Oleh : Rizka Fadhilla (@rizka_fdhlla)
Berikut ini ringkasan cerita heritage tour dengan judul “Susur Jejak Spoorwegen Bandjaran-Tjiwidej” yang diselenggarakan oleh kelompok mooibandoeng dua minggu lalu. Para peserta tour tidak hanya datang dari Bandung atau sekitarnya, tapi beberapa sengaja datang bergabung dari Jakarta. Sebagian peserta adalah para travel blogger yang cukup aktif di media sosial.
Menyimak pembukaan kegiatan sebelum berangkat dari Kedai Preanger di Jalan Solontongan 20D, tour ini sepertinya tidak melulu berbicara soal sejarah kereta api di Priangan, tapi juga tentang kemungkinan pengembangan wisata sejarah di kawasan Bandung Selatan. Paling sedikit, ada dua potensi wisata sejarah yang menarik, yaitu wisata sejarah kereta api dan wisata sejarah perkebunan. Selain itu ada berbagai potensi wisata alam lainnya, termasuk touring, yang tidak terlalu banyak dibahas dalam program ini.
Perjalanan menggunakan mini bus wisata ini dimulai dari Buahbatu ke arah Dayeuhkolot dan Banjaran, dalam beberapa kesempatan pemandu menunjukkan jalur-jalur rel yang kadang masih terlihat di atas permukaan tanah. Di Dayeuhkolot rombongan mampir ke bekas Stasiun Dayeuhkolot yang bangunannya sudah diisi oleh toko kelontong, tambal ban, penjual burung, dan sebuah bengkel.

Bangunan bekas Stasiun Dayeuhkolot @mooibandoeng
Bangunan utama bekas stasiun masih ada, beberapa rangka kayu dan seluruh bagian atap dan genteng masih merupakan peninggalan asli stasiun yang dibangun tahun 1921 ini. Selain itu, sebagian besar kondisi bangunan sudah berubah dan sudah ada bangunan-bangunan lain yang dibangun menempel. Nama jalan masih Jalan Stasiun Dayeuhkolot, namun situasinya sudah sangat padat oleh permukiman. Sebagian besar jalur rel kereta api sudah tidak terlihat di sini.
Dayeuhkolot bukan nama asing di Bandung. Letaknya sekitar 11 kilometer di sebelah selatan Kota Bandung. Paling sedikit ada dua hal penting dalam sejarah Kota Bandung yang akan selalu menyebut nama Dayeuhkolot, 1) Rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api pada tahun 1946. Di masa ini terjadi satu peristiwa heroik, peledakan gudang bom Belanda oleh Mohammad Toha yang mengorbankan nyawanya, dan 2) Sampai tahun 1810, Dayeuhkolot adalah pusat kota Kabupaten Bandung sebelum dipindahkan oleh Bupati Wiranatakusumah II ke lokasi Kota Bandung sekarang. Peristiwa ini berhubungan erat dengan pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, yang memang melintasi poros barat-timur Kota Bandung sekarang.
Kota lama yang ditinggalkan, yaitu Krapyak, Citeureup, mendapatkan nama baru, Dayeuhkolot. Dalam bahasa Sunda, dayeuh berarti kota dan kolot berarti tua atau lama. Tapi Dayeuhkolot masa kini ternyata tidak banyak meninggalkan jejak-jejak ketuaannya. Sudah lama pula kota lama ini hanya jadi bahasan bila musim hujan tiba. Sungai Ci Tarum yang melintasi kota ini menjadi muara bagi banyak sungai lainnya. Muara-muara ini umumnya terletak di bagian tengah kota. Setiap musim hujan datang, banjir sudah jadi kelumrahan. Sebetulnya, di atas Ci Tarum masih terdapat sisa peninggalan lama, bagian dasar jembatan kereta api Irenebrug.

Irenebrug di Dayeuhkolot (Tropen Museum)
Berikutnya, kami beranjak ke Banjaran. Kota kecil lainnya di sebelah selatan Bandung. Di depan Pasar Banjaran yang ramai, mobil kami berbelok menuju lokasi bekas stasiun. Masih ada beberapa jejak rel dan artefak lain yang berhubungan dengan keberadaan kereta api di masa lalu. Bangunan bekas stasiun, menara katrol untuk pengangkutan barang, dan sisa pergudangan.
Ya, gudang. Keberadaan gudang-gudang di stasiun-stasiun selatan Bandung menjadi petunjuk utama ramainya kehidupan perkebunan di masa lalu. Hasil-hasil perkebunan disimpan sementara di gudanggudang, masuk antrean pengangkutan untuk dibawa ke Bandung, lalu Batavia atau Cirebon, dan selanjutnya ke luar negeri.
Di Banjaran pula kami mulai banyak menyimak cerita tentang pembukaan kawasan perkebunan, tidak hanya sejak para Preangerplanters membuka kebunkebun kina dan teh, tapi juga sejak penanaman kopi pada masa Preangerstelsel yang berlanjut ke Cultuurstelsel (Tanam Paksa) pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch.
Saat berada di sekitar jembatan kereta api pertama yang kami kunjungi pagi itu, Jembatan Sadu, suasana Priangan yang asri sudah mulai sangat terasa. Sekitar 20-30 meter di bawah jembatan ini mengalir Sungai Ci Widey. Di sisi kanan, perbukitan kecil dengan hutan yang masih terlihat menghijau. Di belakangnya, jajaran pergunungan yang menurut narasumber terletak di wilayah Cililin. Di latar depan, pemandangan persawahan yang walaupun tidak terlalu luas, tetap terlihat cantik.

Perkebunan pertama di dekat Bandung (KITLV)
Saya teringat sebuah adegan dalam film cerita buatan Belanda berjudul “Oeroeg.” Dalam film yang dibuat berdasarkan novel karya penulis terkenal, Hella S. Haasse ini, Jembatan Sadu menjadi salah satu lokasi untuk pengambilan gambarnya. Rupanya orang dari jauh masih mengenang jembatan peninggalan masa kolonial ini. Belakangan, Jembatan Sadu juga menjadi salah satu lokasi favorit untuk berfoto dan berselfie.

Jembatan Sadu (@mooibandoeng)
Jejak kereta api yang berikutnya kami kunjungi masih berupa jembatan kereta api, namanya Jembatan Rancagoong, sesuai dengan nama kampung tempat jembatan itu berada. Berbeda dengan jembatan pertama, Jembatan Rancagoong merupakan campuran konstruksi besi dan beton. Ukurannya pun lebih besar.
Menurut narasumber, jembatan dengan ukuran besar dan berkonstruksi campuran seperti ini jarang terdapat di luar kota karena biasanya dibangun di dalam perkotaan. Jadi, dari sisi visualnya saja, jembatan ini sudah punya keunikan tersendiri. Pada beberapa bagian besi vertikal dan melengkung, masih dapat dilihat bekas-bekas kerusakan karena peluru. Rupanya jembatan ini pernah menjadi saksi beberapa pertempuran, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun pada masa DI/TII.

Jembatan Rancagoong (@mooibandoeng)
Dari dasar sungai, Jembatan Rancagoong terletak lebih tinggi dibanding Jembatan Sadu. Ada rasa gamang saat berjalan di atas jembatan ini. Seorang pengidap acrophobia (fobia ketinggian) dapat dipastikan tidak akan mau melewati jembatan tua ini. Saat ini Jembatan Rancagoong masih digunakan oleh warga sebagai jalur penghubung antara perkampungan di kaki bukit dengan Jalan Raya Soreang-Ciwidey. Tidak sedikit warga yang melintasi jembatan ini dengan mengendarai sepeda motor. Sebagai penutup kunjungan, narasumber mengatakan bahwa foto jembatan ini pernah dipakai untuk sampul sebuah buku arsitektur jembatan berukuran besar yang diterbitkan di Belanda. Sayang, beliau sedang lupa judul bukunya.
Di bagian jembatan ini para peserta tour dapat menjelajahi bagian bawah jembatan yang merupakan persawahan dan sungai. Membuat foto dari bawah jembatan rupanya menjadi kegiatan favorit sebagian peserta tour. Begitulah, para peserta langsung menyebar, bergaya, atau bersijingkat di atas pematang, bahkan turun mendekati badan sungai.
Puas eksplorasi Jembatan Rancagoong, tour beranjak ke lokasi bekas Stasiun Cisondari. Letaknya tidak jauh dari Jalan Raya Soreang-Cwidey. Di sini, penceritaan merupakan pengembangan dari cerita di Stasiun Banjaran, yaitu kereta api sebagai sarana pengangkutan hasil perkebunan, terutama kayu dan teh. Cerita perkebunan pun bertambah dengan beberapa nama perintis pengusaha perkebunan di Priangan atau Preangerplanters, terutama peran Rudolf Eduard Kerkhoven yang mendirikan perkebunan teh dan kina di Gambung.
Tidak terlihat bekas-bekas gudang di sekitar Cisondari, mungkin sudah habis dijadikan permukiman. Beberapa jejak rel masih dapat ditemukan. Bangunan bekas stasiun sudah berubah fungsi menjadi sekolah taman kanak-kanak. Pemandangan khas kampung di sini lumayan membuat segar, ada sawah, kolam, hutan, dan perbukitan Tambakruyung dan kawasan Cililin-Gununghalu di latar belakang.

Rumah administratur perkebunan Gambung (@mooibandoeng)
Bersambung ke bagian 2 . . .
***
Ping balik: Jalinan Wisata Jalur Kereta Api Mati & Wisata Perkebunan Rancabali, Ciwidey (Bagian 2) | Dunia Aleut!
Ping balik: Sejarah Jalur Kereta Api Cikudapateuh – Ciwidey – agnaihsan
Ping balik: Soronger dan Peringatan 130 Tahun Jalur Cicalengka Garut | Dunia Aleut!
Ping balik: Menapaki Kenangan Bersama Aleut dan Pidi Baiq | Dunia Aleut!