Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)
Foto dari http://collectie.wereldculturen.nl
Pada tahun 1902, K.A.R. Bosscha mendonasikan lahan seluas tiga bahu yang terletak di Burgemeester Coopsweg (kini Jl. Pajajaran) kepada yayasan untuk tuna netra bernama Blinden Instituut en de Werk Inrichting voor Blinde Inlanders te Bandoeng. Kemudian dibangunlah sebuah komplek rumah buta di lahan tersebut.
Baru pada tahun 1903, komplek rumah buta ini selesai. Peresmian komplek ini dilakukan oleh Ketua Kehormatan Perkumpulan Residen bernama G. J. A. F. Oosthout yang kemudian diserahkan kepada Dr. Westhof yang saat itu menjadi ketua perkumpulan.
Selanjutnya, banyak aktivitas-aktivitas terkait kaum tuna netra di Hindia Belanda. Salah satunya ialah pengajaran cara meraba, mencium, dan mencicipi yang memungkinkan para murid dapat mengetahui ilmu tumbuh-tumbuhan dan tanah.
Lambat laun, terjadi peningkatan sistem pengajaran di Lembaga Rumah Buta. Salah satunya dilaksanakan workshop tentang cara mengolah bahan baku yang murah dan biasa. Dampaknya ialah sebanyak 49 orang tunanetra dapat bekerja sebagai pengrajin di desanya masing-masing.
Selain itu, terdapat aktivitas mengasuh dan membimbing anak asuh tuna netra yang diawas penuh oleh lembaga. Hasilnya cukup memuas, yakni dengan adanya anak asuh yang dapat menyelesaikan pendidikan Lyceum (setingkat SMA) dengan baik.
Walau terjadi peningkatan kondisi para tuna netra yang dibimbing Lembaga Rumah Buta di Bandung, jumlah tuna netra masih sangat kurang. Hal itu sangat terasa oleh Dr. Westhof. Oleh karena itu, Dr. Westhof meminta Pamong Praja dan Kepala Sekolah untuk melakukan penyuluhan ke desa-desa dengan maksud menambah jumlah murid di lembaga.
Usaha yang dilakukan Dr. Westhof dan lembaga membuahkan hasil. Sebanyak 380 orang tuna netra yang terdiri atas 30 tuna netra dari Eropa dan 350 tuna netra dari Indonesia dapat belajar di Lembaga Rumah Buta. Dan, hal itu terjadi pada tahun 1926.
Saat itu, kegiatan penyuluhan dan pebimbingan kaum tuna netra tidak hanya terjadi di Bandung saja. Kegiatan itu mulai menyebar di seluruh Hindia Belanda dengan tersebarnya 48 koresponden yang bertugas untuk penyuluhan, kunjungan keluarga tuna netra, dan propaganda kesehatan mata.
Sayangnya, kegiatan Lembaga Rumah Buta mengalami kesulitan saat pendudukan Jepang. Pengelola lembaga diserahkan kepada Pemerintah Shi. Banyak murid yang terlantar akibat pengelolaan mereka, bahkan banyak berkas anak didik yang hilang atau rusak.
Penderitaan kaum tuna netra berangsur membaik setelah kepengurusan dilakukan oleh Palang Merah Inggris pada tahun 1946-1947. Saat itu dibangun Sekolah Rakyat untuk para tuna netra. Pemimpin SR “Istimewa” ini ialah Ny. Giester hingga tahun 1949. Kemudian kepemimpinan SR diserahkan kepada Ny. Brusel I de Bruine. (vcc/upi)
Baca juga artikel menarik lainnya