Pengalaman Menarik Di Ngaleut Dewata

Oleh: Mey Saprida Yanti (@meysaprida)

Gelap, dingin, mencekam. Tidak pernah terpikir sebelumnya akan mengalami ketiga hal tersebut secara berbarengan, saat ngaleut ke Perkebunan Teh Dewata bersama Komunitas Aleut di penghujung April kemarin. Kalau pulangnya malam hari, saya sih sudah menduga, karena esok hari adalah May Day, libur di hari senin.

Sebelum mulai Ngaleut, beberapa teman sudah mempelajari peta. Rencananya kami akan melalui jalur yang tidak biasa. Belum ada teman yang pernah melaluinya, kecuali dari Buahbatu ke Cangkuang via Mengger.

Dewata, selain nama perkebunan the, juga merupakan nama Gunung. Kebun teh Dewata berada di sekitaran Gunung Tilu yang merupakan hutan konservasi, sehingga banyak hewan yang dilindungi di dalamnya.

Pukul 07.17 menjadi waktu kumpul kami. Sebetulnya diharapkan semua bisa datang lebih pagi karena beberapa jalur yang akan dipilih belum pernah dilewati sebelumnya. Kalau sampai pergi terlalu siang, dijamin semua pegiat akan pulang larut malam.

Kami memulai perjalanan sekitar pukul 08.00. Semua tampak bersemangat untuk memulai perjalanan. Ada beberapa teman baru yang bergabung, perjalanan didominasi oleh kaum hawa berhijab, membuat para lelaki semakin bersemangat untuk memulai perjalanan. Pengalaman baru telah menanti kami di sana, perjalanan yang kami lalui pasti menjadi perjalanan indah yang tidak terlupakan.

Total yang berkumpul hari itu sebanyak 41 peserta dengan 21 motor. Bibi Kania tidak punya boncengan karena dia memang lebih suka berkendara sendiri. “Lebih enak bawa motornya,” katanya. POM bensin Sekelimus di Terusan Buahbatu menjadi tempat pemberhentian pertama. Ya, kami harus mengisi bahan bakar dulu secara bersamaan agar nantinya tidak ada satu-dua motor yang berpencar untuk mengisi bahan bakar. Setelah semua motor terisi, kami kemudian memutar arah memasuki Batununggal dan tembus ke Jalan Mengger.

Setelah melewati Waterboom Panghegar, kami malalui jembatan yang di bawahnya terdapat jalan tol, lalu mengambil arah ke selatan dan keluar di Jalan Dayeuhkolot. Dulu, di daerah Mengger bisa ditemui hamparan sawah. Namun sekarang sawah-sawah tersebut sudah berubah fungsi menjadi kawasan pabrik. Jalanan di Dayeuhkolot pun telah dipenuhi pabrik, membuat jalanan di daerah ini menjadi rusak karena kendaraan pabrik. Kondisi ini  diperparah karena menjadi langganan banjir setiap kali Ci Tarum meluap.

Melewati Jalan Sayuran dan Rancamanyar, hamparan sawah luas menjadi teman perjalanan. Begitu masuk ke kawasan perkampungan, suasananya membuatku merasa seperti sedang pulang kampung. Di Rancatungku, Pameungpeuk, mampir sebentar untuk membeli kue balok, dan bertemu dengan Siti yang telah menunggu di Cangkuang.

Perjalanan yang sebenarnya baru dimulai dari sini, karena dari sini sudah tidak ada lagi yang tahu jalanan seperti apa yang akan kami lewati. Setelah melewati perkampungan, kami menemui beberapa jalan yang tanjakannya cukup tajam. Saking tajamnya, membuat hampir semua yang dibonceng harus rela turun karena motor tidak kuat naik jika ada muatan tambahan. Para boncengers harus rela berjalan kaki setiap kali motor menghadapi tanjakan demi tanjakan.

Setelah beberapa kali melewati tanjakan curam, akhirnya kami menemukan masjid. Meski awalnya hanya akan numpang salat saja, namun kemudian pelatarannya kami jadikan tempat beristirahat. Meski tidak ada yang jual nasi di daerah sana, beruntung penjual batagor kebetulan lewat. Tanpa dikomando kami pun langsung mengantri membeli dagangannya.

Setelah letih di badan mulai hilang dan perut terisi, perjalanan kembali dilanjutkan. Kami keluar di Jalan Raya Ciwidey, lalu belok kiri menuju arah ke Kawah Putih. Tetapi jauh sebelum Kawah Putih, kami masuk ke jalan desa yang di sebelahnya terdapat mini market. Di mulut jalan sebetulnya ada plang yang menunjukkan bahwa kami memasuki jalan menuju ke Perkebunan Teh Dewata, namun tidak semua dari kami bisa melihat dengan jelas karena letaknya yang tidak strategis.

Tanjakan tajam yang sebelumya kami lewati di daerah Ciseupan memakan korban. Motor yang dikendarai Farhan menjadi sedikit pincang, jadi dia harus membawa motornya  ke bengkel terlebih dulu. Sambil menunggu, kami duduk-duduk di sekitar mulut jalan sambil makan es krim di dekat perkebunan milik warga.

Saat sedang belanja es krim, salah satu warga menanyakan tujuan kami. Setelah mengetahui tujuan kami ke Dewata, dia seperti memperingatkan kami kalau jalan menuju Dewata itu sangat hancur dan masih jauh. Kami paham dan tetap akan melakukan perjalanan, hehehe…

Hari sudah mulai mendung, kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sembari menunggu Farhan yang belum juga datang, kami mengenakan jas hujan, dam kemudian langsung berangkat saat ia kembali.

Ucapan warga tadi memang benar, selang beberapa meter dari tempat kami berhenti, jalanan berubah menjadi bebatuan. Tak sembarang batuan, batunya hampir sebesar orok, tapi itu melatih kesabaran dan kebersamaan kami. Di tengah jalan, Bibi Kania pamit pulang duluan karena ada urusan.

Gerimis mulai turun, kami melewati jalan dengan hati-hati. Di sebuah warung, kami berhenti sambil menunggu teman yang masih di belakang. Setelah semuanya komplit, kami melanjutkan perjalanan dan memasuki kawasan hutan Gunung Tilu. Anehnya, di sini jalanannya mulus, jalan aspal dan beton menemani perjalanan kami bergantian, sangat berbeda dengan perkampungan yang tadi kami lewati dengan jalanan yang super hancur.

Jalanan Gunung Tilu yang mulus tetap membuat kami waspada, karena jalanan licin dan khawatir tergelincir. Setelah melewati Gunung Tilu yang rimbun, hamparan kebun teh segera menyambut, bagai oasis yang menyegarkan perjalanan. Kami berhenti sejenak menghangatkan diri, berfoto ria, dan sebagian teman tengah sibuk membuat liputan perjalanan.

Kami melanjutkan kembali perjalanan dam tiba di Kampung Keneng. Perjalanan kami masih jauh, karena dari Kampung Keneng menuju Perkebunan Dewata masih dua jam lagi. Karena hari sudah terlalu sore, akhirnya kami memilih melanjutkan perjalanan ke arah barat yang nantinya bisa tembus ke Kawah putih.

Perkebunan Teh Rancabolang menjadi teman perjalanan yang menyenangkan, namun kami harus mempercepat laju karena hari sudah semakin sore. Setelah melewati Taman Jamur, kami menemukan sebuah kampung daun yang merupakan rumah bagi para buruh teh. Kemudian kami menemukan pertigaan lagi yang membuat bingung. Sebagian teman melihat GPS memastikan jalan yang kami ambil adalah jalan bisa membawa kami pulang. Beruntung tak lama berselang ada warga yang lewat dengan mobilnya yang menyakinkan kami bahwa jalan yang kami tempuh adalah jalan yang benar.

Sayangnya, jalan yang kami tempuh ternyata masih dalam tahap perbaikan. Kondisinya dipenuhi dengan batu yang belum dipadatkan, membuat motor-motor kami tidak bisa melewatinya sehingga kami kembali ke pertigaan yang membingungkan itu.

Kami berhenti kembali untuk merencanakan langkah berikutnya. Di saat yang bersamaan, bahan bakar motor yang dikendarai Hamdan sudah semakin habis, sementara kami sedang berada di tengah Perkebunan Teh Patuhawatee yang jauh dari permukiman. Beruntung Adya yang menggunakan motor bertangki besar masih memiliki banyak bahan bakar. Setelah dipindahkan dengan cara disedot oleh Agus, bahan bakar tersebut ditampung di botol air mineral untuk dipidahkan ke motor Hamdan.

Puteri tiba-tiba menangis, mungkin dia sedang berhalusinasi yang membuatnya takut. Namun imbasnya saya sendiri menjadi ikut takut. Puteri diajak ke tengah-tengah teman yang lain agar ramai dan aman, lalu kami saling menguatkan. Setelah Puteri tenang dan urusan perbensinan aman, akhirnya diputuskan untuk putar balik melewati jalan yang telah kami lewati, nanti di kampung Keneng akan berhenti lagi untuk konsolidasi dan menghangatkan diri. Selain itu, juga untuk memulihkan suasana agar perjalanan pulang lebih fokus.

Saat kami tiba di Kampung Keneng, warung yang kami kunjungi sebelumnya telah tutup. Beruntung ada warung lain yang bersedia buka dan membantu kami menghangatkan diri. Suci, kawan kondisinya semakin drop, bahkan hampir pingsan. Sejak di Patuahwatee yang gelap dan dingin, dia sudah merasa kurang enak badan, dan sepertinya semakin drop karena kedinginan. Masing-masing teman menghangatkan dirinya dengan makanan dan minuman. Bapak pemilik warung sengaja menghidupkan api agar kami bisa menghangatkan diri di sekitar bara.

Setelah urusan dingin dan bensin teratasi, semua siap melanjutkan perjalanan lagi. Dari sini formasi berkendara dirombak disesuaikan dengan tujuan pulang beberapa teman. Kami juga bersepakat untuk membunyikan klakson sebagai peringatan jika ada teman yang mengalami masalah dan rombongan bisa berhenti dulu.

Perjalanan pulang yang sesungguhnya dimulai, kawasan Gunung Tilu yang masih merupakan hutan lebat, merupakan tempat yang diharapkan agar semua bisa fokus dan tenang. Dan alhamdulillah, kami pun bisa melewati jalan sulit berbatu yang kami lewati tadi siang.

Perjalanan pulang menjadi terasa lebih cepat. Dan saat kami tiba di jalan utama Ciwidey, kami pun mempercepat laju karena sudah pukul sepuluh lebih. Beberapa teman berpencar, pulang ke rumahnya masing-masing, sebagian besar ikut pulang ke Kedai Preanger dan memilih menginap di sana karena waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 lebih. [Mey]

Iklan

2 pemikiran pada “Pengalaman Menarik Di Ngaleut Dewata

  1. Ping balik: Dewata dan Imajinasi | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s