Jejak Sukarno di Bandung

Jejak Sukarno di Bandung 6

Foto keluarga di Gedung Indonesia Menggugat | © Fan_fin

Oleh : Rulfhi Alimudin Pratama (@rulfhi_rama)

Kata-katanya selalu dinanti. Suaranya selalu dirindukan. Sosoknya sangat dicintai. Semua seakan menahan nafas dan tak bergerak sedikit pun ketika ia berorasi. Bahkan seekor cicak pun enggan untuk bergeming. Orasinya mampu membakar semangat, bahkan janggut para pejabat Hindia Belanda terbakar dibuatnya. Tak ada yang mengalahkan pesonanya ketika naik podium. Ia Sukarno, Singa Podium.

Orasinya mampu menggerakan massa, orasinya juga yang menjebloskan ia ke penjara. Penjara Banceuy dan Penjara Sukamiskin. Semua dimulai ketika ia terjun ke dunia politik. Sukarno membuat sebuah partai, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI). Bersama partainya Sukarno rajin menggelar karnaval-karnaval politik berupa orasi di Hindia Belanda dalam upaya menyadarkan bangsa pribumi akan bahaya kolonialisme dan imprealisme. Berkat orasinya Sukarno diganjar menginap di hotel prodeo Sukamiskin selama empat tahun. Namun ia hanya menjalani dua tahun saja karena ada keringanan hukuman berkat pledoinya dan ada andil dari tokoh-tokoh liberal di Belanda.

Ada hal unik dari penjara Sukamiskin. Penjara Sukamiskin diarsiteki oleh Prof. Ir.CP Wolff Schoemaker yang saat itu dibantu oleh Sukarno sebagai juru gambar ketika statusnya masih menjadi mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS). Kemudian beberapa tahun kemudian Sukarno merasakan sendiri dinginnya penjara Sukamiskin. Semua karena kiprah politiknya bersama partai PNI yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda.

Puluhan tahun telah berlalu, ketika situasi politik sudah banyak berubah dan Presiden sudah berganti sebanyak tujuh kali. Saya baru mempunyai kesempatan untuk singgah ke sel tahanan yang dulu didiami Sukarno. Saya bisa menginjakan kaki di sel tahanan Sukarno berkat kegiatan Ngabandros Jejak Sukarno di Bandung. “Tak ada barang elektronik yang boleh dibawa, hanya satu kamera saja yang boleh dibawa” begitu kata Putri salah satu panitia kegiatan.

Satu persatu masuk ke dalam area penjara menitipkan KTP dan melewati metal detector. Ketika saya lewat metal detektor, alat tersebut berbunyi. Sontak saya cemas. Dan mulai digeledah, beruntunglah saya lolos. Memasuki area dalam penjara Sukamiskin membuat saya teringat akan film The Shawshank Redemption. Dimana tembok menjulang tinggi dengan kawat duri di atasnya. Ketika itu terlihat beberapa tahanan sedang melakukan olahraga. Kami didampingi petugas penjara Sukamiskin berjalan menuju kamar tahanan Sukarno. Sukarno mendiami sel nomor 233. Berada di lantai dua dengan posisi paling ujung. Kami masuk  ke dalam sel, melepas alas kaki. Terlihat sebuah ranjang yang bisa dilipat, yang persis dibawahnya tempat membuang tai. Beberapa buku menghiasi meja. Dan tak luput poster beliau yang selalu terlihat gagah. Saya pikir kamar tahanan ini lebih luas daripada kamar kosan saya di Sukasenang. Puas kami melihat kamar Sukarno kami segera keluar, karena kami harus bergiliran dengan yang lain.

Kami keluar penjara dengan perasaan lega, bagai seorang tahanan yang baru saja dibebaskan. Kami segera menuju Bandros kuning yang terparkir di halaman. Tujuan berikutnya adalah Hotel Preanger. Di mana bangunan belakang Hotel ini merupakan rancangan Sukarno ketika bertugas menjadi seorang juru gambar yang membantu dosennya: Prof. Ir.CP Wolff Schoemaker. Sepanjang perjalanan menuju Hotel Preanger kami ditemani Kang Tegar yang saat itu bertugas sebagai guide. Kami diceritakan bagaimana kehidupan Sukarno ketika di Bandung. Ketika ia mulai jatuh cinta pada ibu kosnya, aktif berpolitik sampai lahirnya buah-buah pemikiran Sukarno: Marhaenisme. Suara Tegar terlampau enak dan renyah hingga melambungkan seorang bocah terlalap dalam tidurnya.

Kami sampai di Hotel Preanger langsung berjalan menuju Museum Preanger yang berada di dalam hotel. Seorang wanita yang lebih mirip pramugari Garuda membimbing kami untuk mengenal lebih jauh Hotel Preanger. Hotel Preanger nyatanya memang hotel mewah, terbukti artis sekaliber Charlie Chaplin pernah singgah di sini. Setelah menjelajahi seisi Museum Preanger kamu lalu disuguhi secangkir secang. Secangkir yang menyegarkan. Beranjak dari museum kami melangkah ke bagian lain Hotel Preanger. Kami diajak melihat dari jauh bangunan rancangan Sukarno. Sebab bangunan tersebut kini menjadi area president suite yang sangat terjaga privasinya.

Si Bandros kuning melaju menggilas jalanan Asia Afrika, melewatkan begitu saja Gedung Merdeka, meninggalkan hantu-hantu yang hendak mengikuti kami dan naik ke Bandros. Hantu tersebut tak dapat kami usir hanya dengan doa, sebab mereka sudah kebal. Tak ada gerbang menjulang dengan kawat berduri ataupun pemeriksaan petugas untuk masuk ke Penjara Banceuy. Kami hanya perlu masuk lewat belakang. Iya lewat belakang. Penjara Banceuy kini hanya tinggal monumen dan mungkin setetes kenangan. Setetes kenangan yang terus dijaga lewat satu sel tahanan dan satu menara pengawas. Semua telah berganti wajah oleh ruko yang terlihat sama menyedihkannya dengan penjara.

Sebelum di jebloskan ke Penjara Sukamiskin dan diadili di gedung Landraad, Sukarno harus merasakan terlebih dahulu dinginnya jeruji besi Penjara Banceuy. Penyebab tak lain seperti yang saya ceritakan sebelumnya. Semua karena pergerakan politik Sukarno yang dianggap berbahaya karena dapat meracuni warga pribumi saat itu. Selama mendekam di Penjara Banceuy, Sukarno menuliskan pledoinya yang kelak akan terkenal yakni “Indonesia Menggugat.” Pledoi ini bisa tercipta berkat asupan nutrisi yang terus diberikan oleh Istrinya yang bernama Inggit Garnasih dalam bentuk buku. Ketika berada di Penjara Banceuy, Kang Tegar mengeluarkan beberapa buku biografi Sukarno. Di sini kami bertukar pikiran mengenai kehidupan Sukarno dilihat dari beberapa sudut pandang. Kami pun asyik dan terbuai dalam diskusi tersebut. Selepas Penjara Banceuy kami menuju tujuan selanjutnya, tempat dibacakannya pledoi “Indonesia Menggugat.” Pasti udah pada tahu tempatnya donk?

Bagai seorang noni dan tuan Belanda kami melewati Jalan Braga. Jalan yang terkenal sebagai jalan paling paling Parij van Java saat itu. Sesekali kami melambaikan tangan ke orang-orang yang sedang berjalan di trotoar Braga. Kami melewati Roti Sidodasi, Braga Permai dan kami pun melewatkan begitu Jalan Viaduct. Sebuah jalan yang dulu berdiri rumah kos, tempat pertama kali Sukarno dan Inggit bertemu dan saling jatuh cinta. Dan saat itu, Inggit ibu kos Sukarno. Kami menuju Gedung Indonesia Menggugat atau gedung Landraad dimana tempat ini menjadi saksi dibacakannya pledoi “Indonesia Menggugat.” Nyatanya pledoi tersebut begitu menusuk para hakim karena mengandung pembelaan yang begitu berdasar. Tapi tak membebaskan Sukarno dari hukuman. Ia divonis empat tahun penjara dan kelak menjadi dua tahun setelah beberapa tokoh liberal di Belanda ikut mendesak atas ketidakadilan yang terima Sukarno.

Selepas Gedung Indonesia Menggugat kami melanjutkan perjalanan menuju Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Tempat di mana dulu Sukarno menuntut ilmu. Si kuning Bandros melaju membelah Jalan Dago. Namun tak berhasil membelah kemacetan. Kemudian si kuning harus bersusah payah lepas dari kemacetan. Sebab saat itu ITB baru saja menggelar pelepasan wisuda-wisudawati. Saya pun sempat berpikir apakah dulu Sukarno merayakan kelulusannya dengan semeriah ini. Entahlah saya tak sempat menanyakannya.

Sesampainya di ITB kami langsung menuju Aula Barat. Sebab di sinilah bangunan awal dari kampus ITB. Terlihat struktur kayu yang berlapis-lapis disambungkan dengan baut. Kontruksi ini merupakan teknologi paling mutakhir saat itu yang digunakan di Hindia Belanda. Kang Tegar menceritakan bagaimana Sukarno ketika menjadi mahasiswa. Sukarno tak pintar matematika, membuat ia memperoleh nilai jelek di beberapa pelajaran. Terutama ketika pelajaran yang berkaitan dengan matematika. Sukarno pun nyatanya nyaris drop out dari kampusnya. Karena ia terlalu sibuk dengan gerakan-gerakan politiknya. Yang menarik lagi adalah di usia yang terbilang muda, ia mampu membuat partai dan menggerakan massa yang cukup banyak. Padahal saya pikir ketika saya di usia yang sama dengan Sukarno, saya baru bisa memasak nasi, itu pun terkadang hasilnya malah menjadi bubur. Mungkin itulah yang membuat saya gagal menjadi presiden.

ITB menjadi perhentian terakhir dari rangkaian acara Ngabandros Jejak Sukarno di Bandung. Namun bukan berarti berakhir perkenalan kami dengan Sukarno. Sebab kegiatan ini malah memantik kami untuk menggali lebih dalam kiprah Sukarno dan pemikiran-pemikirannya.

Jejak Sukarno di Bandung 2

Foto keluarga di ITB | © Fan_fin

Terima kasih saya ucapkam kepada MooiBandoeng dan Komunitas Aleut yang sudah menyelenggarakan tour ini. Membuat kegiatan wisata terasa lebih menyenangkan dan berbobot. Buat kalian ingin yang merasakan pengalaman berbeda dalam berwisata sejarah di Kota Bandung. Kalian bisa hubungi mereka atau kepoin aja instagram mereka @komunitasaleut dan @mooibandoeng.

Sampai jumpa di jejak langkah berikutnya!

Tautan asli rupaca.wordpress.com

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s