Momotoran Nyaba ka Pangalengan: Bosscha dan Makamnya.

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh : Wildan Aji

‘t Oude moedertje zat bevend

Op het telegraafkantoor

Vriend’lijk sprak de ambt’naar

Juffrouw, aanstonds geeft Bandoeng gehoor

Trillend op haar stramme benen

Greep zij naar de microfoon

En toen hoorde zij, o wonder

Zacht de stem van hare zoon

(Potongan lirik lagu “Hallo Bandoeng” – Wieteke van Dort)

Sebelum mengikuti kegiatan momotoran ke kawasan perkebunan teh di Pangalengan pada hari Sabtu pagi lalu, saya mendengarkan sebuah lagu berjudul “Hallo Bandoeng” yang dinyanyikan oleh Wieteke van Dort. Lagu ini rasanya cocok sekali untuk menemani perjalananku kali ini bersama rombongan Komunitas Aleut. Rasanya seperti akan kembali melihat masa lalu Bandung dan kawasan sekitarnya.

Anggota rombongan yang berangkat ada 14 orang menggunakan 8 motor yang berangkat dari sekretariat Komunitas Aleut di Jalan Pasirluyu Hilir, Buah Batu. Ketika waktu menunjukkan pukul 11.30, kami tiba di kawasan Perkebunan Teh Malabar, setelah sebelumnya mampir dulu ke bekas perkebunan kina di Cinyuruan, Kertamanah, dan ke Pusat Penelitian Teh & Kina di Chinchona, Cibeureum.

Perkebunanan Teh Malabar tentunya sudah tidak asing lagi sebagai tempat wisata. Perkebunan ini bisa dibilang paling terkenal dan merupakan salah satu penghasil teh terbesar di dunia pada masanya dengan kapasitas produksi mencapai 1.200.000 kg/tahun. Sejak era Hindia Belanda produksi teh dari Perkebunan Malabar sangat terkenal dan produksinya dijual di pasar Eropa. Produksi teh hitam menggunakan metode orthodox dan hanya memakai tiga pucuk terbaik. Dengan metode ini proses pengolahan teh tidak dicacah namun digiling sehingga dapat menghasilkan citarasa teh yang lebih nikmat mengalahkan kualitas teh dari Tiongkok dan Srilanka yang saat itu juga menguasai pasar Eropa. Hingga saat ini Perkebunan Teh Malabar masih beroperasi dan konsisten menghasilkan teh dengan kualitas ekspor. Untuk proses pemasarannya, 90% produksi perkebunan teh ini untuk ekspor dan hanya 10% yang dipasarkan di dalam negeri.

Baca lebih lanjut

Iklan

“Vervoloog Malabar: Riwayatmu Kini”

Tulisan ini adalah hasil “Kelas Menulis” yang merupakan bagian dari kegiatan pelatihan Aleut Development Program (APD) 2020

Ditulis oleh: Deuis Raniarti.

Karel Albert Rudolf Bosscha datang ke Pulau Jawa pada tahun 1887. Awalnya ia datang untuk membantu pamannya, Kerkhoven, mengelola perkebunan Sinagar, namun pada akhirnya ia mengelola perkebunan miliknya sendiri di Pangalengan. Setelah menuai kesuksesan, Bosscha dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Berbagai sumbangannya terus dikenang dan manfaatnya bisa dirasakan hingga sekarang. Salah satu jasanya dalam bidang pendidikan adalah pendirian Vervoloog Malabar, yaitu sekolah untuk kaum pribumi, khususnya anak para pekerja perkebunan Malabar. Sekolah ini didirikan di tengah Perkebunan Teh Malabar pada tahun 1901.

(Vervoloog Malabar. Sumber: Tropenmuseum)

Pada hari Sabtu lalu, 24 Oktober 2020, saya dan beberapa kawan dari Komunitas Aleut momotoran ke Pangalengan hingga Ciwidey, momotoran ini adalah kelanjutan dari kegiatan “Belajar Menulis”. Seluruh peserta diberi tugas membuat catatan dan liputan tentang berbagai hal yang ditemui dalam perjalanan, seperti sejarah kina dan Kebun Cinyiruan, Kebun Teh di Malabar dan Pasirmalang, tokoh-tokoh seperti KAR Bosscha atau FW Junghuhn, sampai ke pengenalan kawasan-kawasan perkebunan di sekitar Pangalengan-Ciwidey. Dalam tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman saya ketika berkunjung ke Vervoloog Malabar.

Baca lebih lanjut

Gunung-gunung di Gasibu

Oleh: Nandar Rusnandar (@nandarkhan)

Hari Minggu pagi memang asyik bila dimanfaatkan untuk sekadar jalan santai atau olah raga lari-lari kecil, di Bandung ada banyak tempat tempat yang disediakan untuk kegiatan olahraga ringan ini, salah satunya, Gasibu.

Lapangan Gasibu  sekarang sudah lebih bagus dibanding tahun-tahun kemarin, sudah tersedia jogging track berwarna biru mengelilingi lapangan utama, ditambah  dengan fasilitas  perpustakaan, taman, dan toilet yang bersih, membuat para pengunjung yang ingin melakukan aktivitas olahraga seperti bulu tangkis, senam, bermain sepatu roda, dan jogging merasa nyaman dan betah berlama-lama di sana. Selain yang datang untuk berolah raga, ada pula yang hanya sekadar ngumpul bareng keluarga atau teman-temannya sambil duduk duduk dipinggir lapangan dan menikmati jajanan makanan yang tersedia di sana.

Hari ini saya sedang ingin jogging, menikmati hangatnya matahari sambil mendengarkan lagu dari earphone saja. Setelah lari beberapa putaran, saya pun  kelelahan dan melanjutkan dengan berjalan kaki santai saja. Tak sengaja, terasa ada yang menarik pandangan saya ketika asyik jalan kaki menyusuri  jogging track ini. Batas antara area biru dan lapangan bagian dalam yang berumput ternyata dibatasi oleh sebuah jalur lempengan seperti paving block, berukuran 40 x 40 cm, berwarna natural seperti batu semen, dan terdapat lobang di bagian pinggirnya, mungkin lobang itu berfungsi untuk serapan air bila hujan turun.

Ternyata, tidak semua lempengan batu semen itu polos, ada sebagian yang bergambar. Yaa betul saja, ini seperti prasasti, di permukaan lempengan tertulis nama gunung lengkap dengan keterangan ketinggian serta siluet gunung tersebut. Saya iseng-iseng mengelilingi lempengan batu semen itu dan terkumpul ada 17 lempeng nama gunung yang dipasang mengelilingi lapangan Gasibu. Uniknya, jarak lempengan nama gunung satu dengan lainnya itu tidak sama, saya menduga arah pemasangan nama-nama gunung ini disesuaikan dengan lokasi gunung sebenarnya berada. Baca lebih lanjut

Sang Juragan Teh

Oleh : Hevi Fauzan* (@hevifauzan)

Buku ini menceritakan perjuangan seorang petani teh, Rudolf Eduard Kerkhoven, yang berhasil membuka lahan di Gambung, sebuah daerah di sebelah selatan kota Bandung. Mula-mula terbit tahun 1992.

Dalam bahasa Belanda, buku ini diberi judul “Heren Van de Thee”. Buku biografi ini disusun berdasarkan surat-surat koresponden sekitar pelaku utama, keluarga, dan para pemodal perkebunan. Walaupun berdasarkan fakta sejarah, namun uraian di buku ini mampu menghidupkan tokoh-tokohnya karena penuturannya lebih mendekati pada novel. Mungkin kita bisa menyebutkan buku ini sebagai novel sejarah non-fiksi.

Latar waktu peristiwa terjadi di sekitar akhir abad 19, ketika Priangan sedang beristirahat dari sistem Preanger Stelsel yang berlangsung selama 150 tahun. Di tahun 1870, UU Agraria yang mulai diberlakukan di Hindia Belanda membuat para pengusaha partikelir mulai memasuki Hindia, termasuk kawasan Priangan.

Priangan adalah daerah yang sangat cantik dan juga subur. Keadaan ini membuat Martinus Antonius Weselinus Brouwer mengatakan bahwa “Bumi Pasundan (Priangan) lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Bagaimana tidak? Bagi Negeri Belanda, Priangan adalah anugerah. Sebelum menerapkan system tanam paksa (Cultuur Stelsel), VOC dan pemerintah Belanda terlebih dahulu mengeksploitasi Priangan lewat tanaman kopi dari tahun 1720.

Dalam buku disertasinya yang berjudul “Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan Dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870”, Jan Breman menjelaskan bahwa keuntungan pemerintah Belanda dari tanam paksa di Jawa termasuk Priangan dari tahun  1831 sampai 1866 mencapai 500 juta Gulden, suatu jumlah yang mampu melunasi hutang sekaligus membuat Belanda mampu melakukan modernisasi dengan lebih leluasa.

Karena sangat mencintai Priangan dan daerah sekitarnya, pemerintah Hindia Belanda sangat memanjakan daerah ini. Misalnya saja, daerah ini merupakan daerah non-Pantai Utara yang dilalui Jalan Raya Pos Besar. Bandung, ibukota karesidenan Priangan dicalonkan sebagai bakal ibu kota Hindia menggantikan Batavia walaupun rencana ini kemudian gagal.

Bukti lainnya, provinsi Jawa Barat merupakan provinsi pertama yang dibuat pemerintah dibandingkan provinsi lainnya, terutama yang ada di Jawa, seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jawa Barat dibentuk pada tahun 1926, sedangkan Jawa Timur di tahun 1929, dan Jawa Tengah tahun 1930. Priangan pun menjadi daerah yang dikuasai Belanda pasca perjanjian Renville (1948) yang membuat pasukan Siliwangi harus hijrah ke barat.

Kembali ke buku “Sang Juragan Teh”, Hella S. Haase—sang penyusun, merupakan penulis Belanda yang lahir di Batavia. Bukunya yang semula berbahasa Belanda dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dicetak oleh penerbit PT Gramedia Pustaka Utama di tahun 2015, dan mempunyai ketebalan 430 halaman. Sampulnya menggambarkan seorang pria dengan gagah berkuda melewati perkebunan teh, didominasi warna hijau dan coklat, dua kombinasi warna pepohonan dan tanah.

Perjalanan hidup Rudolf Eduard Kerkhoven setelah dia mendarat di Jawa, yaitu membuka perkebunan, membina keluarga dan mengurus anak-anaknya, sampai terakhir dia meninggalkan Gambung diceritakan dengan cukup baik dan informatif. Gaya penerjemahan buku ini pun sangat baik sehingga saya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca buku ini dalam edisi bahasa Indonesia.

Buku ini memupuskan bayangan saya bahwa orang Belanda yang datang ke Nusantara tinggal menikmati hasil alamnya, tanpa harus bekerja keras, terus berfoya menikmati harta hasil eksploitasi mereka. Bayangan ini pupus setelah membaca kehidupan pria yang lahir di Avereest, Belanda , 25 April 1847 itu, yang disusun penulis sebagai suami, ayah, dan pengusaha yang baik. Dia digambarkan sebagai sosok idealis yang menjauhi sifat hura-hura.

Selain itu, buku ini menggambarkan bagaimana sistem modal berjalan di perusahaan-perusahaan teh Priangan. Diceritakan, bahwa Rudolf Eduard Kerkhoven membangun perkebunan tehnya dengan tanaman modal dari rekan dan keluarganya, sehingga untuk melakukan perubahan struktur keuangan misalnya, suami dari Jenny Elisabeth Henriete Roosgaarde Bisschop–salah satu cicit Gubernur jendral Daendels ini, harus berusaha keras memperoleh ijin dari para pemodal.

Kehidupan masyarakat Sunda, terutama etos kerja mereka disinggung sedikit di buku ini, juga pemandangan alam sekitar Gambung. Buku ini juga bercerita bagaimana transportasi sebelum masuknya jalur kereta api di Priangan. Perjalanan dari Gambung ke Bogor dan Batavia harus dilalui dengan menggunakan kereta kuda menyusuri Jalan Raya Pos dalam waktu yang lama. Dalam buku ini diceritakan bagaimana jalur Bandung-Cianjur memakai kereta kuda menghabiskan waktu 16 jam perjalanan.

Buku ini cocok bagi pecinta sejarah, utamanya bagi pembaca yang mencari biografi seorang pengusaha teh di Hindia Belanda karena menceritakan perkembangan awal perkebunan teh. Selain itu, kisah ini layak untuk dijadikan bahan dalam mempelajari kehidupan sosial, ekonomi, bahkan transportasi Hindia Belanda sebelum masuknya jalur kereta api ke Priangan.

Di atas itu semua, buku “Sang Juragan Teh” kiranya bisa dinikmati oleh siapa saja; untuk sekadar mengusir kesepian, sambil menikmati secangkir teh, di malam yang berhiaskan rintik dan rintih hujan. [ ]

  • Hevi Fauzan lebih senang memposisikan dirinya sebagai Bobotoh Persib. Berminat pada dunia per-keretaapi-an, dan bergiat di Komunitas Aleut.

 

Tautan asli: https://pustakapreangerblog.wordpress.com/2015/12/17/sang-juragan-teh/

Rel Kereta Api memiliki Arti

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Semenjak suka ikut-ikutan jalan-jalan dengan @KomunitasAleut, saya jadi terpacu dan senang memperhatikan detail setiap benda, terutama benda-benda lama yang memiliki nilai sejarah. Benda-benda tersebut tak lagi hanya menjadi benda mati tanpa arti, namun memiliki cerita di dalamnya. Dalam beberapa minggu di akhir bulan September dan awal bulan Oktober 2013 @KomunitasAleut mengadakan rangkaian perjalanan yang juga berhubungan dengan sejarah perkembangan kereta api di Bandung dan wilayah sekitarnya.

Pada tanggal 21 September 2013 saya mengikuti survey untuk kegiatan reguler @KomunitasAleut, rutenya mulai dari Lapangan Sidolig (Stadion Persib), Kosambi, hingga Parapatan Lima, di rute ini kami melewati pintu perlintasan Kereta Api Kosambi. Pada pintu perlintasan tersebut ada sebuah pos penjaga yang halamannya dipagari menggunakan bilah rel kereta api bekas yang dicat dengan warna biru dan putih. Saya perhatikan pada bilah rel itu terukir tulisan nama dengan deretan angka. Pada pagar rel di pos perlintasan ini dapat kita temukan beberapa rel yang bertuliskan KRUPP 1883 dan KRUPP 1890. Tulisan yang serupa juga ditemukan pada potongan rel kereta yang digunakan sebagai tiang net lapangan volleyball di dekat bekas stasiun kereta api Soreang (KRUPP 1890). Yang terakhir ini adalah bagian dari kegiatan @KomunitasAleut menyusuri jalur rel kereta api Soreang-Banjaran pada tanggal 28 September 2013.

Dalam penyusuran itu, kami melewati daerah Citaliktik di sisi jalan raya Soreang-Banjaran. Di situ kami menemukan bekas rel kereta api yang menggantung di atas tanah. Saat saya perhatikan, terdapat tulisan CARNEGIE USA 1919 SS. Tulisan serupa juga ditemukan pada pagar pos perlintasan kereta api di Kosambi dalam kegiatan Jelajah Kawasan Kosambi pada tanggal 6 Oktober 2013, tulisannya CARNEGIE USA 1920 SS.

Saya juga menemukan tulisan CARNEGIE USA 1921 SS di sisa rel dekat bekas stasiun kereta api Cikajang (+1246m), Garut. Yang ini saya dapatkan saat mengikuti kegiatan Jelajah Kawasan Perkebunan di Priangan, tanggal 12-14 Oktober 2013. Pada sekitar daerah bekas stasiun kereta api Cikajang, Garut, ini juga ditemukan tiang dari bekas rel kereta api yang bertuliskan KRUPP 1890.

Perkembangan dan masuknya jalur-jalur kereta api khususnya di daerah Bandung dan Priangan lagi-lagi tidak bisa dilepaskan dari sumbangsih perkebunan-perkebunan di tanah Priangan. Beberapa tahun setelah keluarnya Undang-Undang Agraria (1870), daerah Priangan menjadi terbuka bagi para pemilik modal yang ingin membuka dan menanamkan modal mereka di sektor perkebunan swasta di Hindia. Hal ini tentu saja memacu laju pertumbuhan jumlah perkebunan. Priangan di masa itu memiliki sebanyak 150 perkebunan atau 80% dari jumlah total perkebunan di seluruh Hindia Belanda. Pada tahun 1902, di Hindia Belanda terdapat 100 pekebunan teh, 81 perkebunan terletak di Priangan. Sedangkan perkebunan kina ketika itu berjumlah 80 perkebunan, dan 60 di antaranya terletak di Priangan. Kebanyakan perkebunan-perkebunan tersebut berada di kawasan pergunungan Priangan.

Tentu bisa dibayangkan sumbangsih sektor perkebunan Priangan bagi pemasukkan pemerintah Belanda. Sebagai gambaran besarnya sumbangan sektor perkebunan Priangan, hasil ekspor produk perkebunan kina Priangan pada tahun 1939 sebanyak 12.391 ton atau 90% dari seluruh produksi kina dunia. Karena besarnya sumbangan sektor perkebunan daerah Priangan dengan produk-produk ekspor unggulan di pasar dunia seperti teh, kopi, kina, dan karet, tak heran bila daerah ini mendapatkan prioritas untuk pembukaan jalur kereta api. Jalur kereta api ini tentu saja untuk mempermudah, memperlancar dan mempercepat pergerakan barang dan modal di daerah ini.

Memang sebelumnya sudah ada jalur jalan Onderneming yang dibangun pemerintah Hindia sebagai sarana transportasi hasil-hasil bumi dari program Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. Salah satu hasil Revolusi Industri adalah penemuan kereta api uap yang membuat sistem transportasi menjadi lebih cepat dan efisien. Akhirnya Bandung mendapatkan akses jalur kereta api pada tahun 1884, lalu Bandung-Ciwidey, dan jalur kereta api ke Cikajang pada tahun 1890. Jalur ke daerah Bandung selain memudahkan pengangkutan hasil-hasil perkebunan, juga dalam rencana jangka panjang adalah sebagai sarana pendukung pemekaran Gemeente Bandoeng pada tahun 1919.

Jalur kereta api ke Ciwidey dibangun juga untuk memfasilitasi transportasi hasil perkebunan di daerah pedalaman (hinterland), tempat perkebunan-perkebunan besar seperti N.V. Assam Thee Onderneming Malabar (milik Preangerplanter K.A.R. Bosscha), atau perkebunan teh “Gamboeng” dan “Ardjasari” milik sepupu K.A.R Bosscha, Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven. Di Cikajang, Garut, ada perkebunan teh Waspada (Bellevue) milik K.F. Holle atau perkebunan karet Boenisari Lendra, dll.

Masa jaya perkebunan kolonial sudah berlalu, banyak lintasan kereta api saat ini sudah tidak lagi beroperasi. Banyak juga artefak sejarah kereta api yang tertinggal dan masih dapat ditemukan, misalnya bilah-bilah rel seperti yang sudah diceritakan di atas. Bilah-bilah rel termasuk yang masih mudah dan banyak ditemukan di sekitar jalur mati atau di pos-pos perlintasan seperti di Kosambi itu.

Lalu apa makna nama Krupp atau Carnegie yang tercetak pada bilah-bilah rel itu?

Krupp adalah nama pabrik pembuat rel tersebut, sedangkan 1883 adalah angka tahun pembuatan rel tersebut. Tahun yang sangat menarik karena bertepatan dengan meletusnya Gunung Krakatau. Krupp adalah perusahaan baja Jerman yang terkenal memproduksi seamless railway tires atau roda (rel) kereta api tanpa sambungan yang terkenal anti retak. Rel buatan Krupp sangat terkenal walaupun harganya tinggi. Kualitasnya sangat baik. Rel Krupp juga digunakan pada jaringan rel kereta api di Amerika Serikat sejak sebelum Perang Sipil, karena pada saat itu pabrik-pabrik di Amerika Serikat belum mampu memproduksi baja dalam kapasitas besar dan dengan kualitas yang sebaik itu.

Dari 100.000 ton jalur kereta yang digunakan di Amerka Serikat pada tahun 1869, hanya 5000 ton berasal dari pabrik-pabrik baja di Amerika, sisanya diproduksi oleh parik baja di Sheffield, Inggris, dan oleh pabrik Krupp, Jerman. Pemasukan pabrik baja Krupp pada tahun 1860-an, 92% diperoleh dari penjualan di luar negeri/ekspor. Tak heran jika jalur rel kereta api di Hindia Belanda, khususnya di Priangan, juga menggunakan rel dari Krupp.

Produk rel ini dikembangkan oleh Alfred Krupp (1812-1887), anak pendiri pabrik baja Krupp, Friedrich Krupp. Alfred harus berhenti sekolah pada usia 14 tahun untuk melanjutkan operasi pabrik baja Krupp setelah Friedrich meninggal pada tahun 1824. Alfred mengembangkan teknik cast steel pada tahun 1841 yang kemudian dia patenkan. Teknik ini sebelumnya dikenal hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan baja di Inggiris, khususnya di perusahaan–perusahaan baja di daerah Sheffield.

Kemajuan produksi pabrik baja Krupp juga diuntungkan ketika Napoleon melakukan blokade laut terhadap Inggris. Sehingga Krupp menjadi pemasok baja utama di Eropa. Alfred mengembangkan perusahaannya dengan membeli peleburan-peleburan baja, tambang-tambang besi, dan membeli cadangan biji besi. Pada tahun 1858, Krupp membuat senjata ketika memperoleh kontrak dari Kerajaan Prusia.

Seperti sebagian Preangerplanters, Krupp juga sangat peduli pada kesejahteraan karyawannya. Krupp menyediakan perumahan bagi para pekerjanya atau bagi para pensiunan dari pabriknya. Krupp menyediakan asrama bagi pegawainya yang masih lajang, asuransi kesehatan, program tunjangan pensiun, koperasi, dan sekolah teknik untuk memperoleh tenaga kerja yang terampil.

Lalu ada CARNEGIE. Carnegie adalah nama perusahaan pembuat rel tersebut, USA adalah negara asal perusahaan, 1920 angka tahun pembuatan, sedangkan SS adalah singkatan dari Statspoorwagen/Perusahaan Kereta Api Negara. Statspoorwegen adalah perusahaan yang menjadi operator untuk transportasi kereta api di wilayah Priangan. Kantor pusat SS berada di Bandung pada tempat yang dulunya merupakan Grand National Hotel. Yang menarik adalah membahas perusahaan pembuat rel kereta api tersebut, Carnegie Steel Company.

Perusahaan ini didirikan tahun 1892 oleh Andrew Carnegie. Ia meraih sukses dengan menciptakan metode peleburan baja yang efisien dan menghasilkan baja dengan kualitas yang baik. Pada tahun 1900-an, produksi baja Amerika Serikat melampaui produksi baja Inggris, dan sebagian besar produksi tersebut berasal dari pabrik yang dimiliki oleh Andrew Carnegie. Pada tahun tahun 1901 Andrew Carnegie menjual perusahaannya senilai $480 juta, untuk kemudian menjadi perusahaan baja “US Steel”. Dari uang tersebut, Carnegie membuat donasi untuk berbagai kegiatan amal, perpustakaan, lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, sekolah, universitas, hingga menyumbang bagi pembangunan Hooker Telescope di Observatorium Mount Wilson. Mirip dengan sifat dermawan K.A.R. Bosscha, pemilik perkebunan Malabar di Pangalengan, Bandung.

Dari kedua potongan rel kereta api tadi, dapat pula kita menyimpulkan perkembangan perusahan baja dunia. Bahwa sebelum tahun 1900, produksi baja dunia dikuasai oleh produk-produk baja dari Inggris (Sheffield) dan Eropa (Krupp). Baru setelah Perang Sipil Amerika, produksi baja negara tersebut mengalami kemajuan yang memuncak pada awal tahun 1900. Saat itu produksi baja Amerika Serikat dapat melampaui produksi baja Inggris.

Copy of SAM_1313

Copy of SAM_1309

Copy of SAM_1921

Copy of SAM_1919

Copy of SAM_1830

SAM_1815

Anda Kerkhoven: dari Bandung menjadi “Pahlawan Perempuan di Groningen”

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Cerita ini adalah tentang Anda Kerkhoven atau lengkapnya, Melisande Tatiana Marie Kerkhoven. Anda adalah anak ke 6 dari 8 bersaudara pasangan Ir. Adriaan Rudolph Willem (ARW) Kerkhoven (1868-1944) dengan Constanze Pauline Marie Bosscha (1885-1961). Constanze adalah keponakan K.AR. Bosscha, pemilik perkebunan teh Malabar.

Pasangan Adriaan dan Constanze menikah di Bandung, pada tanggal 22 Februari 1905. Dari perkawinan ini lahirlah:

  1. Adriaan Paul (penerima medali Broonze Cross atas aksi heroiknya pada PD II sebagai pilot pesawat tempur)
  2. Eduard Julius
  3. Joan Julian (tewas di kamp interniran di Fukuoka, Jepang, 24 Desember 1943. Sisa jasadnya di makamkan di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta)
  4. Diana Arabella
  5. Carmen Mercedes
  6. Melisande Tatiana
  7. Rudolph Hector, dan
  8. Merlin Alexis Kerkhoven.

Image

Anda Kerkhoven lahir di St. Cloud, Perancis, pada 10 April 1919. Lalu dibawa ayahnya yang pada rapat umum pemegang saham tanggal 9 April 1929, ditugaskan menjadi komisaris utama perkebunan N.V. Assam Thee Onderneming Malabar. Perusahaan perkebunan besar itu baru saja ditinggalkan pengelolanya yang legendaris, K.A.R. Bosscha yang baru wafat pada 26 November 1928.

Pada saat A.R.W. Kerkhoven menjabat  sebagai Komisaris Utama di Perkebunan Malabar, Anda tinggal di perkebunan Panoembang, dan menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Kristen Lyceum, Dago, Bandung, pada tahun 1937.

Sejak SMA, Anda dikenal sebagai pribadi yang kuat dan teguh memegang prinsip. Badannya kecil, namun tak pernah terlihat lelah atau sakit. Kulitnya putih dan parasnya seperti orang Cina, sehingga teman-teman sekolahnya menjuluki Anda dengan sebutan “Eskimo”. Hal ini dapat dimengerti karena dalam tubuh Anda mengalir darah keturunan Cina dari neneknya (ibunda A.R.W. Kerkhoven adalah Goey La Nio, seorang nyai dari Eduard Julius Kerkhoven pemilik perkebunan teh Sinagar, Sukabumi).

Anda dikenal sebagai seorang Kristen yang taat, vegetarian garis keras yang bahkan menyentuh telur pun tidak, dan sorang yang penuh kasih sayang. Dia bahkan  menentang pembedahan pada makhluk hidup (vivisection). Anda yang sedang menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran di Batavia kesulitan menghadapi masalah yang satu ini. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari sekolah dan mencari gantinya di Belanda. Sebuah sekolah di Groningen, Belanda, ternyata dapat menerima keberatan Anda tentang vivisection, Anda pun bergabung dengan sekolah ini pada tahun 1938.

Dua tahun Anda berada di Negeri Belanda, Nazi menguasai Belanda. Kehidupan Anda yang sebelumnya damai berubah menjadi kehidupan dalam rezim yang penuh dengan tekanan, penderitaaan tanpa kebebasan apapun. Hingga ke makanan pun dijatah dengan menggunakan kupon. Pada saat ini Anda yang sangat penuh kasih sayang terhadap sesama, ingin membantu orang-orang yang hidup dalam kesulitan.

Seperti mahasiswa-mahasiswa lainnya, Anda bergabung dengan organisasi-organisasi perlawanan bawah tanah. Semasa kuliah Anda bergabung dengan Sociaal Democratische Studenten Club. Kemudian juga dengan organisasi L.O. dan sebuah kelompok yang bernama De Groot.

Kegiatan kelompok ini seperti juga kegiatan organisasai-organisasi perlawanan bawah tanah, bersifat sangat rahasia dan tertutup, tiap-tiap anggota memegang teguh sifat kerahasiaan kelompok ini, rata-rata anggota tidak saling mengenal, dan mengadakan pertemuan di tempat-tempat yang tak biasa. Semua ini demi menghindari penangkapan oleh Sicherheitsdienst (SD)/Polisi Rahasia Nazi yang di bantu organisasi orang Belanda simpatisan Nazi/NSB.

Aktivitas kelompok perlawanan ini adalah melakukan sabotase-sabotase, menyerang transportasi pada saat pemindahan tahanan untuk membebaskan mereka, menggalang dana untuk menyuap pejabat-pejabat Nazi dengan tujuan membebaskan para tahanan, memalsukan berbagai dokumen, dari surat keterangan hingga ke pemalsuan kupo-kupon jatah makanan, menyediakan tempat persembunyian, dan menyediakan kebutuhan mereka-mereka yang dicari-cari oleh pihak Nazi.

Walaupun kegiatan-kegiatan kelompok ini penuh dengan resiko, dari mulai di tangkap, dipenjarakan, dibuang, hingga diekseskusi mati, Anda Kerkhoven tanpa gentar terlibat aktif di dalamnya.

Nazi melakukan berbagai cara untuk menemukan para anggota organisasi perlawanan-perlawanan tersebut. Mulai dari menyebar mata-mata melalui organisasi NSB (orang2 Belanda yang pro Nazi) hingga melakukan trik-trik jebakan, seperti dengan mengirimkan mata-mata yang menyamar sebagai pilot tentara sekutu yang pesawatnya jatuh di sekitar Belanda, dan membutuhkan pertolongan untuk menghindari penangkapan Nazi.

 Image

Patung kepala Anda Kerkhoven hasil rancangan seniman Belanda, Sebastiaan (Bas) Galis. Patung ini sekarang berada di Afrika Selatan.

Anda Kerkhoven akhirnya tertangkap juga pada tanggal 27 Desember 1944, di rumah kerabatnya, pasangan Karel dan Else Hendriks, ketika pulang sehabis mengatarkan sebuah keluarga Yahudi ke tempat persembunyiannya. Sebelum tertangkap Anda berhasil memusnahkan daftar-daftar nama orang-orang yang membutuhkan pertolongan dengan cara memakannya.

Anda ditahan di tempat yang dinamakan Het Scholtenhuis. Dalam rumah tahanan ini, Anda mengalami berbagai siksaan, mulai dari dipukul menggunakan pentungan karet, hingga dimasukan ke dalam bak mandi yang dialiri listrik. Anda tetap tak mau memberikan informasi-informasi yang diinginkan oleh pihak Nazi, “Kalian semua tetap akan memancung kepala saya, jika saya bicara!” ujar Anda dalam suatu proses interogasi.  “Kamu pasti akan di pancung, tapi sebelumya kamu pasti akan bicara,” ujar para interogator memberi tekanan pada Anda.

Pernah suatu ketika Anda mengeluhkan kamar tahanannya yang dingin, mereka malah dengan sengaja memberikannya kamar tahanan di bagian rumah yang paling dingin. Anda harus tinggal di dalam kamar tahanan tersebut tanpa menggunakan alas kaki. Para penahan mengetahui bahwa Anda yang berasal dari daerah tropis tidak akan kuat dengan siksaan tersebut.

Namun Anda bertahan melewati berbagai siksaan dalam tahanan. Anda masih sanggup untuk selalu menyemangati dan menghibur tahan-tahanan lainnya. “Sungguh wanita yang luar biasa, dia mampu mengatasi apa yang sebagian pria tak mampu melaluinya,” ujar kesaksian salah satu teman sesama tahanan. Sekali waktu, Anda mencoba bunuh diri dengan cara melompat dari atap rumah tahanan tersebut, namun ajaibnya dia jatuh dengan posisi berdiri tanpa luka sedikitpun.

Akhirnya pada saat tentara Sekutu melakukan operasi ke Normandy, sebelum mereka melancarkan Operasi Market Garden untuk membebaskan Belanda, pihak Nazi yang sudah terdesak dan dalam persiapan mundur meninggalkan wilayah negara Belanda. Mereka berusaha menghilangkan segala jejak kejahatan mereka, bahkan dengan membakar semua bangunan dalam area seluas 4000 ha di derah Polder Dam Johannes Kerkhoven.

Dalam suasana penuh kegelisahan bagi pihak Nazi yang mulai mengalami kekalahan, Anda akhirnya diekseskusi mati pada tanggal 19 Maret 1945. Malam itu Anda dibawa dari rumah tahanan Het Scholtenhuis. Dengan mata ditutup, Anda bersama seorang tahanan laki-laki anggota pejuang perlawanan, Gerrit J. Boekhoven, digiring ke kawasan di sebelah selatan Groningen, sekitar perbatasan daerah Harenermolen-Glimmen (Oosterbroekweg).

Di tepian jalan tersebut, Anda Kerkhoven dieksekusi dengan cara ditembak di belakang kepala dari jarak dekat. Anda dikuburkan dalam satu lobang dengan Boekhoven yang juga dieksekusi pada saat yang sama. Liang kubur tersebut baru ditemukan setelah pasukan sekutu membebaskan Belanda bagian utara pada 16-19 April 1945, sekitar satu bulan sejak eksekusi Anda.

Bulan Juni 1945, atas petunjuk salah dua orang eksekutor anggota NSB yang tertangkap, liang tersebut dapat ditemukan. Jenazah Anda kemudian dipindahkan ke permakaman di Noorderbegraafplaats, Groningen, pada tanggal 23 Agustus 1945. Banyak sekali pelayat yang hadir. Semua tahu, Anda Kerkhoven adalah seorang perempuan berani yang banyak memberikan pertolongan bagi sesama warga kota yang membutuhkan. Karena itu warga kota menjuluki Anda Kerkhoven sebagai “Pahlawan Perempuan dari Groningen”.

Seluruh rangkaian upacara dan semua kebutuhan pembiayaan permakaman ini ditanggung sepenuhnya secara pribadi oleh seorang detektif bernama Jan Kerkhof. Dia juga secara tegas menolak keinginan keluarga Anda Kerkhoven untuk mengganti seluruh biaya yang telah dikeluarkannya.

 Image

Makam pertama di Groningen (1945-1967) hasil rancangan Bas Galis.

Sebagai epitaph, pada nisan Anda dituliskan puisi yang ditulisnya pada hari Natal 1943, “Baiklah kita timbang lagi dalam terang terakhir potongan sisa lilin kita, niat Kristus yang berani bertahan menghadapi semua dan segala sesuatu” dan “Tidak ada satu tujuan apapun yang dapat membenarkan kekejaman atau ketidakadilan berlangsung. Kita harus mampu melangkah terus mengikuti jalan kita sendiri, tanpa panduan apapun kecuali hati nurani kita sendiri.

Pada tahun 1967, atas persetujuan kerabat dan keluarganya yang masih hidup, makam Anda Kerkhoven dipindahkan ke Ereveld Loenen di sebelah utara kota Arnhem. Pada tahun 2003, beberapa kenangan tentang Anda Kerkhoven dibuat di Rijks Universiteit, Groningen, di antaranya lukisan karya Johan Djikstra, sebuah prasasti tentang korban2 PD II bersama Anda, sebuah serial perangko, dan sebuah prasasti kenangan untuk Anda di Haren. Nama Anda juga diabadikan menjadi nama sebuah asteroid yang ditemukan oleh E.W. Elst melalui European Southern Observatory pada 18 November 1990, “15735 Andakerkhoven.”

Image

Prasasti berisi nama Anda Kerkhoven di gerbang Universitas Groningen.

Image

Prasasti bagi Anda Kerkhoven didirikan juga di Haren.

Demikian ringkasan kisah hidup Anda Kerkhoven, salah seorang anggota klan Preangerplanters yang ternama “van der Hucht, Holle, Kerkhoven, & Bosscha” dan yang juga pernah berjejak di Bandung.

——————————————-

 

Cerita ini aslinya ditulis oleh Prof. Dr. Ir. Constant L.M. Kerkhoven, lalu dirapikan oleh Vincent J.J. Kerkhoven, dan dimuat dalam situs http://www.andakerkhoven.nl/

 Foto-foto diambil dari situs yang sama, http://www.andakerkhoven.nl/

de Koning der Thee (Sang Raja Teh)

Oleh: Alek alias @A13Xtriple

Tanah Priangan yang subur melahirkan banyak Preangerplanters yang kaya raya: Suiker Lords, Thee Jonkers, Koffie Baronnen, Kina Boeren, dan Tabaks Boeren. Boeren dalam bahasa Belanda berarti petani, namun boeren di sini tentunya bukan petani biasa melainkan petani kaya raya. Begitu pun dengan planters yang berarti pemilik perkebunan, mereka bergelimang harta.

Ada 8 keluarga planters yang termashur di Priangan: Van Der Hucht, De Kerkhovens, De Holles, Van Motmans, De Bosscha’s, Families Mundt, Denninghofs Stelling, Van Heeckeren van Walien. Dari 8 keluarga tadi, tiga diantaranya tercatat sebagai yang pertama mendirikan sekolah bagi anak-anak keluarga pekerja dan masyarakat di sekitar perkebunanya. Mereka adalah Keluarga Holle, Kerkhoven, dan Bosscha. Bosscha menguasai perkebunan teh “Malabar” di Pangalengan, Holle dan Kerkhoven memiliki beberapa perkebunan, di antaranya di Garut dan Sukabumi.

Upaya budidaya teh di Priangan mengalami kemajuan setelah didatangkan bibit teh unggulan dari  daerah Assam di India pada tahun 1878. Bibit-bibit teh tersebut tumbuh dan dikembangkan di perkebunan Parakan Salak dan Sinagar di daerah Sukabumi oleh Adriaan Walraven Holle, Albert Holle, dan Eduard Julius Kerkhoven. Lalu di perkebunan Gambung dan Arjasari oleh Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven.

Di awal abad XX kualitas teh dari P. Jawa adalah yang terbaik mutunya di seluruh dunia, ini berkat jasa para Preangerplanters yang mengembangkannya. Teh menjadi komoditas eksport unggulan yang mendatangkan banyak keutungan besar dan tentu saja uang. Dengan uang, para pemilik perkebunan mampu melakukan apa saja, di antaranya ada yang lebih memilih untuk mendermakan sebagian hartanya bagi kemakmuran rakyat banyak. Seperti K.F. Holle pemilik perkebunan teh Waspada di Garut, yang mendirikan Kweekschool (Sakola Radja), yang bangunannya sekarang digunakan sebagai Mapolwiltabes Bandung. Holle juga menerbitkan buku-buku pelajaran berbahasa Sunda. Tak heran karena aktivitasnya tersebut K.F. Holle diangkat sebagai Penasihat Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda. Bila di daerah sekitar Garut kita mengenal K.F. Holle, untuk daerah di sekitaran Bandung, tentu kita sudah tidak asing dengan nama Bosscha.

Image

Karel Albert Rudolf Bosscha (Gravenhage, 15-5-1865 – Pangalengan, 26-11-1928) adalah putra dari  pasangan Johannes Bosscha Jr., seorang ahli fisika, dengan Paulina Emilia Kerkhoven (anak dari Anna Jacob Kerkhoven terlahir dari keluarga Van der Hucht). Dari garis ibu, Ru Bosscha, demikian ia biasa dipanggil, adalah saudara sepupu dari Ir. Rudolf Eduard Kerkhoven (Ru Kerkhoven) pemilik perkebunan teh Assam Gambung dan Arjasari. Paman Ru Bosscha adalah Eduard Kerkhoven pemilik perkebunan teh Sinagar, selama 6 bulan setelah tiba di Hinda 1887, Ru Bosscha bekerja di perkebunan tersebut. Karena kurang menyenangi pekerjaan tersebut, Ru Bosscha bergabung degan kakaknya yang geolog, Jan Bosscha, di Borneo dalam kegiatan eksplorasi emas di daerah Sambas hingga tahun 1892. Pada tahun 1892, Ru Bosscha kembali ke perkebunan Sinagar dan bekerja hingga tahun 1895 sebagai Administrator.

Tahun 1895, Ru Bosscha merintis berdirinya Preanger Telefoon Maatschappij, yang diambil alih pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908. Kesuksesan Ru Bosscha datang ketika dia memiliki Perkebunan Teh Malabar sejak tahun 1896, atas dukungan keuangan dari R.E. Kerkhoven dan S.J.W. van Buuren. Berdasarkan pengamatannya, iklim daerah Pangalengan tempat perkebunan tehnya berada sangat mirip dengan daerah kaki pegunungan Himalaya di India. Ru Bosscha berkeyakinan bahwa daerah tersebut sangat cocok ditanami teh. Keyakinannya tersebut terbayar setelah dalam 10 tahun dari awal masa reklamasi, perkebunan N.V. Assam Tea Company ‘Malabar’ berhasil membayar deviden 80%. Perkebunan tersebut terus berkembang hingga luasnya lebih dari 1000Ha. Perkebunan Teh Malabar menjadi contoh bagi seluruh perkebunan teh di Hindia Belanda, karena tak pernah gagal dalam penerapan teknologi dalam bidang eksplorasi, eksploitasi, dan penanaman. Degan penggunaan teknologi tepat guna, Thee Onderneming “Malabar” menghasilkan laba terbesar di seluruh Hindia Belanda saat itu. Tak heran Ru Bosscha di juluki “de Koning der Thee atau Sang Raja Teh.

Dari kesuksesan finansialnya itu, Ru Bosscha, memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan masyarkat Bandung. Ru Bosscha adalah salah satu Preangerplanter yang pertama mendirikan sekolah untuk anak-anak keluarga pekerja perkebunan dan masyarakat sekitarnya. Ru Bosscha, mendirikan dan mendesain sendiri dam dan pembangkit listrik tenaga air dari sungai Tjilaki untuk tenaga listrik bagi perkebunannya sekaligus juga supply bagi listrik kota Bandung.

Keberhasilan Ru Bosscha dalam mengembangkan teh di perkebunannya mengantarkan dirinya terpilih menjadi Ketua “Perhimpunan Pengusah Perkebunan Teh” dari tahun 1910-1923. Dia juga mendirikan dan memimpin “Balai Penyelidikan Tanaman Teh” di Pangalengan dari  tahun 1917-1920 kemudian dari tahun 1922-1923. Keberhasilannya sebagai pengusaha perkebunan teh mengantarkan dirinya ikut mendirikan dan juga duduk sebagai komisaris di banyak perkebunan teh di Priangan diantaranya: Wanasoeka, Taloen, Sitiardja, Raja Mandala, Arjuna, Papandajan, Sindangwangi, dan Bukit Lawang.

Image

Sebagi pengusaha yang sukses, dia juga ikut mempromosikan dan mendirikan banyak perusahaan seperti : de Nederlandsch-Indische Escompto Mij., de Bandoengse Electriciteits Mij (Perusahaan Listrik Bandung), Technisch Bureau Soenda (Biro Teknik Sunda), de D.E.N.I.S.-hypotheekbank, de N.V. Eerste Ned.-Ind. Ziekten en Ongevallen Verzekering Mij., E.NI.ZOM (perusahaan asuransi jiwa dan kesehatan) di Batavia, de theezaadtuin ‘Selecta’ (kebun bibit teh), het Houtindustrie-Syndicaat (Sindikasi Industri Perkayuan), de Automobiel Import Mij. (perusahaan importir mobil), de Kistenfabriek, dan banyak perusahan lainnya.

Keberhasilan Ru Bosscha dalam mengembangkan perkebunanya tak lepas dari penerapaan ilmu pengetahuan dalam usahanya, seperti penggunaan tenaga air untuk pembangkit listrik bagi perkebunannya. Ru Bosscha juga merintis penggunaan ukuran/skala metrik (Metrisch Stelsel) di perkebunannya. Dia mengganti ukuran luas seperti “Bahu” (7096m2) menjadi Hektar. Jarak yang semula diukur menggunakan “Pal” (1 pal kurang lebih sama dengan 1.5 km) diganti menggunakan patokan Kilometer.

Dari keuntungan perkebunanya tersebut Ru Bosscha ikut menyumbang bagi pendirian lembaga-lembaga seperti mendirikan dan mensponsori bursa tahunan Jaarbeurs, menjadi donatur tetap untuk lembaga Bala Keselamatan (Leger de Heils), Lembaga Tuli Bisu (Doofstommen Instituut), mendirikan Lembaga Kanker(Kanker Instituut) dengan menyumbangkan 250gr Radium bromide. Dia juga membiayai perawatan pasien di panti perawatan lepra di Plantungan, Jawa Tengah. Bosscha menyumbang pula bagi pendirian komplek permukiman pensiunan KNIL di Bandung yang dikenal sebagai komplek Bronbeek. Dia ikut mendirikan dan duduk sebagai President Curator (Dewan Penyantun) Technische Hogeschool Bandung (sekarang ITB) hingga wafatnya di tahun 1928. Di perguraan tinggi teknik pertama di Hindia Belanda ini Ru Bosscha menyumbang Laboratorium Fisika. Plakat sumbangan tersebut masih terdapat di dinding gedung Laboratorium Fisika.

Image

Ketertarikan Ru Bosscha terhadap ilmu pengetahuan mungkin karena dalam darahnya mengalir darah ilmuwan dari garis keturunan ayah. Ayahnya, Johaness Bosscha Jr adalah seorang ahli fisika, sedang kakeknya Prof. Dr. J. Bosscha adalah yang merancang dan mengusulkan pendirian peneropongan bintang di Universitas Leidse di Belanda. Mengikuti jejak kakeknya Ru Bosscha dan sepupunya Ru Kerkhoven berinisiatif mendirikan peneropongan bintang (Sterrenwacht) modern pertama di Hindia Belanda. Pada Oktober 1922 pembangunan dimulai di atas tanah sumbangan dari keluarga peternak sapi di Lembang, Ursone Familie, dan diresmikan pada tanggal 1 Januari 1923. Pada tahun 1928 peneropongan ini resmi dinamakan Bosscha-Sterrenwacht sebagai penghargaan atas sumbangsihnya selama ini.

Atas perhatiannya yang besar bagi kemajuan masyarakat Bandung, Ru Bosscha mendapat beberapa penghargaan, di antaranya diangkat sebagai anggota Volksraad di Batavia, menjadi Ketua kehormataan seumur hidup lembaga Bandoeng Vooruit, dan penghargaan sebagai “Warga Utama Kota Bandung” (1921). Upacara penganugerahan gelar tersebut disertai upacara besar-besaran di Balai Kota oleh Gemeente Bandoeng. Ru Bosscha bahkan mungkin satu-satunya orang di Hindia Belanda yang pada masa hidupnya didirikan 6 buah monumen peringatan bagi jasa-jasanya. Sebuah jalan di bagian utara Bandung juga mengabadikan namanya, Jalan Bosscha.

Mungkin tanpa sifat kedermawanan Bosscha kita tidak akan memiliki peneropongan bintang, sekolah tinggi teknik terbaik, hingga ke perusahaan teh terbaik di Indonesia saat ini.

 Image

*disarikan dari: “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (Haryoto Kunto)

Biografi singkat pada penjelasan koleksi Foto Tropen Museum

Sepetik Kisah Teh di Priangan

Oleh : M. Ryzki Wiryawan @sadnesssystem

Dapatkah anda membayangkan hubungan antara wanita-wanita cantik yang hingga saat ini menjadi ciri khas Bandung dengan sejarah teh di Priangan ? Tahukah anda apabila negeriini bisa merdeka karena teh ?  Tampaknya kita menganggap remeh hubungan antara sejarah teh di Priangan dengan kehidupan kita saat ini. Peninggalan kejayaan teh Priangan tidak hanya terlihat dari hamparan permadani hijau perkebunan teh yang masih mewarnai kawasan Priangan saat ini.  Teh adalah komoditas yang merubah sejarah Indonesia (Hindia Belanda pada masa lalu). Wah mulai lebay nih…  

Sejarah masuknya teh di Priangan udah dimulai dari zaman VOC alias Kompeni.Saat itu teh sebagai komoditas dagangan sudah dibawa oleh para pedagang Tionghoa asal Kanton dan Fokien yang berlabuh di Batavia. Seperti diketahui, orang-orang China sudah memiliki tradisi meminum teh sejak ribuan tahun lalu. Orang – orang Belanda di Hindia Belanda sendiri diketahui memiliki tradisi minum teh yang biasanya dilakukan saat sarapan pagi.

Penanaman pohon teh pertama di tanah Jawa sendiri tidak dapat dipastikan. Namun pada tahun 1691 Dr. Valentijn, seorang sejarawan terkemuka, menemukan sepucuk tanaman ini di kebun milik Gubernur Jenderal  J. Champhuis yang terletak di NieuwPoort Batavia. “…allerlei zeldzame gewasschen,jonge thee boomkens nit China als aalbessen boomkens…”, ujarnya yang berarti “ Terdapat tiga jenis tanaman langka, pohon teh muda asal China setinggi pohon kismis”. Sejak penyebutan oleh Valentijn tersebut, cukup lama waktu yang dibutuhkan bagi pemerintah kolonial untuk memberi perhatian lebih pada tanaman teh.

Dalam satu surat tertanggal 15 Maret 1728 yang dikirimkan kepada Kompeni oleh salah seorang direkturnya di Belanda, tercatat usulan untuk memulai perdagangan dan penanaman komoditas teh di Jawa, mengingat orang-orang Eropa lainnya terbukti telah berhasil mendapatkan keuntungan besar lewat perdagangan komoditas ini di China. Usulan ini dilanjutkan dengan surat selanjutnya yang dikirimkan pada bulan Desember tahun yang sama, berisikan iming-iming hadiah kepada kompeni untuk setiap pon teh yang berhasil diproduksi di pulau Jawa. Namun mengingat keadaan Kompeni yang lagi sakratul maut saat itu, usaha pembudidayaan teh di pulau Jawa tidak sempat dilakukan.

Pasca kematian VOC, Pemerintah Kolonial mulai melanjutkan upaya serius untuk merintis penanaman teh di pulau Jawa. Pada tahun 1920, pemerintah menyewa jasa seorang Botanis Perancis bernama Diard, yang dibayar sebesar 300 fl./tahun (cukup tinggi untuk ukuran zaman itu), untuk mengembangkan tanaman-tanaman yang memiliki potensi ekonomi, salah satunya teh. Namun upaya itu tidak berjalan mulus, beberapa kali upaya pengiriman  bibit teh dari China oleh Diard pada tahun 1822, 1823, dan 1824 hanya berbuah kegagalan. Tanaman teh yang dibawanya mati di perjalanan. Singkat cerita, pada tahun 1825, muncul inisiatif dari Dr. Von Siebold untuk mengambil bibit  dari perkebunan teh yang berhasil didirikan EIC (semacam Kompeni-nya Inggris) di daerah Assam, India. Bibit tanaman teh tersebut langsung ditanam di Kebun Botani Bogor setahun kemudian. Sebagian dikirimkan ke daerah Limbangan,Garut untuk dibudidayakan oleh seorang Inggris bernama Kent.

Pada bulan Juli 1927, sudah berhasil dikembangkan sebanyak 1.500 tanaman teh di Bogor dan Limbangan. Melihat keberhasilan tersebut, Tidak lama kemudian Komisaris Jendral Hindia Belanda du Bus Gesegnies pada tanggal 27 September 1827 mendatangkan seorang ahli teh dari NHM (Nederlandse Handel Matschappij), Jacobus Isidorus Loudewijk Levian  Jacobson, untuk diangkat sebagai pemimpin upaya pembudidayaan teh di Jawa dengan gaji sebesar 10.000 Fl. / tahun. Dalam upayanya guna bisa menghasilkan tanaman teh terbaik, Jacobson melakukan beberapa perjalanan ke China antara tahun 1828-33.

Jacobson menemukan bahwa penanaman bibit-bibit teh terbaik yang dibawanya dari China terkendala oleh ketiadaan pengelola perkebunan teh yang handal di Jawa. Untuk mengatasi masalah tersebut Jacobson “mengimpor” seorang penanam teh beserta empat pembuat teh dan tujuh artisan (ahli teh) langsung dari China pada tahun 1832. Pada awalnya pengembangan budidaya teh mengalami peningkatan pesat, namun lama kelamaan pemerintah merasa keuntungan yang dihasilkan tidak sebanding dengan pengeluarannya sehingga lambat laun melepas monopoli pengelolaan perkebunan teh kepada swasta. Perkebunan teh terakhir yang dimiliki pemerintah,Jatinangor dan Cikajang – pun dilepas pada tahun 1865.

Perkembangan perkebunan teh kembali mengalami kemajuan terutama setelah benih teh China mulai digantikan oleh bibit teh Hibrida asal Assam India yang didatangkan A.W. Holle dari Assam, Jaipur, Bazaloni dan Manipur India tahun 1878. Bibit teh Assam tersebut dibudidayakan oleh R.E. Kerkhoven di Gamboeng. Teh yang ditanam dikawasan Priangan ini memiliki rasa yang khas dibanding teh dari negara lainnya.

The flavour of Java tea, which seems more to depend on altitude than localconditions or soil, etc., whilst lacking the strength of the Indian teas or thesoftness of some of the China ” chops,” is delicately fine, and apurer or more wholesome tea is not to be found anywhere. (DonaldMaclaine Campbell, 1915)


Berbeda dengan tanaman kopi yang menimbulkan mimpi buruk bagi warga Priangan. Teh merupakan “mimpi yang lebih baik” karena pengelolannya yang dilakukan oleh swasta.  Orang-orang swasta atau partikulir ini lebih manusiawi dalam memperlakukan bangsa pribumi dibandingkan pengelola perkebunan kopi yang dimonopoli pemerintah beserta jajarannya. Apabila pembudidayaan kopi dilakukan lewat metode “tanam paksa”, pembudidayaan teh dilakukan secara sukarela oleh masyarakat di Priangan, yang mula-mula dilakukan di halaman rumahnya untuk kemudian disetorkan kepada pengusaha perkebunan.

Pada tahun 1870, perkebunan teh swasta mulai membagikan bibit tanaman teh kepada rakyat di desa-desa terdekat. Desa-desa penghasil teh ini lantas dikenal sebagai “kampoeng daoen” (Ponder, 1934).  Ini menjadi awal bagi penanaman teh rakyat diJawa Barat.

Kampung Petani Teh

Kampung Petani Teh

Didukung oleh UU Agraria tahun 1870 yang memungkinkan pemilikan lahan secara perorangan, petani teh lokal mulai leluasa mengembangkan pertanian yang tadinya hanya dilakukan di halaman rumah menjadi perkebunan yang lebih luas. Terjadi hubungan simbiosis antara petani teh dengan pengolah daun teh. Para petani menjual pucuk teh kepada pabrik teh terdekat. Hampir setiap perkebunan swasta memiliki pabrik teh sendiri.

Para pemilik perkebunan teh di Priangan dengan julukannya sebagai “PreangerPlanters” berhasil meraup kekayaan yang luar biasa dari komoditas teh. Sebagai gambaran, Sir Walter Kinloch yang mengunjungi perkebunan milik Mr.Brumsteede di Tjembooliyut (Cimbeuleuit) pada tahun 1852 mengungkapkan bahwa perkebunan tersebut setiap tahunnya menghasilkan 152.000 pon teh, dengan biaya produksi tiap pon-nya yang berkisar 45 sen, teh dijual ke pemerintah dengan harga 75 sen. Artinya dari tiap pon teh saja, seorang pengusaha sudah memperoleh keuntungan 30 sen. Untuk mengetahui keuntungan totalnya, profit tersebut tinggal dikalikan saja dengan seluruh hasil produksi. Sebagian besar teh dari Jawa khususnya Priangan dikirimkan ke Inggris. Tidak aneh mengingat orang-orang Inggris mengkonsumsi lebih dari setengah produksi teh dari seluruh dunia.

Para Preangerplanters  yang kekayaannya luar biasa ini nantinya akan memberi andil besar dalam pembangunan kota Bandung khususnya. Mereka juga dikenal memiliki kepekaan sosial yang cukup tinggi dengan orang Pribumi mengingat keseharian mereka yang selalu berada di tengah perkebunan teh dan selalu berhubungan dengan masyarakat setempat. Dari keluarga “Raja Teh Priangan” sempat muncul beberapa nama seperti Karel Frederik Holle, Kerkhoven dan Bosscha yang memiliki perhatian besar terhadap kehidupan orang Pribumi. Tanpa andil Kerkhoven dan Bosscha, mungkin Technische Hogeschool  (ITB) tidak akan pernah berdiri. Sedangkan dari kampus inilah lahir seorang  tokoh bernama Soekarno yang menjadi penggerak utama kemerdekaan.

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Dinasti Teh dari Priangan, Keluarga Holle

Oke satu pertanyaan tentang hubungan antara teh dengan kemerdekaan sudah terjawab. Lalu bagaimana hubungan antara teh dengan wanita-wanita cantik di Bandung ? Nah, para saking dekatnya hubungan para preangerplanters dengan para pemetik teh yang kebanyakan perempuan, tidak jarang hubungan tersebut berakhir di tempat tidur, menghasilkan keturunan berdarah campuran pribumi-Belanda. Dengan kekayaannya yang luar biasa, para pengusaha perkebunan ini bisa membiayai anak-anak hasil hubungannya dengan para “nyai”  tersebut, namun tidak jarang anak-anak “setengah bule” tersebut akhirnya terdampar ke rumah-rumah bordil yang  berada gang coorde  Braga karena terbuang dari keluarganya. Anak-anak Indo ini, yang memiliki perpaduan kemolekan wanita priangan dengan darah bule ini dicirikan oleh ketampanan / kecantikan melebihi rekan-rekannya yang berdarah asli. Ingin bukti lain ? Pergilah ke kawasan perkebunan-perkebunan teh jadul yang berada  di pelosok  Priangan, jangan kaget ketika menemukan gadis-gadis cantik berkulit putih di sana. Mereka kemungkinan besar memiliki darah keturunan Belanda dari  buyut dan buyutnya yang terdahulu.

Itu cuma intermezzo saja, tapi intinya teh telah menjadi bagian dari diri kita saat ini lebih dari yang kita duga. Teh juga mempengaruhi kebudayaan Indonesia. Di Jawa, apabila anda bertamu ke rumah seseorang dan tidak disajikan teh oleh si empunya rumah, artinya kedatangan anda tidak diharapkan. Lain halnya apabila teh disajikan langsung setelah tamu tiba, maka kunjungan sang tamu diharapkan tidak berlangsung lama (Louis Fischer, 1959).

Kini hampir setiap jongko kaki lima menyediakan teh tubruk gratis untuk tiap pelanggannya. Tidak lengkap rasanya makan bakso tanpa ditemani segelas teh tawar. Teh botol pun laku keras, sehingga muncul istilah “apapun makanannya, minumannya teh botol xxxx” (Nggak boleh nyebut Sosro).  Walau demikian, nasib produksi teh di negeri ini tidak pernah membaik sejak dilepas Belanda. Mungkin dikarenakan sikap kolonialisme orang Belanda yang ingin membantu orang Indonesia dengan cara “biar saya membantumu, biar kami menunjukan caranya, biar kami melakukannya” (Furnivall, 1939), orang-orang Indonesia langsung kelimpungan ketika diserahkan pengelolaan perkebunan milik orang Belanda pada tahun 50’an. Gimana nggak bingung, biasa kerja disuruh sama sang “Toean Madjikan” tiba-tiba diangkat jadi “Toean Madjikan”… hehehe

Salam SadnessSystem !   – M.R.W.-

Ngaleut! Puntang – Curug Gentong

Ditulis oleh : Cici Asri Mustika

Peristiwa telekomunikasi ini terjadi berkat adanya stasiun Radio Malabar. Singkat cerita, hari Minggu kemarin (13/12/09) komunitas Aleut mengajak pegiat-pegiatnya untuk menjelajahi sisa-sisa kolonial di Puntang – Malabar. Semangat ? Sudah pasti ! Karena saya penasaran sekali dengan keberadaan Radio Malabar ini dan sudah sejak lama ingin melihat langsung sisa-sisa bangunannya. Berangkatlah saya dan 15 orang teman di minggu pagi itu. Oya, informasi lengkap mengenai stasiun Radio Malabar, bisa lihat catatan teman saya – Ayan – dan catatan teman saya juga – Bang Ridwan.

Kami berkumpul jam 8 pagi di seberang museum Sribaduga – Tegallega. Jam 9 lebih, kami mulai berangkat menggunakan angkutan umum langsung menuju Puntang. Untung Elgy gak ditinggalin (^^). Ongkosnya murah, Rp 6000.- saja. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, sampailah kami di gerbang gunung Puntang. Untuk memasuki wilayah ini, dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp 5000.- Tidak lama kami berjalan, sudah terlihat sisa-sisa kolonial berupa alas/peyangga pipa air yang terbuat dari batu, ukurannya besar-besar. Pipa besinya sendiri sudah tidak bersisa karena mungkin sudah diambil warga. Tidak jauh dari situ, dapat kita lihat kolam bekas penampungan air yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Jalan ke atas sedikit, dapat kita jumpai bangunan bekas rumah tinggal para pegawai radio Malabar, disebut Radio Dorf atau Kampung Radio. Dinding bangunan-bangunan ini terbuat dari batu dan sekarang tinggal puing-puingnya saja yang sudah tertutupi lumut dan tanaman liar. Kata Ayan, di salah satu sudut bangunannya ada plakat bertuliskan nama-nama orang yang ikut membangun kompleks Radio Dorf. Tapi gak berhasil nemu. Padahal penasaran banget bentuknya kayak gimana ..

Hari sudah siang tetapi perjalanan baru saja dimulai. Agar tetap bertenaga dan tidak kelaparan, istirahatlah kami di sebuah warung yang letaknya tidak jauh dari puing-puing bangunan tadi. Bala-bala masih menjadi makanan favorit di tiap perjalanan. (^^) Teh Ana, Yanstri, Eby dan Dimas lahap sekali menyantap baso kuah panas pedas a la Puntang.

Sambil mengisi perut dan mengumpulkan tenaga, Bang Ridwan mengobrol dengan pemilik warung. Saya ikut-ikutan nguping aja, siapa tahu dapat informasi menarik mengenai Radio Malabar ini. Beruntunglah kami mengobrol dengan Pa Edi. Kami dapat cerita lumayan banyak. Mengenai gua, ada yang bilang bahwa gua yang sekarang bernama Gua Jepang itu adalah tempat persembunyian. Tetapi Pa Edi bercerita, sejak awal, gua tersebut dibuat untuk pemancar radio. Mengenai kolam cinta yang terkenal dengan mitosnya itu, dahulu adalah kolam hias biasa saja sebagai bagian dari halaman depan kantor pusat Radio Malabar. Disebut kolam cinta mungkin karena bentuk kolamnya yang menyerupai hati. Dan mengenai hancurnya Radio Malabar, bukan karena pengeboman yang dilakukan oleh pihak Jepang, tetapi karena dihancurkan oleh warga Bandung sendiri. “Ieu sadaya direksak ku bangsa urang, ngarah Belanda henteu uih deui ka dieu” cerita Pa Edi. Bahkan jembatan Citarum – Dayeuh Kolot pun sengaja dirusak agar tidak ada yang bisa masuk ke wilayah ini. Pa Edi mendapatkan cerita ini langsung dari ayahnya yang merupakan salah satu pegawai Radio Malabar pada waktu itu.
Hmm .. Cerita yang menarik dan makin menambah rasa ingin tahu. Tapi apa daya, cerita harus dilanjutkan di lain waktu karena hari sudah terlalu siang dan kami masih ingin melanjutkan satu perjalanan lagi ke Curug Gentong.

Perjalanan yang jauh dan lumayan bikin paha pegel-pegel. Sebelum benar-benar mendaki, kami masih mendapati puing-puing bangunan kolonial di kiri-kanan jalan setapak. Keadaannya sama, hampir rata dengan tanah dan tertutup banyak tanaman liar. Kami dapati juga beberapa pasangan anak muda yang sedang berdua-duaan duduk di semak yang sepi dan terpecil (hihi .. uyuhan ga ararateul kena ulet dan hewan ateul lainnya^^).

Setelah melewati jembatan dan kolam cinta, mulailah kami menapaki jalan menuju curug. Ini kali pertama Aleut minta ditemani guide. Ya, khawatir tersesat dan kami belum begitu mengenal medan yang satu ini. Kami ditemani oleh tiga orang guide. Setengah jam perjalanan, tiga perempat jam perjalanan, satu jam perjalanan, masih aman-aman saja. Setelah kira-kira satu jam lebih perjalanan, kami mulai kelelahan. Istirahat sejenak, minum air jeruk dan makan sepotong coklat. Seperti biasa, jangan khawatir kelaparan kalau ada A Yanto dan Teh Ana. Memang sudah jadi kakaknya Aleut, gak pernah lupa bawa makanan banyak buat adik-adiknya. Hehe. Jeruk, mangga, duku, sampai ubi rebus pun gak ketinggalan. “A Yanto memang sahabat alam” kalo kata Ayan mah. Perjalanan sudah sejauh ini, dan saya yakin pasti sebentar lagi sampai ! “Masih satu jam lagi, Teh .. “ kata Akang guide. Wuaduuhh … Bujubuset dah ndroo … Kirain udah mau di akhir .. Ternyata masih setengah perjalanan. Huff.. Ayo semangat ! Jalan terus !!

Ada yang berbeda dalam perjalanan kali ini. Tanjakannya memang tidak begitu ekstrim, tapi kok saya merasa horror ya. Jalan yang kami lewati rimbuuun sekali seperti di hutan. Akang guide yang berada di depan saya sering sekali menebaskan goloknya. Syaatt .. syaatt .. syaatt .. (suara golok teh begini bukan ya? ^^) memangkas tanaman dan pepohonan liar di kiri-kanan jalan setapak, dibantu Adi yang pada waktu itu membawa golok juga. Ternyata, belum pernah ada yang melewati jalan ini sebelumnya, bahkan ke-dua guide kami sekalipun! Aleut yang pertama membuka jalur ini !! Waaw Amazing .. “Berarti jalurnya masih perawan!” kata Naluri. Lebih horror lagi karena sepanjang jalan kami harus ekstra hati-hati dengan pohon berduri. Jangankan pohon, daunnya pun berduri tajam dan bikin efek setruman (istilah Budhie) yang luar biasa! Hiii … Semakin liar saja perjalanan kami.

Untuk mencapai Curug Gentong, kami harus menyeberangi tiga sungai kecil dan – yang paling seru – mengikuti jalur air. Kukurusukan ? Pastinya .. ! Bukan Aleut namanya kalo ga pake kukurusuk.. ^^ Suara gemuruh air sebenarnya sudah terdengar, tapi kok belum sampai-sampai juga ? Tapi tidak menyurutkan semangat donk! Hajar teruss!!

Kurang lebih jam 3 sore, akhirnya sampai juga kami di Curug Gentong!! HWAAA .. Saya langsung bersuka cita dan berpelukan dengan Icha, setelah sebelumya melewati Shocking Bridge (Dimas, Bey dan Mpiw jangan bilang siapa-siapa yaa. Cuma kalian kan yang tau?^^). Lelah dan pegal yang kami rasakan digantikan dengan pemandangan curug dimana tumpahan-tumpahan airnya membuat mata dan badan menjadi segar seketika. Setelah itu kami mulai membuka bekal masing-masing. Baru kali ini saya merasakan nikmatnya makan mie goreng delapan jam (mie goreng yang dimasak delapan jam yang lalu. Heu2). Oh ya, curug ini mempunyai ketinggian 25 meter. Dinamakan Curug Gentong karena ketika surut, curug ini katanya terlihat seperti gentong. Lanjut makan-makan .. Biar tambah segar, jangan lupa mencicipi menu wajibnya Dilla, Nutrijel coklat! Selagi mengisi perut, tiba-tiba kabut turun! Indahnyaa … Walaupun tidak setebal kabut di Tangkuban kemarin, saya selalu suka melihat kabut! Selalu suka berada di dalam kabut! Saya sentuh-sentuh kabut itu, ingin sekali rasanya dibawa pulang .. ^^
Hari semakin sore dan kami harus segera turun, khawatir kemalaman di tengah jalan (padahal masih seneng main-main sama kabut). Tidak banyak kendala dalam perjalanan pulang, tetapi masih harus hati-hati dengan tanaman berduri dan harus lebih cepat melangkah karena hari mulai gelap. Kaki saya sudah lemas …

Untunglah kami sudah sampai di bawah tepat saat langit benar-benar gelap. Kami beristirahat kembali di warung yang pertama kami datangi tadi. Segelas susu panas cukup untuk menenangkan dan menghangatkan tubuh saya. Setelah beberapa lama, akhirnya angkot yang kami tunggu datang juga. Kami pulang naik angkot sampai Kebon Kalapa. Bikin lelah .. Tapi terbayar dengan bukti-bukti sejarah radio Malabar dan kabut indah .. (^^)
Mau kesana lagi ??

Gunung Puntang, nanti aku kembali

Ditulis oleh : Febya Stevaria Tangahu

Minggu pagi tanggal 13 Desember 2009, aku dibangunin sama ibu buat pergi ngaleut. Jam setengah 7 aku sudah siap berangkat di anter ibu, di perjalanan aku heran ko hari ini sepi ya jalan? Aku check sms di hp dan kubaca ternyata ngaleutnya jam 8! sial sudah buru-buru eh gataunya kecepetean.

Kami semua berkumpul di Tegalega depan Musium Sribaduga, karena aku sampe kesana jam 06.50 aku sms bey aja biar dateng cepet. Ga lama kemudian yang dateng bukan bey malah a adi. tapi ga lama kemudian juga yang lain pada dateng.

Langsung di Gunung Puntang.
Sesampainya di sana kita kukumpul uang buat bayar masuknya, biayanya kemaren tuh sekitar 5000/orang. Kita berjalan masuk ke sana, tapi terhenti karena para ibu2 ditambah elgy dan dimas pergi ke kamar kecil dan goloknya ketinggalan di angkot. Udah pada kumpul kita jalan ke atas cari warung soalny apada laper, nanjak banget jalan motongnya. Diperjalanan motong kita melihat ada pipa saluran air dari sungai cigeureuh ke kolam penampungan dan ada rumah tempat para pegawai Radio Malabar.

Sesampainya di warung kita makan-makan ada tukang baso ya udah kita panggil aja kebutulan baso adalah makanan kegemaran ayan. Sesudahnya makan kita bersenda gurau sejenak menunggu Guide. Guide datang kami pun berjalan ke Gua Belanda.

Di Gua Belanda kami masuk dan anehnya Gua Belanda itu mempunyai sekitar 150cm yang tidak sepadan dengan badan orang Belanda, tapi ada sebagian tempat yang lebih tinggi juga tidak setinggi 150cm. Panjang Gua Belanda itu kurang lebih 200m dengan beberapa lorong. Ada yang bikin aku heran ini gua udah lama tapi ko kaya yang baru di benerin ga tau emang betonnya bagus atau abis di renovasi.

Keluar dari Gua Belanda kami langsung jalan menuju Curug Gentong, katanya sih mau ke Curug Siliwangi tapi medannya lebih curam dan jauh dan “katanya” wisatawan juga belum ada yg kesana. Diperjalanan kami melihat ada Kolam Cinta. Kolam itu dinamakan Kolam Cinta karena berbentuk hati dan berada di depan kantor.

Kolam Cinta sudah kami lewati kami pun terus berjalan menuju Curug Gentong yang jaraknya 3.5m dari Kolam Cinta. Karena Curug Gentong belu banyak yang ngedatengin jalan yang kami tempuh aga sedikit tertutup untung Guide kita menebang pohon yang nutupin jalan. Tapi hati-hati ada daun berduri kalau kena kulit akan perih dan lama-lama jadi gatel aku aja kena beberapa kali di kaki perih banget, terus banyak juga batang yang durinya gede-gede kakiku sampe baret-baret. Kata Guidenya daun itu juga bakal tembus ke baju durinya, kalo mau cepet ilang gatelnya yang kena daunnya digosok-gosok pake tanah.

Kami menemukan 2 jalan yang curam sampe-sampe harus pake tali turunnya, kaya climbing, hampir 90 derajat medannya. Akhirnya kita sampai di Curug Gentong dalem Curug Gentong sampai 3m dan airnya dingin seperti air kulkas. Akupun senang akhirnya sampai disana walaupun tempatnya itu sempit.

Perjalanan pulang dari Curug Gentong kami tempuh selama 2.5 jam. Sampai di warung kamipun istirahat dan ada yang makan dan ada yang ngobrol rame sambil nunggu angkot pulang ke Bandung.

12/18/2009;02:52