Ciletuh: Ratusan Kilometer yang Basah

Oleh: Nurul Fatimah (@nurulf90)

“Lu kudu bikin catetan rul. Kudu! Setiap detil tempatnya, ambil foto yang banyak, nulis!”

Begitu kiranya isi kepala menghadapi kesempatan ke-5 untuk susur pantai. Ini yang ke-5, tapi pertama bagi saya. Bayangkan. Empat kali saya harus absen diiringi ketabahan mengunduh dan melihat tiap gambar yang dibagikan di linimasa oleh kawan-kawan saya.

Susur pantai. Jelas bukan dari namanya? Kami beberapa motor iringi-iringan menyusur ratusan kilo menjauhi Bandung. Target kali ini, Ciletuh. +200 Km ke arah barat Kota Bandung. Nama Ciletuh menjadi banyak diperbincangkan setelah kawasan tersebut diakui UNESCO sebagai geopark nasional. Perjalanan dirancang tiga hari dua malam. Dimulai Jumat malam, 26 Januari 2018.

Tapi, hari Jumat saya harus pulang telat. Pekerjaan sebagai buruh pabrik masih meminta untuk mengutamakan dan menuntaskan supply sebelum bersenang-senang. Maka jadilah saya batal berangkat di hari itu. Pukul 21.00 WIB kawan-kawan lain mulai melaju dari Solontongan dalam rintikan hujan, saya mengiringinya dengan doa-doa keselamatan.

Batal lagi? Tidak. Untungnya, ada kawan yang menyusul berangkat di hari setelahnya. Maka demi menghindar dari iri hati kesekian kali oleh susur pantai, saya ikut menyusul. Konsekuensinya akan lebih lelah. Rombongan besar telah sempat beristirahat (setidaknya) setelah perjalanan malam, sedang kami harus mengikuti ritme mereka begitu sampai. Selain itu, faktor macet. Perjalanan di malam hari terlebih melewati dini hari dipastikan lebih lengang dibanding memulai di pagi hari. Benar saja. Pukul 5.40 WIB yang terbilang masih pagi itu menjadi sudah sangat kesiangan. Melewati Citatah yang sudah macet dengan truk-truk besar. Karena tak begitu hafal dengan jalur, kami putuskan percaya pada aplikasi penunjuk arah, Google Map (yang memang tak selamanya ia mengarahkan dengan baik). Kami justru dibuat memutar jauh melewati Cibadak Sukabumi, terus melaju melewati perkebunan sawit berselang hutan yang belakangan saya tahu adalah daerah Cikidang. Jalanan naik turun gunung itu menembus ke Pelabuhan Ratu, kemudian mengarahkan kami menuju Vihara Nam Hai Kwan tempat rombongan besar berhenti melepas lelah dan makan siang.

Makan Siang | Foto Nurul Fatimah

Makan Siang | Foto Nurul Fatimah

Saat itu 11.28 WIB ketika saya bergabung dengan rombongan. Sebagian mereka tidur dan nampak sangat kelelahan. “Ujan badag Nur sepanjang perjalanan, campur angin pula. Mana ga nemu penginapan jadinya kita tidur di mushala. Ini baru pada tidur lagi.”

Makan siang dalam kondisi lapar, lelah, ngantuk, di pinggir pantai dengan deburan ombaknya yang sesekali nyiprat sungguh mahal. Nasi liwet, ikan bakar, sambel dan lalapan. Sesederhana itu tapi bahagianya maksimal. Itu soal makanan, justru ada hal menarik lain yang saya lihat dari kawan-kawan. Semua lapar, semua lelah, tapi semua masih bisa mengontrol diri. Nasi 3 liter itu cukup untuk kami.

Kami 19 orang dengan 11 motor. Tak ada urutan tapi masing-masing sudah paham untuk tak mendahului dan rapat di sepanjang jalan. Abang, orang yang kami “sepuhkan” memimpin di depan dengan Rizka di boncengan. Ada lagi Mang Ir, Mey, Tegar, Ana, Akay, Bibi Kania, Ghista, Chaca, Pahevi, Ervan, Arif, Kang Ari, A Agus, Pinot, Kang Novan, Pak Alex, serta saya. Kami bukan geng motor dengan suara knalpot menggelegar. Motor kami kebanyakan matic. Sebutlah Vario, Beat, dan semacamnya. Bahkan si imut scoopy pun berani ikut. Ritme jalan kami santai. Bisa beberapa kali mampir ke warung buat sekedar ngopi atau numpang pipis.

Susur pantai

Susur Pantai Part 5 | Foto Nurul Fatimah

Makan siang berkualitas itu menjadi energi untuk kami melanjutkan perjalanan. Sepanjang beberapa kilometer, jalanan berdampingan dengan pantai. Samudra dilihat dari ketinggian! Keindahan yang mematikan. Terbuai sedikit saja, bisa celaka. Jalanan itu menanjak, menurun, dan berkelok-kelok. Kemudian pada satu titik tanjakan, Marissa motor putih saya tak kuat membawa beban. Sungguh, seketika saya berfikir untuk mengurangi beberapa kilo berat badan. Juga bertambah yakin bahwa karma itu ada. Mengingat beberapa saat sebelumnya saya mengolok Ghista yang motornya kuat menanjak setelah sebelumnya pernah gagal. Kejadian itu membuat saya berpindah ke motor Kang Ari yang dirasa akan cukup tangguh membawa saya. Kang Ari berprofesi sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Cimahi. Kami banyak bercerita tentang asosiasi keprofesian kami yang sedang bercekcok membahas kode etik masing-masing, dan berujung pada kesimpulan bahwa asosiasi baik dokter maupun apoteker itu…ah biar kami saja yang tahu.

Motor-motor kota itu masih melaju. Latar jalanan berganti dari pantai menjadi hamparan rumput hijau. Teduh sekali mata memandang sekitar. Di beberapa lahan tampak hewan-hewan ternak yang dilepas merumput. Kambing, bahkan sapi. Jalan menanjak itu berakhir di sebuah kawasan dengan tugu kujang di tengahnya. Puncak Darma. Dari sana terlihat pantai dengan bentuknya yang khas. Kami tak lama, bahkan tak sempat memarkirkan motor. Hanya beberapa kawan yang turun dan coba mengabadikan lewat foto kemudian melanjutkan perjalanan. Tak berapa jauh, kami kembali berhenti. Curug Cimarinjung. Deras sekali alirannya. Kata Abang, air yang berwarna coklat itu bukan karena musim hujan tapi dampak dari kegiatan tambang emas di sekitar hulunya.

“Kayak Milo ya” kata saya yang seketika dipangkas oleh Ghista, “Bajigur”. Ah. Sak karepmu lah.

Pantai yang kami lihat dari atas Puncak Darma itu hanya kami lewati begitu saja. Padahal pantai itu masuk dalam tujuan penting menurut panduan wisata. Tapi da memang kami bukan berwisata, jadi ya biarlah. Toh sudah banyak yang ke sana. Jadi, tagline belum ke Ciletuh kalau belum ke bla bla bla itu lupakan saja.

Ciletuh ratusan kilometer yang basah 3

Panenjoan | Foto Nurul Fatimah

Hujan masih sesekali turun hingga kami sampai di Panenjoan. Berbeda dengan Puncak Darma, Panenjoan menyuguhkan lanskap alam persawahan dengan permukiman penduduk di tengahnya. Mata ini diajak menikmati bentangan luas hingga ke pantai selatan. Indah. Tak ada kata lain. Tepat di seberang jalan, terdapat pula museum konservasi. Saya dan Pinot sempat mendekat ke area museum tapi sayang tutup. Menengok ke dalam museum melalui salah satu kaca jendela yang tirainya terbuka, museum ini memamerkan kain-kain batik dan foto-foto. Entah sebenarnya museum tersebut aktif atau tidak, melihat kondisi sekitar yang kurang terawat seperti papan-papan informasi yang tintanya mulai memudar sehingga sulit dibaca hingga meja resepsionis yang berantakan. Pada sudut lainnya, terdapat cafe kecil yang juga tutup.

“Yok yok yoook…”

Selalu begitu. Ajakan yang kadang serius, sesekali hanya membuat panik. Kata-kata itu diucapkan dengan intonasi yang berbeda. Ah, Kawan kudu dengar sendiri dari mulut mereka. Angin makin kencang sehingga ajakan “Yok yok yoook…” itu diartikan serius. 16.17 WIB menurut catatan foto terakhir di Panenjoan, kami kembali melanjutkan perjalanan.

“Dua tiga kilo lagi lah” Begitu yang saya dengar dari seorang kawan yang bertanya pada warga sekitar. Kuingatkan, kawan. Jangan mudah percaya dan selalu konfirmasi setiap informasi. Anggapan saya dua hingga tiga kilo lagi pantai tujuan sudah dapat kami temui. Nyatanya ucapan dua tiga itu bermakna puluhan. Jauh keneh.

Ciletuh ratusan kilometer yang basah 4

Pantai Ujung Genteng | Foto Nurul Fatimah

“Aaaaaaaaaa pantaaaaiiiii” sontak saya turun dari motor. Tanpa peduli hujan dan angin, tanpa menyimpan tas di penginapan terlebih dulu, saya mendekat ke gigir samudera. Ah, Kawan. Sesekali harus kau coba. Pejamkan mata sebentar, hirup aromanya, dengar deburannya. Damai? Tak selalu, memang.

Pantai Ujung Genteng | Foto Nurul Fatimah

Pantai Ujung Genteng | Foto Nurul Fatimah

“Jadi jauh-jauh ke Ujung Genteng teh cuman mau mulung beginian Nu?” Canda Tegar yang kemudian ikut pula memulung kerang dan karang. Tegar bilang, dia sedang bikin semacam apalah itu untuk akuariumnya. Saya jadi ingat akuarium di rumah yang pecah karena terumbu yang runtuh. Nemo dan ikan-ikan lainnya mati. Cukup lama kami menikmati pantai dengan bercerita, berfoto, dan pungut memungut karang. Tak ada sunset hari itu. Tak apa. Saya bahagia. Hingga petang datang dan kami merapat ke penginapan.

Penginapan Tepi Pantai | Foto Nurul FatimahPenginapan Tepi Pantai | Foto Nurul FatimahPenginapan Tepi Pantai | Foto Nurul FatimahPenginapan Tepi Pantai | Foto Nurul Fatimah

Penginapan Tepi Pantai | Foto Nurul Fatimah

Rumah bilik dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang berkumpul itu dihargai 350ribu semalam. Belum juga malam, listrik padam. Aliran. Begitu istilah sundanya. Memang angin luar biasa kencang disertai hujan. Suaranya, jangan tanya. Menyeramkan. Kami masih mengobrol di teras depan. Macam-macam obrolannya.

“Biasana nepi tabuh sabaraha Pak?” Tanya Tegar pada bapak penyedia penginapan yang juga menawari kami kopi dan bala-bala. Bapak itu tak bisa memastikan. Kamipun menerima dan melanjutkan obrolan. Hingga larut pun listrik tak kunjung menyala. Yasudah tidur saja.

Tapi tetap saja, sesekali terjaga. Teras depan sudah sepi. Artinya kawan-kawan sudah lelap dengan mimpi. Hujan angin masih berlangsung. Deburan ombak masih juga terdengar seram. Kemudian, suara perempuan. Gustiiii… Lirih dan terasa dekat. Mampus, pikirku. Namun ternyata, perempuan di sebelahku lah sumbernya. Mak Mey. Sepertinya ia bahagia menjalani episode mimpinya. Seketika kemudian ia memelukku dalam tidurnya.

Selamat pagi, Ujung Genteng. Belum mandi. Belum juga gosok gigi. Saya kembali lari ke tepi pantai. Sudah ada Mak Mey yang berlari-lari kecil dan A Agus yang sibuk menanam monopod untuk membuat timelapse yang kemudian disusul Tegar yang membawa tripod. Saya? Kembali memulung karang-karang. Teu aya paedah, tapi bahagia setengah mati.

“Angin, ombak, pantai… rasanya damai” kataku yang kemudian disanggah A Agus “Apaan. Angin gede gini yang ada takut Nuy” kami pun tertawa.

Pukul 8.55 WIB kami meninggalkan penginapan. Setelah drama antrean mandi dan hujan yang datang pergi. Sebelum pergi, di pinggir pantai itu berdiri beberapa orang. Seingatku ada Ghista, Arif, A Agus, Mang Ir, Tegar, dan Kang Arie. Semacam melafalkan perpisahan dengan samudera, atau justru memutar banyak ingatan di masa lampau seperti kata Mang Ir dalam istilah sunda yang saya lupa apa.

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Satu hal yang harus kau tahu, Kawan. Dibonceng motor itu lebih melelahkan dibanding kau mengendarainya sendiri. Sungguh. Kaki yang mengangkang, kadang harus menahan posisi duduk ketika motor menerjang jalanan berlubang, dan posisi lutut yang terlipat sepanjang jalan. Maka di daerah entah itu, saya mulai membawa Marissa. Lets go, baby!

Masih panjang perjalanan menuju Bandung. Sisa perjalanan ini sangat saya nikmati. Melewati banyak hutan. Bayangkan kanan kiri pepohonan besar dan kau lewat di tengahnya. Beberapa malah menjadi gelap karena tertutup rerimbunan pohon. Kami beberapa motor melaju cepat dan rapat demi mengejar rombongan di depan.

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Jalur pulang relatif lebih menantang, menurut saya. Lebih banyak kelokan, tanjakan, dan turunan. Melawati hutan-hutan berseling permukiman. Pada satu daerah di sekitar Curug Citambur, tanjakan bertanah merah yang cukup tinggi menantang kami. Cobain Rul? Tanya saya ke diri sendiri. Melihat Pahevi yang mencoba naik, di pertengahan sepertinya motornya selip. Nyalipun menciut. Tapi kapan lagi Rul? Lantas Marissa menanjak dengan ngos-ngosan. Sampai di atas, sudah ada Abang yang sedang mengeset kamera.

Ternyata justru perjalanan pulanglah yang meninggalkan banyak kesan. Lepas dari Citambur kami mengarah ke Ciwidey. Kabut tebal sehingga jalanan menjadi gelap. Motor-motor kota itu rapat melaju pelan. Sambil berusaha saling membagi penerangan. Dingin sudah pasti. Ditambah angin yang masih kencang berhembus. Saya merasakan dingin yang teramat sangat. Ditambah sepanjang perjalanan dari Ciletuh kami diguyur hujan. Baju basah ditambah angin. Kiranya mantel pun tak cukup menghalang dinginnya malam. Tangan kebas dan kaku. Kaki sesekali harus turun menahan motor dan terkena genangan air hujan. Gigi mulai bergemeletuk tanpa kontrol.

“Agus hipotermia!”

Di kawasan pemandian air panas Walini itu, empat motor berhenti. Kabar itu kami terima dari Kakak Rizka di luar Jawa sana yang mengikuti percakapan grup whatsapp. Saya coba menghubungi Tegar untuk memastikan kondisi. Syukurlah baik-baik saja. Maka empat motor itu, ditambah satu yang menyusul kemudian turun terlebih dahulu. Mencari tempat lebih hangan untuk menunggu.

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Susur Pantai | Foto Nurul Fatimah

Banyak nama. Banyak data. Banyak istilah. Ah saya tak pandai menghafal dan menyusun kronologi. Tapi perjalanan ini menyenangkan. Bahkan lebih dari sekadar menyenangkan. Kami sampai di rumah masing-masing dengan perasaan yang berbeda. Nah, benar adanya bahwa perjalanan akan mengubah seseorang. Setidaknya, suasana hati dan pikiran.

Pintu gerbang LG 174 sudah terkunci. Hari Minggu memang tak banyak aktivitas ke luar masuk truk ekspedisi ke gudang obat di samping mess. Pak Agus, satpam yang bertugas malam itu membukakan pintu.

“Dari mana Neng jam segini baru pulang”

“Ciletuh, Pak. Sukabumi.”

Lantas beliau terlihat heran.

Baca juga artikel lainnya mengenai catatan perjalanan

Iklan

3 pemikiran pada “Ciletuh: Ratusan Kilometer yang Basah

  1. Ping balik: Susur Pantai 5 – Ciletuh | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Dari Ciletuh ke Ujunggenteng ke Jalan Lain ke Citambur | Dunia Aleut!

  3. Ping balik: Susur Pantai Ciletuh #2 | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s