Author: komunitasaleut (Page 3 of 103)

Kisah Jan Bouwer yang Luput dari Interniran Jepang

Oleh Irfan Pradana

Jan Bouwer, Nederlands Dagblad, 17 Desember 1988 (delpher.nl)

Di tengah kekejaman perang, terdapat banyak catatan menarik tentang cara orang untuk bertahan hidup. Salah satu yang paling dikenal adalah kisah Anne Frank yang bersembunyi di sebuah ruangan (Het Achterhuis) di dalam rumahnya di Amsterdam pada masa pendudukan Belanda oleh tentara Nazi.

Selama dua tahun dalam persembunyiannya, Anne Frank menuliskan semua hal yang dialami dan dipikirkannya dalam buku diary yang belum lama dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Namun, pada Agustus 1944 ruang persembunyian ini diketahui oleh polisi dan semua penghuninya dibawa ke kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau di Polandia.

Setahun berikutnya, Anne Frank dan kakaknya Margot, meninggal karena sakit di Kamp Bergen-Belsen di Jerman. Ibunya, Edith, beserta orang-orang sepersembunyian meninggal di Auschwitz. Hanya ayahnya, Otto Frank, yang dapat bertahan hidup hingga berakhirnya Perang Dunia ke-2. Catatan harian Anne Frank yang juga dapat diselamatkan, kemudian diterbitkan pada tahun 1947 dan menjadi salah satu kisah paling berpengaruh di dunia.

Dalam rentang waktu yang sama, Hindia Belanda juga menyimpan cerita tentang orang yang bersembunyi selama masa Perang Dunia II. Awal mula kisah ini sama seperti kisah Anne Frank di atas, yaitu masuknya pasukan Nazi Jerman ke Belanda pada tahun 1940. Saat itu seorang jurnalis bernama Jan Bouwer memilih melarikan diri ke Hindia Belanda.

Jan adalah seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Pada 1938 ia pergi ke Belanda untuk bekerja, namun invasi Nazi memaksanya untuk melarikan diri dan kembali lagi ke Hindia Belanda. Di sini ia menikah dengan seorang indo bernama Ivonne dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis untuk media Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (Aneta).

Kegentingan perang seolah terus mengikuti Jan. Ia lari dari kejaran Jerman untuk kemudian terjebak dalam invasi Jepang di Hindia Belanda. Pada tahun 1942 Jepang berhasil memaksa HIndia Belanda menyerah. Lewat perjanjian Kalijati Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Dai Nippon. Tak berselang lama dari perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut, Jepang mulai memasuki kota Bandung.

Di sini pasukan Jepang mulai menangkapi orang-orang Eropa. Mereka yang ditangkap dijadikan tawanan perang dan dijebloskan ke kamp konsentrasi atau yang sering disebut sebagai kamp interniran.

Kamp ini dibagi menjadi beberapa sektor, di antaranya kamp untuk tawanan sipil pria, remaja, wanita, dan anak-anak. Lalu ada kamp untuk pejabat tinggi Hindia Belanda. Kamp ini tidak hanya diisi oleh orang Belanda, tapi juga orang Amerika, Inggris, dan Australia. Profesinya bermacam-macam, mulai dari seperti misionaris, administratur perkebunan, pengusaha, biarawati, serta perawat dan dokter.

Kondisi di kamp interniran sangat memprihatinkan. Seluruh komplek kamp dibentengi oleh pagar yang terbuat dari anyaman bambu dan kawat berduri. Para tahanan harus hidup berdesakan dan serba kekurangan. Kabarnya setiap hari mereka hanya diberi makan bubur kanji. Jika ingin makan lebih layak mereka harus bersiasat menghindari patroli agar bisa membeli makanan dari warga pribumi lewat celah-celah pagar. Cilaka dua belas kalau kepergok petugas, mereka bisa mendapat hukuman sangat berat.

Akibat keterbatasan ini kebanyakan tahanan mengalami gizi buruk, terutama anak-anak. Belum lagi masalah sanitasi di dalam kamp yang buruk sehingga memicu timbulnya berbagai macam penyakit mulai dari disentri hingga kolera.

Para tahanan pria umumnya dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembangunan jalur kereta dan bangunan. Sementara tahanan wanita banyak yang dipaksa untuk melayani nafsu birahi para tentara Jepang.

Penyakit, gizi buruk, dan beratnya pekerjaan menyebabkan banyak tahanan meregang nyawa. Dengan segala kengerian  yang ada, kamp ini ibarat tempat buat menunggu dijemput ajal.

Ajaibnya Jan Bouwer berhasil lolos dari seluruh kesengsaraan di atas. Selama 3,5 tahun pendudukan Jepang, Jan bersama sang istri bisa hidup bebas. Lantas bagaimana caranya Jan bisa selamat?

Rupanya sejak mengetahui kabar kedatangan Jepang ke Bandung Jan mengundi nasibnya dengan bersembunyi di halaman belakang rumahnya. Saat itu Jan bersama istrinya tinggal di kawasan Dago, tepatnya di rumah bernomor 42B. Kini lokasinya telah berganti rupa menjadi pusat perbelanjaan Superindo Dago.

Waktu ditinggali Jan, rumah itu punya halaman belakang yang rimbun oleh belukar. Jan menyebutnya sebagai mijn rimboe atau “Hutanku”. Jadi setiap ada patroli dari serdadu Jepang atau polisi Indonesia, Jan akan bersembunyi di hutannya itu. Seringkali dia harus berada di sana selama berjam-jam, terkena terik matahari dan hujan demi menghindari pemeriksaan petugas. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata tetangga Jan adalah orang Jepang. Namun keberadaannya tak pernah terendus oleh pihak Jepang.

Jan bersembunyi sendiri, karena Ivy, nama panggilan istrinya yang seorang Indo tidak termasuk golongan yang ikut ditangkap oleh Jepang. Lucunya di tengah segala ketegangan ini, Jan dan Ivy masih sempat-sempatnya berkembang biak. Kehamilan Ivy menimbulkan berita miring bagi warga sekitar. Mereka menduga Ivy main serong dengan lelaki lain, padahal Jan sendiri lah pelakunya.

Seperti Anne Frank, Jan juga membuat catatan harian selama masa persembunyiannya. Apalagi Jan adalah seorang jurnalis, jadi meskipun harus main petak umpet, ia masih menyempatkan diri untuk mengakses informasi. Lewat istrinya ia memperoleh perkembangan dunia melalui surat kabar lokal seperti Tjahaja dan Soeara Asia.

Tidak hanya melalui surat kabar, Jan juga mengakses informasi secara diam-diam melalui siaran radio luar negeri. Saat itu pemerintah Jepang melakukan sensor yang ketat terhadap media, salah satunya terhadap saluran mancanegara. Jadi setiap ada pemeriksaan, Jan harus mengubur perangkat radionya agar tidak ketahuan.

Senasib dengan penulisnya, catatan harian Jan di masa persembunyian selamat sentosa. Pada tahun 1983 catatan ini dibukukan dengan bantuan seorang sejarawan Belanda, Loe De Jong. Bukunya berjudul “Het Vermoorde Land”.

Melalui catatannya Jan mengisahkan detik-detik awal kedatangan Jepang ke Bandung. Ia ingat persis tanggal 10 Maret 1942 jam 6 sore harus kehilangan mobilnya di depan hotel Preanger. Seorang serdadu Jepang memaksanya keluar dari mobil lalu merampas kuncinya. Jan mengenali serdadu itu karena beberapa kali bertemu di sebuah toko pencucian film foto di Batavia.

Sabtu, 18 Maret 1942, Jan mencatat bahwa Bandung menjadi saksi peristiwa tragis. Pimpinan pemerintahan Hindia Belanda diperintahkan berbaris menuju stasiun kereta untuk diberangkatkan ke Batavia. Gubernur Jenderal Tjarda diangkut dengan truk, sementara para jenderal KNIL seperti Ter Poorten, Uhl, dan Pesman, berjalan di belakangnya.

Jan juga menceritakan tanggal 20 Maret setidaknya ada 1500 orang ditangkap dan dijebloskan ke penjara Struiswijk. Mereka diharuskan membersihkan toilet, mengepel lantai, dan menyemir sepatu serdadu Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer masih berada di Bandung, tepatnya di Villa Mei Ling. Tjarda terus diinterogasi, dan diperkirakan akan dibawa ke luar Pulau Jawa.

Menjelang akhir April 1942, kurang dari dua bulan setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, masyarakat di Bandung ramai menjual bendera Nippon untuk merayakan ulang tahun Kaisar Hirohito pada 29 April. Gubernur Jepang untuk Jawa Barat, Kolonel Matsui, telah menetap di Ciumbuleuit. Ada pelarian dari kamp-kamp tawanan militer di sekitar Bandung, dan Jepang mengancam akan menembak mati lima orang untuk setiap satu tawanan yang melarikan diri.

Cerita menarik lain pada akhir April 1943, Jan mencatat momen perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito yang tidak semeriah sebelumnya. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang mulai merasakan kesulitan hidup akibat melonjaknya harga beras.

Di Alun-alun Bandung, diadakan rapat umum yang diinisiasi oleh Oto Iskandardinata, Gondhokoesoemo, dan Dokter Moerdjani dengan tema “Hancurkan Amerika dan Inggris.”

Sementara di Jakarta, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer, juga mengadakan rapat umum. Soekarno menyerukan semboyan, “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.”

Jan bukan seorang Belanda yang progresif. Secara pandangan politik ia sama dengan para kolonialis Belanda kebanyakan. Misalnya dalam tulisan Jan kerap menggunakan kalimat “Soekarno en zijn kornuiten” (Soekarno dan konco-konconya). Ia juga menunjukan skeptisisme terhadap kemampuan pribumi ketika Jepang membuka kembali sekolah pendidikan dokter. Jan sangsi akan ada dokter yang kompeten dari kalangan pribumi.

Pada 19 Agustus Jan menyebut “pengibaran bendera pemberontak” untuk peristiwa proklamasi 17 Agustus. Menurutnya berdirinya republik Indonesia malah menimbulkan kecemasan ketimbang kebahagiaan. 19 Agustus juga jadi hari terakhir persembunyian Jan.

Di hari itu ia mengunjungi seorang Belanda lain yang bernasib mujur sepertinya mampu lolos dari penangkapan. Nama orang itu Van Vierssen yang bekerja di British American Tobaco Company. Keduanya berjumpa merayakan kebebasan sambil menenggak bir seraya menyesap rokok bersama.

Setelah itu Jan Bouwer melanjutkan kerja jurnalistiknya di Nieuwsgier, Jakarta. Pada 15 Agustus 1949, ia turut meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Setelah penyerahan kedaulatan, Jan tetap bekerja sebagai wartawan di Indonesia, namun pada tahun 1955, ia meninggalkan Jakarta untuk menjadi koresponden surat kabar Katolik De Volkskrant di Bonn. Setelah itu Jan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. ***

Jelajah Ibu Kota Solidaritas Asia-Afrika bersama Bandung Historical Study Games 2024

SMKAA (10/08)- Bandung Historical Study Games (BHSG) kembali digelar oleh Sahabat Museum Konperensi Asia-Afrika, yang didukung oleh Museum Konperensi Asia-Afrika, pada hari Sabtu, 10 Agustus 2024. Sejak 2013, BHSG konsisten menggunakan format kegiatan edukatif yang rekreatif, untuk mengobarkan Semangat Bandung.

BHSG 2024 memilih tema “Time Travel Trivia: Exploring Asian-African Solidarity in Bandung” untuk menegaskan predikat Kota Bandung sebagai Ibu Kota Solidaritas Asia-Afrika, sebagaimana telah disepakati para peserta KTT Asia-Afrika dalam Bandung Message 2015. BHSG tahun ini juga bertujuan untuk menguatkan pemahaman dan merawat makna penting Semangat Bandung, menuju peringatan 70 Tahun KAA di 2025.

(Foto 1 Peserta BHSG 2024)

BHSG juga menawarkan pengalaman yang berbeda setiap tahun. Pada BHSG kali ini, peserta diajak menjelajahi 10 lokasi bersejarah, yang berkaitan dengan peristiwa penting Kota Bandung dan Konferensi Asia Afrika. Pada setiap lokasi, para peserta akan menghadapi berbagai tantangan permainan yang berbeda.

Sejak pukul 05.30, sejumlah 323 peserta mulai berdatangan ke Gedung Dwi Warna sebagai titik awal penjelajahan. Gedung Dwi Warna merupakan representasi dan saksi perjuangan diplomasi Indonesia bersama bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam mengakhiri kolonialisme dan mendorong tercapainya perdamaian dunia, melalui pelaksanaan sidang komite politik, ekonomi dan kebudayaan KAA. BHSG 2024 dibuka oleh Ibu Noviasari Rustam Kepala Museum Konperensi Asia Afrika. Sambutan hangat dan dukungan juga disampaikan oleh Bapak Giri Susilo, Kepala Bagian Umum mewakili Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, selaku pengelola Gedung Dwi Warna.

(Foto 2 Peserta BHSG saat berada di Museum Pos)

Seusai dilepas oleh Kepala Museum KAA, 76 kelompok peserta BHSG akan menempuh perjalanan sejauh 6 km yang berakhir di Gedung Merdeka. Peserta akan melewati Museum Pos, Museum Gedung Sate, Gedung De Driekleur, Taman Dewi Sartika, Gedung DENIS Bank BJB, Gedung YPK, Hotel Grand Preanger, Kantor Pos Besar Asia Afrika dan menyelesaikan permainan di Gedung Merdeka.

Salah satu kelompok yang mengikuti kegiatan ini adalah empat orang teman sepermainan yang berasal dari Kota Bandung dan Bekasi, mereka tergabung dalam kelompok Guinea Khatulistiwa. Walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, mereka tetap antusias. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota kelompok, Orlando, “Melalui kuis, dan tantangan-tantangan yang harus kami selesaikan di setiap tempat yang kami kunjungi membuat kami jadi lebih tau soal sejarah dan juga informasi terkait kawasan yang dilewati. Seru dan cape!” ungkapnya.

(Foto 3 Kartu kelompok dan foto clue menuju tempat berikutnya)

Bandung Heritage dan board games dari Prodi DKV Itenas turut meramaikan kegiatan di Gedung Merdeka menjelang sesi penutupan BHSG 2024 yang diisi penampilan dari Sahabat Museum KAA. Peserta yang tertarik untuk bergabung sebagai relawan di Sahabat Museum KAA juga dapat mendaftarkan diri di hari yang sama.

Pelaksanaan BHSG 2024 didukung oleh Museum KAA Kementerian Luar Negeri dan para pengelola 10 lokasi kegiatan BHSG yaitu Pemprov Jawa Barat, Pemkot Bandung, Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat, BTPN Cabang Dago, PT. Pos Indonesia, Grand Hotel Preanger, dan POSCO.

Pemenang BHSG akan diumumkan pada 17 Agustus 2024 melalui media sosial resmi BHSG dan Sahabat Museum KAA. Hadiah utama bagi para pemenang BHSG 2024 berupa sejumlah tabungan dari sponsor prioritas yaitu Bank BJB. Berbagai doorprize bagi para peserta BHSG 2024 berasal dari sponsor lainnya seperti Sindang Reret Hotel & Restaurant, Bromen Personal Care, Monarq Studiom, Implora Beauty Cosmetic, Le Von Boulangerie, Sanqua, BI-MR Photo Studio, dan Kue Balok Brownies Mahkota. BHSG 2024 juga didukung oleh 15 mitra media di Bandung. ***

Narahubung: Media Partner: 0812-2290-4080 (Idan)

Pembunuhan Sadis oleh Sekretaris Bandoeng Vooruit

Oleh Irfan Pradana

Belakangan ini waktu saya di Komunitas Aleut sedang banyak saya gunakan untuk mengulik informasi tentang Bandoeng Vooruit. Perkumpulan ini didirikan tahun 1925 dengan tujuan utama untuk memajukan kota Bandung, khususnya di bidang pariwisata.

Untuk menambah dayanya, sejak 1933 Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah bulanan bernama Mooi Bandoeng. Melalui majalah ini Bandoeng Vooruit menginformasikan seluruh programnya kepada publik. Tidak hanya itu, selain memuat berbagai artikel promosi wisata serta trivia yang menarik, majalah ini juga membuat banyak sekali liputan mengenai keadaan kota Bandung, perkembangannya, serta berbagai aktivitas warganya.

Lewat arsip majalah Mooi Bandoeng ini juga saya mendapatkan beragam informasi unik yang bisa memantik ide untuk melakukan riset kecil-kecilan. Salah satu yang dapat saya catat adalah jejak apotek swasta pertama di Kota Bandung yang berawal dari sepotong informasi dari Mooi Bandoeng. Artikelnya bisa dibaca di sini.

Beberapa waktu lalu saat tengah asyik bergumul dengan kata kunci “Bandoeng Vooruit”, saya menemukan berita menghebohkan. Ternyata, di balik sepak terjangnya dalam mengembangkan sektor pariwisata, Bandoeng Vooruit juga tak lepas dari skandal dan kontroversi. Berikut ini adalah salah satu yang sangat menarik perhatian saya.

Continue reading

Catatan Momotoran Cililin; Susur Jalur Desa

Oleh: Fikri Mubarok Pamungkas

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Mapay jalan satapak

Ngajugjug ka hiji lembur

Henteu maliré kacapé

Sabab aya nu ditéang

Dalam perjalanan momotoran ke wilayah Cililin (lagi) minggu lalu, saya teringat lirik lagu Mawar Bodas dari Doel Sumbang itu. Momotoran di Aleut memang sudah dapat dipastikan akan melewati kampung-kampung alias lembur, kawasan yang jauh dari daerah padatnya perkotaan. Begitupun dengan perjalanan momotoran kali ini yang justru kebanyakan melewati perkampungan, mungkin mirip susur kampung.

Kami telah merencanakan momotoran ini seminggu sebelumnya dengan tujuan latihan menulis catatan perjalanan bagi anggota ADP 2023 dengan media belajar momotoran. Tak banyak rencana destinasi yang akan dikunjungi, hanya beberapa saja, itu pun sekeinginannya di jalan. Momotoran kali ini juga tak seperti biasanya karena tidak menargetkan kunjungan ke tempat bersejarah, seketemunya saja. Karena itu, pada tulisan kali ini saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saja dalam mengikuti perjalanan momotoran itu.

Saya merasa senang bisa momotoran lagi ke kawasan Cililin bersama Aleut, dan ini adalah momotoran yang ketiga kalinya buat saya ke daerah ini. Seperti sebelumnya, kali ini pun kami menempuh jalur jalan yang berbeda. Dalam perjalanan terakhir, kami mengambil jalur Jatisari lalu berbelok ke tanjakan cukup berat di Bahubang Legok, kemudian masuk ke jalur jalan berlumpur. Hari ini kami mengambil jalan lurus ke Jati Bunikasih, lalu Mariuk, Cipapar-Cibadak, dan melewati Desa Situwangi lagi tapi di kawasan yang berbeda.

Perjalanan sejak pagi tadi cukup menyenangkan, dimulai dari sekretariat Aleut, kemudian ke kompleks TKI untuk menjemput seorang rekan yang memang tinggal dekat daerah itu, lalu menuju Jatisari yang menjadi gerbang untuk kawasan yang akan kami datangi hari ini. Menjelang Mariuk, di Kampung Cibadak, kebetulan saya berada di urutan paling depan, sedangkan kawan-kawan lain di belakang dengan jarak tidak terlalu berjauhan. Di sebuah tanjakan, kawan paling belakang membunyikan klakson dan menghentikan motornya. Rupanya mau menyetel rem. Pada saat itulah ia sepertinya melihat sesuatu yang menarik perhatian dan memanggil kami yang berada di depan untuk memutar balik.

Ternyata ia melihat sebuah warung yang tampak menarik lokasinya, di dasar lembah berdampingan dengan hamparan sawah yang sedang menghijau segar. Pemandangan ini memang langsung terasa sangat menarik, membuat kami memutuskan untuk melihat langsung warung itu dari dekat. Jadi, kami putar balik, dan berbelok di sebuah jalan menurun yang agak teduh karena lebatnya rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanannya. Jalannya tidak lebar, tapi kondisinya termasuk bagus untuk ukuran daerah itu. Tidak terlalu jauh dari belokan tadi, kami sudah tiba di sebuah gapura bambu berukuran kecil di sisi kanan jalan. Gapura ini diapit oleh pagar bambu yang cukup tinggi sehingga bangunan di dalamnya hanya terlihat bagian atapnya saja.

Pemandangan ke arah Batu Nini dari Warung Lugina. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Sebelum masuk ke area warung, dari kejauhan saya melihat batu besar yang menjulang tinggi di lereng gunung di sebelah kiri saya. Batu itu sudah tak asing lagi buat saya karena beberapa waktu lalu pernah mendaki ke atasnya. Sungguh pengalaman luar biasa bisa berada di atas batu itu. Ketika melihat ke bawahnya, ada perasaan ngeri juga, karena merupakan jurang yang dalam. Dari sana asyik sekali mengamati kebun-kebun, hutan, sawah, dan permukiman yang tersebar jauh di bawah. Andai sebelum mendaki itu saya sudah tahu keberadaan warung ini, tentu saya akan mencari-cari lokasinya dari atas sana.

Gerbang Warung Lugina yang berbatasan dengan persawahan. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Kembali ke warung ini. Di gapura terbaca namanya: Warung Lugina. Tempatnya terlihat nyaman, didominasi warna hijau, merah marun, dan coklat. Warna hijau dari sawah yang menghampar di belakang serta tetumbuhan di seluruh area warung, merah marun dari warna atap warung, dan coklat dari warna pagar dan bangunan warung yang terbuat dari kayu dan bambu. Baru beberapa langkah, terasa beruntung juga menemukan keberadaan warung dengan lokasi yang nyaman di sini, apalagi mengingat sebelumnya sempat ada obrolan selintas ingin mampir ke sebuah resto atau cafe yang pernah populer bernama Breeze. Saat lewat, rasanya tempatnya terlalu modern bagi kami.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Warung Lugina. Mengobrol seru dengan pengelolanya, Pak Rahmat, yang ramah dan senang bertukar cerita. Sambil ngobrol, beliau menggoreng beberapa piring bala-bala dan tempe, juga menyeduh minuman pesanan kami. Semua dilakukannya sendiri. Lalu tiba juga waktunya berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Saya dan kawan-kawan menyimpan beberapa catatan dari obrolan yang santai dan menyenangkan ini, terutama mengenai pengalaman hidup Pak Rahmat sejak usia mudanya.

Kami kembali menyusuri jalanan di Kampung Cibadak menuju Desa Situwangi. Ruas jalannya tidak terlalu besar, bila dua mobil berpapasan, mungkin harus mengatur jarak agar bisa lewat satu per satu. Jalannya sih sudah dilapisi beton, buat motor cukup memudahkan. Perkampungan demi perkampungan kami lalui, juga hutan-hutan kecil, hingga sampailah kami di Desa Situwangi.

Dari Desa Situwangi kami mengambil jalan ke arah kiri dan tepat di sebuah pertigaan, rekan yang berada paling depan berhenti untuk menunggu rekan lainnya. Lalu ada seorang warga yang menanyakan “bade ka saha?” sontak kami sedikit bingung untuk menjawabnya. Untungnya saat melihat petunjuk arah di hp langsung teringat, bahwa kami akan mengunjungi Makam Eyang Dalem Angga Yuda. Maka kami pun langsung menjawabnya dan bertanya apakah jalur ini betul atau salah. Ternyata benar, jalan ini ialah jalur menuju Makom yang dimaksud.

Jalanan menuju makom lumayan menanjak dan semakin sempit di atasnya, mungkin hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Kami melewati sebuah kampung kecil dengan sawah-sawah di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan jalan terdapat rumpun-rumpun pohon bambu, hutan kecil, dan ladang. Tepat di puncak, terdapat sebuah baliho yang menunjukkan bahwa makam Eyang Dalem Angga Yuda. berada di sekitar tempat ini, namun masih harus jalan kaki ke atas bukit.

Tidak ada tempat parkir di sini, sehingga kami harus menyusun motor-motor di lahan-lahan sempit di sela rumah paling depan. Dari sini berjalan kaki sedikit, lalu di sebelah kiri ada lorong sempit bertangga batu yang penuh lumut untuk naik ke atas bukit. Tidak terlalu jauh naiknya, mungkin sekitar 20 meteran.

Bagian atas bukit ini seluruhnya terisi oleh permakaman umum dan di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Angga Yuda. Makam-makam paling depan yang kami temui ukurannya tidak biasa, sekitar 3-4 meter panjangnya. Ketika bertanya pada dua orang bapak warga lokal yang sedang duduk-duduk dekat area makam keramat, ternyata mereka juga tidak tahu kenapa makam-makam di depan itu ukurannya panjang-panjang.

Lorong tangga menuju kompleks makam dan makam panjang yang kebanyakan tanpa nama. Foto: Deuis Raniarti.

Di dekat bangunan makam keramat ada sebuah bangunan lain dengan ukuran lebih kecil, katanya sih warung. Saya kira warung ini aktifnya bila sedang ramai orang datang berziarah ke sana. Makam-makam seperti ini memang selalu ramai sekali pada hari-hari atau event tertentu. Di salah satu sisi dinding luar bangunan ini terdapat spanduk besar berisi keterangan silsilah Eyang Dalem Angga Yuda. Bertanya tentang nama-nama yang tercantum pada bapak-bapak tadi pun hasilnya sama saja, nihil. Kejadian seperti ini cukup sering kami temui di tempat-tempat yang dikeramatkan seperti ini, para pengunjung seringkali tidak tahu apa-apa tentang siapa yang diziarahinya. Fenomena yang sangat menarik.

Saat kami datang ini ada beberapa orang yang sedang berziarah juga, termasuk satu pasangan sepuh yang berjalan dengan tertatih-tatih. Mereka baru saja keluar dari bangunan utama dan sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Si ibu tampak bersemangat melihat rombongan kami dan menyerukan sesuatu, semacam “Tah kitu atuh anu ngarora, sok pada ziarah.”

Kami pun melihat-lihat ruangan dalam bangunan utama yang berisi makam Eyang Dalem Angga Yuda. Cukup luas juga dan terdapat sebuah area untuk tawasulan. Setelah itu kami mengelilingi area makam yang ada di belakangnya. Walaupun berada di ketinggian, tapi dari atas sini pandangan ke bawah tidak bebas, karena padat dan rimbunnya pepohonan yang mengelilingi area makam ini.

Kami tidak terlalu lama berada di area makam ini, kemudian turun lagi dan melanjutkan perjalanan menyusuri kampung yang cukup padat dengan jalan-jalan sempit yang cukup tajam tanjakannya. Kampung-kampung ini walaupun terlihat padat, tapi umumnya sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya sedang sibuk berladang atau menggarap sawah. Tak terbayangkan sih keseharian warga di sini, bila akan pergi ke tetangga dekat saja harus berjalan kaki menempuh tanjakan atau turunan yang curam-curam begini.

Usai tanjakan panjang dan setelah SDN Budiwangi, kami bertemu jalan utama Bahubang-Batukarut. Ke kanan menuju Cihampelas, ke kiri ke Bahubang Legok yang sudah pernah kami lalui dalam perjalanan terdahulu. Di sini kami spontan mengambil jalan ke kanan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu ke Walahir. Jalanannya cukup bagus, di sisi kiri kanan jalan tidak terlihat ada rumah-rumah, hanya ladang dan tanah kosong. Di beberapa bagian ada jalanan rusak dan berpasir yang membuat motor kadang agak goyah. Sampai di bawah, kami baru menyadari bahwa jalan ini menuju ke Desa Utama, artinya kami malah balik lagi ke jalan utama, tidak jauh dari lokasi tadi bertanya tentang makam Eyang Dalem Angga Yuda, haha. Putar balik deh.

Lucunya, setelah putar balik ini, rombongan malah kepencar-pencar. Ada dua motor yang sudah melaju cepat jauh di depan dan tidak terlihat lagi dari pandangan. Nanti kami ketahui bahwa dua motor di depan ini pun ternyata terpisah cukup jauh, walaupun masih berada di jalur yang sama. Saya bersama dua motor lagi yang tertinggal di belakang berinisiatif mengambil sebuah jalan beton yang belok ke kanan. Jalan ini agak terlindung di balik lebatnya rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Sedari tadi saya sudah mengetahui jalur jalan ini melalui google maps dan terlihat jalur ini merupakan yang terpendek untuk menuju ke Puncak Gantole.

Setelah agak jauh ke dalam dan tiba di sebuah pertigaan, hati mulai ragu, karena tidak terlihat rekan-rekan yang sudah duluan di depan. Ini tentu saja tidak biasa, karena di Aleut, bila berada di kawasan yang belum akrab dan menemui jalur bercabang seperti ini, sudah pasti akan ada yang menunggu agar yang di belakang tidak terpisah karena salah ambil jalur jalan. Saya pun memutar balik dan di bawah bertemu dengan satu motor lain yang rupanya menyusul kami karena tidak kunjung muncul di jalur yang sudah mereka tempuh. Kami kembali ke jalur jalan utama Bahubang-Batukarut.

Kawasan yang membuat rombongan kami terpencar-pencar. Jalannya mah lurus-lurus aja, tapi karena masing-masing pegang google maps, ya itulah yang akhirnya memisahkan haha. Foto: Deuis Raniarti.

Lagi-lagi di sebuah pertigaan, rekan yang di belakang saya ternyata tidak mengikuti dengan cepat sehingga terpisah kembali. Saya memutuskan berbelok ke kiri yang jalannya agak menanjak lalu menunggu di atas, sembari menunggu balasan chat dari rekan yang telah berada di depan. Setelah menerima balasan, kami memutuskan mengambil jalan lurus, sebab jika dilihat dari peta gmaps ada jalan yang mengarah ke rekan yang berlokasi di sana. Tapi setelah kami ikuti jalur ini, ternyata malah semakin menyempit, mungkin hanya cukup satu motor saja sehingga kami pun kembali berputar arah dan mencoba jalan lain yang berbelok ke kiri. Jalan ini justru lebih parah sampai ke ujung jalan beton dan mengarah ke hutan.

Akhirnya teknologi whatsapp juga yang menyelesaikan persoalan salah mengerti ini. Kami kembali ke jalan utama Bahubang-Batukarut, belok kanan, lalu menyusul rekan-rekan yang menunggu jauh sekali di depan. Akhirnya kami bertemu kembali bersama rombongan, setelah terpisah mungkin sekitar 20 menit.

Dari sini kami menempuh jalur jalan perkampungan yang kecil menuju Pojok Walahir dan Puncak Gantole. Menempuh lagi jalur tanjakan Cipamonokan sampai ketemu pertigaan ke Gedugan. Lalu belok kanan ke Pasirpanjang-Cijeruk yang menanjak dan mengikuti jalur jalan berliku. Jalan di sini kondisinya sangat baik dan nyaman dilalui. Jalanan yang mulus sangat membantu motor kami yang tenaganya pas-pasan ini dalam menapaki tanjakan. Di ujung tanjakan, persis di tikungan patah ke arah kiri, ada sebuah warung kecil di tepi jalan. Ke situlah kami mampir sebentar. Di dalam warung ini, ada sedikit teras menghadap ke lembah di bawahnya. Jajaran pergunungan di utara Bandung pun terlihat cukup baik, apalagi bila udaranya bersih. Sayangnya di teras dalam yang sempit ini sudah terisi oleh sepasang muda-mudi yang asyik masyuk selonjoran melupakan dunia sekitar. Jadi kami pilih teras yang sedikit lebih lega, tapi pemandangannya sepertinya ke arah Soreang, itu pun terhalang pergunungan yang baru saja kami lalui. Sebagian rekan duduk-duduk di bangku luar warung sambil memesan ini-itu.

Warung Pengkolan yang bikin betah nongkrong. Foto: Deuis Raniarti.

Warung ini memang nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat, terutama setelah menempuh perjalanan menghadapi tanjakan yang cukup melelahkan. Angin sepoy-sepoy dan sejuknya hutan pinus di sebelah warung membuat betah berlama-lama di sini. Jualannya sih biasa saja seperti warung pada umumnya, mi instan, seblak, baso, berbagai minuman kemasan, dan kelapa muda. Lokasinya yang membuatnya jadi istimewa.

Lewat tengah hari, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam melewati hutan pinus yang dijadikan tempat wisata, namanya Pinus Pananjung. Sepertinya tempat ini tidak banyak pengunjungnya, apa mungkin musimnya sudah berlalu? Di sebelah kanan jalan ada area yang agak lapang dan bangunan yang dari bentuknya seperti toilet, namun kurang terawat. Di sebelah kiri jalan berjejer warung-warung bambu yang cukup teduh karena berada dalam lindungan pepohonan. Tampaknya sedap juga buat sekadar nongkrong di situ bila kapan-kapan lewat lagi.

Setelah melalui tempat wisata lain yang cukup ngehits, yaitu Langit Gantole, kami pun memasuki sebuah kampung yang terlihat cukup padat. Modelnya kampung modern dengan rumah-rumah tembok. Warga cukup ramai berlalu-lalang, dan ternyatalah sedang ada keramaian, syukuran khitanan. Dari arah depan kami berjalan arak-arakan dengan kuda renggong dan di paling belakang berjalan pelan sebuah mobil bak yang membawa soundsystem dengan suara keras. Karena pemandangan seperti ini cukup langka bagi kami, jadi kami menepikan motor dan menunggu sampai seluruh arak-arakan lewat. Meriah sekali.

Foto atas: arak-arakan kuda renggong. Foto bawah di lapangan Puncak Gantole. Foto: Deuis Raniarti dan Fikri Mubarok Pamungkas.

Tidak jauh dari kampung barusan, lingkungannya sudah merupakan area terbuka yang termasuk ke kawasan Puncak Gantole. Di sebelah kanan sedang ada pembangunan pondok-pondok kayu berbentuk segitiga yang belakangan ini banyak ditemukan di mana-mana. Sepertinya sedang ada persiapan pembuatan lokasi wisata baru lagi. Melihat bentuknya sih, sama saja dengan banyak lokasi wisata yang sedang populer belakangan ini. Seragam.

Akhrinya kami tiba di Puncak Gantole dan menepi ke sebuah warung kecil. Pemilik warungnya senang bercerita, sedikit saja salah satu rekan kami bertanya, si ibu warung akan menjawabnya dengan panjang lebar, sambil selalu bercerita tentang keadaan pribadinya. Lama-lama malah si ibu curhat segala macam. Ya begitulah obrolan warung, bisa tidak terduga arah obrolannya. Usai rekan-rekan lain berkeliling area gantole dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini akan mencoba jalur Gedugan, jadi kami agak memutar balik sedikit sampai pertigaan di bawah Warung Pengkolan tadi. Di sini ambil jalan ke kanan yang menuju ke Desa Kidangpananjung. Jalur jalan di sini tidak sebaik sebelumnya, tapi juga bukan jalan yang terlalu rusak. Beberapa kampung kami lewati, sampai tiba di sebuah pertigaan yang tidak terlalu mencolok karena belokan ke kirinya berupa jalan kecil berbatu-batu. Setelah melewati kantor Desa Kidangpananjung, kami berhenti sejenak di sebuah pertigaan kecil untuk memastikan jalur, karena sempat ada rencana untuk mencoba jalur ke kiri yang menuju Cicapeu.

Pada saat berhenti itu muncul serombongan ibu-ibu dari arah kiri yang menanyakan kami mau ke mana, ketika menyebutkan Cicapeu, ibu-ibu ini menyarankan untuk tidak melanjutkannya, karena kondisi jalan yang rusak parah serta jalurnya naik-turun curam. Katanya, orang situ pun enggan menggunakan jalur itu dan memilih jalur memutar-mutar saja bila ada tujuan ke arah sana. Berdasarkan google maps, jalur ini sebetulnya dapat tembus sampai Kutawaringin, tapi kali ini kami memilih percaya kepada warga lokal saja.

Sebetulnya ada beberapa rute jalan potong lain ke Soreang atau Kutawaringin dari tempat kami berada itu, misalnya lewat jalur Cikoneng-Puncakmulya yang akan melipir Puncak Gunung Aul dan bertemu dengan Simpang Lima Gunung Geulis dan Ciririp-Bangsaya bagian timur yang sudah pernah kami lalui beberapa waktu lalu. Bisa juga lewat jalur Gedugan Kulon ke selatan melalui Nagrog lalu bertemu dengan jalur Tegalpanjang yang ke arah timurnya akan bertemu dengan Desa Sukamulya, dan selanjutnya melipir Puncak Gunung Aul. Jalur ini menapaki punggungan perbukitan Puncak Paseban. Satu jalur lainnya adalah melewati jalan kecil belok ke kiri yang lokasinya tak jauh dari kantor Desa Kidangpananjung. Jalur ini terlihat lebih ringkas, tapi kurang meyakinkan karena garisnya yang tipis, jangan-jangan… Jalur yang melewati daerah Cibauk ini bisa langsung sampai Cibodas, Kutawaringin. Yah lain kali aja deh kayanya, kalau sudah ada informasi tambahan, apakah dapat dilalui oleh motor-motor matic manja kami ini.

Akhirnya kami memilih jalur yang sebenarnya menjauh, yaitu ke arah Kampung Lembang dan selanjutnya Mukapayung yang dapat dikatakan sudah cukup sering kami datangi atau lewati. Yah lumayanlah, menghindari jalan rusak ekstrim, ketemunya jalur turunan panjang yang tak kalah ekstrimnya. Dari sini kami melewati tempat wisata Lembah Curugan Gunung Putri, lalu keluar di Cililin. Akhirnya spontan spontan saja mampir beberapa tempat  bersejarah, di antaranya, Radio NIROM Cililin yang catatannya sudah ditulis oleh rekan lain beberapa waktu lalu. ***

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Momotoran Sinumbra-Cipelah: Cerita dari Pemetik Teh Kebun Sinumbra

Oleh: Irfan Pradana

Plang Pabrik Teh di Kebun Sinumbra. Foto: Deuis Raniarti.

Semalam sepulang bekerja saya sempatkan untuk membeli nasi goreng di tempat langganan sejak kecil. Sambil menunggu pesanan datang, saya disuguhi segelas besar teh tawar hangat. Gratis dan bisa diisi ulang sesuka hati.

Saya jadi teringat pada masa-masa saya tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap warung makan di Jogja, teh tidak diberikan secara cuma-cuma. Pengunjung harus merogoh kocek tambahan jika ingin meminum teh, baik teh tawar maupun teh manis. Jika tak ingin keluar duit lagi, silakan minum air putih.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sempat merekam fenomena ini. Teh di wilayah priangan adalah komoditas utama penopang perekonomian. Perkebunan teh membentang luas menguasai lahan yang berada di Jawa Barat. Imbasnya persediaan teh jadi melimpah ruah.

Sebagaimana hukum ekonomi, ketika supply melimpah, maka harga akan turun. Penjual makanan mungkin sudah memasukkan teh sebagai komponen harga pokok produksinya. Entah, yang pasti teh tawar disuguhkan gratis.

Membicarakan perkebunan teh —khususnya di wilayah Bandung— akan mempertemukan kita pada nama-nama pembesar, juragan teh, seperti Bosscha atau keluarga Kerkhoven. Nama mereka telah diabadikan di banyak monumen maupun literatur sejarah. Bosscha misalnya, namanya tetap harum hingga saat ini berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di kota Bandung. Namanya terpatri sebagai nama peneropong bintang di utara Bandung sana.

Lantas bagaimana cerita dari sekrup paling penting dari industri yang membesarkan nama-nama seperti Bosscha?

Tulisan ini merangkum isi perjumpaan kami dengan seorang mantan buruh pemetik teh di perkebunan Sinumbra, Rancabali. Namanya Ibu Iwin.

Ngalor Ngidul dengan Bu Iwin, Pensiunan Pemetik Teh di Sinumbra

Minggu lalu Komunitas Aleut kembali mengadakan kegiatan momotoran, kali ini tujuannya ke sekitar Sinumbra-Cipelah. Kami berkeliling di seputar Ciwidey dan Rancabali untuk menyusuri jejak Siluman Merah, Max Salhuteru, Perkebunan Teh Sinumbra, Desa Sukaati, hingga ke wilayah Cipelah, Cianjur.

Rute ini dibuat dengan satu jalur, sehingga seluruh destinasi kami lewati dua kali. Kami bertemu dengan Bu Iwin di perkebunan Sinumbra saat perjalanan pulang. Awalnya di Sinumbra kami hanya melawat ke pabrik dan masjid yang dibangun oleh Max Salhuteru. Mungkin bu Iwin masih bekerja di kebun saat pertama singgah tadi.

Continue reading

Storymaps Momotoran Sumedang 13-04-2024

Oleh Komunitas Aleut

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang.

Berikut ini adalah catatan perjalanannya serta peta sejumlah lokasi yang kami kunjungi https://storymaps.arcgis.com/stories/4fc7cb88f6774dfe89472aed5d6d315a

Catatan Momotoran Sumedang: Dari Cijeruk sampai Gunung Puyuh. 13-04-2024.

Oleh Irfan Pradana Putra

Hari ini, Sabtu, 13 April 2024, kami melakukan kegiatan momotoran pendek saja ke daerah Sumedang. Salah satu tujuan awalnya adalah ingin melihat keramaian suasana arus balik setelah lebaran, tapi ternyata sejak berangkat dari Bandung, sama sekali tidak terlihat kepadatan kendaraan di jalur utama Bandung-Sumedang. Hanya di Cibiru saja ada sedikit kepadatan, selebihnya dapat dikatakan hampir kosong melompok. Semua jalur jalan nyaris lengang. Berikut ini adalah catatan perjalanannya.

Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan langsung menuju ke lokasi pertama di Cinunuk, yaitu lokasi sebuah pin di google maps dengan keterangan “Makam Ki Darman”. Tapi setelah tiba di lokasi, ternyata tidak ada makam di situ, hanya satu area bekas kantor pemerintah yang sepertinya sudah tidak digunakan lagi. Pagar depan terkunci. Di sebelah kiri ada sebuah plang khas pemerintahan yang kurang jelas terbaca dari tempat kami berdiri. Ke belakang, masih ada halaman. Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan makam di sini. Lalu, kenapa ada orang yang nge-pin lokasi ini sebagai lokasi makam Ki Darman? Salah pin?

Setelah menelusuri riwayat dalang Partasuwanda melalui cerita dari putranya, Mumun Partasuwanda, yang sudah ditulis di  sini , kami mendapatkan beberapa nama tokoh yang mengawali keberadaan seni wayang golek di Jawa Barat. Di antaranya dalang Dipaguna Permana yang didatangkan oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah II (memerintah 1794-1829), lalu Ki Darman, Ki Rumiang, dan Ki Surasungging, yang didatangkan pada masa Bupati Bandung Wiranatakusumah III (memerintah 1829-1846). Semua tokoh tersebut di atas berasal dari Tegal.

Dari empat nama di atas, Dipaguna dan Ki Rumiang yang berprofesi sebagai dalang, sedangkan Ki Darman adalah seorang pembuat wayang, dan Ki Surasungging pembuat alat musik. Yang memelopori pertunjukan wayang dengan bahasa Sunda adalah murid dari Ki Rumiang, yaitu dalang Anting.

Setelah melihat ada pin dengan tag Makam Ki Darman di google map, tentu saja kami merasa perlu untuk mendatanginya dengan harapan bisa melanjutkan potongan-potongan cerita tentang awal perkembangan seni wayang golek di Jawa Barat. Sayangnya, pin itu tidak diletakkan pada posisi yang tepat, sehingga kami tidak menemukannya.

Di sebrang jalan tempat kami kebingungan mencari lokasi yang disebut sebagai Makam Ki Darman itu ada sebuah rumah tua yang letaknya menjorok ke dalam dan di depannya punya jalan masuk sendiri. Di bagian dalam ada beberapa rumah. Kami ke sana mencoba bertanya. Ternyata keluarga ini dari kalangan ulama dan masih berkerabat dengan Hoofd Penghoeloe  Hasan Mustapa . Mereka menunjukkan lokasi makam yang letaknya lebih jauh ke dalam dari lokasi pin yang kami datangi. Untuk ke sana, harus ambil jalan memutar melewati Jalan Pandanwangi. Kalau masuk lebih jauh, bisa ketemu kampus UPI Cibiru.

Tidak terlalu jauh dari mulut jalan, agak menjorok di sebelah kiri jalan sudah terlihat keberadaan kompleks makam. Tidak terlalu besar. Kami masuk melalui jalan tanah lalu parkir di sebuah blok makam kecil yang berpagar dan terpisah dari makam-makam lainnya. Kami menemui seorang bapak yang tinggal di area makam itu. Ternyata beliau sama sekali tidak tahu soal Ki Darman, malah menunjukkan sebuah makam lain yang tidak terurus yang disebutnya sebagai makam Ki Takrim, yang juga seorang dalang dan cukup sering didatangi orang-orang dari jauh untuk berziarah. Nama Ki Takrim tidak ada dalam list kami, tapi si bapak mengatakan bahwa tokoh itu juga termasuk dari kalangan perintis wayang golek.

Makam Ki Dalang Takrim yang sudah tertutup oleh rimbunan tanaman dan alang-alang

Update: Beberapa hari kemudian baru kami temukan informasi yang lebih meyakinkan soal lokasi makam Ki Darman ini, yaitu di Kampung Babakan Sukamulnya RT.03/13, Cinunuk, Cileunyi. Sementara ini kami belum ke sana, mungkin dalam waktu dekat ini.

Continue reading

Toponimi Sapan dan Makna Balong bagi Masyarakat Sunda Tempo Dulu

Oleh: Aditya Wijaya

Balong yang terletak di Kampung (Visscherij En Vischteelt in Nederlandsch Indie)

Belakangan ini timbul rasa penasaran saya, kenapa kebanyakan orang Sunda suka membuat kolam ikan air tawar atau biasa disebut “balong” dalam Bahasa Sunda. Pertanyaan ini muncul ketika saya menonton video mengenai orang-orang Sunda yang bertransmigrasi di Sumatra, Kalimantan, dlsb. Saya perhatikan orang Sunda di daerah transmigrasi umumnya memiliki balong di dekat rumahnya.

Di Bandung dan sekitarnya, cukup banyak rumah makan Sunda yang menggunakan balong sebagai setting tempat rumah makannya. Saya rasa balong, saung dan tempat duduk lesehan sudah melekat menjadi ciri khas rumah makan Sunda. Ciri khas ini sepertinya sudah melekat di alam bawah sadar masyarakat Sunda.

Rasa penasaran ini kemudian bisa sedikit berkurang ketika menelusuri buku-buku lama. Dalam buku “Onderzoek naar de oorzaken van de mindere welvaart der inlandsche bevolking op Java en Madoera” tahun 1905 dari Landsdrukkerij dijelaskan bahwa jumlah kolam ikan air tawar di Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih sedikit dibandingkan di daerah Priangan.

Kemungkinan besar penyebaran budaya kolam di wilayah Priangan dapat dijelaskan oleh letak lokasinya yang jauh dari pantai utara yang kaya ikan dan oleh kenyataan bahwa pantai selatan memiliki gelombang yang besar mengakibatkan sulitnya untuk mendapatkan ikan. Karena itu, kebutuhan akan ikan harus dipenuhi dengan cara lain.

Sebelum Reorganisasi Priangan (1872), para regent Priangan menyatakan bahwa penangkapan ikan di sungai-sungai merupakan hak eksklusif. Hak ini hanya dimiliki oleh para regent untuk memuaskan keinginan mereka akan ikan. Oleh karena itu penduduk hanya bisa mengandalkan budidaya ikan buatan.

Penduduk melakukan budidaya ikan ini di kolam buatan ataupun di sawah-sawah. Perkembangan pesat dalam budidaya ikan ini membuat perubahan yang signifikan dalam perekonomian penduduk. Perkembangan pesat ini berkat bimbingan, pelajaran, dan dorongan dari tokoh-tokoh terkemuda dalam masyarakat, seperti Raden Haji Mohamad Moesa dan K.F. Holle. Bahkan K.F. Holle menulis buku-buku panduan untuk budidaya ikan air tawar.

Secara umum, di mana ada lahan luas dan air melimpah memungkinkan orang Sunda untuk menggunakannya sebagai kolam ikan. Kolam-kolam ini selain sebagai sumber untuk mendapatkan ikan sebagai konsumsi mereka, dan biasanya juga digunakan sebagai tempat untuk mandi dan mencuci.

Saluran air yang mengalir ke kolam ditutupi dengan penyekat bambu di tempat masuknya air (dari pancuran) untuk memisahkan bagian lain dari kolam. Sementara, di bawahnya diletakkan beberapa batu datar besar sebagai tempat untuk mandi dan mencuci. Balong juga menjadi sumber pendapatan penduduk dengan cara menanam ikan bibit yang diperlukan untuk budidaya ikan. Biasanya ikan yang dibiakkan berjenis gurame, nila, dan tawes.

Continue reading

Catatan Momotoran Cililin: 1 Jam di Warung Lugina Bersama Pak Rahmat

Oleh: Reza Khoerul Iman

Suasana pagi hari di Kampung Cibadak, Desa Situwangi, Kabupaten Bandung Barat, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Suara serangga terdengar nyaring dan riuh seperti sedang saling bersahutan dari balik pepohonan yang rindang di Kampung Cibadak. Suaranya melengking nyaris tak henti-henti walau ada saat berhenti sejenak seperti sedang mengambil nafas, lalu tak lama kemudian bersuara lagi.  Bunyi-bunyian ini terdengar layaknya orkestra alam.

Hanya ada tiga jenis hewan saja dengan suara khas nyaring seperti itu sependek yang saya ketahui, yaitu gaang atau orong-orong, cacing, dan tonggeret. Meski tergolong hewan-hewan dengan ukuran kecil, ketiganya memiliki suara yang begitu lantang.

Saya mendapatkan pengalaman ini saat mengikuti Momotoran Cililin bersama enam kawan lain dari Komunitas Aleut! Tak lama setelah kami memasuki wilayah Kampung Cibadak, seorang rekan yang berada paling belakang memberi kode bahwa ia harus berhenti dulu untuk memperbaiki rem motornya yang dirasa kurang pakem. Pada saat itulah dari ketinggian tempat kami berada, terlihat satu spot yang menarik jauh di bawah, letaknya berdampingan dengan hamparan sawah.

Karena penasaran dan setelah beres menyetel rem, kami memutar balik dan mencari jalan turun ke tempat tersebut. Ternyata yang kami lihat ini adalah sebuah warung dengan halaman yang cukup luas. Di bagian depan ada gerbang bambu dengan poster bertuliskan Warung Lugina. Di bagian dalam, ada dua bangunan utama, yang paling depan adalah warungnya, tempat menyediakan dan membuat minuman dan penganan. Di depannya lagi ada area duduk yang diberi atap dengan tiang-tiang besi. Di sebelah kiri ada toilet dan musala berupa bangunan semi permanen. Dihitung dari waktu berangkat tadi, kami dapatkan tempat ini setelah menempuh sekitar satu setengah jam perjalanan dari Kota Bandung.

Kawan-kawan Komunitas Aleut sedng beristirahat di Warung Lugina milik Pak Rahmat di Kampung Cibadak, Desa Situwangi, Kabupaten Bandung Barat, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Warung dengan nama Lugina ini dikelola oleh Pak Rahmat. Suasananya terbilang cukup modern, tak seperti warung-warung khas perdesaan lainnya. Areanya luas dan memiliki cukup banyak tempat untuk duduk layaknya sebuah kedai. Kalau duduk-duduk di area depannya, kita bisa melihat pematang sawah yang terbuka dengan lanskap jajaran pegunungan yang berlapis dan kampung-kampung kecil di sekitarnya. Perkampungan di kaki bukit Gunung Buleud itu sudah pernah dilalui juga oleh Komunitas Aleut dalam momotoran sekitar sebulan sebelumnya.

Di perbukitan di sebelah barat daya, terlihat jelas mencuat sebuah batu besar yang berbentuk seperti tabung dan menjulang tinggi namun terlihat tumpul. Letaknya tepat berada di ujung Gunung Buleud. Saat saya tanyakan ke warga sekitar perihal batu besar itu orang-orang menyebutnya dengan nama berbeda, seperti Batu Nini, Batu Keupeul, atau Batu Candi. Namun kebanyakan orang mengenalnya dengan nama Batu Nini.

Sekitar tahun 1846 yang lalu, Batu Nini pernah disinggahi oleh Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis terkemuka asal Jerman. Mungkin sangking uniknya di mata Junghuhn, ia tidak hanya datang dan pergi begitu saja, tapi ia juga membuat sketsa gunung ini dan melampirkannya ke dalam bukunya yang bertajuk Java di jilid ketiga.

Bahkan kedatangan Ferdinand von Höchstetter dalam ekspedisi Novara ke Gunung Buleud pada tahun 1858 tidak lepas dari peranan Junghuhn yang memberikan rujukannya. Junghuhn memilih Gunung Buleud karena di gunung ini bisa diungkap berbagai spesimen batuan yang mewakili pegunungan tersier di Jawa.

Pemandangan Batu Nini dan Gunung Buleud dari Kampung Cibadak, 28 April 2024. (Reza Khoerul Iman).

Pada pagi yang hampir siang di Kampung Cibadak itu, kami hanya memerhatikannya dari kejauhan saja, dari teras Warung Lugina, sambil ditemani oleh cerita-cerita Pak Rahmat, dan sajian segelas kopi, serta gorengan yang baru diangkat dari wajan.

Pak Rahmat sebenarnya bukan asli orang Kampung Cibadak. Ia dilahirkan di Jakarta, melewatkan masa remaja di Bandung, dan selanjutnya tinggal di Semarang. Sekarang ini kembali lagi ke Bandung untuk merawat orang tuanya yang sudah lanjut usia. Setiap akhir pekan ia ke Kampung Cibadak untuk mengelola warung kopi Lugina dan tinggal di sebuah rumah yang dibangun di kaki lereng bukit di atas Warung Lugina.

Sejak awal sebenarnya saya penasaran dengan kata “lugina” yang dijadikan nama warung yang baru dirintis pada akhir tahun lalu itu. Setelah ngobrol beberapa saat, semula saya kira pemilihan kata itu menyesuaikan dengan kondisi Pak Rahmat sekarang yang tengah menginjak usia pensiun, karena dalam bahasa Sunda lugina bermakna rasa senang atau lega setelah menyelesaikan segala kewajiban (Kamus Sunda-Indonesia; R. Satjadibrata). Tapi dugaan saya itu salah, karena ternyata lugina itu hanyalah singkatan dari dua nama keponakannya. Tidak ada makna filosofis di sana. Kami pun hanya tertawa ketika mendengar penjelasannya.

Pak Rahmat kecil ikut orangtuanya yang bekerja di Perusahaan Gas Negara pindah dari Jakarta ke Bandung dan tinggal di mess di kompleks PGN Kiaracondong. Sampai SMP Pak Rahmat tinggal di Bandung. Kemudian ikut orangtuanya lagi yang pindah tugas ke Semarang. Di kota inilah Pak Rahmat menjalani mawa dewasanya, ia selalu bilang, “Saya besar di Semarang.”

Dari kisah-kisahnya, Pak Rahmat orangnya senang menantang diri. Banyak kesempatan dan pengalaman yang telah diambilnya sedari muda. Sejak duduk di bangku SMA saja ia memutuskan untuk tidak ikut orang tuanya yang kembali ke Jakarta dan memilih menetap di Semarang untuk meneruskan pendidikannya. Sempat masuk kuliah, namun tidak lama, karena memutuskan menikah pada usia 20 tahun. Lalu bekerja di bidang kuliner, termasuk pernah bekerja pada sebuah tempat wisata yang cukup besar di sana.

Di bagian episode hidupnya yang lain Pak Rahmat masih saja menantang diri. Kejenuhannya menjadi seorang karyawan selama bertahun-tahun mendorongnya untuk mencoba hal lain seperti membangun bisnis. Meski tak mudah, ia tetap melakoninya dan tak pernah menyesali keputusannya. Karena itu pada usianya sekarang ini pun ia santai dan menikmati saja menjalankan usaha baru di sebuah kampung yang cukup terpencil di perbatasan antara Soreang dan Cililin.

Bagi yang muda-muda, mendengar cerita-cerita Pak Rahmat seperti mendapat bocoran tentang masa depan yang misterius. Asik tapi membuat tertegun dan bepikir ulang tentang bagaimana masa depan saya nanti?

Tak terasa sudah satu jam kami duduk terkesima mendengarkan cerita-cerita Pak Rahmat. Bukannya tak ingin mendengar ceritanya lebih banyak lagi, tapi kami harus berpamitan dan melanjutkan perjalanan menuju Cililin. Masih ada beberapa tempat lagi yang menjadi destinasi momotoran kali ini, mulai dari Makom Eyang Dalem Angga Yuda RA, Puncak Gantole, hingga gedung pemancar radio Cililin.

Riuh suara serangga di Warung Lugina seketika tergantikan oleh ucapan pamit kami dengan Pak Rahmat. Deru suara motor kami yang beranjak pergi pun semakin menyamarkan suara orkestra alam itu. Perlahan kami mulai meninggalkan Kampung Cibadak, tapi tidak dengan cerita dan nilai yang kami dapatkan di pagi itu. Satu jam di Warung Lugina bersama Pak Rahmat terasa menyenangkan sekali. ***

Momotoran Sumedang 15-04-2024

Oleh Irfan Pradana

Fear of Missing Out atau orang-orang biasa menyebutnya dengan singkatan FOMO adalah sebuah perasaan takut atau cemas “tertinggal” dalam melakukan aktivitas tertentu. Biasanya perasaan ini timbul karena ketinggalan info atau tren.

Mungkin perasaan inilah yang melatarbelakangi kegiatan Momotoran kali ini. Saya, setidaknya, kerap melewatkan momen libur lebaran dari tahun-tahun dengan hanya berdiam diri di rumah. Malas, macet, dan panas, kira-kira itu saja alasan klasiknya. Apalagi saya lahir dan besar di kota Bandung hingga saat ini. Tidak punya kampung halaman di pedesaan atau tempat jauh, jadi tidak pernah merasakan momen mudik lebaran. Sebab itu jadi semakin banyak pula alasan saya untuk berdiam di rumah.

Tapi lebaran tahun ini rasanya berbeda. Saya terkena gejala FOMO, rasanya ingin seperti orang lain, ikut dalam hingar bingar libur lebaran, pelesiran, dan bermacet ria di jalanan. Oleh karena itu saat kawan di Aleut mengajak Momotoran, tanpa banyak pertimbangan, saya langsung mengiyakan. Ya, hitung-hitung main sambil belajar pengalaman baru.

Makam Dalang Ki Darman, Dalang Takrim, dan Maestro Pop Sunda Kosaman Djaja.

Kapan hari kami sempat bergumul cukup intens dengan arsip-arsip sejarah wayang golek. Kegiatan ini merupakan bagian dari Kelas Literasi Aleut. Waktu itu saya dan kawan-kawan berkesempatan mewawancarai anak dari Umar Partasuwanda, salah seorang dalang wayang golek angkatan awal.

Berangkat dari sana akhirnya mencari-cari literatur terkait wayang golek dan menemukan nama seorang tokoh lain yang disebut-sebut sebagai pionir wayang golek di tatar Priangan. Namanya, Ki Darman.

Ki Darman adalah seorang pembuat wayang yang berasal dari Tegal. Pada abad 19 ia diminta untuk membuat wayang dari kayu oleh Dalem Karanganyar atau Wiranata Koesoemah III. Dari sinilah awal mula wayang golek mulai dibuat, dipentaskan, dan terus berkembang luas ke seluruh wilayah priangan.

Informasi mengenai makam Ki Darman kami dapatkan setelah mencari-cari informasi di internet. Di sana disebutkan bahwa Ki Darman bergiat dan menghabiskan hidupnya di sekitar Cibiru dan Cinunuk Kabupaten Bandung. Ditambah lagi terdapat informasi terkait wayang khas Cibiruan.

Informasi semakin mengerucut karena di Google Maps terdapat sebuah lokasi bernama “Makam Ki Darman”. Titiknya berada di Cinunuk, antara Cibiru dan Cileunyi Kabupaten Bandung. Berbekal informasi inilah kami jadikan titik tersebut sebagai destinasi pertama.

Sangat sulit mencari lokasi persisnya. Halaman Google Street View menunjukkan sebuah gerbang besi, namun saat kami di sana, gerbangnya dikunci rantai dan gembok. Seperti sudah lama tidak pernah dibuka. Kami bertanya kepada warga sekitar, sayang tidak ada satu pun yang tahu.

Mereka menganjurkan kami untuk memutar ke jalan belakang karena di sana ada area pemakaman. Bisa jadi di sanalah makam Ki Darman katanya.

Setelah mengikuti anjuran tersebut, kami tiba di sebuah petak pemakaman. Kira-kira jumlah makam di sana ada puluhan. Terlalu sedikit untuk disebut tempat pemakaman umum. Lebih cocok sebagai kompleks makam keluarga.

Kami langsung menemui juru kuncinya  menanyakan makam Ki Darman. Ia menggelengkan  kepalanya. “Aya gé Pak Dama di dieu mah, teu aya nu namina Darman. Sanés dalang deuih anjeunna (Dama) mah.” terang sang kuncen. “Dalang mah ieu tah, Dalang Takrim. Sok seueur anu ka dieu ti pegiat wayang.” Tangannya menunjuk ke makam yang sudah tak berbentuk karena ditumbuhi rumput liar sampai setinggi orang dewasa.

Makam Ki Takrim yang sudah tertutupin rimbunan tanaman dan alang-alang.

Kami segera mencari nama Dalang Takrim di laman pencarian. Benar, ada seorang dalang kondang bernama Takrim di Cibiru. Menurut kuncen, makam dalang Takrim sering didatangi peziarah dari lingkung seni pewayangan.

Continue reading

Sekitar Bandung Lautan Api: “R.O. Abrurakhman Natakusumah

Oleh Komunitas Aleut

Operatie Kraai (Operasi Gagak) yang lebih kita kenal sebagai peristiwa Agresi Militer Belanda II ditandai dengan serangan dan pendaratan udara di pangkalan udara Maguwo, Yogyakarta, yang saat itu merupakan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Para pemimpin RI, Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Mohammad Roem, dan AG Pringgodigdo ditangkap diasingkan ke Sumatra. Jatuhnya ibu kota RI ini disiasati Presiden Sukarno dengan memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

Satuan-satuan militer yang ketika itu berada di Yogyakarta dan sekitarnya segera meninggalkan tempat dan kembali ke asalnya masing-masing, termasuk Divisi Siliwangi yang kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki. Peristiwa perjalanan kembali ini dikenal dengan sebutan Long March. Salah satu satuan militer itu adalah Batalyon II/Taruma Negara/Brigade XIII/Siliwangi II pimpinan Mayor Abdul Rachman Natakusumah yang akan diceritakan dalam tulisan ini.

Sebelum dilanjutkan, perlu disampaikan juga bahwa penulisan nama tokoh Mayor Abdurakhman pada judul ini ada banyak variasinya dan sulit menentukan mana nama yang paling benar. Buku Album Kenangan Perjuangan Siliwangi yang diterbitkan oleh Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya (1991) dalam beberapa halaman saja menyebutkan namanya dalam tiga cara berbeda: Abdurakhman, Abdul Rakhman, dan Abdul Rachman. Untuk keperluan tulisan ini, kami gunakan nama Abdurachman saja sesuai  dengan yang banyak tercantum pada plang informasi nama jalan di Sumedang. Kenapa Sumedang? Berikut ini kisahnya.

Sebelum serangan subuh terjadi di Maguwo, Batalyon II Taruma Negara yang dipimpin oleh Mayor Abdurachman yang ketika itu berada di sebelah barat Yogyakarta, menempuh rute perjalanan di sebelah utara melewati pergunungan Dieng, Karangkobar, dan Gunung Slamet. Batalyon ini bertugas mengawal Komandan Brigade XIII/Siliwangi II Letkol Sadikin dan staf Brigade beserta seluruh keluarganya. Deru pesawat pengintai yang mondar mandir di atas Wonosobo membuat banyak anggota keluarga pasukan harus mengungsi ke kampung-kampung sekitar. Perjalanan Long March menjadi tersendat dan harus menempuh jalur-jalur yang diperkirakan aman dari intaian pesawat musuh.

Baru sembilan hari kemudian, yaitu pada 28 Desember 1948, rombongan Batalyon II Taruma Negara dapat melintasi garis demarkasi Van Mook di dekat Laren/Getos. Sejak awal perjalanan, Kompi-1 Taruma Negara yang dipimpin oleh Kapten Amir Machmud menjadi pengawal utama staf Brigade XIII. Pada tanggal 30 Desember 1948, tugasnya digantikan oleh Kompi-2 Taruma Negara yang dipimpin oleh Kapten Komir Kartaman. Sementara kompi-kompi lainnya bergerak menuju Gunung Sari.

Continue reading

Apotek Preanger – Apotek Swasta Pertama di Kota Bandung

Oleh: Irfan Pradana

Cerita tentang Braga tidak ada habisnya ditulis. Setiap perjalanan menyusuri jalan sepanjang 850 meter ini selalu berhasil memantik rasa penasaran dan penelusuran baru. Bermula dari sebuah rasa penasaran tentang Braga, saya mengisi waktu libur lebaran tahun ini dengan berselancar di laman pencarian internet. Dalam satu kesempatan, perhatian saya tertuju pada sebuah majalah lama bernama “Mooi Bandoeng” edisi bulan Maret tahun 1938.

Bandung – wabil khususnya Braga—sejak zaman kolonial memang sudah menjadi magnet bagi wisatawan. Guna memfasilitasi gelombang pelancong yang pelesiran di kota Bandung dan juga sebagai upaya promosi Kota Bandung yang lebih luas, perkumpulan Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah wisata bulanan. Edisi pertamanya terbit tahun 1933 dengan harapan bisa menjadi pedoman bagi para wisatawan yang hendak menghabiskan waktu menikmati keindahan kota  Bandung. Majalah ini diberi nama Mooi Bandoeng.

Saya tertarik sekali pada sebuah artikel di halaman 11 yang berjudul “Bandoeng in 1874”. Artikel itu menuliskan pengalaman melihat Bandung yang masih serba sederhana. Hanya ada 6-7 bangunan saja saat itu. Namun yang lebih menarik perhatian saya adalah sebaris kalimat yang menyebutkan tentang keberadaan apotek pertama dan satu-satunya di Bandung, sebuah apotek yang dibangun pada tahun pada 1880 oleh orang bernama Verschooff.

Nama Verschooff mula-mula membawa saya pada sebuah buku “Adresboek van Nederlandsch-Indië voor den Handel” yang jika diterjemahkan kurang lebih artinya “Buku Alamat Hindia Belanda untuk Perdagangan”. Buku yang terbit pada 1884 ini berisi informasi tentang bangunan, gedung pemerintah, serta fasilitas umum di seluruh Hindia Belanda. Nama apotek Verschooff tercantum di halaman 5.

Continue reading

Qgis Bangunan dan Situs Cagar Budaya Kota Bandung

Oleh: Komunitas Aleut

Peta Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung

Belakangan ini beberapa rekan di Komunitas Aleut belajar mandiri membuat beberapa macam peta, tentunya masih jauh dari baik, tapi sambil terus belajar ya dipost aja dulu.

Sementara ini hanya bisa post link saja karena untuk embed ke website ini perlu biaya yang lumayan yang belum tersedia. Jadi ya beginilah mampunya.

https://komunitasaleut.github.io/Bangunan-Cagar-Budaya-Kota-Bandung-Gol-A-2009-2018/#13/-6.8960/107.6152

Pada link di atas itu ada beberapa layer yang masing-masing berisi:

  1. Daftar Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung – Golongan A, tahun 2009
  2. Daftar Bangunan Cagar Budaya Kota Bandung – Golongan A dan B, tahun 2018
  3. Daftar Monumen di Bandung dan sekitarnya
  4. Daftar Situs/Tempat Keramat, dan Makam di Bandung dan sekitarnya
« Older posts Newer posts »

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑