Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 2)

Oleh: Irfan Pradana Putra

PLTA CIJAMBE

PLTA Cijambe adalah salah satu Pembangkit Listrik Tenaga Air tertua yang ada di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Usia sebenarnya bahkan jauh lebih tua dibanding PLTA Gunung Tua yang juga terletak di Subang. Rencananya jika sempat, kami juga akan berkunjung ke Gunung Tua.

Air PLTA Cijambe bersumber dari dari kali Cigadog yang ditahan di danau Gunung Tua. Dua turbin tipe Francis digunakan untuk menggerakkan masing-masing alternator 600 kW Brown Boveri (1924), dengan jalur distribusi menuju Subang dan koneksi ke PLTA Cijambe serta Cinangling Dawuan.

PLTA Cijambe dengan tulisan “Tjidjambe  – Anno – 12 October 1952” di dindingnya. Foto: Komunitas Aleut.

Sebagaimana Bandung memiliki Perusahaan Listrik GEBEO yang membangun PLTA Dago Bengkok, Subang juga memiliki perusahaan serupa, namanya EDUCO Maatschappij ter Exploitatie van Openbare Werken op de Pamanoekan en Tjiasemlanden (Electricity Department Utilities Company) yang membangun tiga PLTA di Kabupaten Subang, yaitu Cijambe, Gunung Tua, dan Cinangling. Selain tiga PLTA itu, masih ada tambahan satu Pembangkit Listrik Uap di Pabrik Sisal/Agave Sukamandi dengan kapasitas 800 kW, yang menggunakan bahan bakar kayu dan sampah Sisal/danas.

Namun, bagaimana dengan kebutuhan listrik di daerah yang tidak terjangkau oleh ketiga PLTA tersebut – seperti Cipunagara, Manyingsal, Cigarukgak, Sumurbarang, Bukanagara, dan Jalupang?

Bukanagara, misalnya, memiliki saluran 6 kV yang diisi daya dari pembangkit listrik tenaga air dengan alternator berpenggerak roda Pelton sekitar 75 kW dan trafo step up sekitar 100 kVA, 380V/6kV. Manyingsal memiliki mesin diesel 50 hp yang menggerakkan generator DC Morse sekitar 20 kW (220V). Jalupang memiliki alternator 18 kW yang digerakkan oleh diesel. Tjipoenegara menggunakan lokomotif Marshall sekitar 80 hp yang menggerakkan generator DC sekitar 5 kW, 220V. Beberapa tempat seperti Cigarukgak, Sumurbarang, dan Tjipeundeuj (Cipeundeuy) menggunakan diesel lighting set di rumah manajer, umumnya pada 220 atau 110 volt. Hingga saat ini PLTA Cijambe masih beroperasi dan menjadi pemasok utama listrik di daerah Subang, khususnya Kasomalang hingga Ciater.

Selama berkeliling area PLTA Cijambe, kami ditemani oleh Pak Awang, salah satu pegawai yang sehari-hari mengontrol PLTA. Ia mengantar kami ke sebuah bangunan tua yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Menurut keterangannya, bangunan ini dulunya digunakan sebagai kantor administrasi PLTA. Kami juga sempat berbincang dengan Pak Awang perihal PLTA Gunung Tua. Ternyata secara rutin dan bergiliran Pak Awang juga bertugas mengontrol PLTA Gunung Tua.

Bekas Kantor Administrasi PLTA Cijambe. Foto: Komunitas Aleut.
Pak Awang. Foto: Komunitas Aleut.

Kami mulai mengitari sudut-sudut bangunan bekas kantor ini. Kondisinya sudah rusak berat. Langit-langitnya hampir tumbang, genting berguguran, serta dinding yang sudah koyak digerogoti usia. Sepertinya demit akan senang berlama-lama tinggal di bangunan seperti ini. Oleh karena itu saya melihat beberapa kali Pak Awang memberi isyarat agar kami membantunya mengabarkan kondisi bangunan ini supaya mendapatkan perhatian dari pemerintah atau pihak mana saja yang berwenang.

Saya tak berani berlama-lama berada di dalam bangunan itu. Khawatir kemujuran sedang menjauh, lalu tiba-tiba atapnya roboh menimpa batok kepala saya.

Saya memilih memandangi bangunan ini dari halamannya saja yang luas. Sore hari memang waktu yang pas untuk duduk-duduk di hamparan rumput sembari ngopi buah mangga muda. Kebetulan di sekitar PLTA terdapat pohon mangga yang mulai lebat, namun buahnya belum cukup matang untuk dipetik. Lumayanlah, mengobati pusing setelah berpanas-panas momotoran ngider Subang.

Langit mulai berubah redup dan waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Artinya, sudah terlalu larut untuk meneruskan perjalanan ke PLTA Gunung Batu, Pabrik Tambaksari, atau makamnya pesinden Titim Fatimah. Beberapa dari kami juga sudah tampak kelelahan. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di kediaman salah satu anggota Momotoran kali ini, Elisa, yang kebetulan memang warlok dari Cicariu.

DURIAN-DURIAN

Di tulisan sebelumnya sudah disebut bahwa di sepanjang perjalanan ini kami berkali-kali berpapasan dengan deretan pohon durian, bahkan di Kampung Adat Banceuy, jarak tangan saya dengan buah-buah durian hanya berbatas urat nyali saja. Walhasil kami hanya menikmati durian itu dalam angan.

Sejak awal sebetulnya kami tidak berencana mengunjungi rumah Elisa, namun karena ada seorang kawan yang sudah sangat kelelahan, maka kami putuskan mampir untuk rehat. Elisa bergegas mengabari orang di rumahnya bahwa kami akan berkunjung. Waktu surup telah datang ditambah tetesan air hujan mulai berjatuhan, kami harus segera tiba di rumah Elisa jika tak ingin basah kuyup.  Rumah Elisa berada di daerah Sagalaherang, Subang. Sepanjang perjalanan saya memperhatikan banyak jongko yang menjual durian siap santap.

Setiba di rumahnya, kami disambut oleh Ibu, Paman, serta Neneknya. Beruntung kami tiba sebelum hujan benar-benar turun. Mujur, mujur, mujur, meskipun ini merupakan kunjungan darurat yang mendadak, keluarga Elisa begitu baik hati dan ramah menerima kami. Mereka bahkan menyuguhi bermacam makanan. Mulai dari gorengan, ketan bakar, hingga –ini dia– akhirnya yang sepanjang jalan kami idam-idamkan: DURIAN!!!!

Bukan hanya satu atau dua buah saja, tapi TUJUH! Tujuh buah durian berbagai varian boleh kami tandaskan malam itu. Saya girang bukan kepalang. Apalah amalan kami sampai bisa semujur ini? Setelah berbincang, kami mengetahui dari mana asal durian ini. Kebetulan paman Elisa bekerja di kebun durian. Keluarganya pun punya beberapa pohon durian. Maka dari sanalah kemujuran ini berasal. Lihat betapa moleknya durian-durian ini, wahai pembaca budiman..

Sebenarnya ada beberapa jenis durian yang disuguhkan, tapi yang terfoto hanya dua jenis ini saja. Foto: Irfan Pradana Putra.

Mata saya langsung tertuju pada buah durian yang berwarna oranye pekat. Seumur hidup saya baru melihat langsung durian berwarna indah seperti itu. Sudah bisa dipastikan rasa dan harganya pasti luar biasa. Tanpa malu-malu, saya jadi orang  yang paling pertama mencoba durian bernama “Kane” ini.

Saat digigit teksturnya lebih padat, kering, dan sedikit bertepung dibanding durian yang biasa saya makan. Dagingnya cukup tebal. Beberapa dari kami menyebut teksturnya mirip Sawo Belanda.

Saya kalap melihat durian sebanyak ini. Inilah yang dinamakan sebagai mabuk durian. Beberapa kali Nenek Elisa mengingatkan bahwa saya masih harus menempuh perjalanan jauh, jadi jangan sampai nanti pusing karena terlalu banyak makan durian. Di sisi lain hati saya bergumam, “Kapan lagi makan durian sebanyak ini? Di Bandung kan mahal.” Apalagi saat itu hujan turun ngaririncik menambah nikmatnya rasa tiap durian yang masuk ke dalam mulut.

Hujan berhenti berbarengan dengan tandasnya durian yang terhidang. Momen ini menandai waktunya kami untuk pulang kembali ke Bandung. Tepat pukul tujuh malam kami memulai perjalanan pulang. Meninggalkan utang kunjungan ke PLTA Gunung Tua, Pabrik Tambaksari, Pabrik Ciater, dan Makam Titim Fatimah.

________________

“Berselang dua minggu kami kembali menggelar momotoran ke Subang. Kali ini kami langsung menuju pusat kota Subang untuk mengunjungi bangunan-bangunan lama yang memiliki keterkaitan dengan perkembangan kota Subang.’

Saya mengambil cuti kerja demi bisa mengikuti momotoran Subang Part-2 ini. Ternyata kebijakan cuti bersama pada tanggal 22 Desember 2023 tidak diikuti oleh seluruh perusahaan, termasuk perusahaan saya. Jadilah perjalanan ini saya ikuti sembari merasa kurang tenang karena mengoper beban kerja kepada teman lain.

Hingga ke Bukanagara kami melewati jalur yang sama dengan momotoran sebelumnya. Kami kembali melewati Tugu Pedati dan pabrik Teh Bukanagara. Sebab itu hari Jum’at, targetnya kami harus sudah berada di Cisalak sebelum waktu dzuhur tiba, agar para lelaki  Muslim yang ada dalam rombongan tetap bisa mengikuti salat Jumat.

Kami tiba di Tugu Pedati pukul 09:30, melewatinya dan beristirahat di sebuah cafe bernama Cupumanik Coffee. Dari luar tampak cafe ini didesain dengan gaya Bali. Ornamen kain bermotif catur hitam putih cukup mendominasi. Ditambah dengan instalasi sosok pewayangan, Semar, semakin menambah vibes Bali yang coba ditonjolkan.

Tak jauh dari cafe ini terdapat sebuah cottage yang masih dalam pengelolaan manajemen yang sama. Kami sempatkan melihat-lihat ke sana. Saya sendiri berbincang dengan pengelolanya dan menanyakan perihal tarif. Jika pembaca berminat, biaya menginap di cottage ini sebesar 750 ribu rupiah per malam. Bisa menampung hingga 6 orang dewasa.

Segelas Es Kopi serta beberapa cemilan saya kira sudah cukup untuk mengganjal perut. Kami melanjutkan perjalanan ke Cisalak, mengejar waktu salat Jum’at di masjid alun-alun Cisalak.

Cupumanik Coffee di Desa Cupumanik. Foto: Komunitas Aleut.
Cottage Cupumanik, masuk dari jalan perkebunan di sebrang Cupumanik Coffee. Foto: Irfan PP.

GOA JEPANG

Kami mengitari perbukitan Bukanagara untuk menuju Alun-alun Cisalak. Jalanannya terbilang mulus seperti baru saja diaspal. Saya begitu menikmati perjalanan karena sepanjang jalan disuguhi pemandangan lereng dan bukit-bukit yang indah. Kami mampir sebentar ke Goa Jepang yang diperkirakan dibuat pada tahun 1942 sebagai tempat perlindungan serdadu Jepang yang melewati jalur pedati menuju ke Bandung.

Kami merunduk-runduk coba memasuki bagian dalam goa yang gelap ini. Kondisi yang lembab membuat kesan seram. Saya kira goa ini panjang, “Sugan we kaluar-kaluar geus di Mekkah”, kelakar seorang kawan. Nyatanya goa ini pendek sekali, hanya 12 meter saja dengan tinggi sekitar 1,3 meter dan lebar 1,15 meter.

MAKAM RADEN RANGGA MARTAYUDA

Pada tulisan bagian pertama sempat disinggung mengenai Tugu Pedati yang berada di depan pabrik teh Bukanagara. Jika dicermati lebih dekat, pada bangunan tugu terdapat pahatan bertuliskan: “1847 PEMBUATAN DJALAN PEDATI BUKA NAGARA OLEH RADEN RANGGA MARTAYUDA, TUAN TANAH T.B. HOFLAND, P&T LANDS, SUBANG”

Udara begitu panas menyengat kulit. Saya memilih mengganti jaket dengan bahan yang lebih tipis. Kami akhirnya sampai di komplek pemakaman Astana Gede Gomati. Kami sempat kesulitan mencari makam Martayuda karena posisinya berada di bagian dalam. Bertambah sulit karena terbatasnya petunjuk. Setelah bertanya kepada warga yang kebetulan lewat, akhirnya kami bisa menemukan makam Martayuda.

Tugu Jalan Pedati. Foto: Komunitas Aleut
Makam Raden Rangga Martayuda di Astana Gede Gomati, Cisalak. Foto: Irfan Pradana Putra.

Nama Martayuda tidak bisa dilepaskan dari perkembangan P&T Lands, sebab Martayuda kala itu menjabat sebagai Demang Batusirap di wilayah P&T Lands. Kademangan Batusirap mencakup wilayah Bukanagara, Kasomalang, Sarireja, Ciater, dan Jagernaek. Ia bersama salah satu pemilik perusahaan P&T Lands membuka jalur jalan dari Cisalak ke Bukanagara, karena itulah namanya terpatri pada tugu pembukaan jalan pedati di Bukanagara.

“Panas pisan, Zur”. Berulang kali kalimat itu saya lontarkan pada Azura, partner momotoran saya. Azura bahkan sudah tak mengenakan jaket lagi saking panasnya Subang hari itu. Bahkan tiupan angin pun benar-benar terasa panas. Setelah dari Makam Martayuda, kami ke Alun-alun Cisalak. Di sini kami melaksanakan salat Jumat.

Sebagaimana Alun-alun di banyak tempat, Alun-alun Cisalak pun ramai dengan beragam penjual makanan. Usai kawan-kawan salat Jumat, kami makan siang di sana. Meskipun langit mulai mendung, hawa panas masih saja belum hilang. Saya kerap menyebutnya “bayeungyang”, yakni kata dalam bahasa Sunda yang berarti hawa yang panas lembap kendati matahari tidak terik menyengat.

WISMA KARYA

Rute perjalanan berikutnya dimulai ke arah Kasomalang, kemudian belok ke arah Kumpay, melewati perkebunan sawit, ke kanan menuju Cikadu, melewati kebun buah naga, sampai akhirnya kami tiba di dekat Subang kota dan langsung menuju ke Gedung Wisma Karya.

Eks Societeit Subang, kemudian jadi Gedung Wisma Karya, dan sekarang jadi Museum Daerah Kabupaten Subang. Foto: Irfan Pradana Putra.

Pada masa kolonial, gedung ini berfungsi sebagai sebuah societeit dan kerap digunakan sebagai balai pertemuan para pejabat P&T Lands. Kini gedung ini difungsikan sebagai Museum Daerah Kabupaten Subang. Gedung megah ini diresmikan pada tahun 1929 menjadi bagian dari perjalanan P&T Lands. Saya belum terlalu banyak membaca informasi mengenai gedung ini. Yang saya tahu dari beberapa artikel di media online, di museum Wisma Karya ini terdapat patung P. W. Hofland yang dulu sempat hilang dicuri.

Setelah memasuki gedung dan akhirnya berkesempatan melihat dari dekat patung Hofland yang terkenal itu. Sosok yang terus mondar-mandir dalam materi sejarah kota Subang. “Nu gaduh kota Subang”, begitu gurau kawan-kawan.

Patung Pieter Willem Hofland di Museum Subang. Foto: Irfan Pradana Putra.

Patung berbahan perunggu ini dibuat oleh pematung asal Prancis, Armand Cattier, pada tahun 1878. Awalnya patung ini ditempatkan di depan bangunan Wisma Karya. Bisa dilihat dari dokumentasi foto dari tahun 1915 dan 1920 berikut.

Dua foto patung P. W. Hofland koleksi KITLV.

Patung ini sempat berkali-kali berpindah tempat. Awalnya di gedung Societeit kemudian berpindah ke pusara Hofland di Kerkhoff Sukamaju. Setelah berpindah, patung ini sempat hilang dicuri hingga mengalami kerusakan pada bagian tangan sebelah kanan. Sampai akhirnya kini secara permanen ditempatkan dan dipamerkan sebagai koleksi Museum Subang.

KERKHOFF SUBANG / MAKAM KRISTEN SUBANG

Kalau boleh jujur, ini merupakan destinasi paling saya nantikan. Selama dua mingguan saya hampir “weureu” dengan info tentang Hofland. Namun satu hal yang selalu menarik perhatian saya adalah potret makamnya yang megah. Rasanya belum puas jika hanya melihat patungnya yang berada di museum. Saya ingin melihat patung itu terpasang menjulang tinggi di atas makam Hofland dengan mata dan kepala sendiri.

Monumen Hofland dan replikanya (kanan) di atas makam Keluarga Hofland di Kerkhoff Sukamaju. Foto: KITLV dan Irfan PP.

Kami akhirnya sampai di Kerkhoff Subang atau yang sekarang lebih sering disebut Makam Kristen Sukamaju. Akhirnya bisa melihat dari dekat makam dan patung Hofland. Meskipun sudah tahu dan menyiapkan diri kalau patung yang sekarang terpasang merupakan replika (karena yang asli ada di Wisma Karya), saya tetap merasa kecewa karena replika wajahnya jauh dari kata mirip. Menurut saya wajahnya lebih mirip Salvador Dali ketimbang Hofland yang ada di museum.

Meski begitu saya tetap memotret banyak-banyak makam itu. Kawan-kawan lain menyebar memotret beberapa makam tua lain yang ada di sana. Dari cerita kawan-kawan Aleut, kunjungan pertama komunitas ini ke makam Hofland dilakukan sekitar 15-17 tahun lalu. Ketika itu belum ada patung replika. Pun untuk mencapai makam Hofland, harus menembus rumput ilalang setinggi manusia dewasa.

Setelah cukup dengan area makam, kami melanjutkan perjalanan dengan mengitari area Subang kota. Melewati alun-alun Subang, menyambangi Grant House, dan bangunan tua terbengkalai bekas pesanggrahan yang dikelilingi oleh pohon rambutan. Saya dan Azura bekerja sama memetik rambutan. Saya naik ke pundaknya, gagal, hanya dapat beberapa buah saja, dan malah mendapat serangan gerombolan semut. Sial!

PLTA GUNUNG TUA

Kami sengaja menjadikan PLTA Gunung Tua dan Makam Titim Fatimah sebagai dua destinasi terakhir dalam Momotoran Subang kali ini. Karena perjalanan ke PLTA Gunung Tua memakan waktu dan tenaga yang tidak sedikit sehingga dikhawatirkan mengganggu destinasi lain.

Perjalanan ini juga mengajarkan kami untuk jangan terlalu percaya pada google maps, karena kami dibuat tersasar cukup jauh. Beruntung kami ditunjukkan jalan yang benar oleh warga yang sedang asyik memancing. Mendekati lokasi PLTA, kami semua dibuat ciut dengan kondisi jalannya. Saya rasa ini trek paling sulit pernah saya lewati selama mengikuti Momotoran bersama Aleut.

Motor kami dipaksa bertumbukan dengan jalan yang berbatu sebesar-besar bola voli. Tidak ada satu pun dari kami yang berboncengan berhasil sampai ke bangunan PLTA dengan utuh, penumpang wajib turun. Bahkan saya dan Azura berunding cukup lama apakah akan melanjutkan perjalanan atau menyerah. Terlebih Azura menyebut jaraknya kurang lebih masih 1 kilometeran.

Lelah sekaligus bingung datang bersamaan. Istilahnya maju kena mundur kena. Memilih berhenti dan pulang pun jalannya tetap buruk rupa, tidak ujug-ujug jadi mulus. Kami akhirnya putuskan untuk lanjut. Azura memilih berjalan kaki hingga ke lokasi bangunan. Sementara saya menahan rasa pegal di lengan karena harus menjaga keseimbangan di atas motor.

Saya dan Azura tiba bersamaan dengan napas yang terengah-engah. Kepikiran bagaimana pulangnya? Memikirkan harus kembali melewati jalanan rusak tiada ampun tadi untuk pulang membuat saya kurang enjoy mengeksplorasi bangunan PLTA Gunung Tua. Rudetlah, pokoknya.

Bangunan PLTA Gunung Tua yang terpencil. Tempat ini pernah dirusak pada masa revolusi kemerdekaan. Foto: Irfan PP,
Sebagian peralatan ini pernah terbakar pada tahun 1983 (atau 1989?) lalu diganti dengan mesin buatan pabrik Hyundai, Korea. Foto: Irfan PP.

PR banget ini mah pulangnya. Cukup sekali aja ke sini.” Itulah kalimat yang saya ucapkan kepada kawan-kawan lain. Tapi, mau seberat apapun ya tetap harus kami jalani. Memangnya mau menginap di bangunan PLTA? Hih..

Makam Maestro Sinden, Titim Fatimah

Suaranya khas, tinggi, cempreng melengking. Begitulah impresi awal saya ketika mendengarkan lagu-lagu yang di-haleuang-kan oleh Titim Fatimah. Ia menyanyikan lagu-lagu yang hingga kini masih sering dibawakan dalam pergelaran atau acara perkawinan. Meski begitu, saya lebih terpesona dengan kiprahnya di luar bidang tarik suara yang ia geluti. Pada masa jayanya, Titim Fatimah berkontribusi terhadap kondisi sosial di tempatnya tinggal, Subang.

Di Subang Titim Fatimah membangun sekolah dasar, yang menurut Elisa sebagai warga Subang, adalah SD Favorit. Semua orang tua berharap anaknya bisa masuk ke SDN Titim Fatimah. Elisa menambahkan jika ada perlombaan antar sekolah, siswa SDN Titim Fatimah memiliki semacam aura tersendiri yang mampu membuat ciut siswa-siswi dari sekolah lain.

Hari ini kami berkesempatan mengunjungi makam sekaligus sekolah yang ia bangun, buah dari kepiawaiannya sebagai sinden. Sayangnya kondisi makam Titim Fatimah kurang terawat, banyak tanaman liar, bahkan hingga menutupi nisannya.

TPU Istuning di Jalancagak, tempat makam Titim Fatimah berada (kiri), dan SDN Titim Fatimah (kanan). Foto: Irfan PP.

Langit sudah berubah jingga, menandakan SDN Titim Fatimah adalah tujuan terakhir kami pada Momotoran kali ini. Setelah memotret bangunan sekolah, kami langsung beranjak pulang kembali ke Bandung. Saya masih menyimpan perasaan yang mengganjal karena masih belum sempat mengunjungi pabrik teh Tambaksari dan Ciater. Semoga masih ada kesempatan untuk mengunjunginya. ***

3 thoughts on “Senyum Terkembang di Subang: Sebuah Catatan Perjalanan (Bagian 2)

  1. Raden siti rukiah rahayu says:

    maaf ,bpk tdk sopan ,menulis kakek kami ,,,mohon diralat , bpk menulis ,,martayuda , seenaknya saja,sy selaku keturunan nya menganggap hal itu tdk sopan , mohon hapus artikel ini , dan tulisannya tdk tepat , tdk berdasar kpd sumber primer ,ini penulis nya asal saja , tdk sepenuhnya paham. Sy hj.raden siti rukiah rahayu, eyang raden rangga martayuda adalah eyang kakek kami.

    Bpk ,tdk sopan dlm menulis nama, dimn alamat bpk? Brp no.WA bpk? Nomor sy ,083854145484.

    Bpk ,jgn seenaknya menulis,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *