Category: Sejarah (Page 2 of 3)

Tan Sim Tjong (1)

Berikut ini serial penelusuran tokoh Tan Sim Tjong yang ditulis oleh rekan saya dan sudah dimuat bersambung di HU Pikiran Rakyat

Bagian Pertama:

Telusur Silsilah Melalui Roman

MENJELANG Imlek lalu, Pikiran Rakyat mengulas sebuah roman Tionghoa yang menceritakan perkawinan satu marga (she) di Bandung pada tahun 1917. Roman berjudul Rasia Bandoeng yang ditulis oleh Chabbaneau itu mengisahkan drama percintaan antara Tan Tjin Hiauw dan Tan Gong Nio. Satu abad berlalu, roman tersebut ternyata menyisakan sebuah cerita nyata bagi turunan keluarga Tan Sim Tjong.

Adalah Charles Subrata, Bambang Tjahjadi, Wishnu Tjahyadi, Adji Dharmadji, dan dr. Benjamin J. Tanuwihardja, SpP, FCCP yang kemudian berkumpul di Kantor Redaksi Pikiran Rakyat pada Jumat (3/4/2015). Mereka adalah cucu dan cicit Tan Sim Tjong yang telah puluhan tahun tinggal berpencar. Charles bermukim di Belanda, Bambang di Jerman, Adji di Jakarta, Wishnu di Bekasi, dan Benjamin di Bandung. Turut pula Tjandra Suherman sebagai penerjemah Bahasa Tionghoa. Atas bantuan Direktur Pusat Studi Diaspora Tionghoa, Sugiri Kustedja, mereka berkumpul mengonfirmasi cerita demi penelusuran silsilah keluarga. Continue reading

Gedung Swarha

Sumber foto: kitlv.nl

          Sumber foto: kitlv.nl

Foto ini menggambarkan suasana keramaian di Bandung saat merayakan Jubileum Ratu Wilhelmina pada tahun 1923. Foto diambil di sudut barat daya Alun-alun, di depan sebuah toko pakaian dan kelontong, Toko Tokyo. Pada gambar dapat dilihat plang nama Toko Tokyo di atas pintu gedung di sebelah kanan.

Toko Tokyo dibangun tahun 1914 dan hancur pada tahun 1940-an, kemungkinan pada sekitar peristiwa Bandung Lautan Api. Angka tahun pembangunan didapatkan dari angka yang tercetak besar pada atap gedung sebelah kanan. Dari sebuah foto udara yang dibuat oleh ML-KNIL tahun 1946 dan dimuat dalam buku karya RPGA Voskuil, “Bandung; Citra Sebuah Kota”, tampak lahan Toko Tokyo kosong dan belum ada bangunan penggantinya. Continue reading

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago, Bandung

Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-1   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-2 Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-3   Prasasti Raja Thailand di Curug Dago-4

Tahun 1989 seseorang menemukan dua buah batu bertulis di tebing dekat Curug Dago. Lalu ia mengumumkan penemuannya di media cetak. Mungkin sempat membuat heboh warga Bandung. Lalu muncullah berbagai dugaan tentang apa sebenarnya batu bertulis itu, siapa yang membuatnya?

Informasi awal mulai bermunculan. Itu huruf Siam, digurat oleh dua orang Raja Siam (Thailand), masing-masing Rama V dan Rama VII, yang memang pernah datang berkunjung ke kota Bandung dalam kesempatan berbeda, masing-masing tahun 1896 dan 1901. Tetapi apa makna tulisan itu? Kenapa mereka membuatnya di situ?

Dugaan-dugaan berkembang. Lokasi Curug Dago memiliki suasana magis, ada sesuatu yang saral di sana. Sepertinya Raja Siam bersemedi di bawah air terjun itu. Air Ci Kapundung pada saat itu tentulah begitu jernihnya, di tengah lingkungan hutan yang lebat dan asri, tenang, sejuk, dan memberikan ketenteraman. Gemuruh air terjun pada saat itu tentu cukup menggetarkan, mengingat polusi suara belumlah separah zaman modern ini.

Pada tahun 2001 terbitlah sebuah buku dengan judul “Journeys to Java by a Siamese King” yang ditulis oleh Imtip Pattajoti Suharto. Isi buku ini sesuai judulnya, mengisahkan perjalanan Raja Siam ke Pulau Jawa.

Continue reading

Dua Dunia Trans7: Gua Belanda dan Gua Jepang di Tahura Ir. Djuanda

10933844_386696264833557_214986958903502471_n

Hari ini berkunjung ke Gua Jepang yang terletak di dalam kompleks Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, di sebelah utara Kota Bandung. Sebagai taman hutan, inilah yang pertama kali didirikan di Hindia Belanda, peresmiannya dilakukan pada tahun 1922.

Sebelum keberadaan taman hutan, di kawasan ini sebelumnya sudah pernah dibuat suatu jalur pemanfaatan air sungai Ci Kapundung untuk keperluan air bersih warga kota. Mulanya dengan membuat sebuah bendungan. Belum diketahui persis kapan waktu pembuatannya tetapi kemungkinan berlangsung di antara 1890 – 1906. Bendungan ini mengalami kerusakan beberapa tahun kemudian. Sisa-sisa bangunannya masih dapat ditemukan di dalam kawasan Tahura di dekat lokasi Curug Koleang. Continue reading

Jejak yang Memudar: Sukarno di Bandung, Bagian 1

Sukarno Muda Tiba di Bandung

Ketika aku pindah dari Djawa Timur kedaerah Djawa Barat ini, Pak Tjokro telah mengusahakan tempatkumenginap dirumah tuan Hadji Sanusi. Aku pergi lebih dulu tanpa Utari untuk mengatur tempat dan melihatlihatkota, rumah mana jang akan mendjadi tempat tinggal kami selama empat tahun, begitulahmenurutperkiraanku diwaktu itu. Aku merasa hawanja dingin dan wanitanja tjantik-tjantik. Kota Bandungdan aku dapat saling menarik dalam waktu jang singkat.

Pertama kali Sukarno menjejakkan kakinya di Kota Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Technische Hooge School (THS), ia langsung jatuh cinta pada kota ini. “Kota yang menyenangkan hati,” begitu tutur Sukarno dalam buku karangan Cindy Adams, “Bung Karno; Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Hari itu, pada akhir bulan Juni 1921, adalah awal perjalanan pemuda Sukarno di Bandung, sebuah perjalanan panjang yang kelak akan membawa bangsanya menuju kemerdekaan.

Saling menarik antara Bandung dengan Sukarno akan berlangsung paling tidak selama empat belas tahun ke depan. Di kota berhawa dingin ini Sukarno melahirkan pemikiran-pemikiran pentingnya. Bandung, seperti ditulis oleh Peter Kasenda dalam “Sukarno Muda; Biografi Pemikiran 1926-1933”, adalah pusat alam pemikiran nasionalis sekuler. Di Bandung telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan penuh untuk tanah air Indonesia. Ke dalam pusat pergerakan inilah Sukarno muda menerjunkan dirinya.

Kehidupan Sukarno di Bandung dimulai dengan tinggal indekost di rumah Haji Sanusi. Seperti telah diketahui, Sukarno pernah tinggal selama hampir lima tahun di rumah Cokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam di Surabaya. Cokroaminoto juga yang telah mengatur bakal tempat tinggal Sukarno selama menjalani pendidikan di Bandung, yaitu di rumah Haji Sanusi yang terletak di Javaveemweg. Haji Sanusi adalah seorang anggota Sarekat Islam yang berkawan baik dengan Cokroaminoto. Di rumah ini pula Sukarno berjumpa dengan Inggit Garnasih yang saat itu masih berstatus sebagai istri Haji Sanusi.

Untuk sementara pasangan Sukarno-Inggit tinggal di rumah orang tua Inggit di Javaveemweg. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat tinggal ke beberapa lokasi di dalam kota Bandung. Awalnya ke Gg. Djaksa di sebelah selatan Regentsweg (sekarang Jl. Dewi Sartika), lalu ke Gedong Dalapan di Poengkoerweg (Jl. Pungkur), kemudian ke Regentsweg 22, sebelum akhirnya menetap di sebuah rumah panggung di Astanaanjarweg.

Continue reading

Papan Cuci Elisabeth Adriana Hinse-Rieman

Elisabeth Adriana Hinse Rieman-2B

Hari ini saya mengantarkan beberapa orang yang ingin menengok nisan Letnan Tionghoa pertama di Bandung yang beberapa hari lalu saya unggah di sini. Tidak banyak informasi baru yang saya dapatkan.

Di jalan pulang, saya mampir ke mata air Ci Guriang di sebelah utara Jl. Kebon Kawung. Bila nisan Letnan Tionghoa sudah menjadi bagian sebuah tembok rumah, maka di sini ada tiga nisan tua dari zaman Hindia Belanda yang terbengkalai. Ketiga nisan ini dipakai untuk pijakan dan papan cucian oleh warga sekitar mata air ini.

Dari ketiga batu nisan seukuran pintu rumah itu, dua di antaranya sudah terbelah dan tidak ada bekas jejak tulisan apapun di atasnya. Tapi, satu nisan masih memiliki inskripsi lengkap. Bentuk keseluruhan tulisan sangat sederhana, tidak ada ukiran-ukiran tambahan atau hiasan apapun. Continue reading

Dari Lasmanah di Taman Cibeunying, ke Banjarnegara, sampai Parta Kutang.

Ini adalah cerita ngalor-ngidul.
Cerita yang muncul dan berkembang begitu saja dari sebuah foto. Seorang teman menunjukkan sebuah foto di grup whatsapp kawan-kawan Komunitas Aleut! Foto itu bergambar sebuah potret berukuran besar yang diambilnya di ruang dalam sebuah restoran di Jl. Taman Cibeunying Selatan. Potret tua berwarna sepia itu terbingkai dan terpajang anggun di dinding rumah. Gambarnya seorang perempuan muda, di bawahnya ada sebaris tulisan: Ibu Hj. Lasmanah Kolopaking (1902-1965).

Lasmanah Kolopaking-1B
Ibu Hj. Lasmanah Kolopaking (1902-1965) Foto: Ariyono Wahyu.

Kolopaking
Nama Kolopaking ini otomatis mengingatkan beberapa kawan kepada artis yang dulu pernah terkenal, Novia Kolopaking. Apakah ada hubungannya? Sebagai trah, Kolopaking sering disangka sebuah marga yang berasal dari wilayah Indonesia Timur, padahal nama ini bila dirunut ceritanya, akan muncul pada cerita sejarah Kebumen di Jawa tengah. Continue reading

Nisan Luitenant Oeij Bouw Hoen, 1882

Oeij Bouw Hoen 1881-1B

Sabtu lalu saya jalan-jalan menyusuri perkampungan padat di daerah Babakan Ciamis. Dari beberapa bacaan, saya tahu dulu di kawasan itu ada permakaman Cina pindahan dari Oude Kerkhoff (Sentiong) di Banceuy.

Ternyata saat ini kawasan itu sudah sangat padat oleh permukiman, lorong-lorong jalan yang sangat sempit, untuk dilewati satu motor pun susah, dan karena tanahnya berundak-undak, banyak lorong yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki saja.

Permakaman lama sudah tidak bersisa, hanya beberapa orang tua saja yang bisa cerita bahwa dulu di sana memang pernah ada permakaman, warga lainnya umumnya tidak mengetahui karena rata-rata baru datang di wilayah itu pada tahun 1980-an.

Seorang tua yang berasal dari Jawa Tengah bercerita bahwa pada saat dia pindah ke Babakan Ciamis, beberapa puluh meter di belakang rumahnya masih ada 3 buah nisan lama, sayangnya karena renta, beliau tidak bisa mengantarkan. Continue reading

Catatan Ci Kapayang 10.11.13

RAA_Martanagara_nuju_janten_Patih_di_Sumedang

RAA Martanagara (1845-1926) adalah Bupati Bandung periode 1893-1918. Karena bukan berasal dari trah Bandung, maka ia mendapat julukan Dalem Panyelang.

27 Juni 1893, seorang Patih yang bertugas di Afdeling Sukapura Kolot diangkat menjadi Bupati Bandung yang kesepuluh, Raden Adipati Aria Martanagara. Ia menggantikan Bupati Bandung kesembilan, Raden Adipati Kusumadilaga, yang wafat dua bulan sebelumnya.

Pengangkatan ini menimbulkan masalah, karena RAA Martanagara bukanlah seorang berdarah Bandung. Selain itu, Patih Bandung, Raden Rangga Somanagara  yang sudah bertugas menggantikan pekerjaan bupati sehari-hari juga merasa kecewa dan marah karena beranggapan telah terjadi penyerobotan hak dalam meneruskan kepemimpinan di Kabupaten Bandung. Raden Rangga Somanagara adalah menantu Bupati Bandung Wiranatakusuma IV atau Dalem Bintang.

Raden Rangga Somanagara merasa seharusnya dialah yang menggantikan Kusumadilaga sebagai Bupati Bandung. Kekecewaan membuat kalap. Somanagara dibantu beberapa kroninya melakukan beberapa percobaan pembunuhan, baik terhadap bupati yang baru maupun pejabat-pejabat Belanda di Bandung. Continue reading

Ngaleut Inhoftank, 01.12.13

Minggu, 1 Desember 2013, adalah hari yang cukup istimewa. Hari ini kami bersama @KomunitasAleut akan berkenalan dengan satu kawasan di bagian selatan Bandung, yaitu Inhoftank. Walaupun cukup sering melewati kawasan ini dalam berbagai kesempatan, tetapi mengunjunginya secara khusus belum pernah dilakukan. Lagipula sering terpikir, apa perlunya berkunjung ke tempat ini selain karena namanya yang unik itu?

Nama Inhoftank memang terdengar unik dan sering mengundang pertanyaan, apa arti nama itu? Sejarah nama tempat ini pernah dituliskan oleh @mooibandoeng dalam blog-nya, kira-kira seperti ini keterangannya: Imhoff, dan bukan Inhof, adalah nama orang. Ia adalah seorang teknisi yang pernah membuat suatu pabrik pengelolaan limbah rumah tangga di Bandung tempo dulu. Tank adalah tangki-tangki tempat penampungan limbah tersebut.

Dari pengelolaan ini didapatkan bentuk energi yang bisa dimanfaatkan untuk masyarakat banyak, yaitu biogas. Catatan yang ada menyebutkan bahwa energi ini dipergunakan untuk menjalankan bis-bis sekolah. Selain itu, ampas dari hasil pengelolaan ini dapat dipergunakan sebagai pupuk. Nah, pabrik itu berada di kawasan yang sekarang bernama Inhoftank, pelafalan lokal untuk Imhofftank.

Keterangan yang didapatkan dari buku “Kisah Perjuangan Unsur Ganesha 10; Kurun Waktu 1942-1950” itu memang tidak terlalu banyak memberikan informasi latar belakang kawasan yang dijadikan lokasi pabrik tersebut. Tidak rinci juga memberikan catatan tentang apa dan bagaimana sebenarnya pabrik tersebut. Perjalanan bersama @KomunitasAleut hari ini mencoba mendapatkan informasi lebih banyak berkaitan dengan Inhoftank, baik sebagai pabrik di masa lalu maupun sebagai suatu kawasan di Bandung Selatan. Continue reading

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2

Catatan Ngaleut Kawasan Trunojoyo – Bagian 2:
Nama-nama Jalan

Mencatat Sudut Kota 031113b
Poster oleh @pamanridwan.

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian pertama CATATAN NGALEUT KAWASAN TRUNOJOYO. Bagian pertama adalah rangkaian perjalanan serta catatan sejarah ringkas dan situasi yang terlihat, sedangkan pada bagian ini saya ingin memberikan penjelasan tentang nama-nama yang hadir di kawasan ini.

Tetapi sebelum melanjutkan, saya ingin menyampaikan isi pikiran yang selama ini sering mengganggu, sebetulnya bagaimana memilih dan menentukan nama-nama tokoh yang dipergunakan sebagai nama jalan di kawasan ini? Atau pertanyaan semacam kenapa nama jalan Sultan Agung atau Diponegoro misalnya, ditempatkan di ruas jalan utama dibandingkan dengan nama-nama seperti Geusan Ulun, Pangeran Kornel, atau Wiraangunangun ? Bahkan nama bupati seperti Martanagara yang punya banyak jasa bagi kota ini kenapa malah disematkan pada jalan kecil yang jauh di sebelah selatan kota?

Kawasan Trunojoyo-b

Baiklah, saya langsung ke nama pertama di kawasan ini, yaitu Jl. Sultan Agung d/h Heetjansweg. Ruas jalan Sultan Agung tidak terlalu panjang, namun lebih lebar dibanding jalan-jalan lain di kawasan Trunojoyo. Letaknya juga strategis karena menjadi salah satu ruas jalan utama yang menghubungkan Dago dengan kompleks vila di kawasan ini, Continue reading

Balitsa dan Marietje

Kalau bepergian ke Tangkubanparahu atau Subang dari arah Lembang, kita akan melewati sebuah kompleks bernama Balai Penelitian Tanaman Sayuran atau sering disingkat Balitsa, di sebelah kiri jalan. Kompleks ini terletak di Jalan Tangkubanparahu No.517, Lembang. Halaman kompleks sangat luas, di belakangnya terlihat ada banyak bangunan.

Balitsa-7

Sekilas dari jalan raya saja kita bisa perhatikan bahwa kompleks ini punya lingkungan yang nyaman. Halaman rumput yang luas dan bersih, mendekati jalan raya halaman ini membentuk gawir karena memang lokasinya berada agak tinggi di atas jalan raya. Udara di kawasan ini juga memang sejuk, ketinggiannya sekitar 1250 meter di atas permukaan laut.

Walaupun setiap waktu kita makan sayur, belum tentu juga kita menyadari keberadaan lembaga seperti Balitsa ini. Padahal berbagai penelitian dan percobaan dilakukan oleh lembaga ini agar dapat mengembangkan produksi sayuran dan buah-buahan sehingga pertanian dapat menghasilkan produk yang benar-benar baik untuk kita konsumsi.

Rintisan lembaga penelitian ini dimulai di bawah Balai Penelitian Teknologi Pertanian di Bogor pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda (1940). Tahun 1962, Balai Penelitian di Bogor itu mendirikan Kebun Percobaan Margahayu di bawah kordinasi Lembaga Penelitian Hortikultura, tempatnya di Lembang, di tengah-tengah wilayah yang sudah lama dikenal sebagai penghasil sayuran di Priangan. Continue reading

Braga Sebagai Kawasan Wisata Kota Tua di Bandung

Braga 1937 (3)

Jalan Braga sebagai salah satu tujuan wisata di Kota Bandung tampaknya semakin populer belakangan ini. Di banyak situs internet berupa weblog dapat dengan mudah kita temui tulisan-tulisan ringan mengenai ruas jalan yang panjangnya hanya sekitar setengah kilometer ini. Kebanyakan tulisannya bercerita tentang kesan para penulisnya berjalan-jalan di kawasan Braga. Sebagian lain sedikit lebih serius dengan menyampaikan juga data-data sejarah yang berkaitan dengan perkembangan modern Jalan Braga sejak akhir abad ke-19 hingga saat ini.

Minat utama para penulis blog yang sempat mengunjungi Jalan Braga ini adalah suasana tempo dulu yang masih dapat terlihat dari sebagian kecil bangunan yang berjajar di sepanjang Jalan Braga. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan seperti kamera foto atau perekam video untuk mengabadikan berbagai obyek yang menarik perhatian. Kadang di lokasi atau gedung tertentu para pengunjung terlihat sampai memperhatikan berbagai detail yang masih tersisa. Untuk diketahui, para penulis blog ini tak sedikit yang berasal dari luar kota, termasuk dari luar negeri.

Yang juga cukup menarik adalah fenomena banyaknya kelompok remaja yang mengunjungi Jalan Braga terutama pada akhir minggu dan hari-hari libur. Sejak pagi hingga menjelang malam, berbagai kelompok remaja tampak silih berganti berjalan-jalan atau berfoto bersama di sudut-sudut jalan Braga. Obyek foto paling populer tentunya gedung-gedung tua peninggalan masa kolonial yang sebagian tampak masih kokoh berdiri dan menyisakan keindahan masa lalunya. Tak jarang pula bisa kita saksikan berbagai kegiatan pemotretan untuk keperluan fashion atau pernikahan, dan bahkan untuk pembuatan film, dilakukan di sepanjang Jalan Braga dengan latar gedung-gedung tuanya. Continue reading

Pacet

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Rijstterrassen_in_de_omgeving_van_Patjet_TMnr_60016823

Salah satu uwak saya sudah sangat lama tinggal di Majalaya, dari tahun 1950-an. Dia bekerja sebagai mantri gigi di Rumah Sakit Majalaya. Dulu rumah tinggal uwak adalah rumah dinas rumah sakit yang terletak di halaman belakang. Rumah bergaya kolonial yang dikelilingi halaman rumput yang luas. Di belakang rumah juga ada halaman rumput luas dan sebuah kolam. Bila keluarga besar berkumpul, biasanya kami gelar tikar di situ makan siang bersama. Di dekat kolam ada menara besi tinggi yang di puncaknya terdapat penampungan air. Anak-anak senang memanjati menara itu.

Selain menara, kami juga senang memanjati pohon jambu batu yang batangnya meliuk-liuk sehingga bisa kami duduki. Dari atas pohon terlihat bentangan sawah di balik pagar semak yang membatasi halaman rumah dengan sawah. Di kejauhan membayang jajaran pergunungan, katanya di sana ada satu tempat yang sangat sejuk, nama daerahnya terdengar aneh, Pacet.

2013-08-25 08-10-21-110

Belasan tahun kemudian saya benar-benar punya kesempatan menginjakkan kaki ke Pacet. Saat itu saya sudah punya tambahan sedikit informasi tentang Pacet dan kawasan sekitarnya. Kali pertama menuju Pacet, saya dibuat kagum sepanjang perjalanan mulai dari arah Ciparay. Jalanan terus menanjak dengan pemandangan persawahan yang bertingkat-tingkat di kiri-kanan jalan.

Di lembah sebelah kiri, mengalir sungai Ci Tarum yang penuh dengan sebaran batuan berukuran besar. Di sebelah kanan jalan pemandangan terisi oleh jajaran perbukitan yang termasuk kawasan Arjasari. Pada masa Hindia Belanda, di Arjasari terdapat perkebunan teh yang cukup luas yang dikelola oleh salah satu perintis Preangerplanters, Rudolf A. Kerkhoven (1820-1890). Continue reading

Jalan-jalan ke Bogor

Re: Tour de Buitenzorg

BAGIAN 1

Catatan berikut ini saya sarikan dari tulisan tentang kunjungan sehari penuh ke Bogor bersama sejumlah teman beberapa waktu lalu. Beberapa lokasi tujuan sudah kami tentukan sebelumnya, sisanya kami kunjungi secara spontan karena kebetulan terlewati dalam perjalanan.

Ini bukan tulisan lengkap tentang sejarah Bogor ataupun objek-objek wisata di Bogor, namun sukur-sukur bila catatan ini bisa jadi panduan tambahan juga bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bogor.

Afdeling paling Selatan residensi Batavia, kira2 dibekas ibu-kota Pakuan keradjaan Padjadjaran (1433-1527), tjantik alamnja, bagus letaknja dan njaman hawanja (72˚C). Gupernur-Djenderal Maetsuyker (1653-1678) telah tertawan hatinja oleh daerah itu sedemikian rupa, hingga ialah orang pertama, jang berhasrat mendirikan sebuah istana disana. Hutan2 dibabat (1677). Ketika itu pekerdja2 Sunda menemui banjak pohon-aren jang sudah mati rusak terbakar, hingga tidak mengeluarkan nira lagi (bogor), maka sedjak ketika itulah pula dinamakan Bogor.” Kutipan ini tercantum dalam bagian awal tulisan berjudul “Bogor 1853-1873; Bazaar di Bogor” karya Lie Kim Hok.[1]

Sebelum memasuki Kota Bogor yang katanya njaman hawanja itu, kami mampir dulu ke bekas sebuah situs kuno di kaki Gunung Pangrango, yaitu Arca Domas. Situs ini berdampingan dengan situs makam lainnya yang merupakan kompleks pemakaman tentara Jerman dari masa Perang Dunia II. Untuk menuju lokasi ini kami harus masuk dari jalan yang tidak terlalu lebar di Gadog, perjalanan agak menanjak sekitar 6-7 kilometer. Seluruh badan jalan memang sudah beraspal namun sempitnya cukup menyulitkan juga terutama bila berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

ARCA DOMAS

Biasanya nama Arca Domas dikaitkan dengan situs keramat masyarakat Baduy di Kanekes, Banten. Namun ternyata masih ada Arca Domas lainnya, yaitu di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung. Nama Arca Domas di sini disinggung pula oleh Thomas Stamford Raffles dalam bukunya “History of Java” (1817). Dalam buku itu Raffles menyebutkan terdapatnya patung-patung batu dengan bentuk kasar di Buitenzorg dan di Recha Domas, dua daerah yang berhubungan dengan ibukota kerajaan kuno, Pajajaran.[2] Continue reading

« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑