Ikut Muludan di Batukarut dan Rancakalong

Oleh Deuis Raniarti

Selepas dari masa pandemi yang berlangsung sejak dua tahun lalu, sekarang sudah mulai banyak kegiatan offline atau luar ruang dilakukan oleh masyarakat, sekalipun tetap masih ada aturan tertentu, seperti disiplin dan penggunaan perangkat prokes.

Karena kondisi yang sudah lebih longgar itu pulalah belakangan ini Komunitas Aleut mulai banyak mengadakan dan mengikuti kegiatan luar ruang. Selain permintaan beberapa materi tour sejarah dari beberapa lembaga, kami juga mengikuti beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak-pihak lain. Kebetulan pula ada beberapa kegiatan yang cukup menarik perhatian kami, mulai dari Dieng Culture Festival pada awal bulan September lalu, sampai kegiatan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW atau muludan di dua lokasi berbeda.

Tulisan ini hanya terkait dua kegiatan paling akhir kami ikuti saja, yaitu muludan, masing-masing di Bumi Alit Kabuyutan di Banjaran, dan Seni Ormatan Tarawangsa di Rancakalong Sumedang. Dua kegiatan ini yang membuat aku kali ini tidak pulang ke Cianjur dan merayakannya bersama keluarga di kampung.

Baca lebih lanjut
Iklan

Ngaleut Momotoran ke Sumedang

Oleh Asep Ardian

Dari Cadas Pangeran, ke Cut Nyak Dhien, sampai ke tempat peristirahatan terakhir raja-raja Sumedang.

Sebelum melakukan perjalanan ini, saya mengenal Sumedang hanya dari kesenian Kuda Renggongnya, yang ketika saya kecil sesekali mengikuti iring-iringan Kuda Renggong jika di daerah saya ada orang kaya yang disunat. Setelah beranjak dewasa, pandangan tentang Sumedang sedikit bertambah setelah mendengar beberapa kisah tentang Kerajaan Sunda yang berhubungan dengan latar sejarah Sumedang.

Saat ikut momotoran dengan Komunitas Aleut ini, mantap sudah, saya dapat mendengar dan melihat jauh lebih banyak lagi.

Perjalanan kami mulai jam 07.30 dari Bandung dengan rombongan berjumlah lima motor. Sabtu pagi itu cuaca Bandung begitu cerah, dari daerah Ancol, kami menyusuri jalanan Soekarno Hatta yang lengang, melintasi jalanan Cibiru, lalu lewat UNPAD, Cileunyi, dan menyusuri jalanan berkelok Bandung-Palimanan yang sejuk. Lalu sampailah kami di tempat tujuan kami yang pertama, sebuah monumen di Cadas Pangeran.

Baca lebih lanjut

Perkebunan Teh Gunung Rosa

Oleh: Deuis Raniarti

Dalam rangkaian perjalanan Momotoran Gunung Padang hari Minggu lalu, kami menyempatkan pula mampir ke beberapa tempat yang sebelumnya cukup jarang dikunjungi oleh Komunitas Aleut, salah satunya adalah Perkebunan dan Pabrik Teh Gunung Rosa.

Jarak sekitar 6 kilometer dari Gunung Padang ke Pabrik Teh Gunung Rosa kami tempuh santai dalam waktu 40 menit. Beruntung jalan yang kami lalui kondisinya bagus, sepertinya memang baru diperbaiki karena menjadi akses menuju Situs Gunung Padang yang beberapa tahun ini selalu ramai oleh pengunjung. Jalan yang bagus itu berubah menjadi jalan bebatuan begitu memasuki kawasan perkebunan dan semakin dekat dengan pabrik teh.

Baca lebih lanjut

MENGENAL BANGUNAN-BANGUNAN CAGAR BUDAYA KOTA BANDUNG BERSAMA  KOMUNITAS ALEUT DAN DISBUDPAR KOTA BANDUNG.

Oleh : Taurina Putri Ayumi

Komunitas Aleut  merupakan komunitas apresiasi wisata dan sejarah di kota Bandung yang berdiri sejak 20 Mei 2006. Tujuan didirikan Komunitas Aleut adalah menyebarkan pengetahuan sejarah dan meningkatkan pariwisata Bandung. Komunitas ini hadir karena saat ini sejarah masih sering dipandang sebagai suatu hal yang membosankan, akibatnya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui atau bahkan tidak mengenal beragam peninggalan sejarah di Bandung. Oleh karena itulah, Komunitas Aleut membuat kegiatan unik yang disebut dengan Ngaleut. Ngaleut ini merupakan suatu kegiatan untuk belajar sejarah dengan cara yang lebih menyenangkan yaitu dengan terjun langsung ke lapangan yang dilakukan bersama-sama. Komunitas Aleut memiliki peran yang sangat penting dengan adanya fungsi sosial. Fungsi Sosial fungsi sosial Komunitas Aleut adalah menjadikan masyarakat Kota Bandung cinta akan kotanya melalui apresiasi sejarah serta melihat fenomena-fenomena yang ada di dalam masyarakat. Hal ini menjadi menarik karena jika sebelumnya kegiatan pariwisata atau jalan-jalan yang masyarakat lakukan hanya sebatas melepas penat bersama dengan rekan kerabat dalam komunitas yang kecil tanpa tujuan terarah, maka dengan tergabung dalam suatu komunitas kegiatan pelesiran itu akan punya konstruksi maknanya tersendiri.

Baca lebih lanjut

MENELUSURI JEJAK KAR BOSSCHA (Edisi momotoran)

Oleh: Nurul

Menelusuri berbagai tempat sejarah selalu menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan. Kita seperti bisa menyaksikan bagaimana suatu tempat berproses menjadi tempat yang bisa kita lihat sekarang. Cerita, perjuangan, pengorbanan, hingga akhir hayat tokoh tersebut seolah-olah seperti sebuah film yang diputar kembali. Hari itu, tanggal 15 April 2022, saya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan di Bandung. Rasanya seperti ingin memanjakan diri dengan sesuatu hal dan Bandung selalu menjadi jawabannya.

Pagi hari di tanggal 16 April 2022, saya bangun pukul 05.00 WIB kemudian segera bersiap-siap untuk memulai perjalanan yang sudah saya tunggu-tunggu yaitu menelusuri jejak KAR Bosscha. Tak lupa mempersiapkan jas hujan, sendal jepit dan keperluan lainnya untuk dibawa nanti. Dari Cinunuk, saya berangkat pukul 06.00 WIB, mengisi bensin, kemudian segera menuju Taman Regol. Titik kumpul hari itu adalah di Komunitas Aleut. Peserta yang akan mengikuti kegiatan momotoran diberikan beberapa instruksi, mengingat ada beberapa dari kami yang belum pernah mengikuti kegiatan semacam ini sebelumnya. Instruksinya berupa urutan motor, titik pemberhentian, dll. Saya dan Novi mendapatkan posisi di urutan ketiga.

Baca lebih lanjut

Menapaki Jejak Van Oort dan Muller

Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah

Minggu, 06 Februari 2022.

Cuaca cukup cerah ketika kita berangkat dari Sekre Komunitas Aleut. Matahari pagi memberikan rasa hangat kepada kami dalam perjalanan menuju Cililin. Agenda kami hari itu adalah untuk menghadiri pernikahan salah satu rekan Komunitas Aleut yang berlokasi di Kelurahan Bongas, Cililin. Tapi, tentu saja kita tidak melewatkan kesempatan untuk bisa menyambangi area Cililin dan sekitarnya.

Salah satu catatan yang menjadi acuan perjalanan kami kali ini adalah yang ditulis oleh P. van Oort dan Salomon Muller dan diterbitkan tahun 1836 dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Dalam catatan ini Salomon dan Muller melakukan perjalanan penelitian mengenai dunia binatang dan tumbuhan sambil mencatat berbagai temuan kuno, termasuk mengenai arca yang mereka lihat di puncak Gunung Lumbung.

Lokasi keberadaan arca ini cukup dikenal oleh warga sekitar karena ketika kami bertanya mengenai lokasi arca tersebut ke beberapa warga mereka dengan yakin menunjukkan arah kepada kami. Bardasarkan catatan Van Oort dan Muller sudah sejak lama lokasi arca ini digunakan sebagai tempat untuk meminta pentunjuk atau permohonan atas urusan dunia, terlihat dari adanya batang-batang dupa di sekitar arca.

Baca lebih lanjut

Gunung Lumbung: Benteng Terakhir Dipati Ukur

Menuju puncak Gunung Lumbung. Foto: Reza Khoerul Iman.

Ditulis oleh: Aditya Wijaya (@adityanism)

Selang seminggu dari Momotoran Tendjonagara, akhirnya saya dan teman-teman dapat kesempatan mengunjungi Gunung Lumbung. Gunung yang menjadi tempat pertahanan terakhir Dipati Ukur, bertahan dari serangan Mataram.

Hari Minggu, 6 Februari 2021. Matahari seperti enggan muncul hari itu, hanya sekumpulan awan hitam yang berkumpul di atas langit Cililin. Sepanjang perjalanan saya berharap cemas, bisa ga yah naik ke Lumbung, “bahaya nih kalau hujan gede.” Benar saja, hujan turun di Ciminyak, untungnya cuma sebentar saja hehe.

Berbekal informasi dari catatan perjalanan Aleut beberapa tahun lalu ketika berkunjung ke Gunung Lumbung, kami parkir di warung yang sama ketika Aleut berkunjung ke sini. Ketika kami berbincang dengan warga perihal jalan menuju ke puncak Lumbung untuk melihat arca, mereka tampaknya tidak familiar dengan nama Lumbung. Mereka lebih familiar menyebut puncak Lumbung dengan sebutan tempat arca. Menurut warga sekitar, setiap malam Senin sering ada yang menginap di puncak Lumbung untuk berdoa.

Baca lebih lanjut

Daftar Nama Jalan di Kota Bandung Dulu dan Sekarang Bagian 2 (N-Z)

DAFTAR NAMA JALAN DI KOTA BANDUNG DULU DAN SEKARANG

Nama Lama (Oude Naam)Nama Baru (Nieuwe Naam)

N

Nakoelaweg
Nangkalaan
Naripanweg
Naripan-binnenweg
Nassaupaan
Neckstraat, van
Niasstraat
Nieuwe Binnenweg
Nieuwstraat
Noortstraat, van
Nylandweg
Jl. Nakula
Jl. Nangka
Jl. Naripan
Jl. Naripan Dalam
Jl. Gandapura
Jl. Cipunagara
Jl. Nias
Jl. Kaca-kaca Wetan
Jl. Ksatriyan
Jl. Ciwulan
Jl. Cipaganti
Baca lebih lanjut

Daftar Nama Jalan di Kota Bandung Dulu dan Sekarang Bagian 1 (A-M)

DAFTAR NAMA JALAN DI KOTA BANDUNG DULU DAN SEKARANG

Nama Lama (Oude Naam)Nama Baru (Nieuwe Naam)

A

A. B. C. Straat
A. B. C. Straat, verlengde
Acht Kooienlaan
Ajoediaweg
Aksanweg
Alaniweg
Aloon2 Oost
Altman, Gang
Ambonstraat
Amhertsialaan
Ananaslaan
Angandaraweg
Angsanalaan
Antennestraat
Ardjoenaweg
Astanaanjarweg
Astinaweg
Atelierlaan
Atjehstraat
Jl. A.B.C.
Jl. A.B.C.
Jl. Neglasari
Jl. Ayudia
Jl. Aksan
Jl. Alani
Alun-Alun Timur
Gg. Jakin
Jl. Ambon
Jl. Karangarum
Jl. Nanas
Gg. Angandara
Jl. Sirnagalih
Jl. Tasikmalaya
Jl. Arjuna
Jl. Astanaanyar
Jl. Astina
Jl. Bengkel
Jl. Aceh
Baca lebih lanjut

Catatan Momotoran Tendjonagara

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Momotoran Tendjonagara ini menjadi perjalanan kami berikutnya setelah beberapa minggu lalu perjalanan kami terhenti sampai di Pabuntelan. Berbekal informasi dari buku Pak E. Suhardi Ekadjati yang berjudul “Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda” dan informasi tambahan dari sebuah channel Youtube yang membahas sejarah Cirebon Girang dan Pabuntelan, maka kami tentukan tujuan hari itu (Sabtu, 29 Januari 2022) adalah mengunjungi Padaleman dan Curug Roda. Masih dalam rangka tapak tilas jejak Dipati Ukur.

Baca lebih lanjut