Pantai Selatan Priangan, dari Pagi sampai Malam

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Farly Mochamad

Pagi yang cerah menghiasi Kota Bandung yang sejuk rupawan. Banyak orang memanfaatkan waktu akhir pekan dengan berolahaga dan melakukan aktivitas luar ruangan lainnya. Aleutians memilih menjelajahi hutan rindang dan gelombang ombak di selatan Priangan.

Minggu (08/11), kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut pada pukul 07.37, dengan jumlah peserta sepuluh orang dan enam motor. Sebelum menancap gas kami briefing dan berdoa terlebih dahulu, agar selama dalam perjalanan diberikan keselamatan.

Di daerah Cimaung, tepatnya di pertigaan Puntang-Pangalengan terdapat Tugu Perintis Cimaung, tempat bakal Presiden Pertama Indonesia, Ir Soekarno, pernah  memberikan kursus politik untuk mencapai Indonesia Merdeka kepada warga Cimaung.

Tugu Perintis Cimaung, pertigaan Puntang-Pangalengan Foto Komunitas Aleut

Tidak lama dari Cimaung, kami tiba di kawasan Perkebunan Cukul yang indah seperti surga. Kami berhenti dekat Villa Jerman yang sudah seperti jadi penanda kawasan Perkebunan Cukul.

Baca lebih lanjut
Iklan

Beberapa Tokoh dalam Penanggulangan Wabah

Dalam sejumlah wabah yang pernah melanda dunia, terdapat beberapa tokoh yang berinisitif terlibat dalam penanggulangannya. Tiga di antaranya adalah Cipto Mangunkusumo, Slamet Atmosudiro, dan Ernesto “Che” Guevara de la Serna. Ketiga tokoh ini berasal dari keluarga menengah yang mampu mengenyam pendidikan tinggi sehingga menjadi dokter.

Kita mulai dari Cipto Mangunkusumo. Ia dilahirkan pada 4 Maret 1886 di Desa Pecangakan, Ambarawa. Ayahnya adalah seorang guru HIS yang sempat dipindahkan ke Semarang.

Sampul buku Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo Demokrat Sedjati karangan M. Balfas (Penerbit Djambatan, Djakarta, 1952)

Pada usia 12 tahun, Cipto mengikuti ujian Klein Ambtenaar atau calon pegawai Pangreh Praja. Ia lulus dengan nilai terbaik, tetapi kesempatan itu tak diambil. Alasannya, Cipto tidak mau menjadi amtenar yang disembah rakyat dan menyembah kepada Belanda.

Setahun setelah itu, ia masuk STOVIA di Batavia untuk belajar ilmu kedokteran. Enam tahun kemudian Cipto lulus dan diwajibkan menjalankan ikatan dinas selama 10 tahun sebagaimana umumnya para lulusan STOVIA.

Baca lebih lanjut

Sejarah Perkebunan dan Pertanian di Bamboo House, Cimurah, Karangpawitan, Garut

          Minggu lalu saya ikut satu perjalanan literasi (momotoran) Komunitas Aleut dengan rute Sumedang – Darmaraja – Wado – Malangbong – Cibatu – Karangpawitan – Garut. Dari banyak tempat singgah, termasuk Cadas Pangeran dan kunjungan ke rumah pengasingan Tjoet Njak Dhien Baca lebih lanjut

Soronger dan Peringatan 130 Tahun Jalur Cicalengka-Garut

CC50 (Sumber: world-railways.co.uk)

CC50 (Sumber: world-railways.co.uk)

“For the fifth time I would go from Tjitjalengka to Garoet, along the old postal road, witnessing so much horse suffering and traveler anxiety and sorrow;” (Bataviaasch Nieuwsblad, 1889)

Satu dari sekian banyak jalur kereta api mati yang akan dihidupkan kembali oleh pemerintah di sekitar tahun 2019 ini adalah jalur antara Cibatu dan Garut. Dahulu, Baca lebih lanjut

Melewati Puncak Cae

Oleh : Fauzan (@BandungTraveler)

Perjalanan di bulan puasa kali ini, membawa penulis dan rekan-rekan dari Komunitas Aleut hinggap di atas Gunung Cae, perbatasan Kabupaten Bandung dan Garut. Gunung ini berada di antara Cihawuk, Kertasari dan Puncak Drajat Garut. Dari Jalan raya Ciparay – Cibeureum kita harus berbelok ke sebuah jalan kecil Baca lebih lanjut

S.H. Autobus Dienst, Perusahaan “travel” Milik Tuan Sato Shigeru

S. H. Autobus Dienst, Tuan Sato Shigeru.jpg

Oleh: Vecco Suryahadi (@Veccosuryahadi)

Pada tahun 1924, koran Jepang berjudul Jawa Nippo menerbitkan sebuah iklan perusahaan “travel” baru bernama S.H. Autobus Dienst yang didirikan di Garut. Pendiri sekaligus pemilik “travel” baru ini ialah Tuan Sato Shigeru yang sebelumnya telah menjadi pemilik Perkebunan Sato Noen. Rute pertama yang dibuka ialah Bandoeng-Garoet.

Lambat laun perusahaan ini memperluas jaringannya di Jawa Barat. Jaringan pertama yang ditambah ialah Bandoeng-Soekaboemi, Garoet-Tjikadjang, Garoet-Pameungpeuk. Selanjutnya dibuka rute Batavia-Soekaboemi dan Bandoeng-Cheribon untuk menyambungkan jalur-jalur sebelumnya. Hingga pada akhir tahun 1927, total jaringan “travel” Tuan Sato sepanjang 557 km! Baca lebih lanjut

Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak

Oleh: Irfan Teguh Pribadi (@irfanteguh)

Perkembangan bahasa Sunda sampai bentuknya yang sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari peran orang-orang Belanda. Atau, menurut Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19, bahasa Sunda dalam sejarahnya “ditemukan”, “dimurnikan”, dan “didayagunakan” oleh orang kolonial.

“Kaum cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah kolonial, penginjil, dan partikelir yang hidup pada abad itu baru menemukan bahasa Sunda sebagai bahasa mandiri yang memiliki kosa kata dan struktur tersendiri pada abad ke-19,” tulis Edi S. Ekadjati dalam pengantar buku tersebut.

Seorang Belanda yang perannya cukup besar dan tidak bisa dilepaskan dari hadirnya budaya cetak dalam bahasa Sunda adalah Karel Frederik Holle atau K.F. Holle. Her Suganda dalam buku Kisah Para Preangerplanters menuturkan bahwa sebelum berkenalan dan mendalami bahasa Sunda, K.F. Holle hanya salah seorang yang ikut dalam rombongan pelayaran warga Belanda pimpinan Guillaume Louis Jacques van der Hucth. Pada 1843, rombongan yang berlayar dari Belanda itu hendak menuju tanah harapan di timur jauh, yaitu sebuah negeri koloni yang bernama Hindia Belanda.

Setelah bekerja selama sepuluh tahun di Kantor Residen Cianjur sebagai klerk dan di Kantor Directie van Middelen en Domeinen di Batavia, K.F. Holle merasa tidak puas. Ia akhirnya memilih menjadi administratur sebuah perkebunan teh di Cikajang, Garut. Setelah itu ia lalu membuka perkebunan teh dan kina waspada (Bellevue) di kaki Gunung Cikuray.

Di tempat kerja barunya, K.F. Holle tertarik dengan literasi dan kebudayaan Sunda. Sambil belajar bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat dan penguasa setempat, ia pun kerap mengenakan pakaian seperti halnya pribumi, seperti sarung dan kerepus.

Baca lebih lanjut

H.O.S Tjokroaminoto dan Pengaruhnya di Priangan

Oleh: Bagus Reza Erlangga (@bagusreza)

Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah sang Raja Tanpa Mahkota. Ia dilahirkan di Madiun pada 16 Agustus 1882 dengan gelar kebangsawanan Raden Mas, namun gelar ini ia tanggalkan dan menggantinya dengan Haji Oemar Said. Hal ini ia lakukan karena merasa gelar kebangsawanannya melekat erat dengan cap pro-kolonial. Ia memang sosok yang anti-kolonial, bahkan ia mengundurkan diri sebagai pegawai juru tulis di Madiun yang dirasa pro-kolonial untuk kemudian melarikan diri ke Semarang menjadi buruh angkut pelabuhan.  Di sini ia merasakan betul seperti apa penderitaan kaum pribumi kelas bawah.

Sepak terjang dan nama besarnya tidak bisa dilepaskan dari organisasi Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam didirikan oleh H. Samanhoedi pada 11 November 1911 dengan tujuan menjadi benteng pelindung para saudagar batik dari tekanan Pedagang Cina dan Kalangan Ningrat Solo. Di bawah kepemimpinan H. Samanhoedi, Sarekat Islam berjalan lepas. Meski memiliki tujuan yang tinggi, kepemimpin Samanhoedi tidak dapat menjangkau anggotanya secara luas. SI tidak bisa memperluas kegiatannya yang terbatas hanya pada persaingan bisnis dengan Pedagang Cina dan Ningrat Solo saja.

Merasa organisasinya tidak berkembang, H. Samanhoedi dan R.M. Tirto Adhi Soerjo sebagai penyusun anggaran dasar pertama, mengajak Tjokro bergabung pada Mei 1912. Pada masa itu Tjokro telah dikenal dengan sikapnya yang radikal dalam menentang perilaku feodal. Baca lebih lanjut

Catatan Perjalanan: Kendan, Nagreg, dan Candi Bojong Menje (Part 1)

Oleh: Chika Aldila (@chikaldila)

Kendan berasal dari kata ‘kenan’, yaitu sejenis batuan cadas, berongga, dan di dalamnya mengandung kaca (batu beling) berwarna hitam, yang biasa kita sebut dengan nama batu Obsidian. Hanya di bukit Kendan ini kita dapat menemukan bebatuan yang sangat indah ini.”

Membaca kutipan mengenai Kendan di atas membuat aku teringat akan pengalamanku saat pertama kali melihat wujud asli batu obsidian di situs penggalian bukit Kendan (31/01/2016). Indah, bercahaya, berwarna hitam legam, membuat ‘pecinta’ batu ingin membawanya sebanyak mungkin ke rumah dan memolesnya bersih. Aku dan beberapa teman dari Komunitas Aleut sampai terpana melihat betapa cantiknya batu hitam legam ini; kami bawa batunya pulang, tidak banyak. Ya, tidak banyak.

Batunya berbentuk hati. Cantik tenan…

Di bukit itu pula aku melihat saksi sejarah kejayaan kerajaan lama di Tatar Sunda dengan Nagreg sebagai puseur dayeuh (ibu kota)-nya. Siapa sangka di Nagreg ada sebuah kerajaan? Di daerah Kabupaten Bandung ini, yang ternyata dulunya merupakan sebuah kerajaan besar dengan Resiguru Manikmaya (sudah Resi, Guru pula!) sebagai rajanya. Ya, mungkin hanya aku saja yang ketinggalan info, baru belajar mengapresiasi sejarah di umur-umur yang telat ini. Baca lebih lanjut