Pantai Selatan Priangan, dari Pagi sampai Malam

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Farly Mochamad

Pagi yang cerah menghiasi Kota Bandung yang sejuk rupawan. Banyak orang memanfaatkan waktu akhir pekan dengan berolahaga dan melakukan aktivitas luar ruangan lainnya. Aleutians memilih menjelajahi hutan rindang dan gelombang ombak di selatan Priangan.

Minggu (08/11), kami berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut pada pukul 07.37, dengan jumlah peserta sepuluh orang dan enam motor. Sebelum menancap gas kami briefing dan berdoa terlebih dahulu, agar selama dalam perjalanan diberikan keselamatan.

Di daerah Cimaung, tepatnya di pertigaan Puntang-Pangalengan terdapat Tugu Perintis Cimaung, tempat bakal Presiden Pertama Indonesia, Ir Soekarno, pernah  memberikan kursus politik untuk mencapai Indonesia Merdeka kepada warga Cimaung.

Tugu Perintis Cimaung, pertigaan Puntang-Pangalengan Foto Komunitas Aleut

Tidak lama dari Cimaung, kami tiba di kawasan Perkebunan Cukul yang indah seperti surga. Kami berhenti dekat Villa Jerman yang sudah seperti jadi penanda kawasan Perkebunan Cukul.

Di sela rehat, salah satu dari kami mewawancarai pedagang angkringan yang tinggal di Perkebunan Cukul. Yang ditanyakan adalah tentang kampung di bawah jalan raya ini. Katanya nama kampungnya adalah Kahuripan. Di situ ada empat belas buah rumah, satu masjid, lapangan voli, dan ada beberapa mata air. Yang terasa cukup unik dari cerita ini yatu bahwa setiap satu rumah itu ternyata dihuni oleh lebih dari satu keluarga. Bagian dalam setiap rumah diberi sekat-sekat sesuai jumlah keluarga yang menempatinya.

Kampung Kahuripan di tengah Perkebunan Teh Cukul  Foto Komunitas Aleut

Memasuki wilayah Kabupaten Garut, kami dibawa pusing oleh jalanan yang berbelok pendek-pendek, juga naik turun dengan cukup curam. Tapi tidak menjadi masalah, lantaran jalannya mulus serta selalu ada panorama yang indah. Di sepanjang jalan ini terasa sekali suasana perkampungannya, bahkan di satu tempat, ada curug yang keindahannya dapat dinikmati dari jalan raya.

Jalanan belok yang mulus di sekitaran Talegong-Cisewu Foto Komunitas Aleut

Sebelum mencapai Rancabuaya, hujan pun mulai turun. Di kejauhan perlahan mulai tampak panorama pantai selatan. Benar-benar menawan, serasa nirwana. Tak berapa lama kemudian, kami tiba di gapura bertuliskan “Selamat Datang di Ranca Buaya.”

Masuk kawasan pantai, kami menuju sisi paling timur. Di sini pantainya dipenuhi bebatuan laut. Di sela-selanya terlihat belacak kepiting kecil yang segera bersembunyi ketika kami mendekatinya. Ada juga berjimun kumang dan kerang, sedangkan ombak datang bergantian membasahi pasir pantai.

Salah satu sisi Pantai Rancabuaya Foto Komunitas Aleut

Lebih kurang satu jam kami berada di sini. Setelah itu kami keluar ke jalan raya melewati tanjakan yang sangat curam di antara tebing-tebing karang, lalu disusul oleh jalanan setapak berbatu di tengah padang yang luas. Speechless, sungguh indah tempat ini. Pemandangan pepohonan di tebing pantai, sapi-sapi berkeliaran di alam terbuka yang luas, rasanya seperti berada di kepulauan di daerah Nusa Tenggara. Jarang sekali melihat pemandangan seperti ini.

Padang rumput di atas Rancabuaya. Foto: Komunitas Aleut.

Perjalanan berlanjut, kali ini untuk mengisi perut dulu. Kami temukan warung makan kecil di seberang sebuah masjid yang terlihat megah. Untuk menuju warung, kami harus melewati jalan tanah setapak yang agak menanjak. Setelah tiba di atas, aduhai panoramanya ternyata cocok sekali. Tentu makan di sini adalah makan seadanya, bukan dengan menu-menu ribet, bahkan tidak ada nasi.

Kami memesan beberapa macam makanan sesuai selera masing-masing, mi instan, seblak, baso, dan batagor. Minumnya minuman kemasan yang biasa mudah ditemukan di perkampungan. Dari warung yang terletak di ketinggian ini, kami leluasa melihat seluruh kompleks masjid yang berada di seberang jalan raya.

Di sebelah warung, ada beberapa bekas warung yang sudah tak terpakai dan seperti dibiarkan terbengkalai begitu saja. Bila jalan sedikit memutar ke belakang warung-warung tak terpakai ini, ada jalan tanah setapak yang mengarah ke selatan. Ternyata di ujung jalan setapak ini tersedia pemandangan yang sangat bagus, samudera lepas terhampar di depan mata. Di bawah, terlihat ada dua bangunan vila yang cukup bagus dan seperti yang memiliki pantai karang sendiri. Dua vila ini memang terpisah dari wilayah sekitarnya, agak tersembunyi di balik bukit-bukit karang di atasnya.

Pemandangan dari belakang warung. Foto: Komunitas Aleut.

Perut sudah terisi penuh, salat di masjid juga sudah. Kami meneruskan perjalanan menyusuri pantai ke arah timur. Ada banyak jembatan besar dengan bentuk yang sama yang kami lewati. Semua jembatan itu dibangun di atas sungai-sungai yang bermuara di laut selatan. Hampir semua muara sungai ini dapat terlihat dengan baik dan jelas dari atas jembatan.

Lalu kami memasuki kawasan pantai Garut Selatan: Santolo, Sayangheulang, Cilauteureun. Setelah itu berbelok ke kiri dan suasana sudah seperti di perkotaan. Inilah Pameungpeuk. Kami sudah memasuki jalur perjalanan pulang yang akan melewati Gununggelap dan Cikajang. Suasana jalanan tidak terasa ramai, mungkin karena hari Minggu dan saat ini orang tidak banyak berlibur ke pantai selatan.

Di kawasan Gununggelap pun lengang. Pohon-pohon besar di tepi jalan dan tidak banyak warung terlihat di sisi jalan. Dari atas pohonan terdengar suara burung atau serangga yang bersahutan dengan cukup keras. Ini pengalaman perjalanan yang tidak terlalu sering saya alami. Udara dingin cukup terasa menusuk tulang dan kegelapan sudah memenuhi alam. Kami berhenti sekali lagi di perbatasan Gununggelap untuk salat magrib sekalian mampir ke sebuah warung.

Berturut-turut kami memasuki Cikajang, Cisurupan, Bayongbong, Samarang, dan akhirnya Kota Garut. Sudah banyak jajaran toko dengan plang-plang bertuliskan dodol, burayot, atau bermacam oleh-oleh lainnya. Keluar dari Kota Garut yang dipenuhi oleh cahaya lampu, kami kembali bersatu dengan alam malam di jalur menuju Nagreg. Di sini jalanan terasa lebih ramai, banyak kendaraan berplat nomor D mengarah ke Bandung. Sementara itu, udara semakin menusuk kulit.

Lalu kami melewati terowongan Lingkar Nagreg, yang tingginya sebelas meter, dan panjangnya empat ratus meter. Di ujung Lingkar Nagreg, kami berhenti sebentar untuk menghangatkan tubuh dengan minuman panas.

Mulut terowongan Lingkar Nagreg. Foto: Komunitas Aleut.

Sebelum jam sebelas malam saya sudah tiba di rumah, sedangkan teman-teman lain kebanyakan akan melanjutkan menginap di sekretariat Komunitas Aleut dan baru akan pulang besok pagi.

Ini adalah sebuah pengalaman pertama saya menyusuri pantai selatan Priangan yang ternyata menyimpan keindahan luar biasa yang tidak pernah saya ketahui. Pengalaman hari ini sungguh jauh melampaui ekspetasi dan pikiran saya. Pantai Selatan Priangan ternyata tidak kalah indah dibanding pantai-pantai yang lainnya yang pernah saya kunjungi.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s