Oleh : M.Ryzki Wiryawan
………….
Ngapain sih kita membangga-banggakan peninggalan kolonial ?
Kalimat tersebut muncul kala diadakan curah pendapat di penghujung acara ngaleut taman kota Bandung, menurut Agung, seorang rekan Aleut dari sahabat kota, kalimat tersebut sempat muncul dalam suatu rubrik kompasiana. Yang jelas, tema ini sangat menarik untuk dibahas, karena bisa jadi masyarakat salah kaprah dalam memandang sejarah.
Gampangnya gini aja deh, peninggalan sejarah itu ada dua macem, yang berwujud and yang tidak berwujud. Yang berwujud itu contohnya bangunan-bangunan tua, taman-taman kota, dan situs-situs megalitikum dsb-lah, sedangkan yang tidak berwujud itu contohnya bahasa, musik, budaya hidup, dll. Intinya gitu. Tapi saya bagi lagi, sejarah itu ada yang positif and negatif, tugas kita adalah menyaring dan mengambil pelajaran dari kedua jenis peninggalan sejarah tersebut.
Saya pikir sudah cukup banyak kutipan yang menyebutkan pentingnya menjaga warisan sejarah. Namun bangsa Indonesia ini terkenal buruk dalam menghargai nilai warisan sejarah. Contohnya, saat menemukan Candi Borobudur yang berada dalam kondisi mengenaskan di awal abad XIX, Raffles mengatakan :
“Ketidakpedulian pribumi sama besarnya dengan para penguasa mereka, sehingga mereka pun menelantarkan karya-karya para leluhur mereka yang tidak dapat mereka tiru”
Ucapan Raffles 200 tahun lalu itu hampir sesuai dengan kondisi sekarang. Lihatlah bagaimana kasus penjualan artefak museum kerap terjadi, penghancuran bangunan bersejarah, atau yang paling dekat bagaimana mesin kapitalisme mengancam bukit pawon yang menyimpan situs manusia sunda purba.
Mari saya hubungkan dengan konteks ngaleut! taman kota kemarin. Dalam perjalanan ini kita bisa menemukan mana aja peninggalan sejarah yang positif dan negatif tersebut.
Di awal perjalanan, kita memasuki kompleks ITB yang didesain oleh Ir. Maclaine Pont. Beliau lahir tanggal 21 Juni 1884 di Meester Coenelis atau Jatinegara, Batavia. Setelah mengenyam pendidikan tinggi di Belanda dan kembali ke Hindia Belanda, beliau sangat mengapresiasi peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit, khususnya yang berada di kawasan Trowulan-Mojokerto. Apresiasinya kemudian ditelurkan dalam berbagai karya jurnalnya yang membahas situs tersebut.
Apresiasi Maclaine Pont terhadap budaya lokal tersebut, menjadikannya terpilih sebagai arsitek utama pembangunan THS. Perkembangan ini sesuai dengan pernyataan Thomas Karsten (perancang Bandung Utara), bahwa pembuatan bangunan selama ini yang selalu mengacu pada arsitektur barat asing dapat memunculkan isolasi bagi warga Eropa di lain pihak memunculkan resistensi dari warga pribumi.
Dari pemikiran ini muncullah kampus THS (Technische Hogeschool), sekarang ITB. Arsitektur bangunan utama kampus ini mengacu pada bangunan Minangkabau (sunda besar), yang lapisan-lapisannya membentuk “lembaran bunga teratai”. Atap yang berlapis-lapis diadopsi dari tradisi ruang berpilar yang dilacak dari relief-relief candi abad kesembilan di Jawa Tengah. Bentuk lainnya mengadopsi arsitektur Pendopo yang digunakan kaum ningrat di Jawa. Pembangunan kampus pun mengacu pada tradisi kosmos local, dimana gunung tangkuban parahu berada di poros utara. Apabila kita memandang dari arah selatan, akan terlihat jelas bagaimana gunung keramat ini berada di tengah bangunan aula barat dan timur. Gaya arsitektur ini digabungkan dengan teknologi tercanggih saat itu, yang dikenal sebagai busur berikat cincin, yang hanya satu-satunya tersisa di Hindia Belanda saat ini.
Tidak lupa, konsep kampus THS yang dirancang Maclaine Pont meniru gaya kampus di Amerika, dengan taman-tamannya sebagai ruang interaksi yang nyaman serta kondusif untuk belajar.
Dapat kita simpulkan, dari satu objek saja, bahwa peninggalan Belanda tidak murni berasal dari pemikiran kolonialisme. Mereka juga mengadopsi keagungan tradisi lokal Indonesia, teknologi tercanggih saat itu, serta konsep politik yang ada tentunya. Mari kita bandingkan dengan kondisi sekarang.
Berjalanlah sedikit ke kawasan Dipati Ukur, lihatlah ada berapa bangunan kampus yang menggunakan arsitektur lokal. Yang anda temukan hanyalah kampus-kampus yang dibangun dengan arstitektur minimalis, tidak banyak filosofi yang bisa dibanggakan darinya. Salah satu kampus (ITHB) bahkan dibangun dengan gaya Empire, dengan pilar-pilarnya yang megah, suatu gaya yang ditinggalkan Belanda karena “tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak cocok dengan iklim tropis”. Kampus-kampus di jalan Dipati Ukur ini bahkan tidak dilengkapi dengan taman-taman sebagai sarana interaksi dan belajar yang sehat, sehingga terpaksa mahasiswanya lebih banyak menghabiskan waktu di kostan atau café bagi yang lebih beruntung. Ini baru satu contoh.
Tidak jauh dari kampus ITB, Aleut melewati taman ganesha, yang dulunya memiliki satu kolam, ternyata sekarang memiliki tiga kolam berukuran raksasa ! Taman ini memang berada di elevasi yang lebih rendah dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya, jadi wajar saja kalau hujan gede, taman ini bakal menjadi muara bagi aliran air yang berasal dari sekitarnya. Dahulu, Perancang taman ini sudah mempertimbangkannya sehingga mereka membuat dua buah selokan kecil, sebagai sarana aliran air yang terkumpul di taman. Sayangnya kedua selokan ini sudah tidak ada, akibatnya mau nggak mau air akan menggenangi taman ini, membawa sampah-sampah, mematikan vegetasi-vegetasi kecilnya, dan menghasilkan tanah becek yang tidak enak dipandang.
Lihatlah bagaimana Belanda mendesain perumahan-perumahannya dengan apik, dengan taman-taman sebagai pusat interaksi dan penunjang kesehatan, mereka juga berkepentingan menjaga kesehatan warga pribumi (seperti yang kita lihat di gempol), karena warga pribumi ini bekerja untuk mereka tentunya. Namun, merubah mental pribumi itu pekerjaan berat lain.
Tahun 1920’an, H.F. Tillema seorang apoteker di Semarang mencatat bahwa di masa tersebut orang-orang Pribumi masih kerap “Buang Hajat” di tengah jalan disamping kebiasaan buruk lainnya. Menurut catatannya, “Hari demi hari, Sidin, begitu kita sebut tukang kebun pribumi itu, membuang sampah dari rumah majikannya, dari dapur dan dari warung-warung… Bukannya ke tempat sampah, melintasi pagar,melainkan dengan tangannya yang halus, ke Jalanan…”
Tradisi ini masih kita pegang hingga sekarang, dengan “Tiisnya” kita membuang bungkus Cilok, gorengan, botol-botol plastik ke jalanan seperi Sidin si tukang kebon di tahun 20.
Nah, Pemerintah kota sekarang, yang dikenal dengan julukan “Wagiman”, walikota gila tanaman memiliki ide bagus. “Mengapa tidak kita pagari saja taman-taman tersebut, agar tidak dapat dimasuki dan dirusak oleh orang-orang pribumi…”
Jalan lagi dikit ke jalan sekitar perempatan Sultan Agung Tirtayasa, disini bisa diliat bangunan-bangunan dengan arsitektur kembar, yang didesain secara simetris. Ini adalah buah dari perancangan kota saat itu yang berkiblat ke barat. Sejak 1909, di Hindia Belanda perencanaan kota yang berhubungan dengan arsitektur bangunan di dalamnya diatur dengan sangat ketat, rancangan gedung pemerintahan, sekolah, pegadaian, kantor pos, dan penjara di koloni harus mengikuti pedoman resmi : Untuk setiap jenis gedung, telah ditetapkan sebuah keputusan, apa yang disebut “Rencana Normal”, dari situ hanya variasi yang diizinkan,,,
Apakah pemerintah saat ini punya arahan ?, So pasti punya, Lalu apakan arahan tersebut diaplikasikan, Hmm,, tentu saja, nanti akan saya instruksikan pada jajaran terkait,,, Begitulah kira2 percakapan fiktif saya dengan pejabat pemerintah.
Coba lihat di Dago dan Cipaganti, Yang dahulunya didesain sebagai perumahan Villa, yang daripada bangunan2nya tidak boleh berpagar dan tingginya gak boleh melebih tiga lantai untuk menjamin ketersediaan cahaya bagi para penghuninya. Kini bangunan-bangunan tersebut berdiri semaunya, peduli amat tetangga dapet cahaya matahari atau nggak. Mereka juga berlomba meninggikan pagar, bagai Belanda yang takut diintai pribumi…
Ini adalah sesuai dari catatan B. de Vistarini, seorang arsitek Hindia Belanda yang menyatakan bahwa pada awal kedatangannya di nusantara, pemukim Belanda pertama membangun rumah-rumahnya dengan sangat tertutup. Dan bahkan hingga abad ke-XX mereka masih belum bisa melepaskan diri dari ketakutan terhadap Pribumi. Menurut Cuypers, di tahun 1919, rumah-rumah orang Eropa biasanya ditutupi oleh tembok yang dibangun mengelilingi seluruh bangunan, hanya dengan satu pintu masuk di bagian depan, dan satu lagi di belakang.
Nah lho, kaum elit negeri ini telah menjelma menjadi Belanda !
Akhir kata, Saya menganalogikan pendudukan Belanda bagai seorang ayah tiri yang galaknya bukan main, sering menghina, menyiksa, dan memperbudak kita, namun beliau telah mati dan meninggalkan warisan yang sangat berharga. Lalu apakah kita akan membuang warisan tersebut ? Apakah tidak lebih baik apabila warisan itu kita gunakan sebagai modal guna perbaikan kelangsungan hidup kita ke depan…
Menyukai ini:
Suka Memuat...