Oleh: Ariono Wahyu (@A13Xtriple)
Untuk enam jam pesta akbar di kota kami ini, dana yang dikeluarkan miliyunan. Pasukan pengamanan ribuan. Pedagang mengungsi, papan baca sebuah koran ditumbangkan dulu, untuk kedepannya direkonstruksi kembali, seperti nasib yang terjadi pada tiang-tiang bendera.
Kekuatan pengamanan di pusat kegiatan ribuan orang setara ratusan peleton. Sedangkan kami hanya berkekuatan sapta orang, setara satu peleton pun tidak. Hanya setengah lusin personil lebih satu orang dengan senjata utama kartu pengenal yang kami rebut dari Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA).
Kami milisi dari komunitas non-subsidi yang cinta mati pada kota ini. Doktrin kami belajar bersama dan berbagi ilmu. Mungkin kami tanpa pelatihan khusus tapi semangat belajar adalah nafas yang menjadi modal kami untuk terus bergerilya memberikan berita yang tak biasa.
Komunitas ini bukan milisi militeristik dengan tampilan yang mengintimidasi. Suara dentuman yang kami gaungkan bukanlah suara pesanan, bukan propaganda tapi bukan pula resistensi nyinyir. Kami diajarkan dan belajar untuk bersikap objektif dan netral. Bukan menggandrungi subjek atau orangnya, kami mengasihi kota ini. Sumpah setia kami bagi Negorij Bandoeng.
Rasanya kami menguasai dengan baik medan kawasan peringatan berbagai bangsa (multi nasional) dilangsungkan. Daerah-daerah operasi yang sering jadi tema utama kegiatan komunitas kami dari Minggu ke Minggu. Kami jelajahi dengan berjalan kaki beriringan. Mungkin tak sepatriotik kisah hijrah divisi dari kota kami. Memiliki kecintaan yang sama pada tanah kelahiran.
Misi utama kami memang mewartakan cerita-cerita yang mungkin luput dari bidikan pasukan besar korporasi media. Menyiarkan kisah orang-orang biasa di pinggiran palagan dan tidak khusus menargetkan warta dari panglima-panglima di pusat kekuasaan. Kami telah menyusup dalam berbagai kegiatan jauh sebelum Hari-H Jam-J. Memberitakannya secara sporadis dalam seluruh daya lini masa media yang kami punya.
Ini kerja tim, tak ada yang merasa lebih dari yang lain. Tak ada yang merasa paling berjasa apalagi menjadi pahlawan kesiangan. Karena peluru kami hanya tulisan yang mungkin tak diganjar dengan tanda jasa. Karena proses menulis adalah pekerjaan yang sunyi. “Sepi ing pamrih rame ing gawe”. Kami akan berbangga jika tulisan kami tidak hanya menjadi peluru hampa tanpa suara. Semoga yang kami suarakan memberikan suar dan menginspirasi banyak orang untuk mulai mencintai kota ini.
Pasukan utama peliputan kami mungkin hanya tujuh orang, tapi ada korps cadangan yang mendukung dibelakang. Mereka juga berkontribusi, berdo’a, berteriak, berpekik “Semangat”! Anggota-anggota yang tak kasat mata serta tak kalah jasanya. Kita semua akan berkumpul bila senja sudah menyapa, menarik pelajaran dan mengatur strategi untuk “tour of duty” esok hari. Kami manunggal sebagai satu kesatuan.
Dan ini ode dari saya yang tinggal di garis belakang karena cedera untuk kompatriot-kompatriot di garis depan peliputan, yang dengan gagah berani menginfiltrasi semua front. Bagi kamerad yang berada di lapangan udara, jalanan dan di perkampungan di tengah Kota. Percayalah Boeng, nama-nama anda, saya dan semua anggota akan tercatat dalam sejarah tulisan yang memperkaya sejarah lisan kota ini. Bahwa di suatu masa saat puncak Peringatan.
Konferensi Asia-Afrika ke-60 di Bandung kalian ada di sana dan menunaikan bakti bagi Kota ini.
Ariyono Wahyu Widjajadi (Prajurit muda yang terluka, baru “Ngaleut” satu kali )
*ode (n) sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda, peristiwa yang dimuliakan, dan sebagainya.