Author: komunitasaleut (Page 1 of 103)

Dongeng Bandung + #TERAP Fest: Dago, Coblong, Simpang

Dago, Kamis, 13 Juli 2025

Oleh: Dongeng Bandung

Hari ini, Kamis, 13 Juli 2025, Dongeng Bandung diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Festival Teater Ruang Publik (TERAP). Kawasan yang dipilih untuk kegiatan ini adalah Jalan Dago (Ir. H. Djuanda), mulai dari sekitar kantor PMI Jawa Barat sampai ke lokasi tiga gedung kembar yang sering disebut oleh kalangan peminat sejarah Bandung sebagai Drie Locomotieven. Secara jarak, tidak sampai tiga kilometer dan ditempuh dengan menggunakan angkot. Ngadongengnya hanya berlangsung di empat lokasi saja yang sebelumnya sudah dipilih oleh tim TERAP berdasarkan bahan-bahan dari website-nya Komunitas Aleut. Pemilihan lokasi juga disesuaikan dengan keseluruhan kegiatan lapangan yang berlangsung satu hari itu, di antaranya ke Cika-cika dan Babakan Siliwangi. Sore hari segenap rombongan TERAP dan Komunitas Aleut sudah berada di depan hotel The Jayakarta Suites, Bandung.

Dago

Asal-muasal penamaan Dago untuk ruas jalan dan sebuah kawasan di bagian utara Bandung tidak pernah jelas. Yang ada hanyalah dugaan-dugaan berdasarkan penelusuran belakangan ini saja. Misalnya yang paling terkenal adalah kisah yang disampaikan oleh seorang tokoh yang sering dijuluki Kuncen Bandung, Haryoto Kunto.

Dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia, 1986), ada cerita dari masa pertengahan tahun 1800-an. Warga kampung di daerah sebelah utara Coblong, biasanya berangkat dini hari berjalan berbarengan untuk pergi ke pasar yang terletak di kota. Karena hari masih gelap, mereka berbekal obor untuk menerangi jalan, sedangkan kaum pria yang menemani perjalanan, masing-masing membekali diri dengan parang atau tombak, karena pada waktu itu jalanan di sekitar Coblong (Dago Utara sekarang) sampai ITB masih merupakan jalan setapak dikelilingi hutan belukar dan sangat sepi. Sebelum berangkat, warga biasanya saling menunggu satu sama lain atau dalam bahasa Sunda istilahnya padago-dago agar bisa berangkat bersama. Konon dari kegiatan padago-dago itulah lama kelamaan menjadi nama kawasan.

Masih dari Haryoto Kunto, kali ini dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), konon ruas jalan setapak yang menghubungkan Bandung baheula dengan kawasan perbukitan utara – termasuk Dago – sudah lama ada dan menjadi penghubungan daerah Bandung dengan jalur jalan kuno dari masa Kerajaan Sunda. Jalur ini lebih kurang: Alun-alun – Merdikalio – Balubur – Coblong – Dago – Buniwangi – Maribaya (lewat Puncak Eurad) – dan akhirnya bertemu dengan jalur kuno yang menghubungan Sumedanglarang dengan Wanayasa di sekitar Subang sekarang.

Dalam buku ini ada satu informasi sangat singkat yang sering mengundang rasa penasaran, tapi sekaligus juga kebingungan, karena tidak pernah mendapatkan informasi tambahannya. Konon, Andries de Wilde, tuan tanah dan pengawas kopi Priangan yang terkenal itu, menikah dengan seorang mojang Priangan dan mendirikan sebuah vila indah di Kampung Banong, di daerah Dago Atas. Selanjutnya Haryoto Kunto menulis, mungkinkah nama Banong tersebut merupakan asal nama Bandong, seperti yang ditulis De Haan, dan yang akhirnya berubah menjadi Bandung?

Pada masa Hindia Belanda, kawasan Dago ke sebelah utara, sudah menarik perhatian sejumlah kalangan, terutama dari dinas pemerintahan dan para peneliti, serta beberapa individu peminat alam. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir menjelang 1900, diketahui Raja Siam (Thailand) pernah berkunjung ke Curug Dago dan membuat prasasti yang baru ditemukan oleh masyarakat Bandung pada tahun 1980-an. Lalu tahun 1908, pemerintah Kota Bandung membangun sistem pemanfaatan air dengan membuat penampungan di kawasan Tahura sekarang serta saluran air bersih untuk warga kota, sebagian saluran air itu sekarang dikenal sebagai Gua Belanda Tahura Djuanda. Begitu juga dengan pemanfaatan aliran sungai Ci Kapundung untuk pembangkit listrik dengan membangun waterkracht (PLTA) di Bengkok (!) dan Dago.

Pada tahun 1917, kelompok Bandoengsche Comite tot Natuurbescherming (Komite Perlindungan Alam Bandung) telah merancang pembangunan sebuah museum alam (konservasi alam) yang dinamakan Soenda Openlucht Museum(Museum Alam Terbuka Sunda), walaupun akhirnya tidak berlanjut karena kawasan tersebut keburu terbuka akibat warga di pedalaman membuka lahan-lahan luas untuk persawahan dan perladangan. Kawasan Dago kemudian berkembang masif setelah beberapa orang Belanda mendirikan bangunan-bangunan baru seperti Huize Dago yang kemudian menjadi Dago Thee Huis (Dago Tea House) atau Sanatorium Dago (sekarang kompleks PMI Jawa Barat) yang terletak tak jauh di sebelah utara lahan Hotel Jayakarta.

Sanatorium Dago

Di seberang hotel The Jayakarta Suite saat ini berdiri Gedung PMI milik Provinsi Jawa Barat dengan nama Gedung HMA Sampurna. Gedung ini bukanlah gedung lama, tetapi merupakan bagian dari sebuah kompleks sanatorium untuk penderita gangguan saraf yang didirikan tahun 1931. Ada juga satu berita di tahun yang menyebutkan sanatoium di Dago ini adalah sanatorium untuk militer. Berita lainnya umumnya menyebutkannya sebagai sanatorium khusus untuk orang Eropa.

Kisah ini dimulai dengan sebuah rencana dari Pemerintah Kota Bandung yang bekerja sama dengan perkumpulan Bandoeng Vooruit untuk mengembangkan kawasan di sebelah utara Dr. De Grootweg (sekarang Jalan Siliwangi). Yang pertama menyambut rencana ini adalah KB Han van Parapattan dari Batavia. Berdasarkan saran dari Ketua Bandoeng Vooruit, WH Hoogland, ia membeli tanah seluas 3 hektar dengan bayangan akan membangun sebuah landhuis atau rumah pedesaan yang memiliki panorama indah dan terbuka ke arah pusat Kota Bandung itu. Sudah terbayangkan sebuah istana desa dengan taman rusa, lapang tennis, kolam teratai, lengkap dengan sejumlah pavilunnya.

Ribuan kuli bangunan sudah sibuk membuat jalur-jalur jalan di sekitar Dr. De Grootweg. Selain Han, seorang tokoh Tionghoa dari Bandung, Poeij Kok Gwan, pemilik firma terkenal Gwan An, juga sudah membeli sebidang tanah di kawasan yang ketika itu juga dijuluki sebagai Boulevard para Jutawan. Ia bahkan sudah siap dengan rancangan rumahnya.

Bersamaan dengan itu, Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman mendorong kelompok gabungan para dokter dari Batavia dan Bandung untuk membeli sebidang tanah untuk pembangunan sebuah sanatorium besar dan ultra-modern dengan dorongan dan bantuan dari WH Hoogland dan Bandoeng Vooruit. Semua cerita ini diberitakan oleh koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 22 Juli 1930.

Kurang sebulan setelah berita di atas, muncul berita lainnya, pada tanggal 27 Agustus 1930, mengenai kegiatan 40 orang yang terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri beserta anggota padvinders (pandu) yang berjualan bunga-bungaan di Pasar Gambir, Weltevreden, untuk membantu pendanaan pendirian sanatorium militer di Bandung. Seluruh dana ini akan dikelola oleh perkumpulan perwira Ons Aller Belang.

Belum ditemukan kapan Sanatorium Dago ini resmi dibuka atau beroperasi, namun berita dalam koran Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi tanggal 6 Januari 1932 tercantum berita yang menyebutkan bahwa Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman, seorang dokter perempuan, telah membuka sebuah sanatorium untuk para penderita gangguan saraf. Sementara pembangunan berlangsung, sanatorium sementara ditempatkan di Oude Merdikaweg 16, di tempat tinggal para dokter sanatorium. Diceritakan pula bahwa sanatorium ini dilengkapi dengan perangkat dan peralatan paling modern dengan sistem operasional berdasarkan standar Eropa. Sanatorium baru ini dibangun untuk memenuhi peningkatan jumlah pasien yang tidak lagi dapat ditampung di Oude Merdika.

Sanatorium baru didirikan di lahan pribadi milik Dr. Schelts van Kloosterhuis-Houtman di kawasan peristirahatan dan wisata Dago, dekat dari Bandung. Dalam kawasan itu didirikan sebuah bangunan besar dan 11 bangunan lainnya. Pada lahan kosongnya dibangun taman, lapangan tenis, area bermain anak, dan hutan pinus. Untuk fasilitas tambahan, ada unit sendiri untuk terapi warna dan cahaya, serta pemandian busa karbon dioksida seperti yang terdapat di Kissingen en Nauheim, Jerman. Pemandian ini untuk terapi pengobatan arteriosklerosis, pengerasan pembuluh darah arteri akibat penumpukan plak di dinding arteri.

Sisa-sisa kompleks Sanatorium Dago masih dapat ditemui di tempatnya semula. Sama sekali sudah tidak lagi utuh, sebagian hilang, sebagian tersisa rangka-rangka bangunannya, tapi jejaknya masih dapat dilihat, mulai dari Gedung PMI HMA Sampurna ke arah utara, sampai lokasi pom bensin. HMA Sampurna yang dijadikan nama salah satu gedung itu merupakan penghargaan kepada Ketua PMI yang menjabat pada periode 1995-2000. Website PMI Jawa Barat, tidak memuat informasi detail bagaimana mereka pengelolaan kompleks gedung eks Sanatorium Dago bisa beralih ke PMI.

Hanya ada informasi bahwa PMI Jawa Barat baru terbentuk pada tahun 1956 dengan ketua Kosasih Kartasasmita dan sekretaris Chaidir Gazali. Saat itu kantornya di Jalan Nias No.2, kemudian pada tahun 1965 pindah dan berbagi tempat dengan PMI Kota Bandung di Jalan Aceh No.79. Baru pada tahun 1977 PMI Jawa Barat menempati lokasinya sekarang di Jalan Ir. H. Djuanda No.436-A, Bandung.

Coblong

Selain Dago, ternyata dalam peta-peta lama terpampang juga nama-nama kampung atau kawasan yang masih hidup sampai sekarang, seperti Coblong, Pojok, Elos, dan Simpang. Lalu di sebelah timur ada Cigadung, Sekeloa, Ciheulang, Haurpancuh, dan ke timur lagi, Cibeunying. Di sebelah Simpang barat ada Lebakgede, Lebaklarang, Cisitu, Balubur, Cipaganti, Cihampelas, dst. Nama-nama ini sudah bertahan lebih dari seratus tahun dan masih terus memberikan kemungkinan untuk penelusuran riwayat daerahnya. Bayangkan bilsa semua diganti karena semangat kekinian, misalnya menjadi nama-nama dengan imbuhan hills, permai, asri, square, indah, dst dst.. Asa lain di Bandung.

Sekarang kita ke Coblong dulu. Mengenai daerah ini sudah pernah ditulis oleh Alex Ari di sini. Dalam tulisan itu disinggung dua makna coblong, yang pertama bermakna gorong-gorong, yang kedua bermakna wadah air berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat. Keduanya bisa berhubungan dengan pembangunan instalasi pembangkit listrik di Bengkok dan Dago (Cikalapa) serta pembuatan penampungan dan saluran pipa-pipa air di wilayah itu. Dalam buku karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, ada cerita mengenai bupati Wiranatakusumah IV yang senang menyamar dan blusukan ke kampung-kampung. Salah satunya adalah mengunjungi Kampung Coblong dan menginap di sana. Dari sinilah didapatkan cerita tentang bagaimana warga kampung sering padago-dago untuk bersama-sama mengadakan perjalanan ke Dayeuh Bandung.

Simpang

Di selatan Dago dan Coblong, ada nama daerah yang juga sudah lama ada, yaitu Simpang. Kawasan ini membentang cukup luas, kira-kira berbatasan dengan Lebakgede (Babakan Siliwangi sekarang) di sebelah barat, dipisahkan oleh ruas utama Jalan Dago, Sekeloa dan Ciheulang di sebelah timur, Dago-Coblong di sebelah utara dan Balubur di sebelah selatan. Jadi nama Simpang yang disematkan pada Dago-Simpang sebenarnya tidak praktis mengacu pada simpang jalan antara Jl. Dago – Jl. Siliwangi – dan Jl. Dipatiukur seperti yang terlihat sekarang. Usianya jauh lebih tua daripada persimpangan yang baru mulai terbentuk belakangan itu, kemungkinan menjelang tahun 1940, sedangkan pasarnya, baru muncul kemudian hari. Menurut informasi dari sebuah jurnal, Pasar Simpang Dago baru dibangun permanen pada tahun 1949 (“Arahan Perluasan Kawasan Pasar Simpang Dago Berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota Bandung,” dalam Bandung Conference Series: Urban & Regional Planning. Vol.3 No.2, 2022. Deby Shafa Anifa, Ira Safitri Darwin. Unisba, 2023).[1]

Dago 141

Tempat terakhir yang menjadi tempat ngadongengkeun Dago ini adalah lokasi sebuah rumah yang beralamat di Jalan Dago No.141. Rumah tua ini rupanya menarik perhatian tim TERAP karena membaca salah satu artikel lama (2013) di website Aleut yang ditulis oleh Hani Septia Rahmi dan Atria Dewi Sartika. Ada ketertarikan pada cerita bangunan-bangunan tua yang dulu masih berserakan di sepanjang Jalan Dago dan kini sudah semakin susut jumlahnya. Salah satu yang masih dapat ditemui adalah sebuah rumah yang agak tersembunyi, harus masuk agak jauh ke dalam dari jalan raya Dago.

Dulu beberapa rekan Komunitas Aleut memang berkawan dengan pemilik rumah tersebut, Pak Iwan, kalau tidak salah seorang arsitek yang tergabung dalam Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB). Bahkan Pak Iwan sempat beberapa kali mengukti kegiatan Ngaleut, salah satunya ke Kampung Mahmud bareng alm. Pak Budi Brahmantyo.

Menurut Pak Iwan, rumahnya itu sudah berdiri tahun 1914, jadi enam tahun sebelum kampus THS (ITB) dibangung. Ada sebuah foto angkasa yang menunjukkan keberadaan rumah tersebut di sisi timurlaut kampus THS pada tahun 1925. Melihat bentuk bangunannya saat ini, sepertinya sudah ada beberapa perubahan dalam penampakannya, tapi yang penting masih terawat dengan baik, masih dapat dilihat, dan dikaji oleh generasi berikutnya. Apalagi bila memerhatikan kondisi bangunan-bangunan tua saat ini yang sudah banyak mengalami perubahan drastis dari bentuk aslinya, sebagian bahkan musnah, seperti satu bangunan di seberang jalan yang musnah terbakar setahun lalu, atau rumah lainnya yang terletak lebih ke utara, musnah dan berganti menjadi sebuah minimarket.

Sebagai bonus, seluruh rombongan juga mampir ke lokasi bangunan kembar tiga, Drie Locomotieven. Dua bangunan di sisi utara terlihat masih cukup baik, walaupun sudah mengalami beberapa perubahan. Yang di tengah terlihat dalam kondisi yang bagus, rapi, dan bersih. Yang menyedihkan, bangunan yang terletak paling bawah (selatan), tampak sakit-sakitan seperti menjelang ajal. Dengan sekian banyak peminat bangunan kuno atau bangunan cagar buda, banyak ahlinya, bahkan konon ada peraturannya, ternyata salah satu bangunan yang sering dibicarakan orang bila membahas soal bangunan tua di Bandung ini – bahkan merupakan salah satu jejak karya arsitek penting di Bandung baheula, AF Aalbers – ternyata bisa pelan-pelan rusak di depan mata. ###

[1] https://proceedings.unisba.ac.id/index.php/BCSURP/issue/view/101

Dongeng Bandung #3 : Bandoeng Waktoe Itoe

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Minggu, 29 Juni 2025

Kira-kira sepuluh tahun belakangan ini di Bandung banyak bermunculan kelompok-kelompok penyelenggara wisata kota dengan moda utama berjalan kaki atau walking tour. Tema bahasannya relatif sama, sejarah kota Bandung. Semua berlomba membuat bentuk promosi atau kemasan yang dianggap menarik atau dianggap istimewa. Kemasannya mungkin sedikit berbeda, ada yang ditambah dengan kendaraan untuk menjangkau tempat-tempat yang relatif agak jauh, atau kadang menggunakan Bandros, ada yang menambahkan porsi kunjungan lebih banyak tempat-tempat kuliner, ada yang merancang rute panjang, ada juga yang pendek-pendek saja, kadang hanya kunjungan ke satu gedung atau satu lokasi spesifik saja. Meriah betul.

Puncak perkembangan kegiatan ini terjadi justru pada masa pandemi Covid-19 lalu. Ketika kota dilanda bukan hanya oleh virus, tapi juga oleh berbagai peraturan pembatasan kegiatan luar ruangan. Pengumuman demi pengumuman bermunculan: jaga jarak, work from home (WFH), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang terdiri dari beberapa level, dan seterusya. Berbagai pembatasan ini membuat orang lebih aktif dengan gadget dan media sosial. Banyak akun media sosial baru dengan bahasan seputar sejarah populer, termasuk di Bandung. Ketika pandemi surut, akun-akun ini menjelma nyata dan turun ke lapangan meramaikan kegiatan sejarah populer Kota Bandung.

Cakupan wilayah kegiatan kelompok-kelompok penyelenggara wisata ini tidak Cuma di dalam kota Bandung saja, tapi juga merambah ke kawasan sekitarnya, Cimahi, Cililin, Ciwidey, Pangalengan, Jatinangor, Lembang, Subang, Sumedang, Garut, dst. Lebih kurang sedikit lebih luas dari apa yang dulu disebut sebagai Bandung Raya.

Sebagian dari kelompok-kelompok ini mampu mengadakan kegiatan sampai beberapa tahun, sebagian lainnya bertumbangan dalam waktu singkat. Ada juga yang mengatur jeda waktu kegiatannya agar bisa bertahan lebih lama, atau mengubah dan menggabungkan kegiatannya dalam bentuk-bentuk lain, misalnya dengan aktivasi media sosial. Dengan perkembangan AI sekarang ini, banyak juga yang membuat video-video suasana tempo dulu dengan modal sebuah atau beberapa file foto digital yang hasilnya benar-benar seperti rekaman video tempo dulu. Bila tidak jeli menontonnya, orang bisa tersesat menganggapnya sebagai rekaman asli,

Berbarengan dengan perkembangan kegiatan yang barusan dibicarakan, berkembang juga penerbitan buku-buku sejarah populer, khususnya yang berkaitan dengan Bandung. Entah sudah berapa banyak buku sejarah populer Bandung yang terbit dalam rentang waktu sepuluh tahun belakangan ini. Sebagian besar sudah tersedia di rak-rak buku Perpustakaan Rasia Bandoeng, sisanya masih dalam proses pencarian dan pengumpulan.

Continue reading

Dongeng Bandung #4: Ngaleut Pendopo

Oleh: Dongeng Bandung

Pendopo Kota Bandung, Sabtu, 28 Juni 2025

Tidak perlu tinggal terlalu lama di Kota Bandung untuk mengalami bagaimana kota ini berubah dengan cepatnya. Yang baru tinggal satu-dua tahun belakangan saja mungkin sudah dapat menyampaikan hal-hal yang hilang, tumbuh, berganti, selama tinggal dalam waktu yang singkat itu. Perubahan pesat seperti ini sudah dimulai sejak dekade pertama tahun 1900-an ketika Bandung dipersiapkan untuk menjadi ibu kota Hindia Belanda menggantikan Batavia yang keadaan lingkungannya dianggap sudah semakin buruk.

Memasuki dekade kedua, Kota Bandung mengalami pembangunan fisik besar-besaran. Komplek-kompleks perumahan dibangun di mana-mana mengisi ruang-ruang yang masih dianggap kosong atau persawahan yang masih membentang luas di seantero kota. Seperti apa kosongnya, mungkin bisa dikutipkan satu cerita dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (Haryoto Kunto, Granesia, 1986). Pada tahun 1934, Pangeran Paribatra Sukhumbhand menjalani pengasingan di Kota Bandung setelah terjadinya kudeta di Kerajaan Thailand. Di kota ini Paribatra memilih satu lokasi di tengah persawahan di ujung utara Jalan Cipaganti sekarang dan dengan bantuan arsitek van Lugten mendirikan rumah-villa di sana. Diceritakan bahwa dari teras rumah itu orang masih dapat samar-samar melihat puncak Pendopo Kabupaten dan menara Masjid Agung di Alun-alun. Pengalaman seperti cerita ini sudah lama tidak mungkin dialami lagi oleh warga kota karena pembangunan fisik yang pesat, terutama setelah masa kemerdekaan.

Salah satu kawasan yang cukup sering mengalami perubahan fisik adalah Alun-alun Bandung, sampai dalam waktu yang lama ada ungkapan bernada pasrah dalam masyarakat Bandung: Ganti walikota, ganti wajah Alun-alun. Pasrah, karena hanya beredar dalam bentuk pemahaman saja, tidak ada nada protes atau melawan. Pasrah, karena sadar tidak dapat berbuat apa-apa. Pasrah, bahkan ketika akhirnya beberapa tahun lalu Alun-alun bahkan hilang dari kota Bandung. Selain itu, terjadi juga pengaburan makna dengan dibangunnya paling sedikit dua Alun-alun lain di Kota Bandung, satu di Cicendo dan satu di Regol.

Continue reading

Dongeng Bandung #2: Riwayat Alun-alun Bandung

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Minggu, 22 Juni 2025

Ariyono Wahyu alias Alex Ari alias Alek membuka cerita hari ini dengan beberapa kutipan dari buku legendaris karya Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Kota Bandung, lebih kurang seputar makna Alun-alun yang di dalam buku tersebut diceritakan melalui obrolan antara sang penulis yang saat itu berstatus sebagai mahasiswa dengan dosennya, Prof. Ir. V.R. van Romondt, seorang guru besar mata kuliah arsitektur di ITB. Haryoto Kunto tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri ketika van Romondt bertanya, “Apa artinya Alun-alun?”

“Alun…, apakah artinya ombak lautan?”

Van Romondt membenarkan jawaban Haryoto Kunto, tapi kemudian muncul pertanyaan lanjutan, apa hubungannya ombak lautan dengan lahan terbuka di tengah kota, sehingga dinamakan Alun-alun? Lalu, dimulailah kisah mengenai berbagai macam pengertian Alun-alun sejak awal dan perkembangannya hingga sekarang.

Van Romondt, yang namanya kemudian hari dikenal juga karena memimpin pemugaran candi di kompleks Prambanan (1937), mengatakan bahwa pada dasarnya Alun-alun adalah halaman yang sangat luas di depan rumah. Pada masyarakat feodal, hanya para penguasa seperti raja, bupati, wedana, atau camat, saja yang memiliki rumah tinggal dengan halaman yang luas. Halaman yang luas ini biasanya menjadi pusat kegiatan masyarakat di sekitarnya, dengan kata lain, halaman itu menjadi jantung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Kata Haryoto Kunto, fenomena ini sudah terjadi sejak zaman Hindu, ingat saja keberadaan Alun-alun Bubat di depan istana Kerajaan Majapahit.

Dalam sebuah podcast di Komunitas Bambu, Marco Kusumawijaya, penulis buku Kota-Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak (Kobam, 2023), menjelaskan tata letak Alun-alun pada masa Majapahit, yaitu bahwa sisi barat dan timur Alun-alun diisi oleh candi Budha dan Hindu beserta tempat tinggal mereka. Tata letak seperti ini masih dilanjutkan pada masa Islam dengan menempatkan masjid di sisi barat Alun-alun.

Untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai makna awal penamaan Alun-alun, Haryoto Kunto mengutip keterangan dari buku Geschiedenis van Indonesia (H.J. de Graaf, 1949) yang mengisahkan suatu kegiatan rutin di Mataram yang disebut rampogan, sebuah tontonan yang terbuka untuk disaksikan oleh rakyat banyak, yaitu pertarungan sengit antara para prajurit Mataram, dengan perlengkapan tombak dan berbaris membentuk pagar, dengan seekor harimau lapar yang dilepas di tengah lapang.

Disawang dari atas panggung, pengunjung yang mbludak membanjiri lapang depan istana, memberi kesan bagaikan gerak ombak lautan! Sehingga orang kemudian mengasosiasikan lahan luas itu dengan Alun-alun, alias ombak lautan. Begitu kisah Van Romondt, tentang asal-usul nama Alun-Alun, yang menjadi ciri “jantung” kehidupan kota tradisional di Jawa.

Kegiatan rampogan di Alun-alun Mataram. Seekor macan dilepaskan kemudian dikepung prajurit bertombak. Terlihat Sang Raja duduk bersama pembesar Kompeni. Gambar dari buku Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Pada masa itu, Alun-alun baru terisi oleh tiga komponen utama saja, yaitu istana raja (atau bupati), rumah patih, dan pasar. Perubahan paling besar terjadi pada masa Gubernur Jendral Herman Willem Daendels yang membangun sistem jalan raya pos menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa. Daendels membuat patok-patok (paal) dengan jarak antara 15 km, 30 km, sampai 60 km, untuk menghubungkan kota-kota. Ini menjelaskan kenapa ada kesamaan jarak antara Bandung dengan kota-kota besar terdekatnya, seperti Sumedang, Garut, dan Cianjur, yaitu 60 km.

Continue reading

Mendengarkan Dongeng tentang Alun-alun Bandung dari Dulu hingga Kini bersama Komunitas Aleut

Oleh: Reza Khoerul Iman / Bandung Bergerak

Repost dari Bandung Bergerak. Tulisan aslinya bisa lihat di sini.

Suasana selatan Alun-alun Kota Bandung tempo dulu di dekat pendopo Bandung. (Sumber KITLV 1400371)

BandungBergerak.id – Lima buku tentang Bandung tertumpuk di bangku kecil di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung. Ukurannya beragam, dari yang besar dan tebal sekali hingga yang ringkas. Di hadapan tumpukan itu, pada Minggu sore yang terik, 22 Juni 2025, Alex Ari bersiap memulai kegiatan Dongeng Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut untuk menceritakan kisah Alun-alun Bandung.

Ketika berbicara soal Alun-alun Bandung, sebagian orang mungkin langsung membayangkan hamparan rumput sintetis di depan Masjid Raya. Yang lain, mungkin justru teringat kenangan masa kecil saat mereka berlari-lari di antara kerumunan, membeli jajanan kaki lima, atau sekadar rekreasi bersama keluarga sambil melihat air mancur yang dinyalakan dan dihiasi lampu-lampu.

Namun, di balik keriuhan dan wajah barunya hari ini, Alun-alun Bandung menyimpan banyak kisah lama yang jarang terungkap. Kisah tentang bagaimana ruang ini dulu jadi pusat keramaian, tempat diselenggarakannya rapat-rapat besar, juga ruang untuk menonton, olahraga, berdagang, bahkan mengeksekusi hukuman.

Itulah yang coba dihadirkan oleh Komunitas Aleut melalui program “Dongeng Bandung” untuk menceritakan kembali memori dan cerita sejarah dari sudut-sudut kota yang akrab namun sering terlupakan sisi sejarahnya. Pertemuan di Minggu sore itu sudah menjadi pertemuan kedua.

Alex Ari, pegiat Komunitas Aleut, menceritakan bahwa konsep alun-alun sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan, terutama di pulau Jawa. Sebagai contoh di depan istana Kerajaan Majapahit terdapat alun-alun Bubat, bahkan alun-alun secara khusus disebutkan sebagai bagian penting dari ibu kota Kerajaan Mataram.

“Itu fenomena di kota-kota di pulau Jawa, dari kota besar setingkat ibu kota kerajaan sampai ke mungkin setingkat dulunya kawadanaan atau kecamatan gitu. Bahkan mungkin kalau yang desa atau desanya cukup besar mungkin di situ juga ada ada alun-alun,” tuturnya kepada para peserta yang hadir di program Dongeng Bandung, Minggu, 22 Juni 2025.

Kata alun-alun, lanjut Alex Ari, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Jawa yang artinya ombak lautan. Makna “gelombang lautan” ini berakar dari sebuah kegiatan tradisional yang diselenggarakan di alun-alun ibu kota Kerajaan Mataram yang dikenal dengan nama Rampogan. Tradisi ini adalah atraksi di mana macan dilepaskan di tengah alun-alun, lalu diburu oleh prajurit-prajurit yang mengelilinginya. Rakyat biasa juga diizinkan untuk menyaksikan kegiatan ini. Apabila dilihat dari kejauhan, terutama dari ketinggian atau dari tempat raja duduk, gerakan lautan manusia yang memburu macan tersebut akan tampak menyerupai ombak lautan yang bergulung-gulung.

Namun seiring berjalannya waktu makna alun-alun kemudian bergeser. Dalam buku Haryoto Kunto yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya, Prof. van Romondt (1962) menuturkan bahwa pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah para penguasa, raja, bupati, wedana dan camat. 

“Sedangkan pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ihwal pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan, semua terselenggara di seputar istana sang penguasa (Lewis Mumford, “The City in History”, 1961).” Terang sang Kuncen Bandung, sebutan Haryoto Kunto, dalam bukunya.

Sementara itu makna alun-alun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tanah lapang yang luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati dan sebagainya.  Lalu–setelah sistem kerajaan atau feodal lenyap–makna alun-alun kembali bergeser dan berubah bentuk tidak lagi berupa lahan kosong berumput, melainkan sudah dibangun menjadi sebuah taman dengan air mancur dan pot bunga, berfungsi sebagai tempat rekreasi dan olahraga pada Minggu pagi.

Diskusi Dongeng Bandung tentang Alun-alun Bandung yang diselenggarakan Komunitas Aleut di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung, 22 Juni 2025. (Foto Reza Khoerul Iman BandungBergerak)

Komponen dan Fungsi Alun-alun

Kalau kita memperhatikan kawasan alun-alun di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, atau Solo dengan detail, di sekelilingnya selalu ada bangunan-bangunan khas seperti pendopo, masjid agung, dan pasar. Bukan tanpa sebab, Alex Ari menerangkan bahwa bangunan-bangunan tersebut sudah menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan tata ruang kota tradisional yang disebut catur gatra (empat unsur).

“Di Lembang juga sama ada alun-alun Lembang, ada masjid agungnya, pasar, dan ada rumah penguasa lokalnya. Atau katakanlah kota lain Sumedang, Garut, atau Cianjur bisa dilihat juga hampir sama gitu ya. Ada masjid agung, alun-alun, rumah bupati, dan pasar. Empat unsur itu yang dinamakan catur gatra,” jelasnya.

Bangunan masjid baru masuk ke dalam komponen catur gatra setelah ajaran Islam menyebar di Nusantara. Haryoto Kunto dalam bukunya menyebut hanya ada tiga komponen saja yang melengkapi alun-alun, misalnya pada zaman Hindu di Alun-alun Bubat yang terletak di depan istana Kerajaan Majapahit hanya ada bangunan istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar yang menghiasi alun-alun. 

Kemudian kehadiran kompeni Belanda yang menjajah Nusantara turut memberikan perubahan terhadap warna, bentuk, dan corak baru dalam tata kota di sekitar alun-alun.

“Setelah Daendels rampung membangun Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan yang menelan korban 30.000 “koeli priboemi”, tiga komponen baru mengambil tempat di sisi alun-alun. Loji (kantor dagang) kompeni yang terletak berhadap-hadapan dengan pendopo kabupaten, kantor pos dengan kandang kuda di halaman belakangnya, dan sebuah bui atau penjara,” tulis Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Secara umum fungsi alun-alun digunakan sebagai ruang publik dan pertemuan. Masyarakat sering bersantai, berkumpul, dan berdagang di sana hingga hari ini. Namun secara historis alun-alun bukan hanya digunakan untuk ruang rekreasi. Dulu berbagai kegiatan seperti pertandingan sepak bola, atraksi tradisional seperti Rampogan, hingga tempat untuk melakukan hukuman juga pernah dilakukan di alun-alun.

Pertandingan sepak bola di Alun-alun Kota Bandung tempo dulu. (Sumber KITLV 13616)

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung memiliki sejarah panjang dan berbagai fungsi serta peran yang telah berubah seiring waktu. Usianya sudah setua Kota Bandung itu sendiri. 

Berawal dari perintah Daendels pada tahun 1810 untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot–yang kelewat jauh sekitar 11 kilometer di selatan Jalan Raya Pos–ke dekat lintasan tersebut.

Alex bercerita, setelah pencarian yang panjang Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, kemudian memilih lokasi sebidang lahan di sisi Jalan Raya Pos, di tepian barat kali Cikapundung (sekarang Alun-alun Bandung). Pemilihan lokasi ini dinilai ideal serta memenuhi syarat teknis dan mistik. 

“Ada berbagai, ya beberapa pertimbangan, khususnya menurut pertimbangan orang tua dahulu, sebuah tempat kediaman atau kampung itu harus memiliki apa yang dinamakan paguyangan badak putih gitu atau tempat berkubangnya badak,” tutur Alex.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan tata kota di Bandung, kawasan alun-alun juga menjadi semakin ramai, terutama di malam hari. Pusat-pusat kerja di masa itu masih tersebar jauh dari jantung kota, sehingga orang-orang baru bisa keluyuran di dalam kota ketika malam hari. 

Pada tahun 1920-an, pembangunan di sekitar alun-alun. Haryoto Kunto menyebut secara bertahap orang mulai mendirikan bangunan di sekitar alun-alun, salah satunya gedung pertunjukan serbaguna “feestterrein”. Gedung ini menyajikan beragam tontonan dan makanan. 

Selain itu, Alun-alun Bandung mulai sering digunakan untuk pertandingan sepak bola dan pertunjukan seni.

Pada awal 1970-an, orang mulai mendirikan bangunan bertingkat di alun-alun timur. Kemudian disusul berdirinya beberapa gedung bertingkat sebagai “shopping centre” di Jalan Dalem Kaum seperti Kings Centre, Parahyangan Plaza, lalu Palaguna Nusantara yang menyita lahan bekas bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Semakin padat dan maraknya pembangunan di sekitar Alun-alun Bandung membuat Haryoto Kunto khawatir soal masa depan. Ia bahkan menilai kalau pembangunan tidak bisa dikontrol ke depannya akan banyak gedung bertingkat dan terlihat semakin sesak.

“Alun-alun Bandung di masa depan, bakal makin berjubel dengan gedung bertingkat, apabila rencana untuk mendirikan bangunan bank di sisi barat Kabupaten (pendopo) jadi dilaksanakan,” ramal Haryoto Kunto dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1986.

Kenangan di Alun-alun Bandung

Sebagai “jantung kota”, Alun-alun Bandung merupakan tonggak bersejarah yang bisa banyak bercerita tentang suka-ria dan duka-nestapa warga kota sepanjang masa. Ia menyimpan banyak cerita warga dan momen-momen bersejarah yang telah berlangsung.

Alhta, salah satu peserta dan pegiat Komunitas Aleut, bercerita bahwa dulu bermain di Alun-alun Bandung adalah momen yang sangat dinantikan. Biasanya ia dengan keluarga akan berburu jajanan di halaman Masjid Agung Bandung. 

“Jika diingat-ingat, rasanya dulu lebih dekat dan hangat ketika di Alun-alun Bandung meskipun saya tidak kenal dengan orang-orang yang ada di sana. Biasanya saya dan keluarga juga sengaja main ke alun-alun saat bulan Ramadhan, tepatnya menjelang lebaran karena mau berburu baju lebaran,” kata Alhta kepada BandungBergerak.id.

Namun menurutnya Alun-alun Bandung sekarang sangat berbeda jauh dibandingkan dahulu. Sekarang walau lebih rapi dan bersih, tapi Alhta merasa kehilangan suasana meriah dan hangatnya. Ia juga belum pernah lagi masuk ke halaman Masjid Agung Bandung karena sering ditutup sehingga merasa segan dan tidak leluasa. 

Bagi banyak warga seperti Alhta, perubahan dan perkembangan di Alun-alun Bandung tak selalu seiring dengan perbaikan suasana. Bahkan bagi sebagian yang lain ada yang kehilangan dan merasa wajahnya sudah kian memudar.  Atau sebenarnya Bandung sudah tidak memiliki alun-alun lagi? seperti yang pernah ditulis oleh Ir. Suwardjoko Warpani M.Sc,. dalam Harian Pikiran Rakyat edisi 12 Oktober 1984 dengan judul “Sebenarnya, Bandung Sudah Tidak Punya Alun-alun”. ***

Dongeng Bandung #1 (2) : Junghuhn – Bukan Hanya Kina

Oleh: Dongeng Bandung

Tulisan berikut ini bukan milik kami, karena hanya merupakan salinan dari salah satu bab buku Bianglala Sastra; Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia karya Dick Hartoko (Penerbit Djambatan, 1985). Bab yang disalin ini berjudul “Bukan Hanya Kina,” satu tulisan mengenai Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1879). Seperti juga pada bab-bab lainnya yang menuliskan riwayat singkat tokoh-tokoh penulis Hindia Belanda ini, setiap bab tersebut memuat juga cuplikan pendek karya tulis dari tokoh bersangkutan dan diberi tanda “Fragmen”. Untuk Junghuhn, fragmennya diambil dari buku Jawa Jilid 1.

Dick Hartoko, yang namanya tercantum pada sampul buku ini juga sebenarnya bukanlah penulis murni buku ini, karena isinya sebenarnya merupakan penulisan kembali buku lain yang berbahasa Belanda, yaitu Oost-Indische Spiegel karya Rob Nieuwenhuys (Em. Querido’s Uitgeverij, BV, Amsterdam, 1972). Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam buku ini lebih mengutamakan yang memiliki minat pada bidang sastra dengan alasan bahwa mata seorang sastrawan sering kali lebih tajam daripada lensa seorang ilmuwan; bahwa mereka dapat lebih mendalam menghayati obyeknya, sehingga hasilnya bukan semata khayalan, melainkan hasil simpati dan empati karena turut menderita dan merasakan nasib rakyat yang dilukiskannya.

Kisah penulisan ulang buku karya Rob Nieuwenhuys ini dimulai dengan Sub-Panitia Pelaksana Perjanjian Kebudayaan Indonesia-Belanda pada tahun 1974 yang menanyakan kepada Dick Hartoko, apakah sanggup menerjemahkan atau menyadur isi buku Oost-Indische Spiegel. Yang mula-mula dilakukan adalah memilah isi buku berdasarkan relevansinya untuk kalangan pembaca Indonesia. Tidak semua isi dari karya asli, Oost-Indische Spiegel, dituliskan kembali, melainkan dipilih dengan kriteria a) turut mempengaruhi arus sejarah bangsa Indonesia, b) memberikan informasi mengenai sejarah bangsa, c) empati atau penghayatan mengenai alam dan masyarakat Indonesia, dan d) secara obyektif bermutu sastra.

Untuk keperluan pekerjaan ini, Rob Nieuwenhuys turut mengupayakan agar Dick Hartoko dapat berangkat ke Belanda dan mengadakan konsultasi langsung dengannya dengan tinggal di rumah Rob di Pondok Baru, Frisia Selatan. Rob memberikan keleluasaan penuh kepada Dick dalam pekerjaan ini, artinya, ada kebebasan untuk merombak, menyadur, dan mengubah buku aslinya, asal hasilnya menjadi cukup menarik bagi para pembaca di Indonesia saat itu. Jadi tak perlu heran bila satu waktu nanti membaca buku asli karya Rob dan membandingkannya dengan karya Dick ini, ditemukan ketidaksesuaian dengan buku asalnya, Oost-Indische Spiegel.

Bukan Hanya Karena Kina

F.W. Junghuhn (1809-1864)

Continue reading

Dongeng Bandung #1 (1) : Junghuhn dan Kang Malik

Oleh: Dongeng Bandung

Perpustakaan dan Toko Buku “Rasia Bandoeng”, Kamis, 19 Juni 2025

Malam itu kami kedatangan seorang teman. Teman yang secara virtual sudah kami kenal cukup lama, tapi dalam dunia nyata, malam ini adalah kali pertama kami saling berjumpa. Namanya yang kami kenal, Kang Malik Ar Rahiem, sesuai dengan yang biasa tertera pada buku-bukunya. Dibandingkan dengan kebanyakan teman-teman yang hadir, badannya agak lebih besar dan lebih tinggi. Sejak masih di pagar, dan seterusnya, Kang Malik selalu terlihat riang, sekaligus menandakan bahwa malam ini akan berlangsung menggembirakan.

Belakangan, Kang Malik menjadi cukup populer di antara kami. Tulisan-tulisannya, baik di blog (yang saat ini sedang tidak aktif), atau dari buku-bukunya, serta beberapa video pendek yang sering beredar di sana-sini, sering menjadi bagian dari perbincangan kami. Tidak selalu karena aspek keilmuannya – yang memang tidak selalu mudah juga kami pahami – tapi lebih sering karena banyaknya nama yang biasa disebutkannya: nama-nama tokoh, baik penulis, pejalan, atau peneliti, di masa lalu yang pernah singgah, tinggal, atau bekerja, di wilayah Priangan. Dari semua itu, yang terpenting bagi kami adalah nama-nama tempat. Setiap nama tempat yang disebutkan, selalu seperti yang memanggil-manggil untuk kami kunjungi. Begitulah yang terjadi, ada paruh-paruh waktu belakangan ini kami momotoran ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya dan kebetulan disebutkan oleh Kang Malik. Misalnya momotoran ke Cililin seperti yang bisa dibaca di sini atau ini.

Jalur jalan yang harus ditempuh menuju Gunung Buleud, Cililin. Foto: Komunitas Aleut.
Puncak Batu Nini atau Batu Candi di Gunung Buleud (Bulut) ketika Momotoran Cililin pada tahun 2024 lalu. Foto: Komunitas Aleut.

Entah bagaimana mulanya, masih di awal obrolan, Kang Malik bercerita tentang sebuah tempat bernama Garung, sebuah tempat terpencil di dekat pantai selatan Garut. Dalam buku Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java (Franz Junghuhn, 1854) yang diterjemahkan oleh Kang Malik Ar Rahiem menjadi buku Cahaya dan Bayang-bayang dari Jawa (Muhammad Kang Malik Ar Rahiem, 2025), nama tempat Garung itu diterangkan begini: Desa kecil, terletak di selatan Kabupaten Garut, sekitar 20 km arah utara dari Cagar Alam Leuweung Sancang di pantai selatan Garut. Desa ini terletak di sisi barat Ci Kaengan.

Dalam buku ini, Junghuhn membuka tulisannya dengan sebuah babak berjudul “Garung”: Kami tiba di Garung setelah perjalanan yang sangat melelahkan melewati gunung dan lembah. Bawaan kami terbagi menjadi beberapa koper kulit yang tidak begitu berat, sehingga bisa dipikul di pundak atau di kepala dengan satu tangan. Para kuli, orang-orang Jawa dari Gintung yang berangkat tadi pagi, masih tertinggal di belakang. Padahal mereka berangkat lebih awal dari kami karena membawa barang-barang. Ketika kami menyusul mereka, mereka sedang tidur-tiduran di rumput, berteduh di bayang pohon bambu. Beberapa dari mereka sedang tidur siang, ada yang pintar menggunakan koper kulit sebagai bantal. Beberapa yang lain sibuk melinting rokok dengan tembakau dan daun jagung.

Buku Cahaya dan Bayang-bayang  dari Jawa yang baru saja menjadi koleksi perpustakaan kami. Buku Franz Junghuhn: Berkelana di Pulau Jawa (1835-1839) sementara ini masih berstatus wishlist.
Continue reading

Pendirian Lembaga untuk Orang Buta di Bandung (Het Blinden-Instituut/Wyata Guna)

Oleh: Aditya Wijaya

Tulisan ini untuk melengkapi apa yang sudah pernah ditulis oleh rekan-rekan saya terdahulu di Komunitas Aleut. Dapat dibaca di sini dan di sini.

Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën

Jauh sebelum tahun 1900 di Amsterdam, Belanda, sudah ada sebuah perkumpulan yang hirau pada keadaan orang buta, namanya Vereeniging tot verbetering van het Lot der Blinden in Nederland en zijne Koloniën (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Belanda dan Jajahannya). Hingga saat itu, kegiatan perkumpulan ini hanya terbatas di negeri Belanda saja.

Pada tahun 1900, Bapak Lenderink, Direktur Institut Pendidikan Tunanetra di Amsterdam, menerbitkan sebuah brosur yang menyatakan dengan data-data bahwa jumlah tunanetra di Hindia sangat besar, namun tidak ada tindakan apa pun bagi mereka yang malang ini, dan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan buruk ini adalah dengan mendirikan suatu lembaga, yang pertama-tama, memberikan pendidikan kepada anak-anak Eropa yang buta atau yang statusnya disamakan dengan mereka, dan kedua, sebagai sekolah keterampilan bagi masyarakat pribumi.

Lenderink kemudian mengajukan permohonan kepada Menteri Koloni saat itu, J.F. Cremer, yang segera membentuk sebuah komisi di Hindia yang terdiri dari para pejabat tinggi dan warga sipil untuk menyelidiki apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki nasib orang buta di tanah jajahan ini. Namun komisi ini tidak pernah mengadakan pertemuan dan juga tidak menyusun laporan apa pun.

Pada bulan Juni di tahun yang sama, Dr. Westhoff, yang pantas disebut sebagai “sahabat para tunanetra”, mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal dengan permohonan agar pemerintah mempertimbangkan secara serius pendirian sebuah institut untuk orang buta di Bandung.

Saat itu, Residen Priangan belum memberikan rekomendasi yang mendukung pendirian tersebut, dan mengemukakan alasan-alasan yang kelak terbukti keliru. Ia menyatakan bahwa inisiatif pendirian institut lebih cocok dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan amal. Petisi ini pun akhirnya tidak dipenuhi.

Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederlands Indië

Sementara itu, perkumpulan di negeri Belanda menyediakan dana sebesar 10.000 gulden untuk memulai lembaga ini dalam skala kecil. Dr. Westhoff menerima tawaran pembentukan sebuah komite; ia pun berdiskusi dengan Residen Priangan, Jhr. Van Benthem van den Bergh, dan Pendeta Van Lingen, yang keduanya menyatakan kesediaan untuk membantu.

Setelah itu, dicari dukungan dan ditemukan dari orang-orang cukup berpengaruh, sehingga pada Mei 1901 dapat diadakan rapat yang kemudian mewujudkan pendirian Vereeniging tot verbetering van het lot der Blinden in Nederl. Indië (Perkumpulan untuk memperbaiki nasib orang buta di Hindia Belanda) mulai 1 Juli 1901 untuk jangka waktu 29 tahun. Bandung ditetapkan sebagai tempat kedudukan perkumpulan ini. Dalam kepengurusan ini, Jhr. Th. Van Bentehem van den Bergh menjabat sebagai ketua dan Dr. Westhoff terpilih sebagai wakil ketua. Lalu ada E.H. Carpentier Alting, seorang notaris, sebagai bendahara.

Continue reading

Dari Eldert Verschooff ke Francois Soesman

Aditya Wijaya. Komunitas Aleut.

Ada dua tulisan belakangan ini yang baru saja kami sadari ternyata memiliki keterkaitan. Yang pertama tentang seorang tokoh Bandung, F.J.H. Soesman yang ditulis oleh Aditya Wijaya dan yang kedua tentang Apotek Preanger ditulis oleh Irfan Pradana. Dalam tulisan tentang Apotek Preanger, sudah diceritakan bahwa seorang apoteker dalam dinas militer bernama  Eldert Verschooff (1853-1916) datang ke Bandung dan membuka sebuah apotek di Jalan Braga.

Koran Java-bode edisi 10 November 1883 memuat iklan pembukaannya dengan keterangan bahwa apotek tersebut mulai beroperasi pada 1 November 1883. Dalam iklan itu, Verschooff menyampaikan permohonan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat terhormat di Karesidenan Priangan. Seperti sudah dituliskan sebelumnya, lokasi Preanger Apotheek disebutkan berada di sudut antara Parkweg dan Kerklaan, yang dalam peta sekarang, di lokasi ini berdiri Gedung Kerta Mukti.

Alamat Preanger Apotheek yang disebut di atas tampaknya berlangsung sampai tahun 1912 saja, paling tidak itu data yang dapat ditemukan lewat iklan-iklan di koran De Preanger-bode. Sejak tahun 1912 iklannya menyebutkan alamat di Bragaweg 45 yang lokasinya lebih ke selatan, agak di tengah-tengah Jalan Braga sekarang. Masih berdasarkan rangkaian iklan di De Preanger-bode, sejak tahun 1915, alamat iklan apotek ini pindah lagi ke Bragaweg 59 dan sepertinya di lokasi inilah akhir dari perjalanan Preanger Apotheek pada tahun 1917, karena pada akhir tahun yang sama, Bragaweg 59 sudah ditempati oleh sebuah salon yang dikelola oleh Mevr. Ockhuijzen, dan dua tahun berikutnya sudah ditempati oleh perusahaan perakitan mobil, Fuchs en Rens.

Eldert Verschooff meninggal pada 23 November 1916 dalam usia 63 tahun. Beberapa bulan kemudian, 1 Maret 1917, Preanger Apotheek pun berhenti beroperasi dan perusahaannya dibeli oleh sebuah perusahaan kimia dari Batavia (De Preanger-bode, 1 Maret 1917).

Continue reading

Catatan Perjalanan Momotoran Sumur Bandung

Oleh Komunitas Aleut

Catatan ini sebenarnya sudah selesai ditulis dua bulan lalu, tapi baru sempat diunggah sekarang.

Beberapa hari lalu, seorang kawan di Komunitas Aleut mengirimkan sebuah video yang menampilkan rekaman sebuah sumur yang terletak di lahan kosong bekas bangunan Palaguna. Sumur itu dipagari dan diberi papan penanda bertuliskan Cagar Budaya. Video itu menimbulkan reaksi dari kami.

Wah, kayanya salah itu. Bukan di situ letak sumur keramatnya, tapi di depan.” Ujar salah seorang kawan.

Keberadaan sumur keramat tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Kota Bandung. Meski begitu informasi mengenai keberadaan sumur ini masih terbatas. Masyarakat umumnya hanya mengetahui satu sumur saja, yakni yang berada di dalam gedung PLN di Asia Afrika. Padahal setidaknya ada 7 buah sumur yang bisa disebut sebagai sumur keramat, dan salah satunya yang berada di lahan bekas gedung Palaguna. Informasi mengenai sumur-sumur lain bisa dibaca di sini.

Berawal dari video kiriman inilah diskusi di dalam grup terjadi. Kesalahan penetapan ini kami kira cukup fatal di tengah semakin membanjirnya informasi sejarah kota. Maka untuk memastikannya, saya dan seorang kawan coba mendatangi sumur tersebut.

Kami berangkat ba’da asar menuju lokasi bekas Palaguna yang kini sudah beralih fungsi menjadi lahan parkir. Saya mendatangi dulu lokasi sumur yang “benar” karena letaknya persis di lokasi parkir kendaraan saya. Beginilah kondisi sumur keramat yang “benar” itu sekarang. Boro-boro ditandai sebagai Cagar Budaya, dirawat saja rasanya tidak.

Dokumentasi: Ainayah (Komunitas Aleut)

Kami mengobrol dengan seorang pengamen yang tengah beristirahat di sebelah sumur. Ia bercerita sering mendengar suara-suara aneh dari dalam sumur terutama di malam hari. Ia dan teman-temannya memang sering menghabiskan malam, atau begadang di lokasi dekat sumur itu.

Dari sana kami melanjutkan perjalanan menuju sumur yang “salah”. Menurut keterangan pengamen tadi, kami harus meminta izin ke satpam penjaga gerbang untuk melihat sumur tersebut. Kami pun bergegas menuju gerbang, di sana seorang satpam tengah menjaga pintu. Saya pun meminta izin padanya untuk melihat sumur, tapi sayangnya dia menolak memberi izin, entah apa alasannya. Katanya dilarang oleh atasannya yang entah siapa. Aneh juga objek cagar budaya, di ruang publik, tapi tidak leluasa dikunjungi orang. Sembari merasa kecewa, hasil temuan itu saya sampaikan kepada kawan-kawan Aleut.

Sumur-sumur Lain Bernama Sumur Bandung

Diskusi mengenai Sumur Bandung terus berlangsung di antara kami. Pokok pembahasan yang menjadi fokus utama adalah nama “Sumur Bandung” itu sendiri. Ternyata nama ini tidak hanya digunakan untuk sumur keramat yang berada di Kota Bandung saja. Sumur Bandung juga dipakai di kota-kota lain seperti Cimahi, Cipatat, Cirebon, sampai Kediri, bahkan Lampung. Meski begitu kami belum menemui asal muasal penamaan ini.

Seorang kawan mencoba mencari informasi tentang keberadaan Sumur Bandung lain yang lokasinya berada di sekitaran Bandung Raya. Satu Sumur Bandung berada di kaki Gunung Lagadar, dan satunya lagi berada di Kampung Singapura, Cipatat. Informasi inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kami kali ini, ingin mendatangi langsung sumur-sumur dengan julukan yang sama itu, Sumur Bandung.

Sumur Bandung Lagadar

Sumur Bandung terdekat yang berada di sekitar Gunung Lagadar menjadi lokasi pertama yang kami sambangi. Sumur ini terletak di Kampung Cikuya, Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Sebelum menemui sumur, ada gapura dan jalan setapak ke dalam untuk masuk lebih ke dalam.

Sumber Foto: Irfan Pradana (Komunitas Aleut)
Continue reading

Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 3: Perkebunan Waspada, Muhamad Musa, Lasminingrat

Oleh: Komunitas Aleut

Perkebunan Waspada

Lokasi terakhir yang kami kunjungi di wilayah Cikajang adalah Perkebunan Waspada yang didirikan oleh Karel Frederik Holle tahun 1865. Seperti sudah diceritakan sebelumnya, perkebunan terletak di atas sebuah kampung tua bernama Ciburuy, dan menempati lereng sebelah baratdaya Gunung Cikuray. Nama Waspada diartikan padan dengan istilah bellevue atau clear view. Nama yang sangat jelas maknanya bila kita sedang berada di lereng Gunung Cikuray. Pemandangan yang sangat jernih, sangat cantik.

Sebagian kondisi jalur jalan di Waspada. Pada bagian yang ekstrem tidak berhasil membuat foto, apalagi rekaman video, karena harus konsentrasi menghadapi jalanan. Foto: Komunitas Aleut.

Nama yang menjanjikan kecantikan pemandangan itu ternyata berbeda jauh dengan pengalaman menjalankan motor menempuh jalanan tanah yang sempit dan seringkali becek dengan jejak ban yang cukup dalam. Jalan ini benar-benar sempit, sehingga bila berpapasan dengan motor lain, maka salah satu harus berhenti untuk mengatur posisi agar keduanya bisa lewat. Jalanan yang benar-benar membutuhkan kewaspadaan tingkat tinggi. Salah kemudi, jurang di sebelah kiri taruhannya. Jarak pendek, kurang dari 6 km yang semula kami duga tidak akan terlalu berat, nyatanya benar-benar terbalik. Sekali-dua kelurusan jalan motor harus dibantu oleh kedua kaki. Langka sekali bertemu dengan badan jalan yang rata, dan bila bertemu, kami gunakan sebagai kesempatan sejenak untuk menghela nafas. Potongan jalan terakhir yang menyusuri lereng di atas jurang ini masih dinamai Jalan Waspada.

Yang cukup menarik perhatian kami di kawasan ini adalah sama sekali tidak ada jejak yang dapat menunjukkan bahwa kawasan ini dulu dipenuhi oleh tanaman teh yang menghampar membentuk sebuah punggungan gunung yang oleh van der Tuuk disebut without doubt the most beautiful spot in Java, consisting of a tea garden laid out by Mr. Holle. Berdasarkan surat-suratnya, sangat mungkin van der Tuuk telah mengunjungi dan menyaksikan pemandangan indah ini paling sedikit dua kali.

Singkat cerita kami tiba di Kampung Waspada yang ternyata cukup padat. Rumah-rumahnya kebanyakan berbahan kayu. Jalur jalanan di antara rumah-rumah cukup sempit dan kontur tanah naik turun cukup curam. Di sebuah rumah yang ada warung dan halaman cukup luas untuk memarkikan motor, kami berhenti. Ada beberapa ibu-ibu sedang ngobrol dan tampaknya mereka cukup amazed oleh kedatangan kami, mungkin terlihat seperti mahluk-mahluk planet yang muncul tiba-tiba dari balik pepohonan.

Kampung Waspada di lereng Gunung Cikuray. Foto: Komunitas Aleut.

Segera kami cairkan suasana dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan santai, apakah ini Kampung Waspada? Apakah di warung ada kopi dan pop mie? Dan seterusnya. Dalam sekejap sudah terjadi lalu lintas obrolan yang sebagian besar diisi oleh kebingungan ibu-ibu yang tidak tahu apa-apa tentang apa pun yang kami tanyakan.

Continue reading

Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 2: Baron Baud, Karel Frederik Holle, Prasasti Cikajang

Oleh: Komunitas Aleut

Willem Abraham (Baron) Baud

Seluruh kompleks pabrik dan bangunan-bangunan yang tergambar dalam foto itu telah hilang musnah dalam waktu kurang dari 100 tahun. Begitu juga nama pemiliknya, Baron Baud, hanya terdengar samar saja.

Berdasarkan situs online genea.org, Baron Baud, atau lengkapnya, Willem Abraham Baud (1816-1879) adalah putra Jean Cretien Baud yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada periode 1833-1836. Ibunya bernama Wilhelmina Henriette Senn van Basel (1798-1831). Baud merupakan anak pertama dari pasangan ini, adik-adiknya berjumlah 10 orang.

Dalam buku Rumah Bambu; Koleksi Budaya Tani Tradisional Parahyangan karya H. Kuswandi Md, SH, diceritakan bahwa Baron Baud memulai karir perkebunannya dengan membuka perkebunan karet di daerah Bolang, Jasinga. Setelah menuai hasil, ia membuka kebun-kebun lainnya seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Keberhasilan usaha Baron Baud ternyata menimbulkan perselisihan dengan adik-adiknya, bahkan ada yang ingin menguasai perusahaannya, Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud.

Setelah sebuah pertengkaran hebat dengan saudara-saudaranya, Baron Baud yang sedang sangat marah pergi ke Buitenzorg dan menemui seorang pegawai catatan sipil bernama Meertens untuk membuat surat adopsi anak perempuan hasil hubungannya dengan seorang Nyai. Anak ini diberi nama Mimosa, mengambil dari nama tumbuhan yang biasa ditanam di bawah pohon karet untuk menjaga agar tidak tumbuh alang-alang di sekitarnya. Mimosa tetap tinggal di kampung bersama ibunya yang telah menikah lagi dengan seorang kusir kereta kuda.

Ketika Baron Baud meninggal, saudara-saudaranya kembali mengutik-utik soal harta kekayaan Baron Baud. Meertens yang membuatkan surat adopsi Mimosa segera mencarinya dan berhasil menemukannya serta membujuknya untuk ikut ke Batavia. Mimosa kala itu masih seorang gadis kecil sehingga tidak mungkin mengurus harta kekayaan warisan Baron Baud. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu menyarankan agar dilakukan perwalian dan ditunjuklah Horra Siccerna, seorang mantan Raad van Indie sebagai wali untuk Mimosa.

Mimosa kemudian pergi ke Belanda dan setelah dewasa menikah dengan seorang warga Denmark bernama Baron von Klitzing yang kemudian mengelola perusahaan warisan Baron Baud. Sebelum Perang Dunia II Mimosa meninggal dunia dan dimakamkan di Jatinangor, di sebelah makam ayahnya, Baron Baud. Anak Mimosa dari Baron von Klitzing pernah datang ke Indonesia pada tahun 1957 untuk mengurus perusahaan dan perkebunan warisan dari kakeknya.

Demikian kutipan dari buku Rumah Bambu, tidak ada informasi lainnya atau lanjutan yang lebih detail soal nasib perusahaan peninggalan Baron Baud. Kenangan masa lalu yang tersisa darinya mungkin hanya sebuah menara di kompleks ITB Jatinangor sekarang, orang menyebutnya Menara Loji. Sampai beberapa tahun lalu, orang masih dapat menyaksikan dua bongkah struktur tembok berbentuk makam dengan nisan yang sudah hilang. Entah, apakah saat ini dua makam itu masih ada di tempatnya atau juga sudah hilang tergusur pembangunan kawasan baru di sana?

Peta daerah Tandjoengsari berskala 1:20.000 dari arsip KITLV dengan nomor kode D G 15,10. Diterbitkan oleh Topographisch Bureau Batavia tahun 1909.

Menambahkan informasi di atas, dapat dilihat dalam cuplikan peta di atas bahwa di sekitar Menara Loji saat ini dahulu terpusat kegiatan perkebunan Jatinangor. Di situ terletak rumah administratur, pabrik, pasar, dan juga makam, yang berdasarkan cerita yang beredar, adalah makam Baron Baud.

Karel Frederik Holle (1829-1896)

Dengan perasaan agak kacau karena tidak berhasil menemukan jejak yang cukup berharga dari Pabrik Pamegatan, kami beranjak menuju tempat berikutnya, yaitu Perkebunan Cisaruni, untuk melihat replika monumen Karel Frederik Holle.

Pada tanggal 25 September 1843, Karel Frederik (KF) Holle, bersama saudara-saudaranya, yaitu Adriaan Walraven Holle, Albert Holle, Herman Holle, Albertine Holle dan Caroline Holle, turut kedua orangtuanya, pasangan Pieter Holle dan Alexandrine Albertine berlayar di atas kapal “Sara Johanna” yang di nakhodai oleh pamannya, Guillaume Louis (Willem) Jacques  van der Hucht, dari Belanda ke Pulau Jawa. Mereka tiba di Batavia tanggal 23 Februari 1844 setelah mengarungi lautan selama lima bulan penuh.

Rombongan ini adalah angkatan pertama dari keluarga ini yang kelak akan memberikan pengaruh besar dalam bidang perkebunan di Hindia Belanda. Janji kehidupan baru di negeri baru, Hindia Belanda, tidak semanis bayangan. Mereka memulai usahanya dengan membuka perkebunan di Parakansalak. Usaha yang sangat berat. Di tahun-tahun pertama, ada banyak anggota keluarga mereka yang meninggal dunia karena berbagai masalah kesehatan,termasuk istri dan beberapa anak van der Hucht, begitu juga dengan ayah Karel Frederik Holle. Kematian ayahnya membuat KF Holleh bersaudara diasuh oleh van der Hucht dan mengirimkan mereka ke Batavia untuk mendapatkan pendidikan privat bersama anak-anak gubernur jenderal JJ Rochusen.

Pada usia 18 tahun, KF Holle bekerja sebagai klerk di Kantor Residen Cianjur (1846-47), kemudian dipindahkan ke Directie van de Cultures dan akhirnya ke Directie van Middelen en Domeinen di Batavia (1847-1856). Pada tahun 1857, KF Holle diangkat menjadi administratur perkebunan teh di Cikajang. Di sini ia bekerja selama lima tahun sebelum akhirnya membuka perkebunan sendiri di lereng Gunung Cikuray. KF Holle seorang yang sangat cerdas dengan minat keilmuan yang luas. Di bidang perkebunan ia merintis sebuah model manajemen baru dengan melakukan pembinaan pada masyarakat sekitarnya.

Dengan bantuan keuangan dari NP van den Berg, direktur utama De Javasche Bank di Batavia, KF Holle membuka perkebunan yang dinamainya Waspada sebagai padanan dari kata Perancis, Bellevue. Kedekatannya dengan kalangan pribumi membuatnya sangat dikenal dan disukai oleh masyarakat sekitarnya. Perhatiannya terhadap kesejahteraan masyarakat sangat besar, ia menyediakan rumahnya di Waspada sebagai tempat belajar warga. Bahkan, Hasan Mustapa yang pernah menjadi Penghulu Besar Aceh dan Bandung pun di masa kecilnya sempat bersama warga lainnya belajar di rumah KF Holle. Hasan Mustapa sangat mengagumi KF Holle yang disebutnya selalu membela kepentingan rakyat kecil.

Karel Frederik Holle, theeplanter te Garoet KITLV 12544 (1892)

KF Holle memiliki banyak minat yang dikembangkannya sendiri, di antaranya bidang-bidang pendidikan, bahasa dan sastra, filologi, sampai arkeologi. Konon kefasihannya berbahasa Sunda melampaui kebanyakan orang Sunda sendiri, bahkan ia adalah inisiator dalam mempertahankan penggunaan bahasa Sunda yang saat itu banyak tergantikan oleh bahasa Jawa sebagai bahasa resmi. Ia menerbitkan banyak buku bacaan bahasa Sunda untuk pelajaran sekolah dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat.

Dalam bidang filologi, ia menerjemahkan naskah yang kini dikenal dengan nama Amanat Galunggung yang aslinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda kuno. Ia juga meneliti prasasti Kabantenan di Bekasi, Batu Tulis di Bogor, Geger Hanjuang di Tasikmalaya, prasasti Kawali, dan mempelajari serta menyalin sebuah peta tua yang sekarang dikenal dengan nama Peta Ciela. Dalam bidang pertanian, ia memberikan pelajaran tentang cara bersawah secara terasering, penanaman padi yang diberi garis caplak, dan membawa berbagai jenis sayuran serta benih kacang merah yang belakangan disebut sebagai kacang hola. Ia menerbitkan majalah berbahasa Sunda bernama Mitra Noe Tani yang dibagikan kepada para petani di Sumedang.  Di luar buku-buku, tulisan-tulisannya dalam berbagai bidang berjumlah lebih dari 200 buah.

Continue reading

Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 1: Kamojang, Pamegatan

Oleh: Komunitas Aleut

Mumudikan

Salah satu pengalaman perjalanan nebeng mudik dan arus balik tahun 2015. Foto diambil di jalur turunan gunung di antara Guci, Tegal dan Bumiayu. Engga ketemu keterangan lokasi persisnya. Foto: Komunitas Aleut.

Setiap momen Lebaran, biasanya sebagian penggiat Komunitas Aleut yang tinggal di Bandung dan tidak punya tempat mudik di luar kota, suka ikut-ikutan mudik ke mana saja yang dianggap bakal memberikan pengalaman perjalanan yang menyenangkan. Nebeng kampung temen. Yang dicari adalah pengalaman merasakan kepadatan jalan, kemacetan panjang, melibatkan diri dalam berbagai kesibukan dan keruwetan dalam perjalanan bersama banyak orang yang ketemu di jalan. Orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal.

Setiap Lebaran, memberikan dua kali pengalaman seperti ini, yaitu saat larut dalam arus mudik, dan dalam perjalanan kembali ke Bandung saat arus balik. Pilihan perjalanan ini bisa pendek, seperti ke Garut, Tasikmalaya, atau ke Cianjur, tapi bisa juga panjang, seperti ke Banten Selatan, Pangandaran, sampai ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Semua dilakukan dengan menggunakan motor-motor biasa, motor perkotaan, motor matic. Jadi tidak ada yang menggunakan motor-motor spesialis ini-itu.

Entah sejak kapan kebiasaan ini hadir di Komunitas Aleut, konon sih sudah sejak komunitas ini didirikan, kurang lebih dua puluh tahunan. Dalam arsip Komunitas Aleut ada cukup banyak catatan perjalanan mengikuti arus mudik dan arus balik ini. Ternyata pernah sampai menyusuri garis perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, mulai dari Brebes di Utara sampai Cilacap di selatan. Untuk ke Brebes, tentu saja harus dimotori dulu dari Bandung lewat Sumedang, Tomo, Majalengka, Jatiwangi, Palimanan, dan Cirebon. Begitu pula saat jalur kembali, dari Cilacap menempuh jalur jalan Kalipucang, Padaherang, Banjar, Singaparna, Mangunreja, Cilawu, Garut, dan akhirnya Bandung. Sepertinya ini jalur yang memutar-mutar. Entah seperti apa perjalanan saat itu, dalam situasi arus balik dan menempuh jalur yang memutar-mutar. Entah apa pula yang dipikirkan rekan-rekan Aleut saat itu.

Lebaran tahun ini, agak berbeda, karena hampir semua penggiat berpencaran pulan ke kampungnya masing-masing. Ada yang ke Ciwidey, Cianjur, Pangandaran, sampai ke Sumatra. Kami baru dapat berkumpul kembali di akhir minggu pertama bulan April, dan pada saat itu menyepakati untuk melaksanakan satu rencana tertunda, yaitu mencari beberapa jejak Karel Frederik Holle di wilayah Cikajang. Seperti biasa, tentu Holle bukanlah satu-satunya tujuan kami, selalu ada sampingan lainnya. Dalam catatan kami ada nama Baron Baud dan Perkebunan Pamegatan, Moh. Moesa dan Lasminingrat, sampai ke Hasan Arif, dll.

Sebenarnya sebagian tempat dan nama-nama yang jadi tujuan perjalanan kami hari ini sudah beberapa kali dikunjungi oleh rekan-rekan Aleut angkatan sebelumnya, kali ini kami hanya ingin memastikan beberapa hal sambil melihat perkembangannya saat ini. Di luar kunjungan pengulangan ini, ada juga beberapa hal yang memang baru didatangi oleh angkatan sekarang.

Kamojang Hill Bridge

Perjalan kami mulai pagi hari, langsug menuju Jembatan Kamojang, di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Membaca di wikipedia, jembatan kuning ini dibangun tahun 2016 dengan panjang 138 meter dan ketinggian 1180 mdpl. Di bawah, mengalir Sungai Ibun. Sejak dibangun sempat berulangkali menjadi viral, baik karena keindahan pemandangannya, maupun karena banyaknya peristiwa kecelakaan yang terjadi di sekitar jembatan ini. Dari arah kami datang, Majalaya, tanjakan di bagian akhirnya luar biasa curam dan panjang pula, motor kawan kami sempat kepayahan untuk naik. Dari arah sebaliknya, berupa turunan panjang yang konon saat hujan sering licin, dan katanya faktor ini yang menjadi sebab terjadinya sejumlah kecelakaan.

Read more: Catatan Perjalanan Cikajang Bagian 1: Kamojang, Pamegatan

Di area sekitar jembatan cukup banyak warung, dan hari ini terlihat sebagian besar dipenuhi oleh pengunjung. Setelah bergabung lagi dengan kawan-kawan yang terhambat oleh tanjakan, kami memilih untuk beristirahat di tempat yang agak tinggi setelah melewati jembatan, agar mendapatkan pemandangan yang lebih luas. Di sini dengan susah-payah kami coba mengidentifikasi beberapa gunung yang terlihat di sebelah utara.

Kawan-kawan Aleut sering menyebutnya sebagai Jambatan Bridge, entah bagaimana awal mula ceritanya bisa memberikan nama seperti itu. Foto: Komunitas Aleut.

Di sini kami hanya berhenti untuk secangkir kopi saset saja, lalu lanjut perjalanan langsung ke arah Cikajang. Di kawasan PLTP kami berhenti sebentar karena melihat sebuah tugu bambu runcing yang didirikan di atas tembok batu bata. Tugu ini juga merupakan gerbang masuk ke bagian dalam. Di sebelah bambu runcing terdapat sebuah prasasti yang sudah sangat samar tulisannya. Walaupun sudah melakukan beberapa cara, kami tidak berhasil membacanya, selain secara ragu mengidentifikasi angka 48. Di baliknya, di bagian dalam, ada prasasti sejenis, juga sudah tidak dapat lagi dibaca isinya. Bagian dalam dipenuhi oleh alang-alang. Kami tidak dapat menduga apa sebenarnya yang ada di dalam ini.

Saat bertanya kepada seorang petani yang lewat, barulah kami dapatkan informasi bahwa tugu ini merupakan bagian dari Taman Makam Pahlawan Tak Dikenal. Di bagian dalam itu sebenarnya ada makam-makam yang sekarang sudah tidak terurus dan tertutupi oleh alang-alang tinggi. Cerita mengenai makam ini belum kami temukan dalam buku. Tapi ada dua postingan di instagram atas nama dewilaksanaibun2016 yang  menggambarkan kegiatan kerja bakti membersihkan dan merapikan taman makam dengan caption singkat “Taman Makam Pahlawan Tidak dikenal yg berada di #kamojang.” Lalu ada sebuah video di youtube atas nama Iptu Carsono SH dengan judul “Tomb of an Unknown Hero – KAMOJANG # Tracing the Tombs of an Unknown Hero in Kamojang Ibun.Dalam bentuk tulisan hanya kami temukan dari Tribun Jabar dalam tulisan berjudul “Ziarah ke Taman Makam Pahlwan Tidak Dikenal di Kamojang Bandung, Makam Lima Tentara Siliwangi,” ditulis oleh Nappisah dan diunggah tanggal 18 Agustus 2024.

Komunitas Aleut saat mampir ke Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal, Kamojang, 8 April 2025. Foto: Komunitas Aleut.

Ringkasnya, Taman Makam Pahlawan Tidak Dikenal ini memang merupakan makam empat (dalam cerita lain disebutkan lima) orang tentara pada masa Hijrah Siliwangi ke Yogyakarta. Empat atau lima tentara ini mungkin anggota sebuah pasukan yang teringgal dari rombongannya dan menjadi korban serangan DI/TII. Para korban kemudian dimakamkan di lokasi peristiwa itu secara sederhana. Baru beberapa tahun kemudian Pertamina memberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi makam dan menjadikannya sebuah taman makam yang layak. Sayang, saat kami datangi kondisi taman makam ini sedang kurang baik. Setelah membuat beberapa foto dokumentasi, kami lanjutkan perjalanan.

Pamegatan

Walaupun cukup ramai, perjalanan lancar-lancar saja, tidak ada kepadatan luar biasa kecuali di sekitar pasar-pasar yang sehari-harinya pun memang selalu padat dan macet. Sepanjang jalan antara Bayongbong-Cisurupan, jauh di sebelah kanan selalu terlihat pemandangan kawasan pergunungan Papandayan dengan rekahan kawahnya yang mengepul. Di hari yang cerah seperti ini, pemandangan yang sebetulnya cukup sering kami lalui ini terlihat lebih indah dari biasanya. Udara cukup segara walaupun panas terasa sangat menyengat.

Di jalur ini kami tidak berhenti lagi sampai ke satu titik yang selama ini kami kenali sebagai lokasi Pabrik Teh Pamegatan milik Baron Baud. Pamegatan hanyalah satu dari 14 perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh Baron Baud, beberapa lainnya terletak di Cikasungka, Bogor, di Ciumbuleuit, dan di Jatinangor. Kami mendatangi tempat ini membawa rasa penasaran oleh lokasi perkebunan Pamegatan yang sebenarnya, karena kami menemukan sebuah peta yang mencantumkan lokasi pabrik dan perkebunan teh Pamegatan lebih jauh ke selatan.

Kompleks Pabrik Teh Pamegatan yang saat ini terlihat agak terbengkalai. Di dalam area ini masih terdapat beberapa bangunan lama di bagian depan dan ada bangunan baru agak jauh di belakang. Foto: Komunitas Aleut.

Dari keterangan angkatan lama, disebutkan bahwa memang di sinilah lokasi Pabrik Teh Pamegatan, hal ini pun pernah dikonfirmasi oleh sahabat kami alm. Pak Kuswandi, walaupun hanya secara lisan dan selewatan. Kepada seorang petani yang sedang lewat bermotor sambil membawa karung-karung rumput, kami coba cari keterangan. Ternyata beliau juga membenarkan dan menyebutkan bahwa keberadaan pabrik ini kemudian membuat nama kampung di sini menjadi Kampung Pabrik. Beliau juga mengetahui keberadaan perkebunan dan pabrik Pamegatan yang letaknya jauh di selatan itu dan menyebutkan bahwa nama kampung Pamegatan memang asalnya di sana. Tetapi kenapa ada dua nama Pamegatan, atau apakah pabrik ini merupakan pindahan dari pabrik yang di selatan itu, beliau tidak dapat menjelaskan. Kami pun belum dapat menyimpulkan secara tegas.

Dari sini, kami beranjak menuju lokasi Pamegatan yang di selatan itu, jaraknya sekitar 8 kilometer. Dengan bekal peta yang sudah disiapkan oleh salah satu rekan, menjadi tidak sulit untuk menemukan lokasi ini. Dari jalan raya utama Cikajang, belok ke kanan dan menyusuri jalan desa sekitar satu kilometer, lalu ketemulah dengan lokasi yang dicari. Tempat inilah yang selalu disebut sebagai Pamegatan (dan perkebunannya) di banyak peta lama.

Lokasi ini berupa satu kawasan terbuka dengan sedikit rumah saja di dekat jalan raya tempat kami masuk. Di dalam, hanya ada ladang-ladang, dan bukit-bukit kecil. Lebih ke belakang, sudah lereng pergunungan yang berdasarkan peta-peta lama bernama Gunung Mandalagiri dengan ketinggian 1813 mdpl.

Peta AMS lembar Garoet. Java, Madoera, en Bali 1:250.000 edisi ke-4. US Army Map Service, Washington DC, 1944.

Di sebuah warung di sisi jalan setapak, sedang berkumpul banyak bapak-bapak pekerja ladang. Sepertinya sedang ada pengangkutan sayuran, dan mungkin sebagian lagi sedang menumpang istirahat siang. Hampir semua bapak ikut ramai berkomentar dan menduga-duga jawaban atas semua pertanyaan kami. Hanya ada seorang ibu di sini, pemilik warung tersebut, yang juga ikut antusias melihat foto-foto yang kami tunjukkan dari layar smartphone.

Membandingkan foto lama yang kami temukan di situs KITLV dengan pemandangan nyata di depan kami, memang jelas ada kesesuaian. Dari situ dan dengan bantuan seorang bapak usia 60-an yang lahir di Pamegatan, kami dapat mengidentifikasi lokasi pabrik, yaitu lahan kosong persis di sebrang warung dan di depan tempat kami semua berdiri. Agak di belakang, lahan ini sedikit lebih tinggi dan seluruhnya sudah dijadikan ladang. Ke belakang lagi, mendaki bukit kecil, juga seluruhnya sudah berupa ladang. Ketika kami mention nama Baron Baud, ternyata sebagian masih dapat mengenali nama itu, walaupun tidak memiliki informasi apa-apa tentangnya.

Theeonderneming Pamegatan bij Garoet. KITLV 8021. Circa 1930.
Lahan bekas berdirinya Pabrik Teh Pamegatan yang sudah tidak menyisakan apapun selain secuil sisa fondasi bangunan di sana-sini. Foto: Komunitas Aleut.

Di lereng bukit kecil ini masih ada fondasi bekas pipa, dan di bagian puncaknya juga konon masih ada sisa bak kolam. Kami tidak naik ke atas, karena akan cukup melelahkan. Kami hanya pergi berjalan menyusuri ladang menuju satu tempat yang disebut sebagai bekas gedung atau rumah, dan bekas makam yang sudah dibongkar. Di sini kami temukan 1-2 sisa fondasi. Selain semua yang sudah disebutkan ini, sama sekali tidak ada sisa atau peninggalan lain dari Perkebunan Teh Pamegatan. Sama sekali sudah hilang. Dalam bentuk cerita pun sangat minim, itu pun seringkali kurang meyakinkan. Foto lama dari situs KITLV itu mencantumkan keterangan tahun 1930.

Bagian 2

Bagian 3

Bandoengsche Kunstkring, Bagian-4: Rabindranath Tagore

Oleh Irfan Pradana

Rabindranath Tagore (Les Prix Nobel 1913)

Kedatangannya kala itu menjadi perbincangan luas, khususnya di kalangan para Nasionalis. Perjumpaannya dengan Ki Hajar Dewantara disebut-sebut sebagai momen bersejarah bagi perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Ia adalah Rabindranath Tagore, pemenang penghargaan Nobel di bidang sastra tahun 1913. Tagore mengunjungi Hindia Belanda di tahun 1927 atas usaha dari Bond van Kunstkringen, termasuk Bandoengsche Kunstkring di dalamnya.

Rabindranath Tagore, atau sering disebut Gurudev, adalah seorang sastrawan Bengali yang menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah modern India dan dunia. Lahir pada 7 Mei 1861 di Kolkata (saat itu Calcutta), India, Tagore berasal dari keluarga Brahmin yang kaya dan terpelajar. Ayahnya, Debendranath Tagore, adalah seorang pemimpin spiritual dan reformis sosial, sementara ibunya, Sarada Devi, meninggal dunia ketika Tagore masih muda. Keluarga Tagore dikenal sebagai pusat intelektual dan budaya, yang mempengaruhi perkembangan awal Rabindranath.

Tagore tidak pernah menempuh pendidikan formal secara konsisten. Sebagai gantinya, ia belajar di rumah dengan bimbingan guru privat dan melalui pengalaman langsung. Pada usia 17 tahun, ia dikirim ke Inggris untuk belajar hukum, tetapi ia lebih tertarik pada sastra dan seni. Pengalaman ini memberinya wawasan tentang budaya Barat yang memberikan pengaruh besar pada karya-karyanya kemudian hari.

Tagore adalah penulis produktif yang menciptakan ribuan puisi, cerita pendek, novel, dan esai. Karyanya yang paling terkenal adalah kumpulan puisi “Gitanjali”, yang membuatnya meraih Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1913. Ia tercatat sebagai orang non-Eropa pertama yang menerima penghargaan ini.

Tagore mendirikan sekolah eksperimental di Santiniketan pada 1901, yang lalu berkembang menjadi Universitas Visva-Bharati. Sekolah ini menekankan pembelajaran holistik, harmoni dengan alam, dan integrasi budaya Timur dan Barat.

Rabindranath Tagore disebut sebagai tokoh penting dan berpengaruh karena kemampuannya untuk menyatukan seni, sastra, pendidikan, dan filosofi dalam satu visi yang holistik. Karyanya melampaui batas geografis dan budaya, menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Ia adalah simbol kebangkitan budaya India dan Asia pada awal abad ke-20.

Tagore meninggal pada 7 Agustus 1941, tetapi warisannya tetap hidup melalui karya-karyanya yang terus dibaca, dinyanyikan, dan dipelajari. Ia dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar dalam sejarah sastra dunia dan sebagai duta budaya India yang membawa pesan perdamaian, kebebasan, dan kemanusiaan.

Continue reading

Bandoengsche Kunstkring, Bagian-3: Anna Pavlova, The Dying Swan

Irfan Pradana

Terlalu ceroboh jika melewatkan nama ini dalam riwayat perjalanan Bandoengsche Kunstkring. Kebesaran namanya kala itu menjadi incaran berbagai negara. Tiket pertunjukannya di Eropa selalu habis meskipun dibandrol dengan harga mahal.

Anna Pavlova adalah sosok yang namanya begitu melekat dalam dunia balet, seorang legenda yang mengubah wajah seni tari di zaman modern. Dalam catatan ensiklopedia online britannica.com, Anna Pavlovna Pavlova yang terlahir dengan nama Anna Matveyevna Pavlova, lahir pada 12 Februari 1881 di St. Petersburg, Rusia, Pavlova tumbuh dalam keluarga sederhana. Sejak kecil, ia memiliki ketertarikan besar pada dunia tari.

Di usia 10 tahun, impiannya mulai mendekati kenyataan ketika ia diterima di Imperial Ballet School, lembaga balet paling bergengsi pada masanya di Rusia. Namun, perjalanan Pavlova tidaklah mudah. Tubuhnya yang tinggi, ramping, dengan kaki yang melengkung tajam dan pergelangan kaki yang tipis dianggap tidak sesuai dengan standar balerina ideal pada waktu itu — yang lebih mengutamakan tubuh kecil dan padat. Rekan-rekan sekelasnya bahkan mengejeknya dengan julukan seperti The broom (Sapu) dan La petite sauvage (Si Liar Kecil).

Pavlova tidak menyerah. Ia justru menjadikan ciri fisiknya yang unik sebagai kekuatan. Dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa, ia menguasai teknik balet dengan gaya yang khas — lembut, anggun, dan penuh emosi.

Tahun 1905 menjadi momen penting dalam kariernya ketika ia menarikan The Dying Swan, sebuah tarian solo yang koreografinya dirancang oleh Michel Fokine dengan musik dari komponis Camille Saint-Saëns. Tarian ini begitu mnegesankan sehingga menjadi identitas yang melekat pada Pavlova sepanjang hidupnya. Gerakannya yang penuh kelembutan dan ekspresi emosional yang mendalam membuat penonton terpukau, seolah-olah melihat seekor angsa yang sedang meregang nyawa dengan keindahan yang tragis.

Pada tahun 1906, Pavlova diangkat sebagai Prima Ballerina, gelar tertinggi bagi seorang penari balet. Namun, ia tidak puas hanya tampil di panggung Rusia. Pada tahun 1911, Pavlova membentuk kelompok baletnya sendiri, The Pavlova Ballet Company. Bersama rombongan ini, ia melakukan tur keliling dunia, termasuk ke Amerika, Jepang, Australia, hingga Hindia Belanda. Langkahnya yang berani membawa balet ke negara-negara yang sebelumnya belum mengenal seni ini menjadikannya pionir dalam memperkenalkan balet ke khalayak yang lebih luas.

Pavlova tidak hanya dikenal karena bakatnya yang luar biasa, tetapi juga karena inovasinya. Ia memodifikasi sepatu baletnya dengan tambahan sol keras untuk mendukung kakinya yang melengkung, sebuah inovasi yang kemudian menjadi dasar bagi desain modern pointe shoes. Selain itu, keberhasilannya sebagai balerina bertubuh ramping dan tinggi membuka jalan bagi para penari dengan bentuk tubuh yang berbeda untuk bersinar di dunia balet.

Sebagian kalangan memang menganggapnya old fashioned atau konservatif, tapi bagi sebagian lainnya dia adalah seorang inovator karena keberhasilannya menggabungkan ballet dengan bentuk-bentuk tari tradisional dari berbagai wilayah dunia, termasuk merevitalisasi jenis-jenis tarian yang sudah dilupakan orang. (The Swan Brand: Reframing the Legacy of Anna Pavlova. Jennifer Fisher. Cambridge University Press. 2012).

Dedikasinya pada seni balet begitu besar hingga ia tetap tampil, pun saat kondisi kesehatannya menurun. Pavlova meninggal pada 23 Januari 1931 akibat radang paru-paru. Konon, di ranjang kematiannya, Pavlova meminta kostum The Dying Swan dibawakan kepadanya, seolah menandakan bahwa balet adalah bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan.

Continue reading
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑