Soronger dan Peringatan 130 Tahun Jalur Cicalengka-Garut

CC50 (Sumber: world-railways.co.uk)

CC50 (Sumber: world-railways.co.uk)

“For the fifth time I would go from Tjitjalengka to Garoet, along the old postal road, witnessing so much horse suffering and traveler anxiety and sorrow;” (Bataviaasch Nieuwsblad, 1889)

Satu dari sekian banyak jalur kereta api mati yang akan dihidupkan kembali oleh pemerintah di sekitar tahun 2019 ini adalah jalur antara Cibatu dan Garut. Dahulu, jalur ini merupakan bagian dari rencana besar perusahaan kereta api negara bernama Staatsspoorwegen (SS) untuk menghubungkan Kota Bogor dengan kota pelabuhan Cilacap. Sebuah upacara cukup meriah yang dihadiri Gubernur Jenderal Hindia Belanda tepat 130 tahun yang lalu, menandai dibukanya jalur ini pada tanggal 14 Agustus 1889.

Nama Garut muncul secara tidak sengaja, ketika salah seorang panitia pencari tempat bagi ibukota baru bagi kabupaten Limbangan tergores tangannya oleh semak belukar berduri. Dalam bahasa Sunda, proses ini diberi istilah “kakarut” atau “gagarut” dalam lidah Belanda. Kemudian, tanaman yang menggores itu diberi nama Ki Garut dan telaga di sekitar daerah itu diberi nama Ci Garut. Nama Garut pun direstui dan menjadi Ibu Kota Baru bagi Kabupaten Limbangan di tahun 1821.

Kabupaten yang sebelum tahun 1913 bernama Limbangan ini merupakan daerah yang indah dan kaya akan hasil bumi. Dataran tinggi Garut pun terkenal dengan keindahan alamnya sehingga menjadi tujuan wisata para pelancong kulit putih di awal abad 20.

Baca juga: Menghidupkan Kenangan Dari Jalur Kereta Mati di Bandung

Seperti halnya tempat lain di Priangan, angkutan menjadi sesuatu masalah yang mengganjal. Garut yang kondisi geografisnya merupakan daerah pegunungan membuat pengangkutan hasil bumi di sana dilakukan dengan cukup sulit. Keadaan ini membuat harga produksi teh, kopi, kina, dan hasil pertanian menjadi mahal.  Pedati yang ditarik kuda maupun kerbau menjadi andalan untuk mengangkut hasil bumi dan para pelancong sebelum masuknya kereta api  ke sana.

Salah satu fenomena unik yang muncul saat itu adalah fenomena bernama “soronger”. Salah seorang penulis menuliskan beratnya perjalanan dari Bandung menuju Garut melewati celah Nagreg di Koran Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1889, sesaat sebelum jalur kereta api dibuka di sana. Dalam artikel yang menjadi 3 tulisan itu, penulis menggambarkan perjalanan Bandung Garut yang penuh dengan penderitaan bagi kuda-kuda dan perjalanan yang penuh kecemasan dan menyedihkan.

Dalam kamus Bahasa Sunda yang dikeluarkan Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS), “Sorong” artinya dorong atau mendorong barang yang menggelinding seperti gerobak, mobil, dan lainnya. Sedangkan dalam Kamus Danadibrata, sorong atau nyorong adalah kata kerja mendorong barang besar dari bagian depan supaya mundur. Fenomena soronger ini memperlihatkan bagaimana sulitnya medan di antara dua kota di dataran tinggi Priangan tersebut. Para soronger berjaga di tanjakan dan turunan untuk mendorong dan menghentikan laju kereta kuda. Selain itu, mereka menggunakan batang bambu yang ujungnya diberi jeruk yang dipakai untuk menekan roda sebagai rem.

Kegiatan ini bisa jadi berlanjut sampai sekarang. Jika dulu mereka menggunakan bambu dan jeruk sebagai rem, kini para soronger di jalur-jalur berat Priangan menyediakan ganjal yang terbuat kayu untuk menghentikan kendaraan yang tidak kuat naik di tanjakan.

Baca Juga: Jalinan Wisata Jalur Kereta Api Mati Wisata & Perkebunan Rancabali Ciwidey

Jembatan dilihat dari Kadungora (Sumber: KITLV)

Jembatan dilihat dari Kadungora (Sumber: KITLV)

Kondisi perjalanan yang berat, penuh kecemasan dan kesedihan ini kemudian berangsur hilang setelah SS membangun jalur kereta api yang menghubungkan Cicalengka dan Garut. Dimulai di tahun 1887, pembangunan jalur KA Cicalengka Garut ini memakan waktu 2 tahun. Jalur dengan panjang 50 km dibuat dengan dua tahap, yakni pembangunan Cicalengka Leles yang berjarak 20 km dan Leles menuju Garut yang berjarak 30 km.

Jalur ini dibuka langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1889. Pembukaan jalur ini dimeriahkan oleh pesta berupa pertunjukan angklung dan tarian topeng di Stasiun Leles. Dalam perjalanannya, kereta api sempat berhenti dua kali, karena Gubernur Jenderal sangat menikmati pemandangan indah yang dilewati. Perjalanan yang tidak lagi diwarnai penderitaan, kecemasan, dan kesedihan.

Ditulis oleh Hevi Fauzan, hijaber fans, Komunitas Aleut, admin Simamaung, dan pemerhati sejarah kereta api di Priangan.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s