Dewata dan Imajinasi

Dewata dan Imajinasi

Perjalanan menuju Perkebunan Teh Dewata | © Komunitas Aleut

Oleh: Mey Saprida Yanti (@meysaprida)

Sudah tahu bakalan melewati jalan berbatu—yang batunya segede orok, sudah tahu pula bakalan duduk berlama-lama di motor, tapi entah setan atau malaikat dari mana yang membisikanku hingga aku keukeuh untuk ikut Ngaleut Dewata 2 ini. Mungkinkah aku berniat mencari pengalaman? Bisa jadi, apalagi Ngaleut kali ini terasa menarik karena didominasi oleh kaum hawa.  

Kami berangkat lebih pagi dengan harapan bisa pulang kembali ke Bandung lebih awal. Kali ini hanya ada satu tujuan, yakni Dewata. Jika saat Ngaleut Dewata pertama kami tiba di Rancabolang pada waktu Ashar, kini sebelum Dzuhur kami sudah sampai di sana. Seperti biasa, kebun teh Rancabolang adalah oasis setelah melewati hutan Gunung Tilu, tempat bermukimnya habitat para hewan lindung. Kali ini, kebun teh Rancabolang tidak seindah saat pertama kali aku melihatnya. Mungkin karena pertama: Jalan menuju ke Rancabolang sudah bagus sehingga tidak begitu menguras tenaga. Kedua: Kali ini tidak ada kabut di atas kebun teh, jadi ya tampak biasa saja. Aku memutuskan untuk membuang hajat kecil dan mengisi tenaga di warung, saat itu pula aku tersadar bahwa perjalanan ini baru setengah jalan.

Ternyata perjalanan ke Dewata hanya tinggal 17 kilometer. Aku tidak merasa ini dekat karena aku tidak begitu percaya dengan petunjuk warga lokal. Mereka bisa saja bilang dekat,  jargon “sebentar lagi juga sampai” nyatanya tak selalu sama dengan yang kami jalani. Tapi perjalanan saat itu memang tinggal 17 kilometer lagi, hal ini ditandai dengan adanya rambu sebagai penanda. Aku heran, menuju sebuah kebun teh Dewata ada juga rambu kilometer. Macam di tol saja. Rambu boleh macam jalan tol, tapi jalanan berbanding terbalik 360 derajat mulusnya dengan jalan tol. Tiap satu kilometer kami berhenti untuk sekadar meluruskan kaki, melihat tumbuhan yang unik, atau untuk berfoto.

Dewata dan Imajinasi 2

Kabut di hutan Gunung Tilu | © Mey Saprida

Hujan dan kabut adalah paduan yang cocok untuk berfoto. Kalau kata Enji, seperti ada di film Kong: The Skull Island. Namun buatku yang pengetahuan film-nya biasa-biasa saja, membayangkan hujan dan kabut saat itu seperti sedang berada di film Beauty and The Beast. Aku membayangkan si Beauty yang mencari ayahnya untuk kemudian menemukan istana, lalu tersadar, bahwa jalanan yang dia lewati tidak seseram yang dibayangkan.

Tapi melihat pohon yang rata-rata berlumut dan rapat seperti yang aku lihat saat itu, yang kiranya sinar matahari pun tak bisa menembus kabut hutan, membuat aku membayangkan film lainnya, Twilight Saga. Sepertinya tempat ini cocok menjadi habitat para vampir ganteng herbivora.

Dewata dan Imajinasi 1

Enji dan imajinasinya | © Mey Saprida

Akhirnya kami sampai di sebuah pondok dengan plang yang menunjukkan bahwa kami hampir sampai di sebuah desa. Kami rehat sejenak di pondok tersebut sambil menikmati suasana, mungkin jika kabut turun, pemandangannya akan lebih bagus lagi. Jalanan menuju desa sudah terbilang lumayan. Batu yang segede orok sudah tidak ada meski belum bisa dibilang mulus juga, hanya saja jalan berbatunya kini lebih bersahabat.

Akhirnya kami tiba di sebuah desa. Menumpang buang hajat dan mengisi bensin sudah semestinya dilakukan. Walau harga bensin jauh lebih mahal dari harga normal, tapi tak apalah. Sambil menunggu motor Manglex dibenerin, kami bercengkrama di sebuah warung sambil  menikmati jajanan, oiya jajanan yang aku beli ini mengingatkan aku dengan jajanan waktu SD loh.

Saat kami menumpang buang hajat di dekat sebuah mushola, kami tak perlu bingung mencari di mana WC berada. Total ada 3 mck, ini membuat kami tak perlu mengantri panjang. Di dekat salah satu mck terdapat mushola, ada pula lapangan voli yang mungkin bisa juga berfungi sebagai lapangan bulutangkis.

Oh ya, karena di desa ini tidak ada sinyal, warga berkomunikasi menggunakan Handy Talky (HT). Di sebelah warung yang kami tempati untuk menunggu motor Mang Alex, sepintas aku melihat ada stasiun radio.

Dewata dan Imajinasi 3

MCK 03 di Datar Kiara | © Mey Saprida

Perjalanan kami lanjutkan, namun sempat terhenti sebentar karena ada kecelakaan kecil menimpa Elmi. Rombongan pun terbagi tiga. Rombongan depan meluncur menuju Dewata terlebih dahulu, mereka harus segera sampai karena harus mencari tukang tambal ban. Sedangkan rombonganku sedang menangani Elmi, dan rombongan belakang menunggu motor Manglex siuman.

Saat menunggu Mbak Nurul menangani luka Elmi, aku melihat mobil elf melintas membawa banyak barang. Awalnya aku kira itu adalah angkutan umum yang kebetulan membawa dagangan orang yang membuka warung di Dewata. Belakangan aku tahu bahwa elf itu milik bersama yang digunakan untuk membeli kebutuhan warga sehari-hari. Elf itu berangkat ke kota seminggu sekali. Selain elf mereka juga punya truk.

Setelah ditangani seadanya oleh Mbak Nurul, Elmi akhirnya bisa melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang sudah “agak” mendingan ini ternyata lumayan sulit bagi Nisa, mungkin dia habis tenaga karena sudah mengendalikan motor sejauh 14 kilometer. Nisa dan Pinot jatuh juga, rombongan terbagi lagi.

Baca juga Pengalaman Menarik Di Ngaleut Dewata

Aku melihat-lihat, sudah di mana kah kami? Apakah masih jauh? Ketegangan kadang muncul, perasaan seperti campur aduk. Namun dari semua perasaan campur aduk itu, satu yang pasti yang aku rasakan, bahwa kami terasa semakin dekat.

Ternyata kami telah berada di sekitar pengolahan hydrant. Awalnya aku kira untuk irigasi, ternyata ada PLTA mini gitu. Airnya juga jernih, dan kanal-kanalnya sepertinya masih baru, masih terlihat kokoh habis disemen.

Aku memberikan biskuit yang aku bawa ke Nisa, bukan hanya dia, tapi juga Pinot dan Ervan. Mungkin karena pada belum makan siang dan kami telah melakukan perjalanan berkilometer yang menguras tenaga, membuat kami terasa lemas. Apalagi hujan yang tiba-tiba turun membuat kami mesti selalu siaga. Usai mengenakan jas hujan, akhirnya aku mengambil alih motor untuk membonceng Pinot.

Kami memarkirkan motor di depan koperasi, masjid terlihat dari kejauhan yang letaknya berada sedikit lebih tinggi dari tempat kami berdiri. Di sebelah koperasi tersebut terdapat klinik, di situlah Elmi dan Mbak Nurul berteduh dari hujan sambil menunggu mantri. Mbak Nurul dan Elmi menunggu mantri untuk meminta izin agar bisa mengakses obat-obat yang ada di dalam klinik.

Duh nggak kebayang deh kalau aku jadi warga sini. Kalau sakit harus melewati jalan yang ganas itu, belum lagi harus punya kendaraan sendiri. Di desaku yang berada di Wonogiri, jalanannya sudah mulus meski kalau mau berobat harus ke Kota Solo, itu pun dengan menyewa mobil tetangga. Mengapa harus ke Solo? Karena medis di Solo lebih bagus daripada di Wonogiri.

Nah, begitu juga di Dewata. Tentu saja medis Bandung lebih lengkap dengan penanganan yang memadai, tapi perjalanan menuju kota sungguh tidak mudah. Aku jadi kebayang desaku.

Baca juga Ngaleut Déwata: Tanjakan, Halimun, jeung Béntang

Rumah warga yang membuka warung kami jadikan tempat untuk beristirahat sambil menyusun rencana pulang. Hampir saja aku berpikir kalau kami akan terpisah dan terbagi karena rumah tersebut nampaknya tak akan cukup menampung kami semua, untunglah akhirnya muat juga.

Aku sempat merasa lelah saat mendengar kabar kalau aku harus mengendarai motor untuk pulang. Maka dari itu aku memutuskan untuk mengisi tenaga. Makan yang banyak jadi suatu keharusan. Teman yang lain juga sama, semua mengisi tenaga. Kebutuhan tubuh sudah terpenuhi, tapi mood masih nggak oke. Beruntung mang Agus mengajak main ludo di tab-nya, Akay dan Aip pun ikut gabung.

Karena besoknya beberapa teman Komunitas Aleut yang ikut ke Dewata ini akan menjadi pemandu bagi anak-anak SMP Al-Falah, maka mau tak mau malam ini kami harus pulang. Padahal warga sekitar sudah menyarankan agak kami menginap saja.

Rombongan kembali terbagi menjadi dua. Teman yang mengalami luka-luka dan yang dirasa tak memungkinkan untuk mengendarai motor, diangkut naik truk. Motor yang bermasalah pun dimasukkan ke dalam truk. Aku nggak bisa membayangkan bagaimana keadaan teman-teman yang berada di dalam truk menjaga motor-motor agar tidak terguling atau menimpa mereka. Tapi syukulah kami pulang dengan selamat, tak lagi ada insiden kecelakaan seperti saat kami berangkat.

Dewata dan Imajinasi 4

Bahagia bisa lihat lampu, jalan aspal, dan minimarket (lagi) | © Mey Saprida

Perjalanan pulang dari Dewata sama seperti aku menulis cerita ini. Aku begitu semangat untuk memulainya, hampir putus asa untuk mengakhirinya hingga ternyata aku berhasil untuk menyelesaikannya. Idealnya, Ngaleut Dewata itu harus menginap, maka sekali waktu bolehlah aku membayangkan bangun tidur di Dewata yang kemudian disambut kabut-kabut yang berada di atas kebun teh. 🙂

Dewata dan Imajinasi 5

Perkebunan Teh  | © Mey Saprida

Baca juga artikel lainnya dari mengenai catatan perjalanan 

(komunitasaleut.com – mey/aka)

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s