berkurang dibanding beberapa bulan sebelumnya. Telat juga karena saya baru menuliskannya dua bulan setelah berkunjung (lagi) ke sana.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja di Bandung hadir satu objek wisata baru yang dinamakan Tebing Keraton. Saat pertama melihat fotonya yang diunggah seseorang, saya dapat langsung mengenali lokasi itu, bahkan termasuk cukup akrab dengan pemandangan dalam foto itu karena sejak tahun 2006 cukup sering melewati dan mampir ke lokasi itu. Tapi nama Tebing Keraton memang asing di telinga saya. Karena itu sebelum memastikan bahwa pemandangan dalam foto benar-benar sama dengan pemandangan yang sering saya lihat, saya masih harus membandingkan lagi dengan memeriksa banyak foto yang diunggah orang di media-media sosial.

Keramaian Tebing Keraton berlangsung selama beberapa bulan, hampir setiap hari ada saja yang posting foto pemandangan tebing ini, baik sebagai objek utama ataupun sebagai latar belakang para pengunjungnya. Pemandangannya rata-rata sama, lembah berbukit-bukit di bawah tebing dengan pepohononan yang memenuhi seluruh area, tak jarang pula dengan tambahan kabut yang cukup tebal memenuhi seluruh bidang foto. Para pengunjung sengaja datang pagi-pagi sekali atau menjelang sore untuk mendapatkan suasana ini. Memang tampak indah.

Tebing-2

Ada juga yang menyebutkan keberadaan petilasan seorang Prabu di bawah tebing, dekat lokasi Gadogan (Gedogan) Kuda dan Curug Ci Kiih Kuda. Gadogan Kuda adalah tempat menambatkan kuda-kuda kerajaan halus itu.

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Nisan Luitenant Oeij Bouw Hoen, 1882

Oeij Bouw Hoen 1881-1B

Sabtu lalu saya jalan-jalan menyusuri perkampungan padat di daerah Babakan Ciamis. Dari beberapa bacaan, saya tahu dulu di kawasan itu ada permakaman Cina pindahan dari Oude Kerkhoff (Sentiong) di Banceuy.

Ternyata saat ini kawasan itu sudah sangat padat oleh permukiman, lorong-lorong jalan yang sangat sempit, untuk dilewati satu motor pun susah, dan karena tanahnya berundak-undak, banyak lorong yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki saja.

Permakaman lama sudah tidak bersisa, hanya beberapa orang tua saja yang bisa cerita bahwa dulu di sana memang pernah ada permakaman, warga lainnya umumnya tidak mengetahui karena rata-rata baru datang di wilayah itu pada tahun 1980-an.

Seorang tua yang berasal dari Jawa Tengah bercerita bahwa pada saat dia pindah ke Babakan Ciamis, beberapa puluh meter di belakang rumahnya masih ada 3 buah nisan lama, sayangnya karena renta, beliau tidak bisa mengantarkan. Continue reading

Ngaleut Inhoftank, 01.12.13

Minggu, 1 Desember 2013, adalah hari yang cukup istimewa. Hari ini kami bersama @KomunitasAleut akan berkenalan dengan satu kawasan di bagian selatan Bandung, yaitu Inhoftank. Walaupun cukup sering melewati kawasan ini dalam berbagai kesempatan, tetapi mengunjunginya secara khusus belum pernah dilakukan. Lagipula sering terpikir, apa perlunya berkunjung ke tempat ini selain karena namanya yang unik itu?

Nama Inhoftank memang terdengar unik dan sering mengundang pertanyaan, apa arti nama itu? Sejarah nama tempat ini pernah dituliskan oleh @mooibandoeng dalam blog-nya, kira-kira seperti ini keterangannya: Imhoff, dan bukan Inhof, adalah nama orang. Ia adalah seorang teknisi yang pernah membuat suatu pabrik pengelolaan limbah rumah tangga di Bandung tempo dulu. Tank adalah tangki-tangki tempat penampungan limbah tersebut.

Dari pengelolaan ini didapatkan bentuk energi yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat banyak, yaitu biogas. Catatan yang ada menyebutkan bahwa energi ini dipergunakan untuk menjalankan bis-bis sekolah. Selain itu, ampas dari hasil pengelolaan ini dapat dipergunakan sebagai pupuk. Nah, pabrik itu berada di kawasan yang sekarang bernama Inhoftank, pelafalan lokal untuk Imhofftank.

Keterangan yang didapatkan dari buku “Kisah Perjuangan Unsur Ganesha 10; Kurun Waktu 1942-1950” itu memang tidak terlalu banyak memberikan informasi latar belakang kawasan yang dijadikan lokasi pabrik tersebut. Tidak rinci juga memberikan catatan tentang apa dan bagaimana sebenarnya pabrik tersebut. Perjalanan bersama @KomunitasAleut hari ini mencoba mendapatkan informasi lebih banyak berkaitan dengan Inhoftank, baik sebagai pabrik di masa lalu maupun sebagai suatu kawasan di Bandung Selatan. Continue reading

Ledeng

Foto-foto koleksi KITLV.


Foto-foto koleksi KITLV.

Ledeng… Sebagai nama kawasan, Ledeng sudah sangat akrab dengan warga Bandung, karena terdapat sebuah terminal untuk akses transportasi ke wilayah di sebelah utara kota Bandung. Selain itu juga di kawasan ini terletak salah satu kampus penting di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Tapi bagaimana ceritanya sehingga kawasan ini dinamai Ledeng?

Sampai tahun 1920-an daerah ini dikenal dengan sebutan Cibadak, sesuai dengan keberadaan sebuah mata air cukup besar di sana, Cibadak. Nama badak di sini ternyata selain dapat berarti mengacu pada hewan badak dan kemungkinan keberadaanya pada masa lampau di daerah ini[1], juga bisa jadi merupakan perubahaan dari kata bahasa Sunda lainnya, badag (=Cibadag), yang berarti besar.

Warga sekitar lokasi mata air ini memang mendapatkan cerita turun-temurun tentang besar atau melimpahnya air dari sumber mata air di sini. Hampir seluruh kampung di sekitar kawasan Cibadak lama memanfaatkan air dari tempat ini. Selain mata air Cibadak, ada juga beberapa mata air lainnya di dekat Cibadak, yaitu Cidadap dan Cikendi. Seluruh sumber air ini diberi benteng pelindung seperti tampak dalam foto kanan bawah, yang dibangun antara tahun 1920-1923.

Air yang melimpah ini disadap dan dialirkan melalui saluran pipa-pipa besar ke kawasan sekitarnya. Bangunan penyadapan tampak pada gambar kanan bawah. Pipa-pipa saluran berukuran besar yang melintang inilah yang yang kemudian menjadi cikal munculnya nama Ledeng bagi kawasan tersebut, karena ledeng (leiding) dalam bahasa Belanda memang berarti saluran. Sampai sekarang pipa-pipa ini masih tertanam dan dipakai sebagai saluran pembagian air ke pemukiman penduduk.

Gambar kiri atas adalah mata air Cibadak, sedangkan gambar kiri dan kanan bawah adalah rekaman foto saat peresmian instalasi penyadap air Cibadak yang dilakukan oleh Walikota Bandung, Bertus Coops, tahun 1921.

(Sumber foto KITLV)

 


[1] Lihat buku “Lie Kim Hok” karya Tio Ie Soei  dan dua buku Haryoto Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya” dan “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”

Kampung Apandi, Braga

Repost

P1630109B

Ruas Jl. Braga di Bandung tentulah sudah dikenal baik oleh masyarakat, baik sebagai objek wisata berwawasan sejarah atau arsitektur. Sejumlah bangunan tua di Jl. Braga belakangan ini menjadi lebih populer sebagai tempat berfoto-ria yang dilakukan baik oleh kalangan wisatawan atau pun para pelajar dan remaja Kota Bandung. Belakangan Jl. Braga agak mengundang kegaduhan dalam masyarakat sehubungan dengan program revitalisasi yang menggantikan bahan jalan dari aspal dengan batu andesit. Jalan berbatu andesit ini ternyata tak pernah mampu bertahan cukup lama dalam kondisi baik.

Tapi dari pada membicarakan masalah revitalisasi yang tidak vital itu, saya langsung saja ke perhatian utama saat ini, yaitu Kampung Apandi. Ruas Jl. Braga sebetulnya diapit oleh dua kawasan di kiri-kanannya, masing-masing Kampung Apandi di sebelah barat dan sebuah Europeschewijk di sisi timurnya. Europeschewijk yang dulu dikepalai oleh Coorde sekarang menjadi kawasan Kejaksaan Atas dan nama Gang Coorde menjadi Jl. Kejaksaan. Istilah Kejaksaan Atas dan Kejaksaan Bawah adalah istilah tidak resmi dari warga untuk membedakan potongan Jl. Kejaksaan antara Tamblong-Braga dengan Tamblong-Saad.

Continue reading

Kawasan Jalan Kedokteran di Bandung

Di Bandung terdapat satu kawasan yang nama jalanannya menggunakan nama2 dokter, baik nasional maupun internasional. Kawasan ini terletak di sekitar Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Bio Farma. Kadang2 orang menyebutnya kawasan Cipaganti berdasarkankan nama jalan utama di situ. Nah, siapa saja dokter yang namanya (pernah) dijadikan nama-nama jalan itu? Ini cerita-cerita ringkasnya.

Image
Beberapa nama dokter di dalam kompleks jalan kedokteran di sekitar Bio Farma sebenarnya merupakan para pendiri perkumpulan kebangsaan Boedi Oetomo (20 Mei 1908). Mereka adalah Wahidin Soediro Hoesodo, Soetomo, Radjiman Wediodiningrat, Goenawan Mangoenkoesoemo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat. Mereka semua adalah dokter-dokter yang lulus dari Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).

Tidak semua nama mereka saya temukan menjadi nama jalan di kawasan yang sama, misalnya apakah memang tidak pernah terdapat nama jalan Soetomo atau Soewardi (Soerjaningrat) atau apakah nama jalan tersebut pernah ada namun sudah berganti dengan nama jalan baru?

boedi-oetomob
Perkumpulan Boedi Oetomo

dr. Radjiman (1879-1952):

Image
Radjiman Wedjodiningrat lahir pada 21 April 1879 di Desa Melati, Kampung Glondongan, Yogyakarta, dari keluarga yang bersahaja. Ayahnya, Sutodrono, adalah pensiunan kopral KNIL yang menjadi centeng di Pecinan, dan ibunya keturunan Gorontalo.

Ayah Radjiman, Soetodrono, adalah keturunan ketujuh Kraeng Naba, saudara Kraeng Galesong, yang membantu Trunojoyo melawan Mataram. Dalam konflik itu, Kraeng Naba berada di pihak Mataram. Continue reading

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑