Tag: Dayeuhkolot

Mendengarkan Dongeng tentang Alun-alun Bandung dari Dulu hingga Kini bersama Komunitas Aleut

Oleh: Reza Khoerul Iman / Bandung Bergerak

Repost dari Bandung Bergerak. Tulisan aslinya bisa lihat di sini.

Suasana selatan Alun-alun Kota Bandung tempo dulu di dekat pendopo Bandung. (Sumber KITLV 1400371)

BandungBergerak.id – Lima buku tentang Bandung tertumpuk di bangku kecil di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung. Ukurannya beragam, dari yang besar dan tebal sekali hingga yang ringkas. Di hadapan tumpukan itu, pada Minggu sore yang terik, 22 Juni 2025, Alex Ari bersiap memulai kegiatan Dongeng Bandung yang diselenggarakan oleh Komunitas Aleut untuk menceritakan kisah Alun-alun Bandung.

Ketika berbicara soal Alun-alun Bandung, sebagian orang mungkin langsung membayangkan hamparan rumput sintetis di depan Masjid Raya. Yang lain, mungkin justru teringat kenangan masa kecil saat mereka berlari-lari di antara kerumunan, membeli jajanan kaki lima, atau sekadar rekreasi bersama keluarga sambil melihat air mancur yang dinyalakan dan dihiasi lampu-lampu.

Namun, di balik keriuhan dan wajah barunya hari ini, Alun-alun Bandung menyimpan banyak kisah lama yang jarang terungkap. Kisah tentang bagaimana ruang ini dulu jadi pusat keramaian, tempat diselenggarakannya rapat-rapat besar, juga ruang untuk menonton, olahraga, berdagang, bahkan mengeksekusi hukuman.

Itulah yang coba dihadirkan oleh Komunitas Aleut melalui program “Dongeng Bandung” untuk menceritakan kembali memori dan cerita sejarah dari sudut-sudut kota yang akrab namun sering terlupakan sisi sejarahnya. Pertemuan di Minggu sore itu sudah menjadi pertemuan kedua.

Alex Ari, pegiat Komunitas Aleut, menceritakan bahwa konsep alun-alun sebenarnya sudah ada sejak zaman kerajaan, terutama di pulau Jawa. Sebagai contoh di depan istana Kerajaan Majapahit terdapat alun-alun Bubat, bahkan alun-alun secara khusus disebutkan sebagai bagian penting dari ibu kota Kerajaan Mataram.

“Itu fenomena di kota-kota di pulau Jawa, dari kota besar setingkat ibu kota kerajaan sampai ke mungkin setingkat dulunya kawadanaan atau kecamatan gitu. Bahkan mungkin kalau yang desa atau desanya cukup besar mungkin di situ juga ada ada alun-alun,” tuturnya kepada para peserta yang hadir di program Dongeng Bandung, Minggu, 22 Juni 2025.

Kata alun-alun, lanjut Alex Ari, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa Jawa yang artinya ombak lautan. Makna “gelombang lautan” ini berakar dari sebuah kegiatan tradisional yang diselenggarakan di alun-alun ibu kota Kerajaan Mataram yang dikenal dengan nama Rampogan. Tradisi ini adalah atraksi di mana macan dilepaskan di tengah alun-alun, lalu diburu oleh prajurit-prajurit yang mengelilinginya. Rakyat biasa juga diizinkan untuk menyaksikan kegiatan ini. Apabila dilihat dari kejauhan, terutama dari ketinggian atau dari tempat raja duduk, gerakan lautan manusia yang memburu macan tersebut akan tampak menyerupai ombak lautan yang bergulung-gulung.

Namun seiring berjalannya waktu makna alun-alun kemudian bergeser. Dalam buku Haryoto Kunto yang berjudul Semerbak Bunga di Bandung Raya, Prof. van Romondt (1962) menuturkan bahwa pada dasarnya alun-alun merupakan halaman depan rumah para penguasa, raja, bupati, wedana dan camat. 

“Sedangkan pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ihwal pemerintahan, militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan, semua terselenggara di seputar istana sang penguasa (Lewis Mumford, “The City in History”, 1961).” Terang sang Kuncen Bandung, sebutan Haryoto Kunto, dalam bukunya.

Sementara itu makna alun-alun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai tanah lapang yang luas di muka keraton atau di muka tempat kediaman resmi bupati dan sebagainya.  Lalu–setelah sistem kerajaan atau feodal lenyap–makna alun-alun kembali bergeser dan berubah bentuk tidak lagi berupa lahan kosong berumput, melainkan sudah dibangun menjadi sebuah taman dengan air mancur dan pot bunga, berfungsi sebagai tempat rekreasi dan olahraga pada Minggu pagi.

Diskusi Dongeng Bandung tentang Alun-alun Bandung yang diselenggarakan Komunitas Aleut di Perpustakaan dan Toko Buku Rasia Bandung, 22 Juni 2025. (Foto Reza Khoerul Iman BandungBergerak)

Komponen dan Fungsi Alun-alun

Kalau kita memperhatikan kawasan alun-alun di kota-kota besar Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, atau Solo dengan detail, di sekelilingnya selalu ada bangunan-bangunan khas seperti pendopo, masjid agung, dan pasar. Bukan tanpa sebab, Alex Ari menerangkan bahwa bangunan-bangunan tersebut sudah menjadi komponen yang membentuk satu kesatuan tata ruang kota tradisional yang disebut catur gatra (empat unsur).

“Di Lembang juga sama ada alun-alun Lembang, ada masjid agungnya, pasar, dan ada rumah penguasa lokalnya. Atau katakanlah kota lain Sumedang, Garut, atau Cianjur bisa dilihat juga hampir sama gitu ya. Ada masjid agung, alun-alun, rumah bupati, dan pasar. Empat unsur itu yang dinamakan catur gatra,” jelasnya.

Bangunan masjid baru masuk ke dalam komponen catur gatra setelah ajaran Islam menyebar di Nusantara. Haryoto Kunto dalam bukunya menyebut hanya ada tiga komponen saja yang melengkapi alun-alun, misalnya pada zaman Hindu di Alun-alun Bubat yang terletak di depan istana Kerajaan Majapahit hanya ada bangunan istana raja/bupati, rumah patih, dan pasar yang menghiasi alun-alun. 

Kemudian kehadiran kompeni Belanda yang menjajah Nusantara turut memberikan perubahan terhadap warna, bentuk, dan corak baru dalam tata kota di sekitar alun-alun.

“Setelah Daendels rampung membangun Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan yang menelan korban 30.000 “koeli priboemi”, tiga komponen baru mengambil tempat di sisi alun-alun. Loji (kantor dagang) kompeni yang terletak berhadap-hadapan dengan pendopo kabupaten, kantor pos dengan kandang kuda di halaman belakangnya, dan sebuah bui atau penjara,” tulis Haryoto Kunto dalam bukunya Semerbak Bunga di Bandung Raya.

Secara umum fungsi alun-alun digunakan sebagai ruang publik dan pertemuan. Masyarakat sering bersantai, berkumpul, dan berdagang di sana hingga hari ini. Namun secara historis alun-alun bukan hanya digunakan untuk ruang rekreasi. Dulu berbagai kegiatan seperti pertandingan sepak bola, atraksi tradisional seperti Rampogan, hingga tempat untuk melakukan hukuman juga pernah dilakukan di alun-alun.

Pertandingan sepak bola di Alun-alun Kota Bandung tempo dulu. (Sumber KITLV 13616)

Alun-alun Bandung

Alun-alun Bandung memiliki sejarah panjang dan berbagai fungsi serta peran yang telah berubah seiring waktu. Usianya sudah setua Kota Bandung itu sendiri. 

Berawal dari perintah Daendels pada tahun 1810 untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Dayeuhkolot–yang kelewat jauh sekitar 11 kilometer di selatan Jalan Raya Pos–ke dekat lintasan tersebut.

Alex bercerita, setelah pencarian yang panjang Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, kemudian memilih lokasi sebidang lahan di sisi Jalan Raya Pos, di tepian barat kali Cikapundung (sekarang Alun-alun Bandung). Pemilihan lokasi ini dinilai ideal serta memenuhi syarat teknis dan mistik. 

“Ada berbagai, ya beberapa pertimbangan, khususnya menurut pertimbangan orang tua dahulu, sebuah tempat kediaman atau kampung itu harus memiliki apa yang dinamakan paguyangan badak putih gitu atau tempat berkubangnya badak,” tutur Alex.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan tata kota di Bandung, kawasan alun-alun juga menjadi semakin ramai, terutama di malam hari. Pusat-pusat kerja di masa itu masih tersebar jauh dari jantung kota, sehingga orang-orang baru bisa keluyuran di dalam kota ketika malam hari. 

Pada tahun 1920-an, pembangunan di sekitar alun-alun. Haryoto Kunto menyebut secara bertahap orang mulai mendirikan bangunan di sekitar alun-alun, salah satunya gedung pertunjukan serbaguna “feestterrein”. Gedung ini menyajikan beragam tontonan dan makanan. 

Selain itu, Alun-alun Bandung mulai sering digunakan untuk pertandingan sepak bola dan pertunjukan seni.

Pada awal 1970-an, orang mulai mendirikan bangunan bertingkat di alun-alun timur. Kemudian disusul berdirinya beberapa gedung bertingkat sebagai “shopping centre” di Jalan Dalem Kaum seperti Kings Centre, Parahyangan Plaza, lalu Palaguna Nusantara yang menyita lahan bekas bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Semakin padat dan maraknya pembangunan di sekitar Alun-alun Bandung membuat Haryoto Kunto khawatir soal masa depan. Ia bahkan menilai kalau pembangunan tidak bisa dikontrol ke depannya akan banyak gedung bertingkat dan terlihat semakin sesak.

“Alun-alun Bandung di masa depan, bakal makin berjubel dengan gedung bertingkat, apabila rencana untuk mendirikan bangunan bank di sisi barat Kabupaten (pendopo) jadi dilaksanakan,” ramal Haryoto Kunto dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1986.

Kenangan di Alun-alun Bandung

Sebagai “jantung kota”, Alun-alun Bandung merupakan tonggak bersejarah yang bisa banyak bercerita tentang suka-ria dan duka-nestapa warga kota sepanjang masa. Ia menyimpan banyak cerita warga dan momen-momen bersejarah yang telah berlangsung.

Alhta, salah satu peserta dan pegiat Komunitas Aleut, bercerita bahwa dulu bermain di Alun-alun Bandung adalah momen yang sangat dinantikan. Biasanya ia dengan keluarga akan berburu jajanan di halaman Masjid Agung Bandung. 

“Jika diingat-ingat, rasanya dulu lebih dekat dan hangat ketika di Alun-alun Bandung meskipun saya tidak kenal dengan orang-orang yang ada di sana. Biasanya saya dan keluarga juga sengaja main ke alun-alun saat bulan Ramadhan, tepatnya menjelang lebaran karena mau berburu baju lebaran,” kata Alhta kepada BandungBergerak.id.

Namun menurutnya Alun-alun Bandung sekarang sangat berbeda jauh dibandingkan dahulu. Sekarang walau lebih rapi dan bersih, tapi Alhta merasa kehilangan suasana meriah dan hangatnya. Ia juga belum pernah lagi masuk ke halaman Masjid Agung Bandung karena sering ditutup sehingga merasa segan dan tidak leluasa. 

Bagi banyak warga seperti Alhta, perubahan dan perkembangan di Alun-alun Bandung tak selalu seiring dengan perbaikan suasana. Bahkan bagi sebagian yang lain ada yang kehilangan dan merasa wajahnya sudah kian memudar.  Atau sebenarnya Bandung sudah tidak memiliki alun-alun lagi? seperti yang pernah ditulis oleh Ir. Suwardjoko Warpani M.Sc,. dalam Harian Pikiran Rakyat edisi 12 Oktober 1984 dengan judul “Sebenarnya, Bandung Sudah Tidak Punya Alun-alun”. ***

Jalur Kereta Api Bandung-Kopo 12 Februari 1921

Oleh: Aditya Wijaya

Buku Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo op 12 Februari 1921 (Delpher)

Ada satu buku yang menarik perhatian saya tatkala sedang menjelajahi situs Delpher. Buku itu berjudul “Ter Herinnering aan de Opening van de Lijn Bandoeng – Kopo Op 12 Februari 1921”. Ingatan saya langsung kembali kepada kegiatan Momotoran bersama Komunitas Aleut di tahun 2020 silam, yang dijuduli “Jejak Kereta Api Bandung-Ciwidey”. Dalam Momotoran itu saya dan rekan-rekan menelusuri jejak-jejak yang tersisa dari keberadaan jalur kereta api, khususnya jalur Bandung-Kopo-Ciwidey.

Sesuai dengan judulnya, buku yang saya temukan ini tentunya berisi bahasan seputar pembukaan jalur kereta api dari Bandung ke Kopo (Soreang). Berikut ini saya sarikan isinya.

Jalur kereta api Bandung-Soreang pertama kali dibangun dengan adanya permintaan prioritas dari A. A. Maas Geesteranus (pernah menjabat sebagai wakil direktur Perusahaan Kina Pemerintah) di tahun 1897. Kemudian diikuti oleh beberapa permintaan lainnya. Konsesi terakhir diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem. Namun, direktur G.B. (Gouvernement Bedrijven) saat itu tidak menyetujui rancangan teknisnya, sehingga masih diperlukan perundingan lebih lanjut.

Pada tanggal 3 Agustus 1915, perusahaan tersebut memberitahu pihak S.S. (Staatsspoorwegen) bahwa mereka memutuskan untuk menawarkan kembali konsesinya kepada pemerintah. Mereka mengetahui bahwa pihak S.S. bersedia untuk mengelola jalur kereta Bandung-Kopo dan ingin agar pemerintah dengan segera melaksanakan proyek ini. Hasilnya adalah pencabutan konsesi yang diberikan kepada perusahaan Tiedeman van Kerchem melalui Keputusan G.B. tanggal 24 Februari 1916 No. 2 tahun 1912. Direktorat Pemetaan S.S. diberi tugas untuk “merekam jalur yang dimulai dari Bandung atau Cikudapateuh dan menuju ke ibu kota distrik Banjaran dan Kopo”. Rancangan awal jalur tersebut disetujui oleh Kepala Insinyur saat itu, Kepala Pemetaan S.S., P. A. Roelofsen, pada tanggal 30 Oktober 1916.

Manfaat Ekonomi Jalur Bandung-Kopo

Lahan datar seluas lebih dari 500 km persegi di sekitar Bandung dipotong secara horizontal oleh jalur kereta api dan jalan raya besar. Bagian ini memisahkan antara selatan dan utara. Bagian selatan jalur-jalur ini merupakan bagian yang paling penting, terutama karena perkembangan budaya pertanian dan perkebunan dari daerah pegunungan. Produk pertaniannya antara lain: gula aren, singkong, kacang, tembakau, bawang, kentang dan sayuran. Selain itu menghasilkan juga padi yang hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat jika didistribusikan dengan baik.

Kota Bandung dan sekitarnya yang padat penduduk memberikan pasar yang luas bagi semua produk ini. Menghasilkan harga yang baik dan memberikan kesejahteraan bagi para produsen. Perkebunan Eropa berkontribusi besar terhadap kesejahteraan ini. Sekitar 35 tahun lalu (dari 1921) hanya ada beberapa perkebunan tahap awal saja namun kini semuanya telah berkembang dengan sangat pesat.

Jalur alami pengangkutan perkebunan ini menuju ke Bandung. Selain itu perlu diperhatikan juga adanya eksploitasi kayu oleh pemerintah dalam kompleks hutan yang besar. Kayu-kayu tersebut dapat diangkut ke Bandung dengan kereta dan dijual di sana. Jalur kereta ini bukan hanya diinginkan, tetapi dapat disebut sebagai suatu kebutuhan yang mendesak.

Lokasi Jalur Kereta

Jalur ini memilikik titik awal sementara di Kawasan Karees, Bandung. Jalur ini terhubung dengan jalur utama kereta melalui jalur kereta barang ke perhentian Kiaracondong. Dikarenakan kepadatan luar biasa di jalur utama yang sudah ada, tidak memungkinkan untuk memulai jalur ini dari stasiun utama Bandung.

Halte Karees (Buku)
Halte Soreang (Buku)

Dari Karees, jalur ini bergerak ke arah selatan menuju Buahbatu dan terus mengikuti jalan menuju Dayeuhkolot. Dengan adanya perhentian di Dayeuhkolot, di sana terdapat pusat listrik besar dan rumah bagi para personel jalur kereta api. Kawasan ini menjadi tempat inti permukiman.

Setelah perhentian Dayeuhkolot, jalur ini menyeberangi Sungai Citarum dengan jembatan berukuran 20 + 40 + 20 meter. Setelah jembatan, ada jalur yang sedang dibangun menuju Majalaya, yang juga akan terhubung dengan jalur Bandung-Kopo.

Sebelum perhentian Banjaran, ada jembatan darurat untuk menyeberangi Sungai Citalutuk. Perhentian Banjaran ini sangat strategis karena berada di depan pasar. Di sini tersedia ruang yang cukup untuk tempat penyimpanan kayu, penyimpanan minyak dan gudang untuk menyimpan produk-produk pertanian sebelum dikirim dengan kereta api.

Jembatan Citalutuk (Buku)
Jembatan Cisangkui (Buku)

Ada juga jembatan darurat untuk melewati Sungai Cisangkui yang terletak di belakang Banjaran dan Sungai Ciherang. Beberapa kilometer kemudian akhirnya mencapai titik akhir di Kopo, juga dikenal sebagai Soreang. Di perhentian ini juga tersedia ruang yang cukup untuk fasilitas serupa seperti disebutkan untuk perhentian Banjaran.

Data dan Informasi Jalur

Jalur Bandung-Kopo secara resmi disebut sebagai “Jalur Trem”. Namun, jalur ini dibangun sebagai jalur kereta api, artinya kekokohannya memungkinkan semua kereta dari jalur utama untuk melewatinya tanpa perlu memindahkan muatan. Layanan penumpang dioperasikan antara titik akhir Karees dan Soreang, sementara jalur penghubung Karees dan perhentian Kiaracondong di jalur utama digunakan untuk langsung mengirimkan kereta barang.

Perbedaan karakteristik antara jalur trem ini dengan jalur utama adalah bahwa jalur ini akan dilewati dengan kecepatan terbatas. Hal ini dikarenakan kontruksi atasan awalnya dibuat lebih ringan. Dibuat dengan rel No. 2 dengan berat 25-75 kg per meter. Ketika volume lalu lintas meningkat atau jika dilakukan elektrifikasi di masa mendatang, kontruksi atasannya yang ringan dapat digantikan dengan yang lebih kuat.

Pembuatan jembatan-jembatan dihitung berdasarkan standar beban tahun 1911 yang juga digunakan untuk jalur utama Cirebon-Kroya. Jalur trem ini panjangnya sekitar 26 km dari Karees hingga Soreang. Kemiringan maksimum adalah 10 derajat antara Bandung dan Banjaran, 25 derajat antara Banjaran dan Soreang. Kecepatan maksimum kereta api sementara ini tidak akan melebihi 30 km per jam. Sebanyak 235 ribu meter kubik tanah digali dan 5200 meter persegi dinding batu dibangun untuk konstruksi.

Pembangunan jalur Bandung-Kopo diperintahkan oleh undang-undang pada tanggal 1 Juni 1918. Beberapa kendalah menghambat pekerjaan di seluruh jalur secara bersamaan karena beberapa alasan. Rencana jalur Bandung-Buahbatu harus disesuaikan dengan rencana kereta api di Bandung yang saat itu tidak menentu. Bagian Banjaran-Soreang perlu diteliti lebih lanjut karena adanya rencana perpanjangan jalur ke Ciwidey. Kendala-kendala tersebut tentu saja menyebabkan keterlambatan dan baru pada akhir tahun 1919 pembangunan di seluruh jalur mulai berjalan lancar.

Pada saat pembangunan jalur ini, kesulitan yang sama terjadi seperti saat pelaksanaan pekerjaan penting di Bandung, yaitu kekurangan pekerja dan keterlambatan pengiriman material. Hal menariknya adalah bahwa penduduk lokal begitu sejahtera sehingga hanya sedikit dari mereka yang tertarik untuk bekerja dengan upah harian selama pembangunan. Sebagai solusi, banyak tenaga kerja diimpor dari luar, seperti dari Cirebon.

Kekurangan lokomotif dan kereta api yang terjadi selama perang juga memperlambat pembangunan. Ketidakstabilan pasar dunia menyebabkan keterlambatan pengiriman rel dan jembatan. Bahkan sampai sekarang, ketika jalur ini sudah beroperasi, beberapa jembatan yang diperlukan masih belum dikirim dari Eropa. Meskipun harus menghadapi semua kesulitan itu, pembangunan berjalan dengan lancar. Dengan adanya koneksi rel ini, sebuah proyek pemerintah telah terwujud, proyek yang akan memiliki dampak positif dalam lingkup yang lebih luas.

Peta jalur kereta api (Buku)
Peta jalur kereta api (Buku)

***

Sekitar Bandung Lautan Api: Dayeuhkolot, Cilampeni

Oleh: Komunitas Aleut

Jembatan Dayeuhkolot, baru (kiri) dan lama (kanan). Foto: Deuis Raniarti.

PERTAHANAN DI SEPANJANG GARIS DEMARKASI CI TARUM

Setelah Kota Bandung dikosongkan pada tanggal 24 Maret 1946 (baca tulisan sebelumnya dalam serial “Sekitar Bandung Lautan Api” ini), baru keesokan harinya pasukan Inggris berani memasuki daerah Bandung Selatan. Saat itu, AH Nasution sebagai Komandan Divisi III sudah menempatkan markas komandonya di Kulalet, di sisi selatan Jembatan Dayeuhkolot. Resimen 9/Bandung yang dipimpin oleh Letkol Gandawijaya, Resimen 8/Cililin yang dipimpin Abdurachman, Resimen Pelopor yang dipimpin Abdullah, dan MP3 yang dipimpin oleh Sutoko, masing-masing sudah mengambil posisi pertahanan di sepanjang sungai Ci Tarum. Pertahanan-pertahanan baru berada di Dayeuhkolot, Cilampeni, Batujajar, dan di timur Ujungberung.

Continue reading

Jalinan Wisata Jalur Kereta Api Mati & Wisata Perkebunan Rancabali, Ciwidey (Bagian 2)

Sampul buku panduan tour bergambar foto lama Jembatan Rancagoong (Tropen Museum @mooibandoeng)

Sampul buku panduan tour bergambar foto lama Jembatan Rancagoong (Tropen Museum @mooibandoeng)

Baca : Jalinan Wisata Jalur Kereta Api Mati & Wisata Perkebunan Rancabali, Ciwidey (Bagian I)

Oleh : Rizka Fadhilla (@rizka_fdhlla)

Gambung terletak di kaki Gunung Tilu dan di bagian belakangnya terletak wilayah Pangalengan. Narasumber bercerita bagaimana beratnya upaya Rudolf Eduard Kerkhoven merintis perkebunan di wilayah Ciwidey dan Pangalengan. Setelah mengolah lahan gambung bekas perkebunan kopi milik pemerintah yang sudah tak terurus menjadi perkebunan teh yang berhasil, R.E. membelah hutan Gunung Tilu yang pekat oleh pepohonan berukuran raksasa untuk membuka perkebunan baru di Pangalengan.

Perkebunan baru ini diberi nama Malabar, menggunakan nama daerah di India tempat asal teh yang ditanam di sini. Continue reading

Catatan Perjalanan: Ngaleut Situ Aul

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

“Ngaleut Situ Aul. Kumpul jam 6.36 di Kedai Preanger,” begitulah yang tertera pada poster yang di-post di Instagram Komunitas Aleut. Aku bersemangat sekaligus sedikit khawatir  karena  ini adalah ngaleut pertamaku di bulan Ramadan, khawatir medannya terlalu berat dan bisa berakibat batal puasa. Tapi daripada disawang mending langsung buktikan sendiri. Jadilah hari itu aku ikut mendaftar rombongan Ngaleut Situ Aul.

Pukul 7 pagi aku sudah sampai di Kedai. Saat itu baru ada dua teman aleut yang sampai, ternyata ada yang lebih terlambat dari aku. Mungkin efek sahur membuat ngantuk lebih lama sehingga mereka bangun terlambat. Dimaklum.

Sambil menunggu teman-teman yang lain, aku membuka beberapa referensi bacaan yang ada di internet tentang Situ Aul. Aku tertarik dengan penamaan situ itu. Setahuku aul adalah sebuah nama mahluk, bisa disebut siluman atau sejenisnya berbadan manusia dan berkepala anjing yang posisi kepalanya menghadap ke belakang. Mungkin situ itu ada hubungannya dengan mahluk “campuran” itu. Belakangan Bang Ridwan memberitahu bahwa aul adalah salah satu jurig legenda di tanah Sunda.

Pukul 07.30 kami berangkat menuju Situ Aul. Cuaca tidak terlalu panas dan tidak mendung juga selain itu jalanan tidak terlalu macet. Tapi cuaca sekarang tidak bisa diprediksi. Mudah berubah-ubah bak perasaan manusia saja.

Dari Kedai kami belok kiri ke arah Buah Batu – Baleendah – Bojongsoang – Banjaran – Dayeuh Kolot kemudian belok ke kiri ke arah Jl. Raya Pangalengan sampai ke Cimaung. Itu rute kota, aku sempat mengantuk ketika melewati jalan-jalan itu. Baru ketika sampai di PLTA Cikalong kantukku hilang akibat semrawutnya jalan yang mengakibat kemacetan. Jadi ingat cerita Abang tentang kemacetan dan orang –orang yang menggerutu karenanya.

Aku perhatikan memang selalu ada orang seperti itu padahal ia menjadi bagian dari kemacetan itu sendiri. Ada satu yang membuatku tertawa. Saat macet itu, aku lihat ada seorang pengendara, ia tampak tidak sabar dengan macetnya jalanan. Setiap celah ia coba masuki berharap semoga itu bisa membawanya lepas dari kemacetan. Bukannya bisa lolos ia malah terjebak di sumber kemacetan itu sediri. Aku yang ada di belakangannya bisa mendahului dia. Sabar saja. Semua akan indah pada waktunya. Skip! Continue reading

Dewata yang Masih Menjadi Misteri

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

Ngaleut Dewata. Bali? Sepertinya bukan. Ya memang bukan karena Dewata yang dimaksud di sini adalah nama sebuah perkebunan teh di daerah Gunung Tilu, Bandung, sekitar 30 km dari Ciwidey. Kebun seluas 600 ha ini merupakan pemasok bahan baku untuk brand Lipton dan brand lainnya di luar negeri. Keindahan tersembunyi yang harus dicapai dengan melewati jalanan yang sangat rusak. Itulah yang aku baca sekilas tentang Dewata dari berbagai sumber di internet.

Minggu, 30 April 2017 kami berangkat ke Dewata. Kedai Preanger di Jl. Solontongan yang menjadi titik kumpul keberangkatan sudah mulai dipenuhi teman-teman yang akan ikut ngaleut. Terlihat motor-motor sudah berbaris rapi di depan kedai. Motor-motor jarang dicuci bahkan jarang di-service tapi layak jalan dan tetap bisa diajak melewati medan apapun. Asli! Ini bukan ngebagus-bagusin motornya anak Aleut tapi jika kamu mau bukti, silahkan ikut gabung dan lihat sendiri penampakan asli motor mereka.

Rute awal adalah rute aman karena itu masih daerah perkotaan. Kedai – Batununggal – Mengger – Dayeuhkolot – Cisirung – Sayuran – Rancatungku bisa dilewati dengan baik. Begitu masuk ke Bandasari, perjalanan mulai memasuki tahap siaga satu. Jalanan sudah mulai menampakan permukaan kasarnya, kami mulai menemukan jalan berlubang dan genangannya. Terlebih jalan ini baru pertama kali kami lewati sehingga kami sedikit mengandalkan GPS.

Tiba di Leuweung Datar, maka dimulailah perjalanan yang sesunguhnya. Sudah tidak bisa diprediksi bagaimana bentuk jalannya selanjutnya. Leuweung Datar tak sedatar namanya. Dikiranya datar tapi ini malah kebalikannya. 20 motor yang ikut ngaleut harus melewati tanjakan ini. Masya allah… Continue reading

Pengalaman Menarik Di Ngaleut Dewata

Oleh: Mey Saprida Yanti (@meysaprida)

Gelap, dingin, mencekam. Tidak pernah terpikir sebelumnya akan mengalami ketiga hal tersebut secara berbarengan, saat ngaleut ke Perkebunan Teh Dewata bersama Komunitas Aleut di penghujung April kemarin. Kalau pulangnya malam hari, saya sih sudah menduga, karena esok hari adalah May Day, libur di hari senin.

Sebelum mulai Ngaleut, beberapa teman sudah mempelajari peta. Rencananya kami akan melalui jalur yang tidak biasa. Belum ada teman yang pernah melaluinya, kecuali dari Buahbatu ke Cangkuang via Mengger.

Dewata, selain nama perkebunan the, juga merupakan nama Gunung. Kebun teh Dewata berada di sekitaran Gunung Tilu yang merupakan hutan konservasi, sehingga banyak hewan yang dilindungi di dalamnya.

Pukul 07.17 menjadi waktu kumpul kami. Sebetulnya diharapkan semua bisa datang lebih pagi karena beberapa jalur yang akan dipilih belum pernah dilewati sebelumnya. Kalau sampai pergi terlalu siang, dijamin semua pegiat akan pulang larut malam.

Kami memulai perjalanan sekitar pukul 08.00. Semua tampak bersemangat untuk memulai perjalanan. Ada beberapa teman baru yang bergabung, perjalanan didominasi oleh kaum hawa berhijab, membuat para lelaki semakin bersemangat untuk memulai perjalanan. Pengalaman baru telah menanti kami di sana, perjalanan yang kami lalui pasti menjadi perjalanan indah yang tidak terlupakan. Continue reading

Aku, Kalian, dan Pengalaman Menuju Dewata

Oleh: Rulfhi Alimudin Pratama (@rulfhirama)

Minggu pagi di saat matahari masih malu-malu untuk menampakan diri. Saya dan rekan-rekan Komunitas Aleut sudah bersemangat untuk momotoran ke Dewata. Dewata kali ini bukanlah sebuah tempat berpantai dengan pasir putih dan ratusan bikini berjemuran. Dewata yang akan kami singgahi kali ini adalah sebuah perkebunan teh yang terletak di daerah Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Kami berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan 20-D, sekitar pukul 7.30. Sebelum berangkat tentunya alangkah baiknya memastikan lagi semua perlengkapan tak ada yang ketinggalan. Setelah kawan-kawan datang semua dan telah dapat partner untuk mengarungi perjalanan kali ini, maka bersiaplah petualangan akan dimulai. Saya pun mendapat partner Teteh dari Gagak yang datang sedikit terlambat karena menunggu mamang Gojek. Total 20 motor yang ikut momotoran kali ini dengan massa sejumlah 38 orang.

Continue reading

Bale Endah

image

Malam itu saya mampir ke sebuah vila milik keluarga teman di perbukitan Bale Endah. Letaknya agak sukar saya bayangkan sebelumnya. Vila di Bale Endah? Pemandangan apa yang bisa didapatkan dari sana? Sawah? Tambang batu? Atau permukiman padat?

Setelah melewati jalan kecil di perkampungan padat, jalur jalan mulai sepi. Di sisi kanan menjulang tebing yang sudah terbuka oleh penambangan. Lewat sedikit lagi, di atas gawir, di situ letak Villa Batu. Vila modern tiga lantai, masing2 memiliki balkon. Di sekeliling halaman ditanami pohon2 buah. Nyaman.

Letak vila ini sebetulnya membelakangi Kota Bandung. Dari halaman depannya saya mengamati bayangan tebing dan perbukitan di belakangnya. Tentu saja tak banyak yang dapat saya lihat, hanya perkiraan kawasan saja. Di sebelah kanan, di balik kampung, sudah saya ketahui sebuah danau, Situ Sipatahunan. Ke sebelah kiri, di ujung tebing itu lereng landai menurun sampai jalan raya utama Bale Endah.

24 Maret 1946, seorang wartawan muda bernama Atje Bastaman sedang berada di Pameungpeuk, Garut. Dari atas Gunung Leutik dia dapat menyaksikan langit kawasan Bandung memerah mulai dari sekitar Cimindi sampai Cicadas.

Continue reading

Siapakah Chabanneau? – Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Seri Tionghoa Bandung dalam Roman (3)

Siapakah Chabanneau?

Ada informasi yang cukup mengejutkan ketika menelusuri jejak literatur yang menyinggung nama Chabanneau ini. Seorang antropolog, James T Siegel, menguak kabar bahwa ternyata sang penulis roman sesungguhnya adalah seorang pemeras.

Roman (3) 18 februari
Cuplikan pemuatan artikel ini (bagian 3) di HU Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2015.

Dalam buku Siegel berjudul Fetish, Recognition, and Revolution, Chabanneau diidentifikasi sebagai seorang laki-laki. Siegel berkali-kali menyematkan kata ganti dalam bahasa Inggris “his” atau “him” kepada Chabanneau yang menunjukkan bahwa subjek yang sedang diceritakan adalah seorang laki-laki.

Menurut Siegel, cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda (yang diduga adalah nama samaran Hermine) kepada seorang pria bernama Lie Tok Sim. Continue reading

Annaa Maria de Groote (1755-1756)

CAM00455.jpg_effectedB

Ini soal nisan lagi.
Sejak disinggung oleh Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984), nisan yang satu ini hanya beredar sebagai kabar burung saja tanpa pernah ada catatan dari seseorang yang benar-benar melihatnya.

Haryoto Kunto menyampaikan cerita nisan ini dengan mengutip buku karya Reitsma & Goodland tahun 1921, disebutkannya bahwa bukti sejarah paling otentik tentang kehadiran pertama orang Belanda di daerah sekitar Bandung hanya ditunjukkan oleh sebuah batu nisan dengan nama Anna Maria de Groote, anak Sersan de Groote, yang meninggal pada hari Rabu tanggal 28 Desember 1756, pada jam 24.00. Disebutkan usia Anna Maria 1 tahun 3 bulan 4 hari. Nisan ini ditemukan di Dayeuhkolot. Continue reading

Stasiun Radio Malabar-Gunung Puntang

Foto koleksi Tropen Museum.

Foto koleksi Tropen Museum.

Kawasan wisata Gunung Puntang yang merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Malabar, terletak di desa dan kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Kawasan ini sempat pusat perhatian dunia pada tahun 1923 karena saat itu pemerintah Hindia Belanda berhasil mendirikan stasiun radio pemancar yang pertama dan terbesar di Asia. Untuk memancarkan gelombang radio digunakan bentangan antena sepanjang 2 km antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Kontur lembah di kawasan yang terpencil ini ternyata sangat mendukung efektivitas rambat gelombang yang mengarah langsung ke Nederland. Sebagai pendukung tenaga listriknya, dibangun pula sejumlah pembangkit listrik, di antaranya PLTA Dago dan PLTA Plengan dan Lamadjan (di Pangalengan) serta sebuah PLTU di Dayeuhkolot.

Pada tahun 1923 ditambahkan sebuah kompleks hunian bagi para karyawan stasiun pemancar ini. Kompleks yang disebut sebagai Radiodorf (Kampung Radio) ini memiliki sejumlah fasilitas seperti rumah karyawan, gedung pemancar, lapangan tenis, kolam renang, dan konon juga sebuah bioskop. Sayang semuanya kini hanya tinggal puing berserakan saja. Di seantero kawasan ini bisa dengan mudah kita temui sisa-sisa bangunan, bekas-bekas fondasi yang sering tertutup semak, serta sisa-sisa antena yang masih tersebar di area pegunungan. Saat ini di reruntuhan bangunan yang tersisa dipasang plakat-plakat nama para pejabat yang pernah tinggal di situ.

Perintisan dan pembangungan Stasiun Radio Malabar dilakukan oleh seorang ahli teknik elektro Dr. Ir. C.J. de Groot sejak 1916. Pembangunan antena di Gunung Puntang sudah dilakukannya sejak 1917. Setelah mengalami kegagalan, de Groot akhirnya bisa menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 1923 (antena Telefunken yang diterima di Batavia pada 1919, baru selesai terpasang pada 1922). Stasiun Radio Malabar kemudian diresmikan oleh Gubernur Jenderal de Fock pada tanggal 5 Mei 1923. Continue reading

Nganjang ka Dayeuhkolot-Banjaran

Ini catatan dari dua tahun lalu setelah ngaleut bareng @KomunitasAleut. Daripada hilang ditelan multiply, saya unggah lagi di sini, lumayan buat bahan ngabuburit atau yang ingin jalan-jalan ke daerah sana..

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 1
MONUMEN MOHAMMAD TOHA
Pada hari Minggu lalu, 20 Maret 2011, Komunitas Aleut! mengadakan kunjungan ke daerah Dayeuhkolot dengan tema utamanya mengenang peristiwa Bandung Lautan Api (BLA – 1946). Sebagian kita mungkin sudah mengetahui kaitan Dayeuhkolot dengan BLA. Di sinilah seorang tokoh kontroversial , Mohammad Toha, meledakkan gudang mesiu Belanda. Bukan hanya ketokohan Moh. Toha yang kontroversial, namun kronologi peristiwanya pun lumayan simpang-siur, maklum tak ada seorang pun yang secara langsung menyaksikan atau mengetahui secara persis peristiwa itu. Koran Pikiran Rakyat pernah mengadakan investigasi intensif pada tahun 2007 dengan mewawancarai sejumlah tokoh yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mungkin berkaitan. Di antara mereka ada yang juga mengenali Moh. Toha secara pribadi.

Hasil investigasi Pikiran Rakyat kemudian dimuat secara berturut selama seminggu penuh. Termasuk di antaranya adalah tulisan dari kalangan akademisi serta laporan masyarakat pembaca. Tidak semua hal menjadi terang-benderang setelah peliputan itu, bahkan sempat pula ada keraguan tentang wajah Moh. Toha yang beberapa fotonya ditampilkan dalam liputan koran itu.

P1630607B

Kunjungan Komunitas Aleut! hari itu tidak hendak ikut nimbrung dalam kontroversi ini melainkan sekadar mengenalkan saja secara selintas peristiwa bersejarah yang hampir terlupakan itu. Di Dayeuhkolot kami dapat kunjungi lokasi peledakan gudang mesiu yang sekarang sudah menjadi kolam. Sebuah laporan berdasarkan ingatan, dari Misbah Sudarman, menyebutkan tentang sebuah lubang yang menganga dan dalam, sementara di sekitarnya tanah menggunung dalam radius 25 meter. Rumah-rumah Belanda dan warga di sekitar lokasi itu hancur berantakan. Saat diwawancarai pada tahun 2007, Misbah Sudarman berusian 72 tahun.

Sekarang lokasi bekas ledakan itu sudah menjadi kolam dengan air berwarna coklat. Di salah satu sisinya terdapat sebuah karamba besar. Beberapa orang tua tampak memancing di pinggiran kolam. Di depan kolam didirikan dua buah monumen, satu monumen berupa patung dada Moh. Toha dan di belakangnya sebuah monumen yang menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara yang terperangkap dalam kobarannya. Di sebelah kiri monumen ini terdapat tembok prasasti berisi 15 kotak marmer. Pada 13 kotak di antaranya terpahatkan daftar nama pejuang yang gugur dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Dua kotak di sudut kanan bawah masih tampak kosong. Di bagian atas tembok prasasti ini terdapat ornamen kobaran api.

P1630629B

Di seberang kolam, agak kurang menonjol, tampak tembok memanjang dengan relief cerita seputar BLA. Agak sulit untuk menangkap isi relief ini karena selain letaknya yang jauh di seberang kolam, tidak terdapat warna-warna yang dapat membantu penglihatan selain sedikit warna emas yang tampaknya sudah luntur dan kusam. Warna yang mendominasi hanyalah warna batu andesit yang menjadi bahan tembok ini. Dengan zoom kamera saya dapat lihat gambaran umum relief yang berisi hal-hal seputar BLA. Ada gambaran umum pertempuran, Soekarno-Hatta, truk-truk militer, tulisan-tulisan “Merdeka”, “Bengkel Sepeda Motor Cikudapateuh”, dan “Dengki Amunition”. Paling kanan adalah relief ledakan gudang mesiu.

P1630598B

Di depan Patung dada Moh. Toha terletak kompleks Batalyon Zeni Tempur 3/YW. Dalam dua kali kunjungan ke monumen ini ternyata selalu ada tentara yang menghampiri menanyakan tujuan kedatangan dan izin kunjungan. Mungkin kedatangan rombongan Aleut! ke tempat ini terlihat tak lazim, apalagi dengan begitu banyak kegiatan pengamatan dan foto-foto. Sementara itu di belakang monumen terletak gedung Komando Daerah Militer 0609 – Komando Rayon Militer 0908 Dayeuhkolot. Kompleks monumen ini memang terletak di tengah-tengah kawasan militer Dayeuhkolot, jadi bila ingin berkunjung sebaiknya persiapkanlah berbagai hal yang diperlukan terutama yang berkaitan dengan perizinan.

Dengan menggunakan angkutan kota baik dari arah Buahbatu/Bale Endah atau dari arah Kebon Kalapa dan Tegalega, jarak tempuh ke lokasi ini tidak akan lebih dari 30 menit saja, kecuali di hari-hari biasa yang umumnya selalu macet. Markas militer dan monumen ini dengan mudah terlihat di sisi jalan. Selain itu jalur angkutan kota dari kedua arah itu juga mewakili peristiwa BLA karena merupakan jalur-jalur utama pengungsian masyarakat Kota Bandung ke daerah selatan setelah Bandung dijadikan lautan api.

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 2
MAKAM LELUHUR BANDUNG
Dari Monumen Moh. Toha, rombongan Aleut! melanjutkan kunjungan ke kompleks makam bupati di Kampung Kaum.
Kompleks makam ini terletak agak tersembunyi di tengah kampung. Di ujung gang sudah tampak sebuah gapura putih dengan pintu besi yang masih terkunci. Kompleks makam seluas satu hektare ini dibentengi oleh tembok yang juga berwarna putih. Tanah ini adalah tanah wakaf dari keluarga Dewi Sartika.
Pada tembok depan terpasang sebuah prasasti marmer bertuliskan nama-nama tokoh yang dimakamkan di situ :
– Ratu Wiranatakusumah (Raja Timbanganten ke-7)
– R. Tmg. Wira Angun-Angun (Bupati Bandung ke-1)
– R. Tmg. Anggadiredja II (Bupati Bandung ke-4)
– R. Adipati Wiranatakusumah I (Bupati Bandung ke-5)
– R. Dmg. Sastranegara (Patih Bandung)
– R. Rg. Somanegara (Patih Bandung)
– R. Dmg. Suriadipradja (Hoofd Jaksa Bandung)
Selain nama-nama yang tercantum di atas, masih banyak nama tokoh lain yang dimakamkan di sini yang mungkin menarik untuk ditelusuri karena sedikit-banyak mungkin menyimpan cerita tentang sejarah Bandung.

P1630645B

Di tengah kompleks terdapat empat buah makam bercungkup yang seluruhnya adalah makam pindahan. Masing-masing adalah makam R. Tmg. Wira Angun-Angun, Bupati Bandung pertama (1641-1681), yang dipindahkan dari Pasirmalang, Bale Endah, pada tahun 1984; Ratu Wiranatakusumah yang dipindahkan dari tempat asalnya di Cangkuang, Leles, pada tahun 1989; Makam R. Rg. Somanegara yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Ternate; dan R. Dmg. Suriadipradja yang dipindahkan dari tempat pembuangannya di Pontianak. R. Dmg. Suriadipradja adalah ayahanda Dewi Sartika. Dua tokoh terakhir ini dipindahkan pada tahun 1993. Seluruh pemindahan dilakukan oleh Yayasan Komisi Sejarah Timbanganten-Bandung.

Peristiwa apakah yang melatari pembuangan Somanegara dan Suriadipradja? Pada tanggal 14 dan 17 Juli 1893 telah terjadi suatu keriuhan yang dikenal dengan sebutan “Peritiwa Dinamit Bandung”. Saat itu di Pendopo Bandung tengah berlangsung perayaan pengangkatan R. Aria Martanegara sebagai Bupati Bandung. Beliau yang keturunan Sumedang, sebelumnya menjabat sebagai Patih Onderafdeling Mangunreja (Sukapurakolot) dan diminta oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk menggantikan Bupati Bandung R. Adipati Kusumadilaga yang wafat pada 11 April 1893. Saat itu putera Kusumadilaga, R. Muharam baru berusia empat tahun, sehingga tidak bisa menggantikan ayahnya. Pejabat sementara dipegang oleh Patih Bandung, R. Rg. Somanegara.

P1630274

Pengangkatan Martanegara sebagai bupati ternyata diterima dengan kekecewaan mendalam oleh Somanegara. Menurut tradisi yang berlaku, pengganti pejabat pribumi yang wafat adalah putra sulungnya. Hak ini tidak dapat diganggu-gugat, namun dengan syarat tambahan yang pelanjut harus cakap untuk jabatan tersebut. Dalam kasus tertentu, dapat juga menantu melanjutkan jabatan mertuanya seperti yang terjadi pada Bupati Bandung pertama, Wira Angun-Angun, yang menyerahkan jabatan kepada menantunya. Kasus lain terjadi juga pada Bupati Tanggerang di tahun 1739. Walaupun bupati tersebut memiliki tiga orang putera, namun pemerintah memilih untuk mengangkat menantunya sebagai pengganti jabatan Bupati Tangerang.

P1630277

R. Rg. Somanegara adalah menantu Dalem Bintang atau Adipati Wiranatakusumah IV, Bupati Bandung sebelum R. Kusumadilaga. Kesempatannya untuk menjadi Bupati Bandung telah dua kali diabaikan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pertama, saat mertuanya, R. Adipati Wiranatakusumah IV, wafat pada 1874, ia harus menerima keputusan pemerintah yang memilih untuk mengangkat saudara Wiranatakusumah IV yaitu R. Kusumadilaga. Yang kedua, saat pemerintah memilih mengangkat seorang keturunan Sumedang, R. Aria Martanegara, sebagai pengganti Bupati Bandung, R. Kusumadilaga.

Karena itulah mungkin Somanegara merasa kecewa sehingga merencakan pembunuhan terhadap Residen, Asisten Residen, Bupati Bandung dan Sekretarisnya. Caranya adalah dengan melakukan pendinamitan di beberapa lokasi. Di antaranya di sebuah jembatan di atas Ci Kapundung dekat Pendopo dan di panggung direksi pacuan kuda di Tegallega. Hasil pengusutan polisi mendapatkan 8 orang tertuduh yang berada dalam pimpinan R. Rg. Somanegara dan ayahanda Dewi Sartika, R. Dmg. Suriadipradja. Pemerintah memutuskan untuk membuang kedua tokoh ini masing-masing ke Ternate dan Pontianak.

Kembali ke kompleks makam. Dulu, wilayah kompleks makam ini adalah bekas pusat pemerintahan Kabupaten Bandung saat masih berada di Krapyak. Di sinilah terletak Pendopo Kabupaten. Mengelilingi Pendopo ini terdapat bangunan-bangunan seperti tajug (sekarang sudah menjadi mesjid) dan kantor kabupaten yang lahannya sekarang sudah habis menjadi permukiman. Bale pertemuan terletak di wilayah Bale Endah sekarang. Dekat dengan pusat pemerintahan ini terletak titik pertemuan sungai Ci Kapundung dengan Ci Tarum, yaitu di Cieunteung yang sekarang bernama Mekarsari.

P1630818B

Semestinya setelah dari kompleks Makam Leluhur Bandung, perjalanan akan dilanjutkan ke Cieunteung, namun karena juru kunci selintas menyebutkan sebuah kabuyutan di Batu Karut, maka saya secara spontan mengajukan usul untuk sekalian menyambangi tempat itu. Sebelumnya saya sudah pernah dua kali mengunjungi tempat itu, namun kali ini suasana yang saya temui agak berbeda.

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 3
BUMI ALIT KABUYUTAN, BATU KARUT
Perjalanan ke lokasi ini kami tempuh dengan dua buah angkot borongan. Lama perjalanan sekitar 15-20 menit. Tiba di lokasi, kami masih harus mencari juru kunci dulu karena kompleks situs ternyata terkunci. Dari luar tampak plang bertuliskan “Situs Rumah Adat Sunda (Bumi Alit Kabuyutan) – Lebakwangi Batu Karut – Kec. Arjasari Kab. Bandung”.

P1630744B

Juru kunci, Bapak Enggin, segera membukakan gerbang dan mengajak semua peserta untuk berkumpul di bale. Pertanyaan utama dari beliau adalah “Apa tujuan kunjungan ini?.” Usia sepuh membuatnya berbicara sangat perlahan dengan artikulasi yang kurang tegas, karena itu semua Aleutians merapat sangat dekat agar dapat menyimak dengan baik. Bagi beberapa teman, usaha ini cukup sia-sia, karena Pak Enggin menggunakan bahasa Sunda dengan banyak kata yang tidak terlalu biasa terdengar dalam percakapan sehari-hari di kota.

Inti cerita, Pak Enggin menyampaikan berbagai simbol yang terdapat dalam Bumi Alit Kabuyutan. Semua simbol ini berkaitan dengan filosofi kehidupan dan keagamaan yang menjadi pedoman hidup masyarakat penganutnya. Menurutnya, Batu Karut adalah pusat penyebaran agama Islam dengan menggunakan siloka. Misalnya saja ukuran rumah yang 5×6 meter dikaitkan dengan rukun Islam dan rukun Iman. Perkalian dari ukuran itu adalah jumlah juz dalam Quran. Angka-angka yang sama terulang lagi dalam menceritakan isi Bumi Alit. Di dalamnya terdapat 5 buah pusaka, yaitu lantingan, pedang, keris, badi, dan tumbak. Kelima pusaka ini ditempatkan dalam sumbul yang sekaligus menjadi pusaka keenam. Semua pusaka dibungkus oleh 5 lapis boeh.

Penceritaan dan diskusi soal filosofi ini berlangsung cukup lama dan intensif. Namun yang seringkali terjadi dalam kunjungan ke situs-situs keramat seperti ini adalah tidak ada keterangan sejarah yang memadai. Kebanyakan pertanyaan akan dijawab dengan agak kabur atau tidak tahu. Misalnya saja pertanyaan asal mula rumah adat ini, siapa pembangunnya,siapa yang menghuni, bagaimana kisahnya hingga menjadi tempat penyimpanan benda pusaka, dst. Bapak Enggin hanya selintas saja bercerita tentang situs Gunung Alit yang berada dekat dengan Bumi Alit. Di Gunung Alit terdapat beberapa makam tokoh dengan fungsi pemerintahan dan sosial di Batu Karut dahulu.

Masing-masing makam tersebut adalah Mbah Lurah yang memegang urusan pemerintahan, Mbah Wirakusumah sebagai panglima, Mbah Patrakusumah urusan seni-budaya, Mbah Ajilayang Suwitadikusumah bagian keagamaan, dan Mbah Manggung Jayadikusumah. Nama terakhir ini tak saya temukan fungsinya dalam catatan yang saya buat, tampaknya terlewatkan.

Selain itu Bapak Enggin juga bercerita tentang upacara adat dan tata cara berziarah. Pada bagian ini saya kesulitan mencatat detail sesajian yang semuanya juga dihubungkan dengan filosofi kehidupan. Secara sepintas saya juga bertanya tentang sertifikat yang sebelumnya saya lihat terpajang di rumah Bapak Enggin. Sertifikat itu dikeluarkan oleh Depdikbud Dirjen Kebudayaan Direktorat Kesenian, Jakarta, tahun 1993 bagi peserta Festival Musik Tradisional Tingkat Nasional 1993 di Jakarta. Obrolan pun berlanjut ke kesenian yang dianggap asli Batu Karut, yaitu goong renteng atau sering juga disebut goong renteng Mbah Bandong dengan istilah bandong yang dikaitkan dengan asal-usul nama kota Bandung. Maksudnya adalah bahwa dalam kesenian gamelan ini terdapat dua buah goong yang ngabandong atau berpasangan, berhadapan.

Laras dalam gamelan goong renteng berbeda dengan yang umumnya dikenal, mereka menyebutnya laras bandong. Instrumen lain yang dipergunakan dalam gamelan ini adalah sejenis bonang yang disebut kongkoang, gangsa (sejenis saron), paneteg (sejenis kendang), dan beri yang mirip gong namun tidak berpenclon. Penggunaan gangsa dapat menunjukkan ketuaan kesenian ini karena biasanya tidak digunakan lagi dalam gamelan umumnya. Demikian juga dengan gong beri yang biasanya digunakan dalam peperangan dengan fungsi sebagai penanda. Gong beri tidak lazim digunakan dalam gamelan namun masih dapat ditemui digunakan dalam iringan seni bela diri tradisional.

Selain goong renteng, di daerah ini juga dapat ditemukan seni terebangan (sejenis rebana), reog, barongan, dan beluk. Beberapa tahun lalu, seorang teman peneliti musik dari Perancis pernah mengajak untuk menyaksikan dia merekam kesenian beluk di beberapa tempat, di antaranya di Banjaran. Saya masih selalu menyesal karena saat itu berhalangan untuk memenuhi undangan-undangannya. Namun akhirnya saya sempat juga beberapa kali menyaksikan kesenian ini diperagakan di Sumedang.

P1630714B

 

Ngaleut Dayeuhkolot-Banjaran Bagian 4
SEKILAS SENI BELUK
Seni beluk adalah seni vokal tanpa iringan instrumen khas masyarakat Sunda yang sekarang ini sudah langka sekali ditemui. Sebarannya adalah wilayah agraris dan terutama di dataran-dataran tinggi, mulai dari Banten hingga Sumedang dan Tasikmalaya. Namun sayangnya sebaran yang luas ini tidak berarti bahwa seni beluk (mungkin juga seni tradisional lainnya) memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi perubahan zaman. Salah satu yang masih bertahan adalah beluk dari Batu Karut, Desa Lebakwangi, Banjaran.

Di Lebakwangi seni beluk masih cukup sering ditampilkan dalam upacara-upacara seperti yang berhubungan dengan kelahiran bayi. Penyajiannya biasa dilakukan di ruang tengah rumah dengan alas tikar. Penyaji beluk yang biasanya terdiri dari empat orang duduk bersila diapit keluarga tuan rumah dan membentuk pola lingkaran. Penyajian seperti ini terasa agak aneh buat saya mengingat “nyanyian” beluk yang banyak berbentuk lengkingan vokal. Lengkingan seperti ini memang akan terasa ingar-bingar bila dikumandangkan dalam ruangan tertutup seperti di rumah. Namun tampaknya sekarang hal ini sudah menjadi kelaziman pula.

Sampul album Beluk-Dzikir produksi STSI Surakarta.

Sampul album Beluk-Dzikir produksi STSI Surakarta.

Seni lengking vokal ini diperkirakan berasal dari tradisi bersawah-ladang sebagai media komunikasi antarpetani. Masyarakat Baduy dulu sering berteriak dengan nada mengesankan bila sedang berada dalam hutan atau ladang sorang diri. Teriakan yang bisa dilakukan sebagai pengusir sepi atau juga memberitahukan keberadaannya di dalam hutan. Konon bentuk nyanyian dengan nada-nada tinggi, mengalun dan meliuk-liuk adalah bagian dari ekspresi masyarakat ladang saat berkomunikasi dengan sesama komunitasnya yang mempunyai pola tinggal menetap namun saling berjauhan.

Seni beluk mirip dengan karinding dalam hal tidak termasuk kategori seni pertunjukan dan lebih bersifat hiburan personal, sarana menghibur diri, dan pengusir rasa sepi. Belakangan, kesenian ini lebih banyak dipakai untuk keperluan ritual seperti dalam syukuran 40 hari kelahiran bayi. Ada empat orang penyaji utama dengan peranan yang berbeda. Disebut penyaji utama karena sebetulnya hadirin juga diperbolehkan untuk turut serta menyajikannya. Empat peranan tersebut adalah 1) tukang ngilo atau juru ilo, 2) tukang ngajual, 3) tukang meuli, dan 4) tukang naekeun.

Tukang ngilo adalah pembaca syair secara naratif. Pembacaan dilakukan dalam tempo sedang dengan artikulasi yang jelas dan dibacakan per padalisan (baris). Syair-syair beluk berasal dari naskah-naskah cerita babad atau wawacan dan disajikan dalam bentuk pupuh yang berjumlah 17, yaitu asmarandana, balakbak, dandanggula, durma, gambuh, gurisa, juru demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom, dan wirangrong.

Tukang ngajual menyanyikan syair yang dibacakan tukang ngilo sesuai dengan pupuhnya, namun cara menyanyikannya tanpa ornamen. Tukang meuli melanjutkan sajian tukang ngajual dengan tambahan ornamen pelengkap. Sedangkan tukang naekeun melanjutkan sajian tukang meuli dengan nada-nada tinggi dan meliuk-liuk. Di bagian ini ornamentasi vokal sangat dominan sehingga artikulasi tidak diutamakan dan bisa menjadi sangat kabur. Setiap tukang naekeun menyelesaikan satu bait, seluruh hadirin dan para penyaji lainnya memungkas lagu secara secara bersama (koor).

Dalam penyajian beluk dikenal beberapa teknik, seperti nyurup yaitu kesesuaian dengan laras yang dibawakan; jentre artikulasi yang jelas; eureur kesesuaian vibrasi dengan kalimat lagu; senggol ketepatan ornamentasi; leotan ketepatan nada yang digunakan; embat walaupun musik vokal ini bertempo bebas, namun tetap ada acuan metris-melodis kendati sangat samar; pedotan ketepatan waktu untuk mengambil nafas; renggep atau saregep keseriusan dalam penyajian; cacap kata demi kata harus disajikan sampai tuntas; bawarasa ekspresi dalam penyajian; dan bawaraga penegasan suasana dengan gestur yang dianggap menarik.

Sebagai bentuk kesenian yang lahir dari keseharian masyarakat agraris yang sederhana, dalam penyajiannya seni beluk tidak menerapkan aturan berpakaian tertentu. Yang paling umum ditemui menggunakan baju takwa, sarung, kopiah, dan celana panjang saja. Pembagian peranan dalam penyajian beluk juga memberi ciri masyarakat agraris yang senang bergotong-royong, bekerja-sama dan berkomunikasi secara harmonis.

 

© 2025 Dunia Aleut

Theme by Anders NorenUp ↑