Tag: Ngaleut (Page 1 of 3)

Ngaleut Jalan Siti Munigar

Oleh: Fikri M Pamungkas

Jika akhir pekan tanpa pergi kemana-mana sepertinya terasa hampa. Minggu lalu saya berkesempatan mengikuti kegiatan ngaleut ke sekitar Jalan Siti Munigar.

 Pagi itu begitu cerah seakan-akan merestui perjalanan ini, dengan rasa penasaran dan ingin tahu saya pun berangkat bersama rekan komunitas aleut. Kami berangkat melewati Jalan Pasir Koja, lalu berbelok kanan, ada sebuah Jalan yang bertuliskan Siti Munigar. Sehari sebelum ngaleut, saya menyempatkan menyusuri rute ngaleut yang telah disusun sebelumnya. Karena saya pernah beberapa kali melewati jalan tersebut, namun ngga ngeuh ternyata Jalan Siti Munigar terdapat sesuatu yang menarik.

Bagian utara Jalan Siti Munigar. Foto: Komunitas Aleut.

Sebelumnya saya sudah sempatkan membaca beberapa tulisan di website Komunitas Aleut yang membahas tentang Jalan Siti Munigar, kalau saya ringkas, kira-kira seperti ini: jalan kecil bernama Siti Munigar ini ternyata merupakan bagian dari sejarah keluarga Orang Pasar. Sebutan Orang Pasar ini mengacu pada para pedagang lama di Pasar Baru Bandung yang ternyata saling memiliki kaitan kekeluargaan.

Continue reading

Pajagalan; Rumah Potong Hewan Lama di Bandung

 Oleh: Muhammad Naufal Fadilah

Perjalanan ngaleut di kawasan Pajagalan menyisakan sebuah cerita yang berkesan. Sudah sejak kecil saya diperkenalkan dengan jalan Pajagalan, namun tidak pernah terbersit sama sekali mengapa jalan ini diberi nama tersebut. Berdasarkan hasil diskusi bersama rekan-rekan Aleut, nama pajagalan besar kemungkinan diambil dari keberadaan rumah potong hewan di salah satu sudut jalan tersebut. Dalam bahasa Belanda, rumah potong hewan dikenal juga dengan istilah abattoir, slachthuis, dan slachtplaats. Teringat kembali sebuah memori masa kecil ketika saya sedang bercengkrama dengan seorang teman di depan sebuah bangunan tua bernama serupa yang terletak di jalan Sukimun, Kota Cimahi. Pertanyaan pun kembali menyer, di mana letak rumah potong hewan yang pada akhirnya memberikan nama bagi jalan Pajagalan ini?

(Foto 1: Kondisi abattoir Bandoeng di Cimahi saat ini). Sumber: Dokumentasi Komunitas Aleut

Sebelum memulai kegiatan ngaleut kawasan Pajagalan, kami melakukan perencanaan rute dan pendataan objek-objek yang akan dikunjungi. Melalui penelusuran literatur, kami menemukan peta Bandoeng van Omstreken berangka tahun 1910 yang di dalamnya memuat kata abattoir di ujung jalan Pajagalan. Temuan tersebut kemudian disesuaikan dengan kondisi saat ini melalui pencitraan google maps dan street view. Penelusuran ini menjadi bekal yang penting untuk mengungkap posisi rumah potong hewan di jalan Pajagalan.

(Foto 2: Peta Bandoeng en Omstreken 1910). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 3: Perbandingan peta lama dan sekarang). Sumber: oldmapsonline.org
(Foto 4: Perbandingan peta-peta yang di dalamnya memuat Rumah Potong Hewan di Pajagalan 1905-1939). Sumber: oldmapsonline.org
Continue reading

Ngaleut Momotoran ke Sumedang

Oleh Asep Ardian

Dari Cadas Pangeran, ke Cut Nyak Dhien, sampai ke tempat peristirahatan terakhir raja-raja Sumedang.

Sebelum melakukan perjalanan ini, saya mengenal Sumedang hanya dari kesenian Kuda Renggongnya, yang ketika saya kecil sesekali mengikuti iring-iringan Kuda Renggong jika di daerah saya ada orang kaya yang disunat. Setelah beranjak dewasa, pandangan tentang Sumedang sedikit bertambah setelah mendengar beberapa kisah tentang Kerajaan Sunda yang berhubungan dengan latar sejarah Sumedang.

Saat ikut momotoran dengan Komunitas Aleut ini, mantap sudah, saya dapat mendengar dan melihat jauh lebih banyak lagi.

Perjalanan kami mulai jam 07.30 dari Bandung dengan rombongan berjumlah lima motor. Sabtu pagi itu cuaca Bandung begitu cerah, dari daerah Ancol, kami menyusuri jalanan Soekarno Hatta yang lengang, melintasi jalanan Cibiru, lalu lewat UNPAD, Cileunyi, dan menyusuri jalanan berkelok Bandung-Palimanan yang sejuk. Lalu sampailah kami di tempat tujuan kami yang pertama, sebuah monumen di Cadas Pangeran.

Continue reading

Catatan Momotoran Tendjonagara

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Momotoran Tendjonagara ini menjadi perjalanan kami berikutnya setelah beberapa minggu lalu perjalanan kami terhenti sampai di Pabuntelan. Berbekal informasi dari buku Pak E. Suhardi Ekadjati yang berjudul “Ceritera Dipati Ukur; Karya Sastra Sejarah Sunda” dan informasi tambahan dari sebuah channel Youtube yang membahas sejarah Cirebon Girang dan Pabuntelan, maka kami tentukan tujuan hari itu (Sabtu, 29 Januari 2022) adalah mengunjungi Padaleman dan Curug Roda. Masih dalam rangka tapak tilas jejak Dipati Ukur.

Continue reading

Catatan Perjalanan Ngaleut Bojongsoang (2)

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Lokasi Ngaleut kami berikutnya adalah Makam Luluhur Bupati Bandung yang ada di Dayeuhkolot. Sebelum lanjut, MagLex mengusulkan supaya kami mampir dulu ke rumah salah satu keturunan H. Rahmat Adam yang terletak tidak jauh dari komplek pemakaman. Kawan-kawan Aleut angkatan lama memang sebelumnya sudah pernah mampir untuk bersilaturahmi ke rumah ini di tahun 2016. Awalnya kami ragu-ragu untuk masuk, tapi akhirnya kami masuk juga.

Continue reading

Catatan Perjalanan Ngaleut Bojongsoang (1)

Ditulis oleh: Inas Qori Aina

Sabtu pagi yang cukup cerah untuk mengawali Ngaleut kali ini. Tidak seperti Ngaleut biasanya yang dimulai dari mulai pukul tujuh, pada Ngaleut Bojongsoang, saya dan beberapa kawan Aleut berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut pukul sepuluh kurang sebelas menit. Kami berangkat agak siang karena rute serta tempat yang akan kami singgahi tidak banyak dan relatif berdekatan. Pasukan Ngaleut Bojongsoang kali ini hanya ada saya, Rani, Annisa, Reza, Adit, juga MangLex yang menjadi “ensiklopedia berjalan” kami selama Ngaleut berlangsung. Ada pula satu kawan baru kami yaitu Asep yang langsung bertemu di titik Ngaleut pertama.

Continue reading

Mausoleum Keluarga Ursone: Orate Pro Nobis – Doakanlah Kami

Ditulis oleh: Deuis Raniarti

Rumah Keluarga Ursone di Lembang. Foto: Reza Khoerul Iman

Minggu lalu saya dan teman-teman mengunjungi bekas rumah tinggal keluarga Ursone di Jalan Baruajak, Lembang. Sedikit flashback ke tulisan saya sebelumnya yang berjudul Momotoran Lembang, kami mengunjungi rumah ini setelah Ngaleut ke beberapa tempat di kawasan Lembang. Rumah ini tampak bagus dan dilengkapi halaman luas yang bersih. Salah satu perbincangan saya dan teman-teman saat duduk santai di halaman adalah tentang makam Ursone yang berada di kompleks makam Pandu. Mang Alex menjelaskan bahwa yang dimakamkan di makam berbentuk mausoleum itu bukan hanya satu orang saja, melainkan ada beberapa anggota keluarga Ursone, juga dari generasi yang berbeda. Mang Alex juga menyinggung soal bagaimana cara membaca tanda angka-angka yang tertulis di mausoleum bagian depan mausoleum Ursone.

Continue reading

Ngaleut 90 Tahun Makam Pandu: 1932-2022

Ditulis oleh: Aditya Wijaya (@adityanism)

Para peserta Ngaleut di depan gerbang Ereveld Pandu. Foto: Deuis Raniarti

Hari Kamis 13 Januari 2022, Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Ngaleut Makam Pandu. Ngaleut ini dihadiri oleh sepuluh peserta dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Ngaleut dimulai pukul 09.30 pagi dengan Mang Alex menjelaskan latar belakang berdirinya Makam Pandu, dilanjut mengunjungi Makam Ursone. Jadi Makam Pandu ini merupakan makam pindahan dari Kerkhof Kebon Jahe yang dahulu lokasinya berada di sekitar Gor Pajajaran sekarang. Kerkhof adalah kata kuno Belanda yang artinya pemakaman.

Lokasi pertama yang kami kunjungi ialah makam keluarga Ursone. Makam ini berbentuk mausoleum bergaya barok dan berlapis marmer. Kenapa berlapis marmer? Mungkin karena A. Ursone pernah membuka usaha batu marmer yang bernama Carrara Marmerhandel en–bewerking di Bantjeuj, Bandung. Keluarga Ursone merupakan keluarga berkebangsaan Italia dan memiliki perusahaan susu sapi yang berada di Lembang.

Continue reading

Ngaleut Cidadap: Mata Air di Kota Bandung Kini (2)

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Penampungan air di Setiabudhi tahun 1920. Foto: Leiden University

Tulisan ini adalah lanjutan dari bagian pertama Ngaleut Cidadap: Mata Air di Kota Bandung Kini (1). Bagian pertama adalah rangkaian perjalanan dan cerita saat mengunjungi Gedong Cai Cidadap dan Gedong Cai Tjibadak, sedangkan pada bagian ini saya ingin bercerita ketika kami mengunjungi tempat penampungan air di Setiabudhi dan Gedong Cai Cikendi.

Setelah dari Gedong Cai Cidadap dan Tjibadak, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penampungan air di Setiabudhi. Tempat ini tampak berbeda dengan Gedong Cai yang kami kunjungi sebelumnya. Bagian atas bangunan terlihat agak membulat dan tertutupi tanah dan rumputan, dulu bangunan seperti ini disebut sebagai gunung cai. Namun sayang ketika kami berkunjung ke sana, kondisi bangunan sudah tertutup dengan rerumputan. Sebagian bangunan juga terkena aksi vandalisme, penuh coretan.

Continue reading

Ngaleut Cidadap: Mata Air di Kota Bandung Kini (1)

Ditulis oleh: Reza Khoerul Iman

Relief nama Tjibadak – 1921 yang sudah dirapikan. Foto: Deuis Raniarti

“Tepat pada 29 Desember 2021 lalu, Gedong Cai Tjibadak diramaikan oleh banyak orang. Wartawan berdatangan, berbagai komunitas menghadiri tempat tersebut, MCK dan lingkungan sekitar direvitalisasi, bahkan Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Bandung, Yana Mulyana, pun turut turun ke hadapan Gedong Cai Tjibadak”.

Entah sejak kapan saya menaruh perhatian khusus kepada gedong cai di Kota Bandung. Saya kira usianya yang telah genap menjadi satu abad bukan salah satu alasan saya mengenal gedong cai. Mungkin lebih karena aktivitas saya yang harus ke sana ke mari mencari berita yang akhirnya mempertemukan saya dan gedong cai.

Sewaktu mengikuti kegiatan Ngaleut Cidadap dan mampir ke gedong cai bersama rekan-rekan Komunitas Aleut, pada Kamis, 30 Desember 2021, ternyata juga dilakukan bukan karena usia gedong cai yang telah genap menjadi satu abad.

Continue reading

Catatan Ngaleut Kompleks Militer Cimahi

IMG-20190922-WA0005

Stasiun Cimahi (Dokumentasi Komunitas Aleut)

Oleh: Aquinaldo Sistanto (@edosistanto)

Jam menunjukkan pukul 07.00. Setelah memarkir motor, saya bergegas menuju Stasiun Selatan Bandung. Tak perlu waktu lama untuk mencapai gedung bergaya Art Deco rancangan arsitek de Roo itu. Saya pun berjalan menuju ruang tunggu, mencari Lina, sesama pegiat Aleut yang sudah lebih dulu tiba di sana. Di ruang tunggu, saya menemui Lina bersama beberapa peserta lainnya. Saya mengeluarkan Continue reading

Blekok, Dulu dan Kini

Oleh: Aquinaldo Sistanto (@edosistanto)

Foto: Komunitas Aleut.

Tahun 2013. Sebuah berita di surat kabar memaparkan adanya suatu perkampungan di Selatan Kota Bandung, yang menjadi habitat berbagai burung air. Blekok, kuntul sawah, kuntul kerbau dan sebagainya. Sudah tentu saya penasaran, maka saya pun menyempatkan untuk berkunjung dan melihat wujud fisiknya.

Kampung Rancabayawak, begitulah nama kampung yang terletak di wilayah Cisaranten Kidul, Gedebage.Yang pertama kali saya lihat adalah sebuah perkampungan kecil, dikelilingi sawah, dengan sejumlah rumpun bambu setinggi bangunan tiga lantai. Di rumpun bambu itulah, berbagai jenis burung berukuran sekitar satu meter membangun sarang, menjalin kasih, membesarkan anak, bercengkrama, dan melepas lelah. Suasananya cukup ramai, apalagi saat senja, ketika burung-burung yang mencari makan dari suatu tempat nun jauh di sana kembali ke sarang.

Sejujurnya, sebagai orang kota, saya takjub melihat suasana yang saya pikir hanya bisa disaksikan di kebun binatang. Saya pun mengulang kunjungan tersebut tahun 2015, dan suasana tersebut hampir tidak berubah, kecuali sawah yang saat itu sedang mengering.

24 Juni 2018, di Minggu yang mendung kelabu, saya mengulangi kunjungan tersebut. Kali ini tidak sendiri, tapi bersama rekan-rekan dari Komunitas Aleut. Hanya perlu sekitar 15 menit untuk mencapai Kampung Rancabayawak dari Pasir Jaya, lokasi sekretariat Komunitas Aleut. Sepanjang perjalanan, terhampar pemandangan yang cukup membuat resah. Sawah-sawah dikeringkan, perkampungan warga mulai hilang, semua dilakukan untuk sebuah ambisi besar pengembangan wilayah teknopolis. Kami tiba di Kampung Rancabayawak. Rombongan pun parkir di dekat pendopo, yang tiga tahun lalu belum berdiri. Di sekeliling kampung, lahan-lahan telah dikeruk untuk pembangunan perumahan mewah. Bahkan sawah hijau yang berada di dekat rumpun bambu tempat blekok bersarang telah dibentengi tembok beton.

BLEKOK, DULU DAN KINI 1
Blekok, kuntul dan burung-burung lainnya sedang arisan / Foto Aquinaldo
Continue reading

17:30 WIB: Waktu Indonesia bagian Blekok

1. Kampung Blekok

Oleh: Audya Amalia

“….the glory of the past, had gone to underground and people just forgot

some people try hard, to wake up in this age to take back their life….”

Hari Minggu tanggal 24 Juni 2018, sepanjang Jalan Soekarno-Hatta Bandung menuju tujuan, earphones di telinga saya terus mengulang-ngulang lagu Unperfect Sky-nya Elemental Gaze. Sambil berdoa supaya hujan sore itu di-pending dulu dan membayangkan seperti apa tempat tujuan ngaleut episode kali ini.

Adalah Kampung Rancabayawak alias Kampung Blekok yang berada di daerah Cisaranten Kidul, Gedebage. Di kawasan ini banyak burung blekok (dan burung kuntul kerbau) hidup, nongkrong, belajar, bermain, bersarang, berkeluarga, berkembang biak.

Apakah Anda baru mendengarnya? Sama, saya juga L

Sesampainya di sana, kami disambut oleh aroma khas burung blekok dan sayup-sayup suaranya dari atas rumpun bambu —atau mari kita sebut saja basecamp-nya para burung blekok. Lalu kita juga disambut oleh Mang Ujang, ketua RW setempat alias kepala adat alias bapak dari semua burung blekok alias dosen pembibing luar heueheu. Menurutnya populasi burung blekok di sini mencapai 2700 ekor. Dan mulai bulan Juli-September biasanya kedatangan juga burung-burung yg bermigrasi dari Australia.

2. Burung Blekok
Maap. Kamera tak mampu menjangkau detail geng burung blekok. Foto Audya
Continue reading
« Older posts

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑