Secuil Kisah Momotoran Bareng Komunitas Aleut

Secuil kisah momotoran 1

Oleh: Deuis Raniarti (@deraniarti)

“……. i’m coming home, i ‘m coming home,
tell the world that i’m coming home,
let the rain wash away
all the pain of the yesterday…”

Sepasang penyuara telinga tersemat pada indra pendengaran. Lagu Coming Home yang dilantunkan Skylar Grey menemani perjalanan saya ke kota Bandung. Saya pikir lagu ini cukup tepat dengan suasana saat ini. Baca lebih lanjut

Iklan

Kelas Literasi: Menggabungkan Semangat Berbagi, Berdiskusi dan Konsistensi

Oleh: Hendi “Akay” Abdurahman (@akayberkoar)

JIKA BOLEH BERASUMSI, bisa dikatakan Jogja adalah kota penerbit. Dari sekian banyak penerbit yang ada di Kota Gudeg ini, beberapa di antaranya sudah saya kenal karena memang buku-buku hasil terbitannya berjejer rapi di rak kecil yang sering saya kunjungi di Pustaka Preanger–perpustakaan milik Komunitas Aleut.

Sedangkan Bandung, kota tempat saya tinggal ini, adalah kota yang cukup terkenal dengan berbagai macam komunitas. Dari sekian banyaknya komunitas yang ada di Bandung, Komunitas Aleut –komunitas pengapresiasi sejarah Kota Bandung dan sekitarnya– adalah salah satu komunitas yang saya ikuti.

Dua perbedaan dari kedua kota ini sangat saya rasakan betul. Di Jogja, tumbuh pesatnya penerbit-penerbit terutama penerbit baru semakin hari semakin gencar. Di sisi lain, Bandung seperti yang sudah saya sebutkan tadi, dengan ragam komunitas yang ada, menjadikannya sebagai salah satu kota yang menjadi kiblat komunitas di Indonesia.

Ternyata tak hanya itu, beberapa tahun ke belakang, kantung-kantung literasi mulai terasa menggeliat di Kota Bandung. Walaupun bukan dalam hal penerbitan (karena menurut saya Jogja masih yang terdepan kalau dalam urusan ini) namun beberapa kegiatan seputar literasi mulai mewabah di kota yang konon dulunya pernah dijuluki sebagai Kota Kuburan ini.

Karena tinggal di Bandung, saya sangat merasakan geliat itu. Salah satu buktinya adalah kegiatan yang dilaksanakan di akhir tahun 2016 dengan tema “Pekan Literasi Kebangsaan” yang mana acara ini diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat, tempat bersejarah karena menjadi tempat pembacaan pledoi Bung Karno di tahun 1930.

Jauh sebelum kegiatan itu, dalam komunitas yang saya ikuti, saya sudah cukup sering melakukan kegiatan seputar literasi yang mencakup dalam berbagai hal: membaca, menulis, mendengarkan, dan juga menyimak. Ditambah dengan diskusi lainnya yang setiap Sabtu rutin dilaksanakan. Kegiatan itu bernama Kelas Literasi Pustaka Preanger. Baca lebih lanjut

Catatan Perjalanan: Ngaleut Situ Aul

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

“Ngaleut Situ Aul. Kumpul jam 6.36 di Kedai Preanger,” begitulah yang tertera pada poster yang di-post di Instagram Komunitas Aleut. Aku bersemangat sekaligus sedikit khawatir  karena  ini adalah ngaleut pertamaku di bulan Ramadan, khawatir medannya terlalu berat dan bisa berakibat batal puasa. Tapi daripada disawang mending langsung buktikan sendiri. Jadilah hari itu aku ikut mendaftar rombongan Ngaleut Situ Aul.

Pukul 7 pagi aku sudah sampai di Kedai. Saat itu baru ada dua teman aleut yang sampai, ternyata ada yang lebih terlambat dari aku. Mungkin efek sahur membuat ngantuk lebih lama sehingga mereka bangun terlambat. Dimaklum.

Sambil menunggu teman-teman yang lain, aku membuka beberapa referensi bacaan yang ada di internet tentang Situ Aul. Aku tertarik dengan penamaan situ itu. Setahuku aul adalah sebuah nama mahluk, bisa disebut siluman atau sejenisnya berbadan manusia dan berkepala anjing yang posisi kepalanya menghadap ke belakang. Mungkin situ itu ada hubungannya dengan mahluk “campuran” itu. Belakangan Bang Ridwan memberitahu bahwa aul adalah salah satu jurig legenda di tanah Sunda.

Pukul 07.30 kami berangkat menuju Situ Aul. Cuaca tidak terlalu panas dan tidak mendung juga selain itu jalanan tidak terlalu macet. Tapi cuaca sekarang tidak bisa diprediksi. Mudah berubah-ubah bak perasaan manusia saja.

Dari Kedai kami belok kiri ke arah Buah Batu – Baleendah – Bojongsoang – Banjaran – Dayeuh Kolot kemudian belok ke kiri ke arah Jl. Raya Pangalengan sampai ke Cimaung. Itu rute kota, aku sempat mengantuk ketika melewati jalan-jalan itu. Baru ketika sampai di PLTA Cikalong kantukku hilang akibat semrawutnya jalan yang mengakibat kemacetan. Jadi ingat cerita Abang tentang kemacetan dan orang –orang yang menggerutu karenanya.

Aku perhatikan memang selalu ada orang seperti itu padahal ia menjadi bagian dari kemacetan itu sendiri. Ada satu yang membuatku tertawa. Saat macet itu, aku lihat ada seorang pengendara, ia tampak tidak sabar dengan macetnya jalanan. Setiap celah ia coba masuki berharap semoga itu bisa membawanya lepas dari kemacetan. Bukannya bisa lolos ia malah terjebak di sumber kemacetan itu sediri. Aku yang ada di belakangannya bisa mendahului dia. Sabar saja. Semua akan indah pada waktunya. Skip! Baca lebih lanjut

Dewata yang Masih Menjadi Misteri

Oleh: Aozora Dee (@aozora_dee)

Ngaleut Dewata. Bali? Sepertinya bukan. Ya memang bukan karena Dewata yang dimaksud di sini adalah nama sebuah perkebunan teh di daerah Gunung Tilu, Bandung, sekitar 30 km dari Ciwidey. Kebun seluas 600 ha ini merupakan pemasok bahan baku untuk brand Lipton dan brand lainnya di luar negeri. Keindahan tersembunyi yang harus dicapai dengan melewati jalanan yang sangat rusak. Itulah yang aku baca sekilas tentang Dewata dari berbagai sumber di internet.

Minggu, 30 April 2017 kami berangkat ke Dewata. Kedai Preanger di Jl. Solontongan yang menjadi titik kumpul keberangkatan sudah mulai dipenuhi teman-teman yang akan ikut ngaleut. Terlihat motor-motor sudah berbaris rapi di depan kedai. Motor-motor jarang dicuci bahkan jarang di-service tapi layak jalan dan tetap bisa diajak melewati medan apapun. Asli! Ini bukan ngebagus-bagusin motornya anak Aleut tapi jika kamu mau bukti, silahkan ikut gabung dan lihat sendiri penampakan asli motor mereka.

Rute awal adalah rute aman karena itu masih daerah perkotaan. Kedai – Batununggal – Mengger – Dayeuhkolot – Cisirung – Sayuran – Rancatungku bisa dilewati dengan baik. Begitu masuk ke Bandasari, perjalanan mulai memasuki tahap siaga satu. Jalanan sudah mulai menampakan permukaan kasarnya, kami mulai menemukan jalan berlubang dan genangannya. Terlebih jalan ini baru pertama kali kami lewati sehingga kami sedikit mengandalkan GPS.

Tiba di Leuweung Datar, maka dimulailah perjalanan yang sesunguhnya. Sudah tidak bisa diprediksi bagaimana bentuk jalannya selanjutnya. Leuweung Datar tak sedatar namanya. Dikiranya datar tapi ini malah kebalikannya. 20 motor yang ikut ngaleut harus melewati tanjakan ini. Masya allah… Baca lebih lanjut

Bayah dan Perjalanan Seru Lainnya

Oleh: Mey Saprida Yanti (@meysaprida)

Aku ikut Susur Pantai Selatan Jilid II bersama Komunitas Aleut dan Tim Djeladjah Priangan. Susur pantai pertama sangat menyenangkan, total perjalanannya sekitar 400 km dengan rute Bandung – Pangalengan – Cisewu – Rancabuaya – Pameungpeuk – Karang Tawulan – Cikatomas – Singaparna – Garut – Bandung.

Sementara kali ini kami menyusuri Pantai Selatan Jawa Barat ke arah Barat: dari Cianjur, Sukabumi sampai Bayah di Banten Selatan. Meskipun aku pernah ke Bayah, tepatnya ke Pantai Sawarna, tapi aku ingin merasakan kebersamaan bersama teman-teman Aleut lagi. Seperti mimpi, perjalanan ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Awalnya tidak terlalu berniat, hanya ingin melakukan perjalanan saja.

Jum’at malam (24 Maret 2017), kami berkumpul di Kedai Preanger, Jalan Solontongan No. 20-D, Buahbatu. Sekitar pukul 20.00 WIB kami makan malam terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. Setelah makan dan semua teman telah berkumpul, kamipun briefing. Tujuan pertama adalah Ciwidey via Bojongsoang. Ya, kami akan mencari penginapan di dataran tinggi Bandung Selatan.

Agar keuangan perjalanan terjamin, kami patungan 100 ribu per orang sebagai kas perjalanan. Dana terkumpul 1,7 juta dengan total yang melakukan perjalanan 18 orang dan 10 motor. Dua orang teman tidak punya pasangan dalam perjalanannya, yang satu tidak ikut rombongan dari awal, kami akan bertemu di Cidaun.

Ciwidey

Ciwidey Valley, kami tiba di sana sekitar pukul 22.00. Tapi kami tidak menginap di Ciwidey Valley melainkan penginapan yang ada di depannya. Kami menyewa satu kamar dengan empat tempat tidur, satu tempat tidur bisa cukup 4 sampai 5 orang. Sebagian teman tidak bisa tidur karena suhu udara yang cukup dingin, ada yang lebih memilih berbincang sehingga mengundang teman lain yang juga susah tidur untuk bergabung.

Sebelumnya telah diperingatkan kepada teman-teman semua agar istirahat yang cukup, karena esok harinya akan melanjutkan perjalanan panjang. Di luar rencana awal, esoknya kami tidak akan berhenti di Sukabumi, melainkan langsung ke Bayah. Keputusan ini diambil karena ada sebagian teman yang akan pulang duluan di hari Minggu: pekerjaannya sudah menanti, maka diupayakan agar semua bisa sampai di Bayah.

Sabtu pagi, perjalanan yang sesungguhnya baru dimulai. Karena cuaca dingin, sebagian teman memilih untuk tidak mandi, walaupun begitu tapi tetap semangat untuk melakukan perjalanan. Baca lebih lanjut

#InfoAleut: Kelas Literasi “Perpustakaan Bagian 2” dan Ngaleut Gunung Hejo

Malam, Aleutians! Mati gaya karena “jaga kandang” di Bandung long weekend ini? Ayo mending gabung di dua acara seru dari kami, karena dijamin ga akan bikin mati gaya 😀

Besok di Kelas Literasi pekan ke-90 kita akan membahas Perpustakaan Bagian 2. Setelah dua minggu sebelumnya adalah bagian mukadimah soal perpustakaan, nah di pekan ini kita bakal juga belajar bareng dan praktek pengelolaan perpustakaan Dijamin seru deh, makanya langsung aja merapat ke Kedai Preanger pukul 13.45 WIB.

Di hari Minggu-nya kita bakal momotoran ke arah barat di Ngaleut Gunung Hejo. Ya seperti biasa, kita ga akan hanya ke satu lokasi saja. Ga jauh dari rest area KM-97 ada bukit yang pohonannya masih terlihat lebat. Bukit ini legendaris karena banyak mitos di baliknya. Nah nanti kita akan lihat juga ada apa sih di balik bukit itu.
Ayo ramaikan, kalau tertarik ikut langsung kontak via teks ke nomor 0896-8095-4394 atau LINE @FLF1345R dan kumpul di KedaiPreanger pukul 07.26 WIB.
Saat konfirmasi cantumkan juga keterangan bermotor atau tidak, dan bagi yang bermotor jangan lupa bawa dua helm ya.
Ayo gabung untuk menghindarkan diri dari mati gaya di long weekend ini. Sampai jumpa 😀

Komunitas Aleut: Bandung Pernah Mendapat Julukan Kota Kuburan

Oleh: Delila Deagrathia

BANDUNG, infobdg.com – Ngaleut punya arti jalan-jalan barengan. Tapi kalau komunitas Aleut bukan cuma jalan-jalan aja tapi juga mencari dan belajar mengenai sejarah Bandung. Jalan-jalannya juga beneran jalan kaki loh wargi Bandung. Setiap hari minggu dengan rutin komunitas ini mencari ilmu sejarah disudut-sudut kota Bandung. Selain jalan-jalan di Bandung, komunitas ini mendapatkan ilmu lebih dalam tentang Bandung.

 

Di setiap sudut kota Bandung banyak kejadian dan sejarah yang wargi Bandung belum banyak tahu. Nah komunitas Aleut ini bakal lebih mengenalkan Bandung dari masa ke masa. Kang Irfan Teguh, anggota dari komunitas Aleut menceritakan bahwa dulu Bandung pernah mendapat julukan kota kuburan. Dulu kawasan Banceuy merupakan area pemakaman untuk warga Tionghoa, Eropa dan Belanda namun dipindahkan ke Kebon Jahe yang sekarang menjadi Gor Pajajaran untuk area kuburan warga Eropa dan Belanda, untuk warga Tionghoa dipindahkan ke Babakan Ciamis kemudian dipindahkan lagi ke Cikadut.

Namun untuk warga pribumi, menguburkan Jenazah hanya dilakukan di perkarangan rumah saja. Namun akhirnya pemerintah Hindia-Belanda melarang dan merubah kawasan Sirnaraga dan Astana Anyar menjadi pemakaman umum untuk warga pribumi. Bisa wargi Bandung bayangkan semerawut apa kuburan pada jaman dulu, pemakaman yang dipindah-pindah. Bahkan komunitas aleut menemukan batu nisan makan orang Belanda yang sekarang dijadikan tempat menyuci. Baca lebih lanjut

Rasia Bandoeng

WhatsApp Image 2016-08-03 at 6.51.43 PM

RASIA BANDOENG
atawa 
Satu percinta-an yang melanggar peradatan “Bangsa Tiong Hoa” satu cerita yang benar terjadi di kota Bandung dan berakhir pada tahon 1917.

Diceritaken oleh Chabanneau *******

Diterbitkan pertama kali oleh Gouw Kim Liong, tahun 1918
Dicetak oleh Drukkerij Kho Tjeng Bie & Co., Batavia
Diterbitkan ulang dengan penambahan oleh Ultimus

Disalin dan diberi catatan oleh Komunitas Aleut!
Disunting oleh Ridwan Hutagalung
Rancangan sampul oleh Ridwan Hutagalung

Novel Rasia Bandoeng pertama kali terbit pada tahun 1918 secara bersambung dan seluruhnya terdiri dari tiga jilid.

Novel ini memang sempat heboh pada masanya karena isinya yang mengungkap sebuah kisah nyata hubungan cinta terlarang sesama marga Tionghoa di Bandung tempo dulu.

Sudah lama isi novel Rasia Bandoeng menjadi perhatian Komunitas Aleut, tidak melulu karena isi ceritanya tetapi juga karena banyaknya nama tempat yang disebutkan di situ. Di awal tahun 2016 ini Komunitas Aleut mengemas novel Rasia Bandoeng dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti Ngaleut Rasia Bandoeng, Tjerita Boekoe, dan terakhir, menerbitkan ulang novel lama itu dalam bentuk yang Anda terima sekarang ini.

Untuk penerbitan ulang novel Rasia Bandoeng ini, ketiga jilid yang semula terpisah sekarang digabung menjadi satu buku saja. Pada isi naskah dilakukan sedikit perubahan ejaan lama ke dalam ejaan baru, selebihnya disalin sesuai dengan aslinya. Selain itu ada tambahan catatan kaki untuk berbagai istilah yang sudah tidak umum sekarang, serta lampiran artikel investigatif oleh Lina Nursanty Rasia Bandoeng yang pernah dimuat secara serial di HU Pikiran Rakyat.

Penerbit : Ultimus
Cetakan : 1, Jun 2016
Pengarang: Chabanneau *******
Halaman : 296
Dimensi : 14.5 X 20.5 cm
ISBN : 978-602-8331-75-3

Harga umum 85,000

Pemesanan: 0859-7490-5769
Atau datang langsung ke
Kedai Preanger
Jl. Solontongan No.20-D, Buahbatu,
Bandung 40264

Harga di Kedai Preanger 75,000

Persib dan Literasi Bal-balan

Oleh: Arif Abdurahman (@yeaharip)

Saat rehat babak pertama laga tandang Persib yang melawat Persiba, saya menulisi akun @simamaungdengan pertanyaan retoris sok puitis: Kenapa sepi dan rindu diciptakan? Hanya tinggal mengklik tombol tweet, beruntungnya saya bukan makhluk yang kelewat iseng. Sebenarnya, enggak masalah sih sedikit jahil dengan salah satu media daring paling akrab di telinga bobotoh ini, hitung-hitung meredakan ketegangan skor kacamata di malam itu–malam Minggu yang niscaya akan jadi jahanam jika tanpa puisi dan Persib.

Sepakbola bukan cuma sebuah permainan, bukan hanya olahraga, ini adalah satu agama, sabda seorang Diego Maradona. Meski enggak tertulis di data KTP, tapi mayoritas warga Bandung sudah bisa dipastikan beragama Persib. Menonton Persib, baik berjamaah ke stadion atau di tempat nobar, atau sendiri-sendiri di rumah masing-masing, adalah ibadah fardlu bagi bobotoh. Maka dalam kegiatan rutin Kelas Literasi Komunitas Aleut! yang rutin diadakan hari Sabtu itu mengundang kawan-kawan pesohor dari @mengbal,@stdsiliwangi, @panditfootball, kang @riphanpradipta, dan kang @dumbq_ berbagi pengalaman, ide, dan informasi seputar sepakbola Bandung dan pengelolaan situs daring yang mereka jalankan.

“Saya lahir di Kediri, dan pernah tinggal di Malang, lalu sekarang tinggal di Bandung. Jadi saya sudah juara tiga kali,” ujar seorang penulis sepakbola yang hadir sore itu, yang kemudian disambut tawa oleh kawan-kawan lainnya. “Dari pengalaman saya itu, budaya sepakbola Bandung masih yang terdepan. Di sini sangat terbuka, kritik adalah hal yang bisa terjadi setiap hari. Di Bandung warga berderet di pinggir jalan menyambut bobotoh, sesuatu yang bahkan di Malang pun tidak terjadi.” Baca lebih lanjut

Rasia Bandoeng: Romeo & Juliet dari Citepus

Ditulis oleh Nia Janiar dan dipublikasikan di Kabut, Teh Melati, Susu Cokelat, dan Bimasakti

 

Hampir seabad yang lalu dari tahun Monyet Api ini, yaitu tahun 2467 atau tahun 1917 dalam kalender Masehi, sebuah roman terbit di Bandung. Roman yang bertajuk Rasia Bandoeng: Atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir Pada Tahon 1917 ini bukanlah roman biasa karena semua ceritanya berdasarkan kisah nyata yang bercerita tentang kehidupan percintaan warga Tionghoa yang kala itu dianggap “aib” karena melanggar adat istiadat di kalangan kaum Tionghoa. Penulisnya anonim, hanya menggunakan nama pena Chabanneau. Untuk pengetahuan, Chabanneau adalah sebuah merek cognac. Dan nama-nama tokoh di novel ini disamarkan, namun inisial yang digunakan sama.

Chabanneau menulis kisah tentang Tan Gong Nio (kemudian diceritakan dengan nama baratnya yaitu Hilda) dan Tan Tjin Hiauw. Keduanya memiliki marga yang sama yaitu Tan. Pada masa itu, menikah dengan marga yang merupakan hal yang dilarang karena dianggap memiliki hubungan saudara dan dapat menimbulkan kecacatan pada keturunannya.

Perkenalan Hilda dengan Tan Tjin Hiauw bermula saat dikenalkan oleh Helena yaitu Margareth Thio, kakaknya Hilda, yang merupakan teman Tan Tjin Hiauw. Saat itu Hilda masih sekolah dengan didikan ala Eropa, sementara Tan Tjin Hiauw sudah bekerja. Karena hubungan mereka terlarang, otomatis hubungan mereka dijalankan secara diam-diam. Surat-surat yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi dikirimkan melalui kurir. Berbeda dengan keluarga Hilda yang cenderung konservatif, keluarga Tan Tjin Hiauw cenderung membebaskan anak memilih untuk berhubungan dengan orang yang satu marga. Bahkan keluarga Tan Tjin Hiauw membantu Hilda lari dari rumah dan disembunyikan.

Untuk bisa bersatu dengan Tan Tjin Hiauw, Hilda rela meninggalkan keluarganya dan kabur ke Surabaya, kemudian Makassar, dan menikah di Singapura. Karena sakit hati, ayah Hilda yaitu Tan Djia Goan, mengumumkan di surat kabar Sin Po pada 2 Januari 1918 bahwa Hilda bukanlah bagian dari keluarga mereka lagi. Dihapus dari ahli waris.

Baca lebih lanjut