Oleh: Ariyono Wahyu Widjajadi (@alexxxari)
Ada banyak istilah atau ungkapan untuk menjelaskan “masa” atau “zaman” yang telah lama terjadi. Biasanya dalam bahasa Indonesia digunakan kalimat “zaman dahulu kala” atau “masa lalu”, untuk menerangkan suatu peristiwa yang telah terjadi pada waktu lampau.
Memang, frase seperti “zaman dahulu” atau “masa lalu” tidak mengacu pada waktu atau saat yang tepat terjadinya zaman tersebut. Bisa saja dengan menyebutkan “zaman dahulu kala” mengacu pada zaman kerajaan atau mungkin bahkan ke zaman purba. Dengan kata lain, frase tersebut tidak menggambarkan suatu keterangan waktu yang pasti.
Namun, ada pula ungkapan dan istilah yang memiliki makna menerangkan suatu periode tertentu secara spesifik. Dalam ranah pencinta sejarah tempo dulu dikenal istilah “jaman normal”. Istilah tersebut mengacu pada masa sebelum terjadinya perang dunia ke-2 di Hindia Belanda. Tentu saja, istilah tersebut muncul karena suatu peristiwa atau kebiasaan yang terjadi ketika itu.
Dalam bahasa Sunda ada beberapa ungkapan untuk menunjukkan keterangan waktu lampau. Misalnya ungkapan “jaman bedil sundut”, “jaman tai kotok dilebuan”, dan “jaman cacing dua saduit”.
“Jaman bedil sundut” merujuk pada masa setelah senapan mulai dikenal. Istilah tersebut mengacu pada jaman kompeni Belanda yang memperkenalkan penggunaan senapan (bedil) yang harus disulut (sundut) terlebih dulu untuk dapat digunakan.
Ungkapan “jaman tai kotok dilebuan” (tai ayam ditaburi abu gosok) agak sulit dihubungkan dengan suatu periode waktu tertentu. Namun, setidaknya istilah tersebut dapat ditemukan asal-usul kemunculannya. Istilah tersebut lahir dari kebiasaan yang dilakukan pada saat itu, jika seseorang terkena kotoran ayam, mereka terbiasa tidak membilasnya dengan air, tetapi menaburi kotoran tersebut dengan abu gosok. Ketika kotoran ayam tersebut mengering mereka hanya perlu menghentakkan kakinya ke lantai rumah dan kotoran itu akan jatuh dengan sendirinya.
Sedangkan untuk ungkapan atau istilah “jaman cacing dua saduit” dapat dilacak sejak kapan digunakan dan kisah apa yang terjadi di balik munculnya ungkapan tersebut. Almarhum “Kuncen Bandung” Haryoto Kunto menuliskan dalam bukunya “Semerbak Bunga di Bandung Raya” terkait jaman cacing dua saduit tersebut.
***
Menurut Haryoto Kunto, pada jaman Cultuurstelsel (1831-1870) penduduk Priangan dipaksa untuk menanam komoditas wajib yaitu kopi. Pekerjaan tanam paksa kopi di Priangan melibatkan seluruh keluarga, bapak, ibu serta anak-anaknya turut mengerjakan berbagai tugas mengolah lahan. Si bapak mencabuti rumput dan memotong dahan pohon kopi, si ibu memetik kopi dan anak-anak mereka menangkap ulat dan cacing. Kemudian cacing yang telah terkumpul itu ditukarkan dengan uang sebesar saduit (satu duit) kepada Tuan Administratur. Dari kisah tersebut menurut Haryoto Kunto, sastrawan Sunda M.A. Salmun membahasakan jaman Culturstelsel sebagai jaman cacing dua saduit.
Jika Haryoto Kunto hanya membahas sekilas kisah di balik ungkapan jaman cacing dua saduit, cerita yang agak lebih rinci dan lengkap yang menggambarkan munculnya ungkapan “jaman cacing dua saduit” dapat ditemukan dalam carita pondok (cerpen dalam bahasa Sunda) Ua Haji Dulhamdid karya Ahmad Bakri. Penggambaran kisah “jaman cacing dua saduit” dalam carpon Ahmad Bakri terasa lebih hidup karena dikisahkan dalam cerita fiksi. Walaupun kisah tersebut fiksi belaka, tetapi narasi tersebut hidup dalam lingkungan masyarakat Sunda.
Seperti yang dikisahkan Ahmad Bakri dalam cerpennya, pada saat tanam paksa kopi seluruh rakyat jelata di Priangan diwajibkan menanam kopi, terutama untuk penduduk laki-laki dewasa. Mereka diwajibkan dan diberi tanggung jawab untuk menanam kopi di lahan perkebunan baru yang luas minimumnya telah ditentukan. Dengan kata lain, pohon kopi harus ditanam bukan di lahan produktif yang telah ada, tetapi harus membuka area lahan baru dengan cara membuka lahan di hutan.
Tentu saja proses mengubah lahan hutan agar layak ditanami kopi ini tidak mudah. Prosesnya menghabiskan waktu yang cukup lama dan menguras tenaga karena harus menebang pohon-pohon besar dan membersihkan lahan. Hal ini diperparah dengan lokasi lahan yang terpencil dan masih dihuni banyak binatang buas. Banyak penduduk yang sedang membuka lahan tewas dipatuk ular atau kerasukan karena dianggap mengganggu roh halus penghuni hutan.
Setelah tugas berat yang menguras tenaga tadi, pekerjaan belumlah usai. Bibit-bibit kopi dibagikan untuk segera ditanam di lahan baru tersebut. Karena pekerjaan yang bersifat paksaan dan tenaga yang telah habis terkuras pada tahap pembukaan lahan hutan, maka pada saat harus mencangkul untuk menanam bibit kopi, penduduk melakukannya dengan tidak maksimal.
Karena tak bersungguh-sungguh untuk mencangkul, lubang yang dihasilkan tak cukup dalam. Hasil pekerjaan yang tidak baik ini diketahui oleh pengurus yang kemudian melaporkan hal ini ke dayeuh (kota), kepada menak (bangsawan) yang ditugasi oleh Belanda menjalankan sistem tanam paksa ini. Keluhan ini kemudian diteruskan kepada Tuan Kontrolir yang datang untuk mengukur lubang cangkulan dengan cara menancapkan tongkat ke dalam tanah garapan yang akan digunakan untuk menanam bibit kopi. Akhirnya Tuan Kontrolir memberikan arahan kepada Kumetir bahwa lubang hasil mencangkul haruslah cukup dalam, patokan dalamnya hingga mendapatkan cacing tanah. Ada upah imbalan yang akan diberikan bagi setiap sepuluh cacing tanah yang dikumpulkan. Sepuluh cacing itu bisa ditukar dengan sedompet lima duit. Berarti dua cacing ditukar dengan satu duit.
Atas perintah tersebut, penduduk yang dipekerjakan secara paksa untuk menanam kopi akhirnya menggali lebih dalam dan berlomba mengumpulkan cacing sebanyak-banyaknya karena tergiur upah satu duit yang dijanjikan. Walaupun sebenarnya hal itu hanya akal-akalan Tuan Kontrolir untuk meningkatkan kinerja penduduk yang terkena kewajiban tanam paksa kopi.
Saduit (satu duit) adalah besaran nominal sejumlah 0,85 sen. Saat itu dengan uang sebesar itu menurut Ahmad Bakri dapat memperoleh setengah batok beras. Sedangkan menurut Haryoto Kunto dengan uang satu duit akan mendapatkan sebungkus getuk dan dua potong tape singkong.
***
Berdasarkan kisah mengenai jaman cacing dua saduit menurut Haryoto Kunto dan Ahmad Bakri, dapat dihubungkan masanya dengan pelaksanaan tanam paksa kopi di Priangan atau yang juga dikenal dengan Preangerstelsel. Jika menurut Haryoto Kunto dengan mengutip pendapat M.A. Salmun bahwa ungkapan bahasa Sunda jaman cacing dua saduit merujuk pada pelaksanaan Culturstelsel (1831-1870), namun sesungguhnya pelaksanaan tanam paksa khususnya komiditas kopi di Priangan telah dilakukan jauh sebelum sistem tanam paksa Van den Bosch diterapkan.
Beberapa pendapat merujuk Preangerstelsel terjadi pada kurun waktu 1720-1830. Sistem ini diberlakukan oleh VOC untuk mengejar keuntungan dari komoditas kopi yang sejak akhir abad XVII tengah menjadi primadona di Eropa. Jadi sebelum sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai imbas dari Perang Jawa, di Priangan telah memulai sistem tanam paksa kopi (Preangerstelsel) satu abad lebih dulu.
Bahkan menurut Nina Lubis dkk., dalam buku “Sejarah Tatar Sunda” Jilid I, tanam paksa kopi ditetapkan pada tahun 1707 dengan memilih daerah Batavia, Priangan dan Cirebon. Menurut Nina, sistem budidaya kopi dengan Preangerstelsel menghasilkan jumlah produksi yang bahkan telah mengalahkan produksi Yaman sebagai penghasil kopi terbesar dunia. Untuk keberhasilan sistem tanam paksa kopi ini, VOC (kompeni) saat itu menggunakan kaum bangsawan untuk mengerahkan penduduk kaula bawahannya untuk menanam kopi.
Menurut Nina dari pelaksanaan Preangerstelsel muncul beberapa aturan yang harus dilaksanakan oleh para bupati sebagai pemimpin tertinggi penduduk pribumi. Aturan-aturan itu adalah :
- Penanaman kopi harus dilaksanakan di tanah-tanah yang masih kosong atau tanah yang bukan lahan produktif, karena tanaman kopi terlarang untuk ditanam di lahan produktif seperti sawah dan ladang.
- Imbalan bagi para bupati setiap satu pikul kopi yang dihasilkan dari penyerahan wajib kopi adalah sebesar enam ringgit (1 ringgit = 250 sen).
- Pelaksanaan penanaman wajib kopi, sejak penanaman sampai pengangkutan ke gudang penyimpanan dilakukan oleh rakyat jelata sebagai tenaga kerja wajib. Namun mereka dibayar yang pelaksanaannya dilakukan oleh VOC melalui bupati.
- VOC mengharapkan para bupati untuk membayarkan ganti rugi kepada rakyat yang terkena wajib kerja agar penanaman wajib kopi ini dapat berjalan dengan lancar.
- Jumlah tanaman kopi yang wajib ditanam sebanyaknya 250 pohon per rumah tangga. Jumlah pohon kopi yang wajib ditanam kemudian ditingkatkan menjadi seribu pohon per rumah tangga.
Melalui beberapa aturan yang diterapkan dalam Preangstelsel tersebut dapat dilihat hubungannya dengan kisah ungkapan jaman cacing dua saduit. Bahwa terlarang untuk menanam pohon kopi di lahan produktif. Ini mengakibatkan penanaman kopi dilakukan di tanah yang belum menjadi lahan produktif. Proses penanaman kopi merupakan kerja wajib (paksa) yang dilakukan oleh rakyat jelata. Pekerjaan berat mulai dari menyediakan lahan kosong untuk bertanam kopi hingga panen dan pengakutan hasil panen merupakan kerja wajib. Walaupun disebutkan adanya sistem upah, namun umumnya imbalan yang diterima adalah hanya untuk penyerahan wajib hasil panen kopi. Hal ini juga dijelaskan dalam kisah carpon Ahmad Bakri dan buku Haryoto Kunto seperti yang telah disebutkan, bahwa untuk proses membuka lahan dan menanam serta mengangkut hasil panen kopi tidak diberikan upah, yang mendapatkan imbalan adalah kopi yang diserahkan ke gudang penyimpanan.
Meskipun dalam aturan tertulis disebutkan bahwa VOC “berharap” kepada para bupati untuk membayarkan ganti rugi kepada rakyat yang terkena wajib kerja ini agar penanaman kopi berjalan lancar, tetapi pada praktiknya tidak dijalankan, mengingat penggunaan kata “berharap” dalam aturan tersebut. Dengan kata lain, bupati “tidak harus” membayar ganti rugi, VOC hanya “berharap”, tidak dijalankan pun tidak apa-apa. Lalu bagaimana caranya agar para pekerja meningkatkan kinerjanya tanpa harus membayarkan ganti rugi? Maka, cacing dua ditukar dengan satu duit bisa jadi merupakan siasat agar sistem tanam paksa kopi berjalan lancar dan berhasil.
Terakhir adalah aturan jumlah pohon yang ditanam untuk setiap rumah tangga yang juga dikisahkan oleh Ahmad Bakri melalui tokoh carpon Ua Haji Dulhamid, yaitu setiap keluarga diwajibkan menanam lahan kopi seluas satu ajir yang merupakan ukuran tradisional orang Sunda.
Melalui berbagai uraian kisah dan aturan tadi dapat diduga kapan ungkapan “jaman cacing dua saduit” tersebut muncul di kalangan urang Sunda, yaitu sebagai akibat dari pelaksanaan tanam paksa kopi di Priangan/Preangerstelsel. Kejadian sebagai akibat dari kerja wajib tadi dicatat menjadi sebuah ungkapan dalam bahasa Sunda yang digunakan penduduk Priangan.
Produk bahasa merupakan representasi dari zaman yang telah dilalui. Istilah, ungkapan atau peribahasa yang memperkaya bahasa mencacat pula kejadian-kejadian zaman. Bahasa dapat menjadi jembatan untuk melihat dan menjadi penanda suatu zaman. Ngomong-ngomong, apakah akan muncul suatu ungkapan yang akan digunakan anak-cucu kita kelak untuk menandakan zaman saat ini? Jika iya, apa kira-kira? Jaman satu status lima aplikasi? [Alex/Candra]