Momotoran Nagreg, Cicalengka, dan Sekitarnya

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Minggu, 9 April 2023. Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Momotoran, kegiatan ini masih dalam rangkaian bahasan panjang seputar peristiwa Bandung Lautan Api di Komunitas Aleut.

Gedong Peteng tertutup tanah dan alang-alang. Foto: Aditya Wijaya

Gedong Peteng, Nagreg

Tujuan pertama Momotoran ini adalah sebuah benteng Belanda yang berada di atas bukit (Bukit Citiis, Kampung Paslon) di kawasan Nagreg. Masyarakat sekitar menamai benteng ini Gedong Peteng tetapi sebenarnya Gedong Peteng hanyalah sebuah bagian dari beberapa bangunan benteng yang ada di sana. Bangunan lain saat ini sudah tidak tersisa hanya terlihat bekas-bekas pondasi dan reruntuhan batu-batu besar.

Menurut masyarakat Gedong Peteng merupakan bangunan yang dahulu berfungsi sebagai penjara. Peteng menurut masyarakat memiliki arti gelap. Saat ini hanya Gedong Peteng yang masih tersisa dan kondisinya relatif masih utuh meskipun ketika kami ke sana setengah bangunannya sudah tertimbun tanah.

Baca lebih lanjut
Iklan

Kisah Dago Pakar dan Mata Air Cibitung

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hari Minggu lalu, 28 Mei 2023, saya berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kolam Pakar. Lalu iseng menuruni jalan setapak yang sudah dirapikan menuju sebuah lembahan. Awalnya hanya ingin lihat-lihat saja, tapi ternyata saya bertemu seseorang yang dengan lancar membagikan sebuah cerita. Sayangnya beliau berkeberatan namanya disebut dan tidak ingin informasi tentang dirinya diketahui.

Berikut ini saya ringkaskan apa-apa yang saya dengar dari beliau. Ditulis apa adanya, sesuai dengan cerita yang saya dengar dan catat, tidak ditambah atau dikurangi.

Situs Mata Air Cibitung di Dago. Foto: Aditya Wijaya

Pakar

Alkisah pada tahun 1826 datanglah seorang pembesar Kerajaan Sumedang Larang ke suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Dago Pakar. Beliau bernama Raden Rangga Gede menjabat sebagai Adipati Sumedang Larang, putra dari Rangga Gempol. Beliau datang untuk memenuhi wangsit atau panggilan jiwa untuk bertirakat dan menyebarkan agama Islam di wilayah Pakar.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 3

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

PERLAWANAN UNTUK GEDUNG SATE

Pada akhir November, Soetoko sebagai Kepala Biro Pertahanan yang sedang berada di Pos Komando Jalan Asmi kedatangan tiga orang pemuda yang melaporkan bahwa Gedung Sate telah berada dalam kepungan Inggris. Salah seorang dari mereka, Didi Kamarga, meminta izin untuk mempertahankannya: “Saja dan kawan2 sanggup untuk mempertahankan kantor kami. Kami datang untuk hendak meminta idjin dan sendjata2.”

Walaupun menghargai niat para pemuda itu, Soetoko mencoba meredakan jiwa muda mereka dan menyarankan agar melakukan perlawanan dari markas komando saja. Didi dkk bertahan dan bersitegang. Dengan keras pula meminta senjata. Akhirnya Soetoko memberikan revolvernya kepada Didi dan pergilah mereka kembali ke Gedung Sate.

Belakangan diketahui para pemuda tersebut gugur dalam upaya mempertahankan Gedung Sate dari kepungan pihak Inggris. Selain Didi, ada enam pemuda lain yang gugur dan dimakamkan oleh pihak musuh di halaman belakang Gedung Sate. Dulu ada penanda lokasi makam mereka, yaitu sebuah pohon beringin dan sebuah batu prasasti di bawahnya,

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

SOETOKO DAN KELOMPOK PERJUANGAN

Atas instruksi Pemerintah Pusat di Jakarta, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Priangan dan Kota Bandung. Para pemimpin KNI Priangan di antaranya ada Oto Iskandar di Nata dan Niti Sumantri. Sedangkan di KNI Bandung  ada Sjamsurizal, A. Zachri, Djerman Prawiranata, Soetoko, Dr. Sopandi, dan tokoh-tokoh Bandung lainnya.

Soetoko juga bergabung dengan organisasi pemuda bernama Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (P3I) dengan markas di Jalan Tamblong. Kemudian P3I berubah nama menjadi Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI) dengan ketua Soedjono, dan di bagian Pembelaan ada Soetoko, Mashudi, Soerjono (Pak Kasur), Abdoel Djabar, dll. Markas PRI mula-mula di Toko Tjijoda (Kota Tudjuh) di Groote Postweg, dan setelah tentara Inggris datang, pindah ke Kebon Cau.

Setelah pindah ke Kebon Cau ternyata perangkat meubel yang mereka miliki tidak lagi digunakan sebagai perlengkapan markas, melainkan sudah dijadikan barikade-jalan. PRI memiliki pasukan-pasukan di setiap kantor lama yang dipersiapkan untuk diambil alih, di antaranya di Andir, Sukajadi, Pasirkaliki, Kaca-kaca Wetan, dan di Cicadas. Kelak, PRI akan bergabung dengan kelompok-kelompok lain dan berubah nama menjadi Pesindo. Unsur-unsur pemimpinnya tetap sama, sementara pemimpin untuk pasukan ada Simon Tobing dan Soedarman.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini bercerita sedikit saja tentang peranan Soetoko dalam masa revolusi mempertahankan kemerdekaan RI di Bandung. Sama sekali tidak lengkap. Mungkin lain waktu dapat ditambahkan cerita-cerita lain tergantung ketersediaan sumber referensi.

Langka sekali informasi pribadi tentang Soetoko yang bisa kami temukan, begitu pula dengan fotonya. Umumnya hanya mengulang-ulang data alur pendidikan yang sangat singkat saja. Itu pulalah yang kami ulang di sini untuk memberikan sedikit gambaran latar belakang Soetoko.

Soetoko dilahirkan di Jakarta pada 18 Mei 1917. Pendidikan dasarnya ditempuh di HIS Pacitan dan selesai pada 1932, lalu dilanjutkan ke MULO di Ngupasan, Yogyakarta. Sejak tahun 1934 mulai bekerja di lingkungan Jawatan PTT sebagai Asisten Klerk PP Semarang. Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, mengikuti pendidikan Bedrijfsambtenaar Cursus di Bandung dan mendapatkan kesempatan menjadi pegawai PTT sampai jabatan Controleur I. Dan dari sinilah kiprah perjuangan fisiknya dimulai.

Walaupun secara resmi Jepang sudah menyerah  kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun sampai bulan Oktober mereka masih masih memegang kekuasaan penuh di Indonesia. Bahkan pada November-Desember mereka mendapat mandat dari Sekutu untuk memulihkan keamanan di luar wilayah pendudukan Sekutu. Begitu pula dengan persenjataan, sepenuh masih berada dalam kekuasaan tentara Jepang.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: Sutiko Sutoto dan Achmad Munir

Oleh: Komunitas Aleut

Nama Sutiko Sutoto sudah diceritakan dalam tulisan sebelumnya yang berhubungan dengan sebuah foto legendaris bergambar beberapa pemuda pejuang bersenjata dengan dua anggota LASWI berpose di atas sebuah mobil jeep.

Sutiko Sutoto, dilahirkan di Palembang pada 20 September 1929. Saat tinggal di Bandung bergabung menjadi anggota BKR Kota Bandung pada 1945. Lalu menjadi anggota Barisan Markas Polisi Tentara (BMPT) Kota Bandung. Setahun berikutnya, menjadi anggota staf bagian penyelidik, Batalyon Polisi Tentara Resimen 8 Guntur yang ikut bertempur di medan laga Bandung Selatan, dan menjadi Wakil Komandan Pleton BMPT Resimen 8 Guntur di medan laga Bandung Timur. Setelah itu ikut hijrah ke Jawa Tengah.

Sutiko Sutoto menceritakan beberapa pengalamannya dalam masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” (Markas Besar Legiun Veteran RI. Jakarta, 1982). Salah satu pengalamannya saat bertempur di daerah Bandung Timur kami kisahkan ulang di sini.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: E Soeratman

Oleh: Komunitas Aleut

Berikut ini adalah cerita pengalaman E Soeratman pada masa Agresi Militer II Belanda yang tertuang dalam buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI (Jakarta, 1982). E Soeratman (selanjutnya “Soeratman” saja) yang dilahirkan di Cirebon pada 3 Februari 1923 memasuki dunia militer pada masa perjuangan dengan menjadi Komandan Pleton. Pada saat long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Cianjur, menjadi Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam yang di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris.

Soeratman adalah Komandan Kompi dalam Batalyon II Kala Hitam di bawah Brigade XII – KRU “Z” pimpinan Mayor Infantri Kemal Idris. Usai melaksanakan tugas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun pada awal bulan Desember 1948, terjadi serangan Belanda terhadap ibu kota RI di Yogyakarta, yang ketika itu juga menjadi kedudukan Batalyon Kala Hitam.

Pemimpin Angkatan Perang RI sudah mengeluarkan perintah agar semua kesatuan militer kembali ke daerah divisinya masing-masing untuk melanjutkan perang gerilya. Divsi Siliwangi pun harus kembali ke Jawa Barat. Soeratman yang bertugas sebagai Komandan Pleton Batalyon Kala Hitam mendapat perintah untuk menduduki daerah Cianjur sebagai pangkalan gerilya batalyon.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

WESTERLING

Ketika TNI harus hijrah ke Jawa Tengah, Batalyon F-22 Soegih Arto harus tetap tinggal di Jawa Barat, bergerilya memantau dan menghadapi Negara Pasundan yang akan didirikan. Dalam proses pengangkutan pasukan untuk hijrah, Westerling menanyakan di mana pasukan Soegih Arto, karena tidak terlihat di tempat kumpul. Kawilarang menjawab bahwa batalyon Soegih Arto sudah hancur berantakan.

Sejak tahun 1947 Westerling ditempatkan di Batujajar dan pada 1948 membentuk Korps Speciale Troopen (KST), dengan pasukan yang terdiri dari orang Indonesia Timur. Mereka dikenal dengan baret hijaunya dan terkenal pula kekejamannya. Sementara Batalyon F 22 Soegih Arto berada di Cililin, terpisah sungai Ci Tarum dengan Batujajar.

Setelah peristiwa brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya yang mengakibatkan jatuhnya 40 ribu korban di Sulawesi Selatan, Westerling ditempatkan di Batujajar, Jawa Barat. Di daerah Cikalong Westerling pernah membuat ulah lagi yang membuat penduduk Cikampek merasa tidak aman dan ketakutan, sehingga menjadi seperti kota mati.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Soegih Arto, Perwira Penghubung” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Dalam buku “Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 1” karangan AH Nasution ada cerita ketika beliau dibawa ke markas Divisi-23 Inggris. Yang menemuinya di markas itu adalah Kolonel Hunt yang mengatakan bahwa pada hari itu juga pasukan TRI harus keluar dari Bandung Selatan. Ia juga menawarkan 100 buah truk untuk pengangkutannya. Nasution memberikan jawaban bahwa ia tidak mungkin menerima tawaran itu karena yakin akan terjadi insiden-insiden tempur, dan bahwa rakyat akan ikut TRI.

Kolonel Hunt menukas bahwa rakyat ingin tenteram, kecuali bila diintimidasi oleh tentara. Hunt mau menjelaskan bahwa Bandung Selatan telah dikabari segala sesuatunya. Pamflet-pamflet akan akan dijatuhkan pada hari Sabtu sore. Wali kota sudah menyatakan akan melaksanakan instruksi pemerintah RI dan akan menenangkan rakyat dengan pidato lewat radio.

Setelah itu Nasution berbalik menyeberangi garis demarkasi dan dijemput oleh perwira penghubung Resimen 8, Letnan Sugiarto. Sang Letnan menunjukkan lubang-lubang di jalan yang telah ditanami bom-bom batok bekas KNIL. Setiba di posko, Kepala Staf menunjukkan sebuah telegram dari Yogya, isinya: “Tiap jengkal tanah tumpah darah harus dipertahankan.”

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

PEMBENTUKAN KOMANDEMEN

Tanggal 17 Oktober 1945, Letjen Urip Sumoharjo mendirikan Markas Besar Tentara TKR di Yogyakarta. Didi Kartasasmita tetap di Jakarta untuk menyusun TKR Jawa Barat. Saat itu sudah ada 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatra, dan sekitar 100 resimen infantri. Untuk pengorganisasian, dibentuk 3 Komandemen di Jawa dan 1 Komandemen di Sumatra. Fungsinya adaalah sebagai organisasi penghubung antara divisi-divisi dan Markas Besar Tentara.

Komandemen I Jawa Barat dipimpin oleh Mayjen Didi Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Suratman, dan Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen Mohamad. Dari 3 Komandemen di Jawa itu hanya Jawa Barat yang berhasil dibentuk, sedangkan dua Komandemen lainnya mengalami masalah perbedaan pendapat karena para komandan divisi setempat yang umumnya eks PETA tidak menyetujuinya.

Baca lebih lanjut