Pembunuhan J.F.W. de Kort, Juragan Bioskop di Bandung

Oleh: Irfan Pradana

Foto: Lim Yap Collectables

Siapa yang hobinya menonton film di bioskop? Rasanya selalu menyenangkan menatap gambar bergerak di layar raksasa dilengkapi dengan tata suara yang menggelegar. Saat ini umumnya fasilitas bioskop berada satu gedung dengan pusat perbelanjaan. Di masa lalu kondisinya tidak begitu. Dulu bioskop memiliki gedung sendiri dan dikhususkan untuk memutar film.

Keberadaan bioskop dengan format seperti itu pernah menjamur di kota Bandung dari zaman kolonial hingga ke awal 2000-an. Kemunculan gedung-gedung bioskop tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pada awal abad ke-20 di kota Bandung.

Perubahan status Bandung menjadi Gemeente  semakin mendorong penambahan jumlah penduduk, terutama kalangan warga Eropa. Praktis hal ini berimbas juga pada kebutuhan sarana hiburan. Setelah taman, hotel, restoran, dan gedung pertemuan, bioskop tak ingin ketinggalan, turut meramaikan gemerlapnya kehidupan warga pada kala itu.

Mengutip artikel di mooibandoeng.com, gedung bioskop permanen baru muncul pada tahun 1908 dengan berdirinya Elita Biograph. Setelah itu bioskop-bioskop lain mulai menjamur, antara lain Varia, Oriental, Luxor, Roxy, Majestic, Rex, hingga Radio City. Menariknya, sederetan nama bioskop tersebut berada dalam kepemilikan utama dari tiga orang saja, yakni F.A. Busse, Thio Tjoan Tek, dan J.F.W. de Kort.

Usai menulis kasus pembunuhan oleh W.F. Winckel (Wakil Ketua Bandung Vooruit) yang sudah diunggah di sini beberapa waktu lalu, seorang kawan di Komunitas Aleut memberikan ide untuk terus mendokumentasikan kasus-kasus kriminal yang pernah terjadi di Bandung pada masa lalu. Saat mengobrol santai terkait bioskop di zaman baheula, kami menemukan sepotong cerita tentang hidup pengelola bioskop Radio City, J.F.W de Kort, yang berakhir tragis.

De Preangerbode 3 Januari 1956

J.​ F . W.​ de Kort lahir di Amsterdam pada tanggal 13 Juni 1903, namun telah tinggal di Bandung selama kurang lebih tiga puluh tahun sebagai pengusaha hiburan, salah satunya adalah mengelola bioskop Radio City yang kemudian hari berubah nama menjadi bioskop Dian. Setelah penyerahan kedaulatan RI, de Kort memilih jadi warga negara Indonesia.

Suatu pagi di awal tahun 1956 seorang warga yang tengah berjalan-jalan di seputaran Braga melihat bercak darah di depan pintu sebuah rumah di Jalan Kejaksaan. Rumah itu diketahui ditinggali oleh de Kort seorang diri.

Ia lalu melaporkan apa yang dilihatnya kepada polisi lalu lintas yang sedang berpatroli. Polisi itu datang ke tempat kejadian dan langsung mendobrak pintu depan rumah. Di dalam rumah ia mendapati tubuh de Kort yang sudah kaku bersimbah darah. Posisinya tergeletak di sebelah pohon natal yang masih tertata rapi. Sontak kabar ini langsung menjadi perhatian khalayak ramai.

Di sekitar tubuh korban ditemukan banyak barang berantakan, seperti lampu foto dan benda-benda lainnya. Sebuah pisau yang diduga digunakan untuk menusuk korban juga ditemukan di TKP. Setelah penyisiran TKP, polisi juga mendapati hilangnya jam tangan Rolex kepunyaan de Kort.

Polisi menduga bahwa pelaku menusuk korban secara tiba-tiba saat korban berada di kamar tidur. Dalam keadaan terluka parah, korban berusaha keluar dari kamar untuk mencari pertolongan, namun naas, ia keburu terjatuh dan akhirnya meregang nyawa di dekat pintu keluar. Kondisi TKP yang berantakan mengindikasikan pelaku berusaha menghilangkan jejak.

Kerumunan orang di depan rumah JFW de Kort saat berlangsungnya pemeriksaan oleh kepolisian. De Preangerbode 4 Januari 1956

Tindakan pelaku ini mampu menyulitkan upaya penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kota Bandung. Hingga tanggal 10 Januari 1956, di bawah arahan kepala reserse kriminal komisaris kepolisian kota Bandung, Rd. Hasan Machbul, menangkap 40 orang yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan de Kort. Keempat puluh orang itu terdiri dari 5 orang Eropa serta 35 orang gabungan warga lokal dan Tionghoa.

Salah satu tersangka yang diketahui adalah orang berinisial A.W.S. Ia merupakan warga negara Indonesia keturunan Belanda, berdomisili di Jakarta namun seringkali berada di Bandung. Namun akibat kurangnya bukti, seluruh terduga akhirnya dilepaskan.

Baru sebulan kemudian, tepatnya pada Kamis, 16 Februari 1956 sekitar pukul satu siang, polisi berhasil meringkus pelaku pembunuhan yang sesungguhnya. Tersangka bernama Haroen Ilham Sedjati, seorang pemuda berusia 21 tahun yang berasal dari Solo.

Ia ditangkap di daerah ABC saat mencoba menjual jam tangan Rolex yang ia curi dari rumah de Kort. Polisi yang melakukan penyamaran sebagai calon pembeli jam tangan Rolex berhasil menangkap si pelaku. Haroen langsung disergap, dan akhirnya mengakui seluruh perbuatannya. Ternyata ia sudah merencanakan pembunuhan terhadap Mr. de Kort sejak lama karena menyimpan dendam.

Pada malam kejadian, Haroen mendatangi rumah korban sekitar pukul 10 malam, menyelinap, dan menusuk korban hingga tewas menggunakan pisau yang telah ia siapkan. Setelah memastikan korban meninggal. Ia kemudian mengambil uang dan jam tangan korban sebelum melarikan diri ke Jakarta pada pagi harinya.

Haroen kembali ke Bandung keesokan harinya dan bersembunyi hingga akhirnya ditangkap saat hendak menjual jam tangan hasil curiannya. Meskipun telah melakukan pembunuhan keji, Haroen tampak tenang, bahkan sempat merokok sambil bercanda dengan polisi yang menjaganya. Atas perbuatannya, Haroen divonis penjara selama 15 tahun di lapas Banceuy.

De Preangerbode 21 Maret 1957

Baru setahun menjalani hukuman, kabar mengejutkan datang dari penjara Banceuy. Preangebode pada 21 Maret 1957 melaporkan Haroen tewas karena bunuh diri. Haroen mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di dalam tahanan.

Sumber berita: Preangerbode edisi 21 Maret 1957. Nieuwsblad van het Zuiden 9 Januari 1956, dan De Locomotief edisi 4 Januari 1956.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *