Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020
Ditulis oleh: Annisa Almunfahannah
Minggu, 08/11/2020
Momotoran kali ini kami tempuh dalam waktu sekitar limabelas jam perjalanan, dan rasanya ramai, seperti Nano-nano.
Here we go
Seperti biasa, kami mengawali perjalanan dari sekretariat Komunitas Aleut di Pasirluyu Hilir No. 30. Jalur yang kami ambil ke arah selatan, yaitu melalui Batununggal, Moch. Toha, Dayeuhkolot, Banjaran, Pangalengan, dan seterusnya. Perjalanan kali ini dipimpin oleh Adit sebagai penunjuk jalan yang sepertinya sudah sangat hafal dengan jalur yang akan kami lewati.
Tidak banyak tempat yang kami singgahi mengingat waktu yang terbatas karena perjalanan ini harus kami selesaikan dalam waktu satu hari. Dan kami berhasil, yeay!! Berangkat pada pukul 07.45 dan kembali pada pukul 23.05. Jika kau bertanya apakah kami lelah? Oh tentu saja, setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Ketika aku melihat diriku sendiri di cermin, terlihat kerudung yang sudah berantakan, muka kusam dengan lingkaran di bawah mata yang sangat hitam, oh tidak. Tapi meskipun begitu, banyak momen yang lucu dan menyenangkan ketika kami ceritakan kembali.
Pemberhentian pertama kami yaitu di Tugu Perintis Kemerdekaan yang berlokasi di Kecamatan Cimaung. Tugu ini terletak di pertigaan antara Jl. Raya Pangalengan dan Jl. Gunung Puntang. Di lokasi inilah Ir. Soekarno pernah memberikan kuliah politiknya kepada masyarakat mengenai kemerdekaan. Menurut plakat yang terdapat di dekat tugu, ada sekitar seratus orang yang menjadi peserta kuliah tersebut. Bisa dibilang tempat ini adalah tempat yang membantu terwujudnya kemerdekaan Indonesia karena masyarakat menjadi tersadarkan akan pentingnya kemerdekaan setelah mengikuti kuliah tersebut. Namun sekarang tugu ini hanya terasa seperti patok penanda jalan biasa, bahkan imbauan untuk tidak memasang spanduk dan baliho di sekitaran tugu tidak digubris sama sekali.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan raya Pangalengan yang menanjak dan berkelok-kelok, dan baru berhenti di sebuah warung pinggir jalan yang berada di area Perkebunan Teh Cukul. Saat ini perkebunan teh tersebut dikelola oleh PT. Sinar Sosro.
Di bawah tempat kami berdiri terdapat sebuah kampung pekerja perkebunan yang terdiri dari 14 rumah bedeng. Menurut cerita ibu penjaga warung, kampung ini terdiri dari 48 kepala keluarga, otomatis dalam satu rumah dihuni oleh dua keluarga atau lebih. Kebanyakan dari rumah tersebut telah direnovasi dengan menambahkan sekat di dalam rumah serta beberapa ruangan tambahan untuk menunjang kehidupan dari masing-masing keluarga. Hanya dua rumah yang masih memiliki bentuk asli.

Sebenarnya, sebelum kami tiba di warung tersebut, kami melewati sebuah rumah besar berwarna putih dengan bentuk bangunan seperti rumah di pedesaan Jerman. Rumah ini sering disebut Villa Jerman, dikelola oleh anak perusahaan Sosro dan tidak dibuka untuk umum, melainkan hanya untuk keperluan perusahaan. Melihat rumah ini aku jadi teringat dengan anime Attack on Titan karena bangunan rumah dalam anime tersebut memiliki desain yang serupa dengan villa ini.
Tak jauh dari warung, berdiri pabrik pengolahan teh hitam milik Perkebunan Cukul. Tak seperti ketika kami melewati pabrik teh di Pasir Malang, tidak tercium semerbak aroma teh saat kami melewati pabrik ini. Mungkin karena kami melewatinya di pagi hari dan proses penyangraian belum dimulai sehingga aroma khas tersebut belum hadir dalam udara yang hirup.

Perkebunan Cukul berbatasan langsung dengan Kecamatan Talegong yang merupakan bagian Kabupaten Garut. Ketika kami melewati Alun-alun kecamatan ini, terlihat sebuah gong besar yang dipasang tepat di tengah Alun-alun. Entah apa makna dari gong di tengah Alun-alun tersebut, apakah berhubungan dengan nama daerahnya yaitu “Tale Gong” atau mungkin memiliki makna lain? Entahlah..
Pemberhentian kami selanjutnya adalah Curug Rahong di daerah Cisewu. Sepertinya spot ini adalah salah satu check point untuk rute momotoran menuju pantai selatan, karena menurut cerita dari Pahepi, Aleut selalu berhenti di curug ini baik masuk ke dalam rundown kegiatan ataupun hanya sebagai tempat istirahat.
Sekitar pukul 13.30 akhirnya kami tiba di Pantai Rancabuaya. Sebelum memasuki area pantai kami diharuskan untuk membayar sebesar Rp 7.500 yang sebenarnya sedikit mencurigakan, tapi ya sudahlah, kami akan cari tahu setelah ini. Di Rancabuaya kami beristirahat sambil menikmati deburan ombak dan bentangan laut Samudra Hindia.
Dari Rancabuaya kami memotong jalan melewati tempat yang bernama Kandang Sapi (?). Diawali dengan tanjakan yang cukup curam, kemudian kami dihadapkan dengan jalanan berbatu dari awal hingga akhir daerah tersebut. Padang rumput yang luas dengan laut yang membentang di bawahnya, menjadi tempat yang cocok bagi hewan ternak untuk merumput dan melepas penat dari kandang-kandang mereka yang sempit. Hewan pun butuh refreshing hahaha.

Jalan Kandang Sapi ini tembus ke jalan raya utama Pantai Selatan. Sepertinya tidak banyak yang tau tentang jalan ini selain warga sekitar, bahkan waktu saya coba cari, jalan ini tidak tergambar di Google Maps. Selanjutnya, kami sempatkan dulu mampir di warung kecil sebrang Masjid Al-Jabbar untuk makan dan solat di masjid tersebut.

Seingatku tujuan awal perjalanan kami adalah Pantai Santolo, tetapi karena waktu sudah semakin sore, kami mengubah rencana dan langsung menyiapkan perjalanan pulang agar kami bisa melewati dan mengalami daerah Gunung Gelap sebelum hari gelap.
Posisiku kali ini berada di belakang motor Adit, sang leader. Rasanya agak sulit mengimbangi kecepatannya, walaupun aku masih bisa mengejar laju motornya. Perjalanan pulang kami bisa dibilang cukup lancar, meskipun setelah melewati Nagreg motor kami saling terpencar karena keramaian lalu lintas.
Sebenarnya banyak cerita dan kejadian yang tidak tersampaikan dalam catatan singkat ini karena batas redaksional yang ditentukan. Mekipun begitu, semoga selalu ada pelajaran yang bisa kami ambil dari setiap perjalanan yang kami lakukan sebagai bagian dari pelatihan ini.