Kisah Dago Pakar dan Mata Air Cibitung

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hari Minggu lalu, 28 Mei 2023, saya berjalan-jalan seorang diri di sekitar Kolam Pakar. Lalu iseng menuruni jalan setapak yang sudah dirapikan menuju sebuah lembahan. Awalnya hanya ingin lihat-lihat saja, tapi ternyata saya bertemu seseorang yang dengan lancar membagikan sebuah cerita. Sayangnya beliau berkeberatan namanya disebut dan tidak ingin informasi tentang dirinya diketahui.

Berikut ini saya ringkaskan apa-apa yang saya dengar dari beliau. Ditulis apa adanya, sesuai dengan cerita yang saya dengar dan catat, tidak ditambah atau dikurangi.

Situs Mata Air Cibitung di Dago. Foto: Aditya Wijaya

Pakar

Alkisah pada tahun 1826 datanglah seorang pembesar Kerajaan Sumedang Larang ke suatu wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Dago Pakar. Beliau bernama Raden Rangga Gede menjabat sebagai Adipati Sumedang Larang, putra dari Rangga Gempol. Beliau datang untuk memenuhi wangsit atau panggilan jiwa untuk bertirakat dan menyebarkan agama Islam di wilayah Pakar.

Baca lebih lanjut
Iklan

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 3

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan Bagian 2 di sini.

PERLAWANAN UNTUK GEDUNG SATE

Pada akhir November, Soetoko sebagai Kepala Biro Pertahanan yang sedang berada di Pos Komando Jalan Asmi kedatangan tiga orang pemuda yang melaporkan bahwa Gedung Sate telah berada dalam kepungan Inggris. Salah seorang dari mereka, Didi Kamarga, meminta izin untuk mempertahankannya: “Saja dan kawan2 sanggup untuk mempertahankan kantor kami. Kami datang untuk hendak meminta idjin dan sendjata2.”

Walaupun menghargai niat para pemuda itu, Soetoko mencoba meredakan jiwa muda mereka dan menyarankan agar melakukan perlawanan dari markas komando saja. Didi dkk bertahan dan bersitegang. Dengan keras pula meminta senjata. Akhirnya Soetoko memberikan revolvernya kepada Didi dan pergilah mereka kembali ke Gedung Sate.

Belakangan diketahui para pemuda tersebut gugur dalam upaya mempertahankan Gedung Sate dari kepungan pihak Inggris. Selain Didi, ada enam pemuda lain yang gugur dan dimakamkan oleh pihak musuh di halaman belakang Gedung Sate. Dulu ada penanda lokasi makam mereka, yaitu sebuah pohon beringin dan sebuah batu prasasti di bawahnya,

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

SOETOKO DAN KELOMPOK PERJUANGAN

Atas instruksi Pemerintah Pusat di Jakarta, pada 29 Agustus 1945 dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Priangan dan Kota Bandung. Para pemimpin KNI Priangan di antaranya ada Oto Iskandar di Nata dan Niti Sumantri. Sedangkan di KNI Bandung  ada Sjamsurizal, A. Zachri, Djerman Prawiranata, Soetoko, Dr. Sopandi, dan tokoh-tokoh Bandung lainnya.

Soetoko juga bergabung dengan organisasi pemuda bernama Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia (P3I) dengan markas di Jalan Tamblong. Kemudian P3I berubah nama menjadi Pemoeda Repoeblik Indonesia (PRI) dengan ketua Soedjono, dan di bagian Pembelaan ada Soetoko, Mashudi, Soerjono (Pak Kasur), Abdoel Djabar, dll. Markas PRI mula-mula di Toko Tjijoda (Kota Tudjuh) di Groote Postweg, dan setelah tentara Inggris datang, pindah ke Kebon Cau.

Setelah pindah ke Kebon Cau ternyata perangkat meubel yang mereka miliki tidak lagi digunakan sebagai perlengkapan markas, melainkan sudah dijadikan barikade-jalan. PRI memiliki pasukan-pasukan di setiap kantor lama yang dipersiapkan untuk diambil alih, di antaranya di Andir, Sukajadi, Pasirkaliki, Kaca-kaca Wetan, dan di Cicadas. Kelak, PRI akan bergabung dengan kelompok-kelompok lain dan berubah nama menjadi Pesindo. Unsur-unsur pemimpinnya tetap sama, sementara pemimpin untuk pasukan ada Simon Tobing dan Soedarman.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Perebutan Senjata dari Jepang” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini bercerita sedikit saja tentang peranan Soetoko dalam masa revolusi mempertahankan kemerdekaan RI di Bandung. Sama sekali tidak lengkap. Mungkin lain waktu dapat ditambahkan cerita-cerita lain tergantung ketersediaan sumber referensi.

Langka sekali informasi pribadi tentang Soetoko yang bisa kami temukan, begitu pula dengan fotonya. Umumnya hanya mengulang-ulang data alur pendidikan yang sangat singkat saja. Itu pulalah yang kami ulang di sini untuk memberikan sedikit gambaran latar belakang Soetoko.

Soetoko dilahirkan di Jakarta pada 18 Mei 1917. Pendidikan dasarnya ditempuh di HIS Pacitan dan selesai pada 1932, lalu dilanjutkan ke MULO di Ngupasan, Yogyakarta. Sejak tahun 1934 mulai bekerja di lingkungan Jawatan PTT sebagai Asisten Klerk PP Semarang. Pada masa akhir pemerintahan Hindia Belanda, mengikuti pendidikan Bedrijfsambtenaar Cursus di Bandung dan mendapatkan kesempatan menjadi pegawai PTT sampai jabatan Controleur I. Dan dari sinilah kiprah perjuangan fisiknya dimulai.

Walaupun secara resmi Jepang sudah menyerah  kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, namun sampai bulan Oktober mereka masih masih memegang kekuasaan penuh di Indonesia. Bahkan pada November-Desember mereka mendapat mandat dari Sekutu untuk memulihkan keamanan di luar wilayah pendudukan Sekutu. Begitu pula dengan persenjataan, sepenuh masih berada dalam kekuasaan tentara Jepang.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 2

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.

PEMBENTUKAN KOMANDEMEN

Tanggal 17 Oktober 1945, Letjen Urip Sumoharjo mendirikan Markas Besar Tentara TKR di Yogyakarta. Didi Kartasasmita tetap di Jakarta untuk menyusun TKR Jawa Barat. Saat itu sudah ada 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatra, dan sekitar 100 resimen infantri. Untuk pengorganisasian, dibentuk 3 Komandemen di Jawa dan 1 Komandemen di Sumatra. Fungsinya adaalah sebagai organisasi penghubung antara divisi-divisi dan Markas Besar Tentara.

Komandemen I Jawa Barat dipimpin oleh Mayjen Didi Kartasasmita, Komandemen II Jawa Tengah dipimpin oleh Mayjen Suratman, dan Komandemen III Jawa Timur dipimpin oleh Mayjen Mohamad. Dari 3 Komandemen di Jawa itu hanya Jawa Barat yang berhasil dibentuk, sedangkan dua Komandemen lainnya mengalami masalah perbedaan pendapat karena para komandan divisi setempat yang umumnya eks PETA tidak menyetujuinya.

Baca lebih lanjut

Sekitar Bandung Lautan Api: “Pembentukan Organisasi Militer RI” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini mencoba meringkas sejarah terbentuknya organisasi milter di Indonesia, dimulai dengan pembentukan Heiho dan PETA pada maja Jepang hingga lahirnya TNI (Tentara Nasional Indonesia). Bahan utama kami ambil dari buku “Mari Bung, Rebut Kembali” karangan R.H.A. Saleh (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000) dan sebagian lainnya dari buku “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI; Zaman Jepang dan Zaman Republik” (Tim Penulisan Sejarah Indonesia, Balai Pustaka, Cet. 7, 2017) dan buku “Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1; Kenangan Masa Muda” karangan A.H. Nasution (P.T. Gunung Agung, Jakarta, 1982).

Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidangnya yang pertama dan secara aklamasi memilih Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Selain itu juga ditetapkan Undang-Undang Dasar RI dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan. Yang masih belum ditetapkan dalam sidang ini adalah soal pertahanan negara.

Baca lebih lanjut

Gunung Lumbung: Benteng Terakhir Dipati Ukur

Menuju puncak Gunung Lumbung. Foto: Reza Khoerul Iman.

Ditulis oleh: Aditya Wijaya (@adityanism)

Selang seminggu dari Momotoran Tendjonagara, akhirnya saya dan teman-teman dapat kesempatan mengunjungi Gunung Lumbung. Gunung yang menjadi tempat pertahanan terakhir Dipati Ukur, bertahan dari serangan Mataram.

Hari Minggu, 6 Februari 2021. Matahari seperti enggan muncul hari itu, hanya sekumpulan awan hitam yang berkumpul di atas langit Cililin. Sepanjang perjalanan saya berharap cemas, bisa ga yah naik ke Lumbung, “bahaya nih kalau hujan gede.” Benar saja, hujan turun di Ciminyak, untungnya cuma sebentar saja hehe.

Berbekal informasi dari catatan perjalanan Aleut beberapa tahun lalu ketika berkunjung ke Gunung Lumbung, kami parkir di warung yang sama ketika Aleut berkunjung ke sini. Ketika kami berbincang dengan warga perihal jalan menuju ke puncak Lumbung untuk melihat arca, mereka tampaknya tidak familiar dengan nama Lumbung. Mereka lebih familiar menyebut puncak Lumbung dengan sebutan tempat arca. Menurut warga sekitar, setiap malam Senin sering ada yang menginap di puncak Lumbung untuk berdoa.

Baca lebih lanjut

Momotoran Gas Tipis ke Timur: Jejak Kereta Api, Ubi Cilembu, Radio Rancaekek, sampai Candi

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Saya senang karena selalu ada cerita berbeda di setiap Momotoran. Diawali dengan keberangkatan yang agak siang dan perjalanan yang mengarah ke timur, terasa asing karena biasanya jalur selatan yang selalu menjadi jalur utama setiap kali momotoran.

Tema momotoran kali ini adalah Jejak Kereta Api Bandung-Tanjungsari. Sabtu, 30 Januari 2021, saya bersama teman-teman ADP 2020 menyambangi beberapa tempat yang berkaitan dengan jejak jalur Kereta Api Bandung-Tanjungsari yang sudah lama tidak aktif. Kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut melalui jalur yang sering saya sebut sebagai jalur neraka, karena kemacetannya yang selalu menguji kesabaran, Jalan Soekarno Hatta lalu Cibiru-Cileunyi-Jatinangor.  

Atas: Plang Makam
Bawah: Jembatan Cincin diambil dari pemakaman
Foto: Inas Qori Aina

Tempat pertama yang kami tuju adalah Jembatan Cincin di Cikuda, Jatinangor. Jembatan ini biasanya hanya saya pandangi dari kampus tempat saya berkuliah. Baru kali ini saya menginjakkan kaki di atas jembatan ini. Bukan Cuma berjalan di atasnya, tapi kami pun menyempatkan untuk turun ke bawahnya dan mengamatinya dari area persawahan. Di bawah sini ada sebuah permakaman kecil yang katanya ada makam keramatnya, tapi entah makam yang mana. Dari pemakaman kecil ini kami dapat melihat secara utuh konstruksi jembatan itu.

Cukup lama kami eksplorasi di sekitar Jembatan Cincin Cikuda, sesekali kami juga menyimak berbagai informasi dan cerita yang disampaikan. Berikutnya, kami berangkat lagi menuju titik selanjutnya, yaitu Jembatan Cincin Kuta Mandiri. Untuk menuju jembatan ini kami melalui jalan perdesaan dengan pemandangan sawah yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Jembatan ini terletak di tengah Desa Kuta Mandiri, Tanjungsari, sehingga tak heran masih menjadi jalur utama mobilitas warga desa. Ketika kami tiba di sana kami pun harus berhati-hati karena banyaknya kendaraan yang melintas di jembatan ini.

 Jembatan Cincin Kuta Mandiri Foto: Inas Qori Aina

Bentuk jembatan ini mirip dengan Jembatan Cincin Cikuda. Bedanya, di jembatan ini masih dapat dijumpai semacam tempat yang dulu digunakan untuk minggir (safety area) di saat kereta api melintas.

Setelah mendapatkan cerita tentang sejarah jembatan ini, kami bergegas menuju bekas Stasiun Tanjungsari. Bangunan bekas stasiun tersebut kini terletak di tengah permukiman warga yang cukup padat. Hanya sedikit peninggalan yang dapat saya lihat, yaitu papan nama stasiun serta bangunan bekas peron stasiun yang kini digunakan entah sebagai rumah atau taman kanak-kanak. Menurut Pa Hepi, bagian depan dari Stasiun Tanjungsari kini sudah tidak tersisa lagi.

Yang tersisa dari bekas Stasiun Tanjungsari foto: Inas Qori Aina

Tidak jauh dari Stasiun Tanjungsari, terdapat viaduct Tanjungsari yang dibangun melintasi Jalan Raya Pos. Bentuknya mirip dengan viaduct yang berada di Bandung. Hanya saja, Viaduct Tanjungsari tampak lebih sederhana dan lebih pendek.

Dari Tanjungsari kami melanjutkan perjalanan ke Citali. Saya dan teman-teman berhenti di pinggir jalan untuk memarkirkan kendaraan dan berjalan kaki, ngaleut, menuju area persawahan milik warga sana. Siapa sangka, di tengah area sawah milik warga terdapat dua buah struktur bekas fondasi jembatan yang tidak selesai dibangun. Kami hanya memandangi struktur tersebut dari kejauhan, karena tidak berani melintasi jembatan kayu kecil yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang terlihat tenang tapi mungkin cukup dalam.

Jembatan kayu menuju bekas jembatan kereta api di Citali Foto:Inas Qori Aina

Perjalanan ini tidak cukup sampai di Citali, dan bukan hanya tentang kereta api. Satu yang tak kami lewatkan yaitu untuk mampir ke sentra ubi Cilembu yang berada di Desa Cilembu. Ketika memasuki gapura desa tampak kebun ubi yang terhampar di kiri dan kanan jalan. Kami pun menyempatkan untuk mampir ke sebuah warung ubi Cilembu milik seorang warga lokal. Di sini kami berbincang mengenai asal mula berkembangnya ubi Cilembu hingga menjadi oleh-oleh yang terkenal saat ini.

Kebun ubi Cilembu Foto: Inas Qori Aina

Oleh-oleh ubi Cilembu telah kami kantongi, saatnya kami melanjutkan perjalanan untuk pulang. Perjalan pulang kami melewati jalur yang berbeda dengan saat kami berangkat. Perjalanan kami melewati Parakan Muncang dan melewati jalur Cicalengka-Rancaekek. Di tengah jalan raya Rancaekek tampak plang yang tidak telalu besar bertuliskan “Situs Candi Bojong Menje”. Untuk menuju situs candi tersebut kami harus memasuki sebuah gang yang cukup kecil. Saya tak habis pikir ketika tiba di sini. Konstruksi batuan candi hanya dilindungi oleh sekeliling pagar yang sudah karatan serta atap yang rusak.

Berbincang dengan Pak Ahmad, kuncen Candi Bojong Menje Foto: Komunitas Aleut

Di sini kami berbincang dengan penjaga candi yaitu Pak Ahmad. Ia menceritakan bagaimana awal mula penemuan situs ini serta kemungkinan masih adanya struktur candi lain yang kini berada di tengah bangunan pabrik.

Tak lama, kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Di tengah jalan kami berhenti di sebuah bangunan bekas Stasiun Penerima Radio Nederlands Indische Radio Omroep (Nirom). Kata Pa Hepi, bangunan tersebut kini digunakan sebagai bengkel entah oleh siapa dan masih dimiliki oleh PT Telkom.

Waktu semakin petang, kami mengejar waktu agar sempat untuk melihat satu lagi candi yang masih terletak di Kabupaten Bandung. Beruntungnya, matahari masih mau menemani kami sehingga saat kami tiba keadaan belum terlalu gelap. Candi terakhir yang kami singgahi adalah Candi Bojongemas. Keadaan di sini justru lebih parah daripada Candi Bojong Menje. Papan informasi sudah berkarat dengan tulisan yang tidak cukup jelas. Batuan candi pun hanya dikelilingi oleh pagar kayu yang sangat rentan untuk rusak.

Keadaan di sekitar Candi Bojongemas Foto: Inas Qori Aina

Hanya sebentar kami melakukan pengamatan, keadaan pun semakin gelap. Tandanya perjalanan kami hari itu selesai, dan harus segera pulang. Di perjalanan pulang, pikiran saya tak karuan merenungkan pengalaman dari perjalanan Momotoran ke kawasan timur yang baru saja saya lalui, seperti yang tidak asing karena sering dilalui, tapi ternyata punya banyak peninggalan masa lalu yang rasanya tidak terlalu populer dan jarang dibicarakan orang…

***

Momotoran Jejak Kereta Api Bandung-Tanjungsari

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke,

Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang.

Saya tak mengira bahwa Bandung Timur menyimpan kepingan sejarah masa lalu, dari mulai perkebunan, kereta api, hingga candi. Ternyata banyak juga bahan pembelajaran di sini dan saya mendapatkan sebagiannya ketika hari Sabtu lalu, 30 Januari 2021, saya mengikuti kegiatan momotoran bersama Aleut Development Program 2020.

Tema utama momotoran ini sebenarnya menyusuri jejak jalur kereta api mati antara Bandung-Tanjungsari. Tapi di bagian akhir, ada beberapa bonus yang mengejutkan.

Jembatan Cincin Cikuda

Lokasi pertama yang kami datangi yaitu Jembatan Cincin yang terletak dekat Jalan Raya Pos dan kampus Unpad. Setelah melewati satu jalur jalan sempit, kami tiba di atas bekas jembatan kereta api yang masih berdiri kokoh, seperti tak tergerus oleh waktu. Arah timur dari jembatan ini terlihat Gunung Geulis, namun sayang pemandangan tersebut terhalang gedung tinggi. Di sekitar jembatan pun terlihat tidak terawat, banyak tumpukan sampah di sana-sini.

Kereta api sedang melintasi Jembatan Cincin Cikuda, di belakangnya terlihat Gunung Geulis. Foto: nationaalarchief.nl

Lalu kami berjalan menuju bagian bawah jembatan, di sana terdapat komplek permakaman warga lokal. Dari bawah sini terlihat jelas bentuk jembatan, lingkaran bawah jembatan memang terlihat seperti cincin, mungkin itu sebabnya jembatan ini dinamai Jembatan Cincin. Eksplorasi di sekitar jembatan ini tidak terlalu lama karena kami akan bergerak menuju lokasi berikutnya.

Baca lebih lanjut

Catatan Kelas Literasi: Film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman

Mengapresiasi film (dan musik) sudah menjadi salah satu kegiatan rutin di Komunitas Aleut. Pada kesempatan kali ini untuk kedua kalinya digelar Kelas Apresiasi Film bagi para peserta Aleut Development Program 2020 (ADP-2020). Film terpilih kali ini adalah “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” karya sutradara Garin Nugroho.

Film ini dipilih karena menceritakan sosok Tjokroaminoto yang punya peranan penting dan sangat berpengaruh sebagai salah satu tonggak perjuangan ke-Indonesia-an.  Latar ini juga yang menjadi daya tarik dan penyemangat saya untuk menonton filmnya dengan sungguh-sungguh.

“Guru Bangsa: Tjokroaminoto” adalah film garapan Garin Nugroho yang pertama kalinya saya tonton, baru setelah usai pemutaran filmnya saya ketahui bahwa Garin merupakan sosok yang luar biasa dalam dunia perfilman. Ternyata ada banyak karya film Garin lainnya yang sepertinya selalu menjadi bahan perbincangan dalam dunia perfilman,

Sebagai penikmat film yang awam, saya membuat beberapa catatan, anggap saja sebagai refleksi random saya setelah menonton film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”. Tentu tidak mudah bagi saya untuk membuat penilaian-penilaian, bahkan rasanya sulit untuk sekadar mengatakan apakah film ini tergolong film yang “bagus” atau “buruk.”

Film dengan durasi dua jam empat puluh menit ini menggambarkan kehidupan dan Tjokroaminoto sedari kecil serta berbagai perjuangannya di masa dewasanya. Durasi ini cukup panjang untuk sebuah film, namun terasa masih kurang untuk menceritakan detail sosok H.O.S Tjokroaminoto.

Hemat saya, Garin hanya mengemas gambaran kasar tentang perjuangan Tjokroaminoto di Serikat Islam melawan politik Hindia Belanda, dan juga perannya sebagai guru yang akan melahirkan sosok pahlawan di masa setelahnya. Maka tentu saja film tersebut tidak akan memberikan kepuasan informasi tentang Tjokroaminoto. Namun sah-sah saja jika Garin membuat cerita seperti itu, jika ingin mendapatkan gambaran yang lebih detail mungkin harus dibuat menjadi film serial.

Pembangunan cerita pada film ini maju mundur dan perlu menyimak dengan baik agar tidak kehilangan alur. Secara umum, bayangan situasi tempo dulu cukup terbantu oleh setting lansekap, pakaian, perlengkapan, dan dialog campur-campur antara bahasa Jawa, Belanda, dan Indonesia (Melayu). Ada beberapa bagian yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa adegan itu harus dimasukkan, bahkan rasanya tidak ada hubungan penting dengan filmnya secara keseluruhan. Misalnya, pada bagian tari-tarian Sukarno dengan Oetari dll yang saya kurang yakin juga kebenarannya.

Cerita dalam film ini terasa sangat hidup oleh peran aktor-aktor yang handal, terutama pemeran utama sebagai Tjokroaminoto, Reza Rahadian. Ekspresi wajah, intonasi bicara, gerak-geriknya, membuat saya terlena, jangan-jangan itu memang Tjokroaminoto dan bukan aktor Reza Rahadian. Peran-peran lain juga terasa cukup meyakinkan, seperti Semaoen, Moesso, Agus Salim, dll.

Namun saya masih dibuat bingung oleh sosok Stella yang diperankan oleh Chelsea Islan, bukan berarti Chelsea berperan buruk, namun ada kekurangan dalam perannya sehingga saya tidak menemukan sosok Stella dalam diri Chelsea. Begitu juga ada beberapa peran rakyat yang tidak begitu mendalami perannya, sehingga menjadi tidak sempurna.

Pembuatan suasana akhir abad 19 dan awal abad 20 membuat saya cukup puas menontonnya. Saya seperti betul-betul barada dalam masa itu. Tata rias dan busana terasa sangat mewakili zamannya, apalagi perbandingannya pun dapat saya lihat dalam film karena dalam beberapa bagian ditayangkan juga beberapa foto lama. Semua suasana lama yang dibikin untuk pembuatan film pada tahun 2015 ini ternyata mampu membuat saya larut dalam gambaran masa lalu yang disampaikan.

Selain oleh Tjokroaminoto, saya juga takjub pada sosok Ibu Suharsikin. Beliau selalu mendukung, setia, dan berkorban dibalik sesosok H.O.S Tjokroaminoto. Ini mengingatkan saya kepada kata-kata murid dari Tjokroaminoto yaitu, Buya Hamka. Katanya, “Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.”

Selain catatan di atas, saya sebenarnya sering kurang menangkap alur cerita dan hubungan sebab-akibat beberapa adegan, seperti apa hal pertama yang membuat Tjokroaminoto menjadi sangat dikenal di kalangan rakyat, atau apa penyebab konflik antara orang Tionghoa dan orang pribumi yang dapat diredakan begitu saja oleh Tjokroaminoto.

Segitu saja catatan saya, tapi ketika berdiskusi usai pemutaran film, ada beberapa hal lain yang disampaikan oleh temen-temen ADP, sebagian yang saya tangkap saya catatkan juga saja di sini.

Inas merasa bagian musiknya terasa mengganggu dan mendapatkan penjelasan dari diskusi bahwa musiknya memang tidak sesuai zaman, misal “Surabaya Johnny” yang dalam film dinyanyikan tahun 1906 padahal lagunya baru terbit tahun 1929. Begitu juga lagu dengan judul “Terang Boelan” yang baru populer tahun 1937-1938.

Kesan dari Ervan adalah bahwa banyak tokoh yang muncul dalam film tapi tidak dijelaskan dengan baik siapa-siapanya, sehingga terasa cukup membingungkan dalam mengikuti alur cerita. Pahepi mengatakan bingung, sebenarnya film ini mau fokus pada tema apa. Hal ini ditambahkan oleh Adit, Lisa, dan Rani, dengan pertanyaan yang sama, sebenarnya inti ceritanya itu Tjokroaminoto sebagai Guru Bangsa atau peran Tjokroaminoto dalam Sarekat Islam? Pahepi juga mencatat soal latar belakang pemandangan dalam adegan dengan kereta api, yang terlihat itu di Ambarawa dan bukan di Surabaya.

Ya masih banyak catatan lain yang muncul dalam diskusi, tidak hanya yang dianggap sebagai kekurangan, tapi juga kelebihan-kelebihan film ini seperti sebagian yang sudah ditulis di atas. Paling tidak film ini dapat menjadi gambaran kasar bagi mereka yang ingin mengenal siapa itu H.O.S Tjokroaminoto. Setelah beberapa film lain tentang tokoh-tokoh bangsa juga dibuat, semoga ke depannya semakin banyak film-film sejarah dan ketokohan semacam ini diproduksi agar generasi berikutnya dapat lebih kenal lagi kepada para perintis kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.

Semoga perfilman Indonesia terus maju dan berkembang ke depannya, dan ini pasti membutuhkan sikap kritis dari kita semua, Bangsa Indonesia.

***