Susur Pantai 5 – Ciletuh

P_20180127_154736_PN

Susur Pantai 5 | Foto Tegar Bestari

Oleh : Tegar Bestari (@teg_art)

Hari itu adalah perjuangan bagi Persib Bandung yang harus memenangkan pertandingan sedikitnya tiga gol tanpa balas jika ingin lolos ke babak berikutnya dalam gelaran Piala Presiden 2018. Sore menjelang malam cuaca sudah mendung, bahkan ketika saya memacu Si Kuda Besi Imut menuju Kedai Preanger – cuaca hujan.

Sesampainya di Kedai Preanger, beberapa kawan sudah berkumpul menunggu kick off pertandingan. Sejatinya kami berkumpul di Kedai Preanger ini bukan untuk menonton Persib yang yang sedang dibawah performanya, kami berkumpul untuk melakukan perjalanan #susurpantai5 menuju Ciletuh. Tapi sambil menunggu kawan lain

datang, tak salahnya menonton pertandingan yang membosankan ini sembari sesekali menerikan anji** gobl** pada para pemain dan wasit.

Jam menunjukan pukul 9.00 kurang, dan kawan yang ditunggu-tunggu pun datang – seorang mahasiswi baru dengan bibinya. Paman Ridwan segera membagi kelompok perjalanan (yang dibonceng dan yang membonceng), saya bersama Ana – nona manis pengidap asma yang sedang kambuh, lalu diadakan brifing perjalanan bahwa kecepatan motor sekitar 60-70km/jam dan saya seperti biasa menjadi orang paling belakang dalam rombongan. Semua kawan bersiap, saya mencari koran bekas untuk disisipkan di jaket agar tidak masuk angin, yang lain memeriksa kelengkapan perjalanan, dan Akay tetap memakai celana pendek.

Perjalanan dimulai, seorang kawan baru pertama ikut rombongan Komunitas Aleut yang membuat perjalanan sedikit terhambat – stopan pertama rombongan sudah terpisah. Setelah menunggu lampu merah di stopan terlama se-jagad ini akhirnya kami pun lanjut mengejar kawan lain. Rombongan mengisi bensin di SPBU Cijagra dan SPBU Caringin, di SPBU Caringin inilah saya baru teringat harus mengukur jarak tempuh selama perjalanan, setelah mengambil foto odometer, kami lanjutkan perjalanan. Rombongan bergerak menuju Cimahi, disana ada seorang kawan yang menunggu dengan motor yang cc nya lebih besar dari motor kami. Cimahi merupakan titik ketika motor Paman Ridwan yang memimpin perjalanan seperti kesetanan menuju Citatah, dari belakang saya melihat beberapa teman kadang menjauh dari rombongan, maklum rombongan kami bukan rombongan bersirine.

Perjalanan menuju Citatah, ketika saya mengobrol dengan Ana untuk mengusir ngantuk dan dingin, kami melihat segerombolan orang yang tampak akan touring – sama seperti kami bedanya motor mereka cc nya lebih besar. Kami semua masuk ke wilayah Citatah, jalan berkelok dengan permukaan mulus memang menyenangkan. Namun kesenangan itu tak berlangsung lama, karena dihadapan kami truk-truk sombong berbokong besar ini sudah menguasai jalan, kami harus ekstra hati-hati. Tak lama, dibelakang terdengar suara sirine “ngok ngok ngiiiiiik”, saya meminta Ana untuk melihat siapa yang memakai sirine bersuara babi ber-toa itu, Ana menjawab “motor yang tadi dipinggir jalan, Gar.” Si Kuda Besi Imut tidak saya belokan merapat jalan, sengaja saya tidak hiraukan mereka karena kami memiliki hak yang sama dalam menggunakan jalan.

Perjalanan di Citatah terhambat, rombongan berhenti sama sekali. Setelah belasan menit kami menunggu ternyata didepan ada truk yang sedang bercumbu mesra dengan tebing dan untuk memisahkan pasangan itu diturunkan alat berat berwarna kuning berjagakan polisi.

Perjalanan dilanjutkan, kecepatan tetap tinggi walaupun dengan mudah disusul oleh rombongan bersirinekan suara babi itu. Kami memasuki jalan lingkar Cianjur dan setelah itu kami memasuki jalan yang disebelah kanannya banyak sekali kuburan, sebelumnya sudah dua kali saya menginjak jalan ini, yang pertama ketika meliput salah satu pesantren tertua di Jawa Barat yang salah satu santrinya berhasil membuat saya dan kru berkaca-kaca oleh lantunan ayat Al-qurannya dan yang ke-2 ketika meliput padi Pandan Wangi yang tinggi tanaman padinya mencapai 175cm bahkan lebih.

Rombongan meluncur deras menuju Sukabumi, papan bertuliskan Gunung Padang kami lewati begitu saja, tapi lumayan untuk menjadi bahan obrolan baru dengan Ana sebagai obat kantuk paling mujarab ketika bermotor.

Entah di jalan apa, kami sempat berhenti di minimarket untuk makan dan pipis sementara saya beli susu dan celana dalam – kombinasi yang yahud. Cuaca sangat dingin namun obrolan tetap hangat terutama tahu bahwa Persib kalah 0-1.

Perjalanan yang dingin dengan sedikit menahan kantuk kami lanjutkan menuju Kota Sukabumi untuk mencari penginapan yang dapat menampung belasan orang. Sulit sekali ternyata mencari penginapan di Kota Sukabumi ini, kota yang tidak seperti kota. Tak lama dua kawan datang menyusul ke Sukabumi, kondisi kota yang sudah tertidur ini di guyur hujan deras – kami semua kedinginan. Setelah putus asa mencari penginapan, kami menemukan pom bensin yang tutup, untung musholanya terbuka. Kamipun tidur disana.

Tidur berjejalan di mushola, tampaknya semua kawan terlelap terutama kawan disamping saya yang dari frekuensi ngoroknya tampak sedang bermimpi indah. “Groooook Grooook Grooook heeek kek kek kek” kawan mengorok itu tersedak benda entah, saya senyum mendengar ia terbangun. Akhirnya Agus mengumandangkan komat, tanda Subuh sudah menyapa, kami semua bangun, sebagian gosok gigi.

IMG-20180201-WA0010

Foto Bareng  | Foto Tegar Bestari

Pagi sekali kami berangkat dari pom bensin, sarapan di warung sederhana lalu berfoto untuk pertama kali. Cuaca sangat mendung, semua kawan memakai jas hujannya.

Setelah perut terisi oleh mie rebus dan gorengan kami langsung menancap gas motor menuju Ciletuh. Dalam perjalanan kami melewati perkebunan karet, Arif dan Agus berhenti karena motor Arif rusak bagian gear-nya. Sambil menunggu, saya naik ke bukit kebun karet untuk pipis, disela sela pohon mengalir air berwarna putih, entah kotor oleh apa.

Setelah beberapa menit, kami melanjutkan perjalanan. Kawan lain pasti sudah jauh meninggalkan. Ana membaca group whatsapp dan berkata “Gar, nanti di pertigaan Jampang Palabuhan Ratu, belok kiri yah”. “Oke siippp” saya jawab. Sesampainya di pertigaan, kawan lain ada yang menunggu dan memberi kabar “Gar, si Gista kalah lurus. Sarap dek nyulik si Chaca hahahaha.” Gila, om om mau membawa kabur mahasiswi baru. Saya tanya balik “terus?” “Geus aman sih, diudag Mang Hepi.” Dengan sigap Akay menjawab.

Kami berkumpul sejenak di minimarket untuk menunggu motor Arif yang masuk bengkel dan Gista yang membawa kabur Chaca, kami pun sepakat jika saja Bi Kania – bibinya Chaca, yang di bawa kabur oleh Gista, tentu kami tak akan kejar. Bawa saja Bi Kania sejauh kamu mampu Gista hahaha. Sambil menunggu, Pinot menawari kami kedondong, entah darimana ia dapat kedondong, setelah itu saya ngelenyap sedikit, maklum hanya tidur satu jam-an.

Baca juga Ciletuh: Ratusan Kilometer yang Basah

Lanjut perjalanan menuju Pantai Loji. Namun ketika belokan menuju Pantai Loji, Paman Ridwan tetap menancap gas motornya kearah utara, kami ikuti. Pemandangan selama perjalanan sangat menarik, longsoran terjadi di banyak titik. Air mengalir deras di banyak sudut jalan yang membuat longsor tampak menjadi keharusan. Saya heran, ini pertama kalinya saya melihat titik kemunculan air sebanyak ini. Sampailah kami ke perkebunan teh, kami rehat. Ternyata Paman Ridwan kebingungan, di mana jalan ke Pantai Loji?, kenapa perjalanan semakin atas? Sontak kami tertawa, jelas sekali Jalan menuju Pantai Loji sudah terlewat sekitar tujuh km. Akhirnya kami turun kembali.

Di Pantai Loji kami berhenti di depan Kelenteng Kwan Im. Paman Ridwan bilang pada rombongan, masuk aja ke kelenteng, gratis ko. Cuma tanjakannya curam sampe ataaaas itu 60an anak tangga. Saya langsung tidak percaya, mana ada 60an tangga sampe ataaaaaas. Yap, itu memang tipuan belaka, ternyata ada ratusan tangga hingga bagian paling atas.

 

Selesai menjelajah dilanjutkan makan bersama, makan ikan laut bakar yang membuat semua kembali bersemangat, tak bersisa bahkan kerak nasinya pun habis seketika. Dalam prosesi makan siang yang khidmat ini, sudah datang dua teman kami, Nurul dan kawannya yang langsung datang dari Bandung.

Perjalanan dari Pantai Loji menuju Ciletuh luar biasa hebat pemandangannya. Jalan berliku mulus, pantai, bukit dan sungai yang menjadi kesatuan pemandangan yang membuat ketagihan. Tak lupa tanjakan curamnya pun cukup membuat degdegan terutama bagi motor yang pernah tidak mampu menanjak, karena bagi  kawan Komunitas Aleut, tanjakan adalah harga diri. Tanjakan perjalanan ke Ciletuh sukses menaklukan salah satu motor, motor yang dikendarai oleh vocalist The Clown (read : Manglex) tak mampu menuntaskan tanjakan karena beban. Sontak teman lain bahagia, bahagia itu sesederhana ketika teman tak mampu menaklukan tanjakan dan mulung boncengan yang sempat berpindah.

Susur Pantai 5 | Foto Tegar Bestari

Sampailah kami di Puncak Darma, sudah menunggu tukang parkir di sana. Sebagian turun dari motor untuk mendapatkan foto tempat yang lagi nge-hits itu, perjalanan kami lanjutkan meninggalkan tukang parkir yang berharap bisa memalak uang kami. Bhay.

P_20180127_144604

Puncak Darma | Foto Tegar Bestari

Turunan curam dengan kondisi jalan yang butut kami hadapi, setelah itu kami lihat air terjun Ci Marinjung. Warna airnya coklat, seperti susu Indomilk coklat. Kami rehat sejenah di jembatan Cimarinjung ini. Ketika turun saya bilang pada Ana, “keren sumpah, ini salah satu air terjun dengan debit air terbesar yang pernah Gar liat.” Sambil berlalu Ana bilang, “Jumawa banget ini air terjun.” Dalam hati saya berbisik, “darimana Ana dapat kata keren ‘jumawa’  untuk mendeskripsikan air terjun?! Edan iyeu budak

P_20180127_145027

Air Terjun Ci Marinjung | Foto Tegar Bestari

Sedari lama, saya selalu mengagumi air terjun, suara gemuruh yang menyeramkan itu lebih sering mendamaikan hati, kengerian hempasan airnya seringkali membuat saya takjub. Saya melihat aliran airnya yang deras, saya mengandai-andai jika saya terjun pastilah tidak akan selamat.

Berangkat kami menuju Panenjoan kami melihat kambing dan sapi yang dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya, saya ragu apakah pemiliknya akan mengetahui satu persatu hewan yan digembalakannya. Di Panenjoan kami istrirahat cukup lama, tempat ini merupakan puncak dari tebing curam nan indah. Sebagian kawan tak hentinya berfoto, sebagian ngopi saja sambil menikmati angin yang keterlaluan lajunya. Suara gemuruh dari gesekan dedaunan menambah seru suasana tempat ini, disinipun kita bisa melihat pantai Ciletuh yang berwarna coklat tapi indah.

P_20180127_155149

Panenjoan | Foto Tegar Bestari

Setelah puas berfoto dan ngopi, perjalanan kembali dilanjutkan. Saya, Ana dan Si Kuda Besi imut melaju paling belakang – seperti biasa. Kecepatan motor tinggi dan diiringi hujan deras membuat muka diserang oleh ribuan rintik hujan yang terasa seperti jarum ketika menampar muka. Ditengah jalan, motor yang sempat tidak mampu menanjak melipir ke pinggir jalan. Saya dahului beberapa meter. Dilihat melalui spion, vocalist The Clown (read : Manglex) sibuk menyelah motor, Nurul sebagai yang dibonceng hanya melihat kearah motor kesayangannya yang tetiba mogok. Saya dekati mereka, dengan cengengesan dan senyum dikulum vocalis band hardcore itu bilang “beak bensinna euy”, sontak saya dan Ana tertawa terbahak-bahak.

Sesampainya di Ujung Genteng, kami menginap di bilik yang terletak tepat di bibir pantai. Nurul langsung ke pantai, mulung kerang dan terumbu karang mati yang saya ikuti segera untuk keperluan aquascape dirumah.

Pantai Ujung Genteng | Foto Tegar Bestari

Malam tiba, angin mengamuk, pohon-pohon seperti berjoget riang diiringi gemuruh suara angin. Sementara itu kami mengobrol, ngalor-ngidul temanya, terbahak-bahak oleh lelucon yang mungkin akan garing jika ada orang lain yang mendengar. Ya, kami tertawa sangat riang walaupun terasa sangat cape sekali namun saya yakin jika kami disuruh sendirian tinggal di bilik yang kebetulan mati lampu itu dengan kondisi angin yang sama, pasti tidak ada yang mau tinggal di bilik yang menyeramkan itu.

P_20180128_084722

Pantai Ujung Genteng | Foto Tegar Bestari

Pagi menjelang, mayoritas kami tidur dengan cukup. Sedari subuh, Agus sudah ke pantai untuk membuat time lapse sedangkan Nurul seperti biasa mulung patahan terumbu karang. Setelah antrean ke kamar mandi selesai, kami bersiap untuk pulang. Sebagian teman kembali ke pantai seakan-akan tak mau berpisah dari pantai terutama Nurul, entah belum puas oleh karang yang ia ambil atau memang sedang berfikir bahwa setelah perpisahan dengan pantai ini ia harus kembali bekerja sebagai apoteker.

“Siap, Na” dengan semangat saya sapa Ana. “Lets go” jawabnya tak kalah semangat karena kali ini tidurnya cukup dan asmanya 100% sembuh. Perjalanan diiringi oleh hujan, wilayah pantai yang seharusnya panas malah sebaliknya.

Baca juga Kepingan Perjalanan Susur Pantai Geopark Ciletuh

Rombongan masuk ke Agrabinta, tahun lalu kami sempat ke jalan ini menuju Bayah, Banten. Dulu kondisinya panas luar biasa, sepertinya neraka bocor. Sekarang? Kondisinya teduh sesekali hujan. Saya baru sadar bahwa Agrabinta adalah jalan yang sangat indah pemandangannya. Sambil menikmati perjalanan, obrolan saya bareng Ana mulai tertuju masalah kehidupan cinta, iyaah obrolan yang sama sekali tidak bisa dilogikakan, mulai saya yang ragu untuk mendekati mahasiswi S2 hukum karena minder sampai harapan Ana tuk para cowo yang mendekatinya supaya jangan banyak rencana tapi aksi dan perjuangan. Saya “jadi kapan rencana nikah?”. Ana “Taun ini lah, tapi kan ga ada cowo nya juga jadi taun depan, semoga hahaha”.

Kami makan siang di tempat yang sama dengan perjalanan tahun lalu. Menu terbaik hari itu adalah semur JENGKOL dan turubuk, makanan mewah nan murah.

Perjalanan dilanjutkan, sangat jauh sehingga beberapa kawan tercecer dari rombongan karena harus mengisi bensin di pinggir jalan. Akhirnya kami berhenti bersama di jembatan Cisawer, sebelah utaranya terlihat air terjun, bagian bawah jembatan bebatuannya bolong-bolong seperti bentuk bath tube, bagian selatan menyatu dengan sungai ga tahu namanya. Sempat saya berpikir, jika Windi ada disini mungkin dia sudah kesurupan.

P_20180128_144438

Ci Sawer | Foto Tegar Bestari

Perjalanan selanjutnya mulai menggila, bukan oleh kondisi jalan tapi oleh kondisi cuaca. Berangsur kabut turun, temperatur pun merendah beraturan, tubuh kami pun dipaksa harus bertahan dari dinginnya udara yang tercampur dengan angin yang ngahiliwir.

Rombongan kembali terhenti ketika melihat Curug Ci Tambur. Jika meminjam bahasa Ana, maka Air terjun ini tak kalah jumawa dibandingkan air terjun Ci Marinjung.  Kami mengambil foto air terjun keren itu, saya sempat mengambil videonya. Tak dinyana tiba-tiba ada tumila (read: Pinot) yang mengambil foto tepat ditengah frame kami semua, diteriaki tak mendengar, rasanya ingin mencolek gadis kecil ini menggunakan gergaji mesin.

Semakin lama, semakin dingin. Kami memasuki kawasan perkebunan teh. Kabut datang, menemani perjalanan kami yang seakan-akan sengaja menutupi jarak pandang yang hanya mencapai 5 meteran itu. Dingin luar biasa, saya harus akui, perjalanan pulang ini adalah perjalanan terdingin selama karir saya bersepeda motor. Angin yang mengelus seluruh badan dengan durasi dua detik berhasil membuat saya bergidik, tangan gemetaran menahan dingin.

Malam belum larut, tetiba Agus menghentikan motornya dan berteriak seadanya pada Arif “Ip, eureun heula” , Arif tak jelas mendengar sehingga melanjutkan perjalanan. Saya hentikan motor dan bilang “aya naon, Gus?” Agus membalas “tukeuran lah nu make motor” suaranya bergetar hebat. Saya bilang “euweuh nu bisa tukeuran.” Setelah itu saya sadar, Agus terkena hipotermia. Tubuhnya bergetar hebat, Bi Kania langsung membawa kaus kaki untuk dipakai Agus, saya memberikan swater untuk ia pakai, Bi Kania membantu Agus memakaikan sweater karena tangannya kaku. Rombongan terbagi dua, kami bersama Agus, dan Arif Bersama rombongan depan.

Untung kami berhenti didepan warung. Kami istirahat di warung untuk memulihkan kondisi Agus. Tapi kami ini anak Komunitas Aleut, kondisi gentingpun bisa berubah menjadi cair dengan seketika. Ketika agus duduk di warung sambil memegang gelas berisikan bandrek panas, Ana memberikan kain untuk menghangatkan bagian lehernya. Di pasangkanlah kain itu oleh Bi Kania, dililitnya kain itu hingga menutupi setengah muka Agus, teman lain langsung tertawa karena menyangka Bi Kania akan mencekik menghabisi Agus pada malam itu juga. Agus pun pulih, sudah bisa tertawa lepas. Tandanya kami harus melanjutkan perjalanan

Kami melaju, dingin tak mau mengalah. Kami bertemu rombongan depan di warung. Disana Ervan mengaku sakit kepala, ia diam tak bersuara sedangkan teman lain tertawa riang salah satunya karena membuli Agus, termasuk saya.

Perjalanan menurun menandakan ucapan selamat tinggal pada cuaca dingin itu, tanpa ada kemacetan berarti kami sampai di perempatan yang jalan Soekarno-Hatta. Disini perpisahan kami Bersama Nurul yang memboyong partner perjalanan saya Ana, karena arah pulang mereka sama, sedangkan saya harus sampai ke Kedai Preanger untuk menghitung jarak tempuh. Di sini pula, semua motor matik berubah menjadi motor balap. Begitu lampu hijau menyala, seeeetttt semua pengemudi berubah menjadi supir elf yang menahan lodom mencari pom bensin, semua balapan serasa atlet Moto GP.

Kami sampai di Solontongan. Tercatat 544km kami lewati.

Sampai jumpa di perjalanan susur pantai berikutnya.

Tautan asli https://ngalamundinahalimun.wordpress.com/2018/02/04/susur-pantai-5-ciletuh/

 

 

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s