Bandoengsche Kunstkring, Bagian 2: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Pasang Surut Pasang

Bandoengsche Kunstkring mengalami hiatus selama lima tahun, semenjak tahun 1907 hingga 1912. Tahun-tahun itu organisasi ini tidak menggelar kegiatan. Kepengurusan pun mengalami kekosongan setelah terakhir diketuai oleh Schaik.

Lima tahun masa kekosongan itu berakhir di tahun 1912, saat kepemimpinan Kunstkring berada di tangan Dr. M.H. Damme, seorang insinyur di Jawatan Kereta Api (SS). Sementara posisi sekretaris diisi oleh L. R. Middleberg. Jika mencari nama ini di laman pencarian, kita akan menemukan informasi kalau ia pernah menduduki jabatan sebagai walikota Ede, sebuah kota di Belanda, pada tahun 1941, namun kemudian dipecat oleh rezim Jerman yang tengah berkuasa.

Di bawah kepengurusan baru ini, Bandoengsche Kunstkring perlahan mulai menggeliat kembali, lantaran mendapat dukungan dari Belanda untuk mereaktivasi kegiatan yang sebelumnya cukup lama terhenti. Hasilnya beberapa pameran kembali digelar, misalnya sepanjang 3 – 16 Juni 1912 mereka menggelar pameran lukisan pelukis Belanda yang dikumpulkan oleh kelompok Larenschen Kunsthandel. Pameran ini digelar di gedung Loge St. Jan.

Pada tanggal 10 Juli, Bandoengsche Kunstkring mulai merambah bidang seni lain. Kala itu, untuk pertama kalinya mereka menggelar pementasan drama dengan mengangkat karya William Shakespeare yang berjudul Macbeth. Eduard Verkade, seorang aktor berbakat didaulat untuk berperan dalam pertunjukan ini. Acara digelar di Societeit Concordia tanpa pungutan biaya bagi seluruh anggota. Sementara non-anggota dipungut biaya sebesar dua gulden untuk menyaksikan pementasan ini.

Sebulan kemudian Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang dipamerkan adalah karya Carel Lodewijk Dake Jr. (1886-1946). Pameran digelar selama 4 hari, dari tanggal 15 hingga 18 Agustus 1912 di Societeit Concordia. Berikut adalah iklan-iklan kegiatan tersebut yang dimuat di koran De Preangerbode dan De Expres.

1. Larenschen Kunsthandel, De Expres 11 Juni 1912. 2. Eduard Verkade – Macbeth, De Expres 8 Juli 1912. 3. Carel L. Dake Jr, De Preangerbode 13 Agustus 1912.

Pada tahun 1913, Bandoengsche Kunstkring menggelar pameran lukisan cat air koleksi dari Kunsthandel Jac. de VRIES. Gsz yang berasal dari Arnhem. Seperti biasa pameran ini gratis bagi para anggota, sementara selain anggota dipungut uang masuk sebesar 50 sen. Gedung Loge St. Jan kembali dipilih sebagai tempat pameran ini berlangsung, mulai 3 sampai 10 Februari 1913.

Selain pameran di atas, setidaknya lima kali Bandoengsche Kunstkring menggunakan Gedung Loge St. Jan di tahun 1913. Empat di antaranya adalah:

  1. Pameran lukisan bertema Hindia Belanda karya Jan Larij pada 21-27 April (De expres 1 Februari 1913)
  2. Pameran lukisan Indische & Hollandsche oleh Jan L. Kleintjes pada 8-15 Juni (De Preanger-bode 7 Juni 1913)
  3. Ceramah tentang Seni Hindu oleh J. Scholte, pengajar di OSVIA pada 1 Oktober (De Preanger-bode 30 September 1913)
  4. Pameran lukisan dan aquarel oleh D. G. Ezerman, J. W. Huijsmans, J. L. Eland, dan L. Van Bergen pada 1-7 Desember (De expres 29 November 1913)

Di tahun yang sama, setelah sekian lama, akhirnya Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar acara di Pendopo Kabupaten. Sebuah pameran seni bertema Britsch-Indische digelar pada tanggal 17 September. Yang menarik dari iklan acara ini adalah adanya pembagian kategori pemegang tiket, yakni antara non-anggota dan pribumi. Non anggota dikenai tarif sebesar 0,50 gulden sementara pribumi sebesar 0,25 gulden. Hal ini tidak saya temukan pada iklan-iklan sebelumnya. (De expres 15 September 1913).

Iklan pameran seni Britsch-Indische (De expres 15 September 1913)

Membuka Kelas Kursus

Ada hal menarik yang dilakukan Bandoengsche Kunstkring pada tahun 1913. Setelah sekian lama berdiri, pada bulan April 1913 mereka membuka kelas kursus menggambar. Dilansir koran De Expres, edisi 9 April 1913, kursus ini dimaksudkan bagi anak-anak yang memiliki bakat dalam menggambar. Para siswa akan dibimbing oleh H. Lubberink dan J. L. Eland (Kepala Departemen Desain dan Produksi Mebel di perusahaan J. R. De Vries & Co)

Kelas kursus berlangsung seminggu satu kali pada pukul 18.00—20.00 di gedung Loge St. Jan. Setiap peserta diharapkan berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun, kecuali jika keluarganya berpindah tempat tinggal. Selama satu tahun kalender belajar, akan ada jeda waktu satu bulan sebagai masa istirahat. Selain itu, jika ada yang berminat, akan diadakan kegiatan menggambar dan melukis bersama di alam terbuka pada Minggu pagi.

Biaya kursus ditetapkan sebesar 1 gulden per bulan bagi anak-anak anggota, sedangkan non-anggota dikenakan biaya sebesar 2 gulden per bulan. Bagi mereka yang tidak mampu, perkumpulan membuka peluang memberi potongan bahkan pembebasan biaya secara terbatas. Syaratnya mereka harus mengajukan permohonan kepada pengurus. 

Pengurus meminta calon peserta atau orang tua yang ingin mendaftarkan anak-anaknya untuk mengajukan pendaftaran secara tertulis ke sekretariat (di Merdika-Park 8). Dengan mengajukan permohonan tersebut, peserta dianggap telah berkomitmen untuk mengikuti kursus selama satu tahun.

Sayangnya kabar kurang baik muncul di bulan November. Karena alasan kesehatan, Lubberink, untuk sementara waktu mengundurkan diri. Menurut informasi yang diterima, dua anggota pengurus perkumpulan menawarkan diri untuk mengambil alih sementara kelas tersebut. (De expres, 03 November 1913)

1914

Bandoengsche Kunstkring memulai tahun 1914 dengan pergantian pengurus. Jabatan ketua yang sebelumnya diemban oleh Dr. M.H. Damme, beralih ke F. A. J. Keuchenius. Sayangnya kepemimpinan Keuchenius pun tidak berlangsung lama. Ia digantikan kembali oleh G. C. Th. d’Arnaud Gerkens. Sementara posisi sekretaris tetap dipegang oleh Middleberg. Tahun ini juga menandai keterlibatan kakak beradik Schoemaker ke dalam Kunstkring dengan didapuknya Richard Schoemaker sebagai bendahara.

Adapun kegiatan Bandoengsche Kunstkring di tahun 1914, antara lain:

  1. Pameran Etsa dan Litografi karya Jan Toorop, Deskoen Van Angeren, Nieuwenkamp, Edz. Koning, dan lainnya pada 11-17 Februari (De expres 09 Februari 1914)
  2. Malam Musik, pada 20 Mei di Societeit Concordia (De expres 19 Mei 1914)
  3. Pameran Lukisan karya dari pelukis kelahiran Hindia, seperti: Akkeringa, Artzenius, Bleckmann, Briet, Broedelet, van Soest, dan lainnya di Loge St. Jan, dari tanggal 1 hingga 7 Juni.
  4. Malam Piano oleh Everhard Beverwijk pada 6 Juli 1914 di Loge St. Jan (De Preanger-bode 03 Juli 1914)

1915

Memasuki tahun 1915, Bandoengsche Kunstkring menggelar rapat tahunan. Hadir para pimpinan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Pertemuan digelar di Loge St. Jan pada tanggal 27 Januari 1915. (De Preanger-bode 26 Januari 1915)

Sekretaris, Middelberg, membacakan laporan tahunan untuk tahun 1913. Dari laporan ini (yang merupakan laporan ketiga), diketahui bahwa situasi perang menyebabkan sedikit penurunan jumlah anggota, dari 127 menjadi 101. Namun, mengingat kondisi saat itu, jumlah tersebut masih dianggap cukup baik. Richard Schoemaker sebagai bendahara, setelah diperiksa oleh komite audit. Saldo per 31 Desember 1914 tercatat sebesar 932,96 gulden, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 668,44 gulden.

Setelah itu, dilakukan pemilihan pengurus. Ketua, d’Arnaud Gerkens, mengucapkan terima kasih kepada para anggota atas kerja sama selama setahun terakhir. Ia kembali terpilih sebagai ketua. Anggota pengurus yang terpilih kembali adalah  Maas Qeesteranus, Middelberg, dan Stufkens, sementara  Giltay terpilih sebagai anggota baru.  Schoemaker memutuskan untuk tidak mencalonkan diri kembali. (Bandoengsche Kunstkring) De Preanger-bode 28 Januari 1915).

Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen

Kunstkring baru bermunculan di berbagai kota. Karenanya diperlukan penyatuan yang kemudian melahirkan sebuah Bond bernama Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen. Wadah persatuan ini diketuai oleh (lagi-lagi) P. A. J. Moojen. Keberadaan Bond ini berdampak besar terhadap Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi perang turut berdampak pada berbagai sektor, termasuk seni. Namun perlahan Bond semakin berkembang. Bond memiliki fokus dan perhatian lebih pada bidang seni musik. Tur Bond pun menjadi sajian utama dalam agenda Kunstkring. Bandung kelimpahan berkah akibat kerja sama ini yang sehingga memungkinkan untuk mendatangkan bintang-bintang kelas satu untuk tampil di Bandung. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh Bandoengsche Kunstkring sendiri.

Berdirinya Bond dan perubahan karakter perkumpulan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota membuat beberapa perubahan dalam statuta Bandoengsche Kunstkring. Misalnya dalam mekanisme pengambilan keputusan. Dalam Pasal IX statuta asli tahun 1905, untuk melakukan perubahan diperlukan keputusan dua pertiga dari total jumlah anggota yang memiliki hak suara. Karena pada awal tahun 1917 jumlah anggota telah mencapai 131, maka diperlukan persetujuan dari sekitar 90 anggota untuk mengubah statuta. Sebuah hal yang sulit dicapai. Kesulitan ini akhirnya diatasi dengan keputusan rapat umum anggota pada Mei 1917 untuk mengajukan kembali status badan hukum, dengan mengusulkan statuta yang telah diubah kepada pemerintah agar mendapatkan persetujuan.

Statuta baru tampaknya tidak sepenuhnya memuaskan, setidaknya pada tahun 1918 sebuah proposal perubahan diajukan kepada Rapat Umum. Namun, ternyata dengan statuta baru pun tidak mudah untuk melakukan perubahan; masih diatur bahwa hanya keputusan dua pertiga dari anggota yang memiliki hak suara yang dapat mengubah statuta. Hal ini kembali menjadi tuntutan yang berat, dan selama tiga tahun berturut-turut tidak ada perubahan statuta yang berhasil dilakukan karena jumlah anggota yang hadir dalam rapat terlalu sedikit. Akhirnya, pada tahun 1921, berhasil dikumpulkan jumlah anggota yang memiliki hak suara yang cukup; perubahan statuta pun berhasil dilakukan. (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Perubahan ini dalam perjalanannya berhasil mendorong perkembangan Bandoengsche Kunstkring menjadi kian pesat. Mereka berhasil mendatangkan sederet nama sohor ke Bandung. Siapa saja nama-nama tersebut?

Bersambung

Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Irfan Pradana

Kop Bandoengsche Kunstkring dalam brosur aturan keanggotaan. Diterbitkan secara mandiri pada tahun 1910

“Dapatkah kita membayangkan hidup tanpa seni? Tentu saja sebagian besar dari kita tidak akan mampu melakukannya, karena seni telah memberikan makna spiritual yang lebih dalam bagi kehidupan kita, sebagaimana yang telah terbukti selama 25 tahun terakhir.”

Kalimat di atas merupakan penggalan kata sambutan dari J. E. A. von Wolzogen Kühr – Walikota Bandung periode 1928-1933 – yang ditulis di halaman pembuka buku peringatan 25 tahun berdirinya Bandoengsche Kunstkring. Kühr adalah ketua kehormatan Bandoengsche Kunstkring. Ia melanjutkan posisi pendahulunya, Bertus Coops, yang juga pernah menjabat sebagai Walikota Bandung. Selain Coops dan Kühr, sederet nama penting lainnya pernah memiliki keterkaitan dengan perkumpulan bernama Bandoengsche Kunstkring. Berikut ini sebagian kisahnya.

J. E. A. Von Wolzogen Kühr
(Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het vijf en twintig jarig bestaan van den Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan pecinta seni di Bandung yang didirikan pada tahun 1905. Wadah ini dibentuk dengan tujuan mengakomodir para peminat maupun pelaku seni dalam upaya pemajuan kebudayaan di Kota Bandung. Perkumpulan ini didirikan beriringan dengan Bandung yang tengah dalam proses perubahan status menuju kota mandiri. Seni menjadi salah satu bidang yang tak luput dari perhatian selain pembangunan fisik.

Kenapa Bandung?

Bandung merupakan kota kedua yang memiliki perkumpulan seni setelah Batavia. Pembentukannya di kota ini mendahului kota-kota besar lain yang telah lebih dulu mapan – baik secara infrastruktur maupun jumlah penduduk – seperti Semarang atau Surabaya. Meskipun sedang berbenah besar-besaran, Bandung masih terbilang sebagai kota kecil yang sepi.

Dalam buku peringatan 25 tahunnya yang berjudul sederhana, “Bandoengsche Kunstkring 1905-1930; Gedenkschrift”, Bandoengsche Kunstkring menjelaskan beberapa alasan mengapa perkumpulan ini bisa hadir lebih dulu di Bandung. Dengan nada sedikit satir, mereka menyebut faktor cuaca sebagai salah satu faktor yang berpengaruh. Cuaca yang dingin membuat segala pekerjaan di Bandung tidak terasa melelahkan. Oleh sebab itu warganya masih memiliki tenaga dan pikiran untuk memikirkan kerja-kerja kesenian.

Faktor kedua adalah orang-orangnya. Secara kebetulan Bandung saat itu dihuni oleh orang-orang yang memiliki ide dan visi yang sama dalam bidang seni. Kesamaan ide itu ditopang dengan kemampuan para pendirinya dalam menerjemahkan ide ke dalam program organisasi.

Read more: Bandoengsche Kunstkring, Bagian 1: Lingkar Seni Bandung

Awal Pendirian

Perkumpulan ini diinisiasi oleh seorang hakim terkemuka, A. J. van den Bergh. Ia yang pertama kali membuat aturan rumah tangga dan rancangan keuangannya. Meski begitu ia tidak pernah masuk ke dalam jajaran pengurus.

Tongkat kepemimpinan yang pertama justru jatuh ke tangan arsitek P. A. J. Moojen. Pemilihan Moojen sebagai ketua bisa jadi dilatarbelakangi oleh pengalamannya selama bertahun-tahun menduduki jabatan serupa di Nederlandsch-Indische Kunstkring di Batavia. Oleh sebab itulah ia diharapkan mampu memimpin organisasi yang baru ini.

Sementara itu posisi sekretaris diisi oleh W. F. M. van Schaik, pemimpin redaksi Preangerbode. Ia baru tiba dari Belanda membawa semangat idealismenya. Kepemimpinan ini menandai berdirinya Bandoengsche Kunstkring secara resmi pada tanggal 15 Januari 1905. Kegiatan pertama Bandoengsche Kunstkring digelar pada pekan perayaan Paskah tahun 1905. Sebuah pameran diselenggarakan di Pendopo atas izin dari Bupati Bandung saat itu, R. A. A. Martanagara. Pameran ini menampilkan beragam hasil kerajinan seni lokal, seperti anyaman, tenunan, batik, ukiran kayu, keris, lampu tembaga, patung kayu, dan berbagai benda lainnya. Meskipun cuaca kurang mendukung, acara tersebut tetap menarik perhatian publik. Bahkan warga meminta tambahan satu hari lagi sebelum pameran ini diakhiri. (De Preangerbode, 22 April 1905).

Masih di tahun yang sama, Bandoengsche Kunstkring kembali menggelar kegiatan. Kali ini mereka menggelar pameran seni terapan karya-karya pelukis Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Ia merupakan seorang pelukis, illustrator, dan etnografer yang banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara, termasuk Hindia Belanda. Pameran ini digelar selama 6 hari dengan menampilkan karya-karya jenis etsa dan ukiran kayu Nieuwenkamp. Selain pameran, kegiatan ini juga dimeriahkan dengan permainan musik piano. (De Preangerbode, 1 November 1905).

Potret Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp (De Boekenwereld, 31: 4, 2015) dan Karyanya Hoogvlakte van Bandoeng op Java 1913 (Rijksmuseum)

Pameran ini menjadi kegiatan terakhir Bandoengsche Kunstkring di tahun 1905. Sedianya mereka telah merencanakan ceramah dan pertunjukan musik dari sepasang pianis, Madlener & Vrins (Johannes Josephus Carolus Madlener dan istrinya, Catharina Henrietta Maria Vrins), namun urung terlaksana di tahun yang sama. Pertunjukan ini baru bisa dilangsungkan pada tahun berikutnya, tepatnya tanggal 9 Januari 1906 dan berlokasi di gedung Societeit Concordia.

Iklan pertunjukan Madlener & Vrins (De Preangerbode, 9 Januari 1906)

Menjelang perayaan Paskah, perkumpulan ini kembali menggelar pameran lukisan. Kali ini yang ditampilkan adalah ratusan cetakan karya pelukis Albrecht Dürer. Acara ini diulas sangat panjang dan mengisi halaman depan De Preangerbode edisi 10 April 1906.

Sebagai penutup tahun, digelar sebuah pameran lagi. Kali ini menampilkan cetakan karya pelukis besar dari Belanda, yaitu Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669). Pameran ini digelar dari tanggal 7 sampai 11 Oktober 1906. Tahun itu dipilih bertepatan dengan 300 tahun Rembrandt.

Iklan pameran karya Rembrandt (De Preangerbode, 11 Oktober 1906)

Tidak banyak kegiatan Kunstkring pada tahun 1907. Sejauh pencarian saya, mereka hanya menggelar sebuah pameran karya seni dari Jogja dan lukisan cat air yang langsung diampu oleh sang ketua, P. A. J. Moojen. Kedua tema iNI digelar secara bersamaan di gedung Societeit Concordia pada bulan Februari 1907. Bulan berikutnya mereka menggelar rapat umum yang juga dipublikasikan melalui suratkabar De Preangerbode, edisi 18 Maret 1907. Salah satu agenda dalam rapat umum ini adalah pemilihan pengurus.

Rapat umum itu menandai dimulainya era surut perkumpulan Bandoengsche Kunstkring. Selama hampir 5 tahun perkumpulan ini vakum. Faktor yang paling berpengaruh adalah banyaknya pengurus yang mengalami mutasi, termasuk Moojen yang harus kembali ke Batavia. Barulah pada tahun 1912 organisasi ini perlahan bergeliat lagi.

Bersambung…

Harmen Westra: Eks Guru Besar THS yang menjadi Seorang Fasis

Irfan Pradana

Kira-kira setahun lalu, di beranda X saya muncul sebuah video ospek mahasiswa Institut Teknologi Bandung. Dalam video itu nampak barisan mahasiswa sedang mengikuti seruan dari orang di atas panggung. Mereka mengangkat tangan seperti gestur “Roman Salute” sambil meneriakkan kalimat “Salam Ganesha”.

Roman salute adalah gerakan mengangkat tangan kanan lurus ke depan dengan telapak tangan menghadap ke bawah. Pada masa modern, gerakan ini mencapai puncak ketenarannya saat digunakan oleh Nazi dengan nama “Hitler salute” atau “Sieg Heil”, yang menjadikannya simbol propaganda rezim Nazi. Setelah kekalahan Nazi dalam Perang Dunia II, gerakan ini dilarang di banyak negara karena dianggap sebagai simbol kebencian dan ideologi ekstrem.

Ilustrasi. Sumber gambar: itb.ac.id

Postingan video itu mendapat respon yang beragam, namun mayoritas mengidentikkannya dengan gestur salute ala Nazi. Misalnya ada warganet yang mengomentari video tersebut dengan cuitan “Uber Alles” atau “Hail Hitler”. Dari beberapa hasil selancar di dunia maya, Salam Ganesha merupakan tradisi unik di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mencerminkan rasa bangga dan semangat kebersamaan antara mahasiswa dan alumni.

Tradisi ini berakar pada simbolisme Ganesha, dewa pengetahuan dalam agama Hindu, yang juga menjadi lambang utama ITB yang berlokasi di Jalan Ganesha, Bandung. Dewa Ganesha, sebagai pelindung ilmu dan kebijaksanaan, mencerminkan semangat pencapaian intelektual yang sangat dijunjung di ITB. Salam ini kerap digunakan dalam berbagai acara resmi kampus, seperti penerimaan mahasiswa baru dan upacara wisuda.

Ngomong-ngomong soal fasis, ternyata saat ITB masih bernama Technische Hoogeschool dulu, pernah ada seorang guru besar yang menganut paham fasis. Namanya adalah Harmen Westra.

Beberapa waktu lalu Komunitas Aleut menggelar acara Ngaleut dengan tema “Selamat Tinggal Hindia; Janjinya Pedagang Telur”. Tema ini diambil dari buku dengan judul serupa. Buku tersebut merupakan buku sebuah memoar dari Pans Schomper, seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Buku ini berisi kisah hidup Pans melewati tiga zaman, yakni zaman normal (ketika Belanda masih berkuasa penuh atas Hindia Belanda), zaman Jepang, dan zaman revolusi (yang mereka sebut sebagai Masa Bersiap).

Pada sebuah bagian, Pans menyinggung suatu peristiwa di Bandung ketika kekuasaan Belanda sedang berada di ujung tanduk. Pans menggambarkan suasana ketegangan yang melanda warga Eropa di Bandung menjelang kedatangan pasukan Jepang. Suatu penyerbuan massa terjadi usai berita kekalahan Belanda atas Jerman sampai ke Hindia Belanda. Tempat yang digeruduk itu adalah sebuah gedung yang lokasinya dekat rumah Pans di Jalan Naripan, yaitu gedung NSB alias Nationaal-Socialistische Beweging.

NSB adalah sebuah partai politik berhaluan fasis di Belanda yang didirikan pada tahun 1931. NSB diketuai oleh Anton Mussert, seorang fasis Belanda kelahiran Werkendam. Partai ini memiliki kedekatan dengan Partai Nazi Jerman dan memberi dukungan penuh kepada Jerman untuk memenangkan Perang Dunia II. NSB juga membantu berlangsungnya pendudukan Jerman atas Belanda.

Bendera Nationaal-Socialistische Beweging (Wikimedia Commons)
Read more: Harmen Westra: Eks Guru Besar THS yang menjadi Seorang Fasis
Anton Mussert dan Adolf Hitler 1941 (gld.nl)

Hal inilah yang menyulut kemarahan warga Belanda yang bermukim di Bandung hingga akhirnya melakukan penyerbuan ke gedungnya. Di Hindia Belanda sendiri, kekuatan NSB sangat diperhitungkan. Bahkan beberapa tulisan menyebutkan bahwa NSB di Hindia Belanda lebih kuat ketimbang NSB yang berada di Belanda (Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog 1939-1945 – Indische Literaire Wandelingen).

Dalam pencarian informasi tentang NSB ini saya menemukan nama Harmen Westra. Nama ini tidak hanya terkait dengan NSB, tapi juga perkumpulan Bandoengsche Kunstkring, dan Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Sumber: Beeldbank Haags Gemeentearchief

Bandoengsche Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung (LSB) adalah sebuah perkumpulan pecinta dan pengembang seni yang sudah berdiri sejak 1905. Perkumpulan ini didirikan dengan cita-cita memajukan sektor kebudayaan kesenian di Kota Bandung. Harmen Nama Harmen Westra tercatat sebagai ketua perkumpulan ini pada tahun 1930 (Gedenkschrift uitgegeven ter gelegenheid van het 25-jarig bestaan van den Bandoengschen Kunstkring 1905-1930).

Kegiatan LSB di antaranya menggelar pertunjukan seni, pameran, pelatihan, dan konferensi bertaraf internasional. Beberapa nama kondang di bidang kebudayaan Kota Bandung sempat  terlibat di perkumpulan ini, termasuk arsitek C.P. Wolff Schoemaker.

Sementara itu di Technische Hoogeschool Bandoeng nama Westra tercatat sebagai guru besar bidang Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan Hukum Dagang. Ia diangkat pada bulan Juli 1924 pada masa THS di bawah pimpinan rektor Prof. Ir. Jan Klopper (ANETA, edisi 4 Juli 1924).

Harmen Westra dan NSB

Westra lahir pada 29 Mei 1883 di kota Den Haag. Ia merupakan profesor di bidang Hukum. Westra pergi ke Hindia Belanda pada tahun 1915 dan menikah dengan Stephanie Dom di Lumajang pada tahun yang sama. Selama di Hindia Belanda, Westra cukup banyak menduduki posisi penting. Ia pernah menjadi tenaga pengajar di OSVIA Serang (De Preangerbode, edisi 21 Juli 1927) dan juga menjadi anggota Volksraad pada tahun 1921 (Bataviaasch nieuwsblad, edisi 19 Februari 1921). Setelah menjadi guru besar di THS, Westra juga sempat mengajar di HBS sebelum kembali ke Belanda pada tahun 1927 dan mengajar di Universitas Utrecht sejak tahun 1931.

Pada tahun 1940 Westra diketahui terdaftar sebagai anggota NSB. Portal-portal artikel berbahasa Belanda yang saya temukan menyebutkan bahwa Westra memang seorang anti semit dan menaruh simpati terhadap Jerman. Anak dan menantunya, yakni Olaf Westra dan Christiaan Willem Jacob Bar. van Boetzelaer merupakan anggota dari organisasi underbow Nazi, Schutzstaffel (SS). Olaf tewas di pertempuran front timur, tepatnya di Leningrad (Haags Gemeentearchief – archief Leidschendam-Voorburg).

Pada tahun 1942 Harmen Westra ditunjuk menjadi walikota Den Haag. Dua tahun setelah Belanda takluk atas Jerman. Tentu saja penunjukannya ini dilatarbelakangi oleh keanggotaannya di dalam NSB. Ia naik menggantikan Van der Bilt yang sebelumnya menjabat sebagai walikota sementara. Van der Bilt adalah seorang Liberal yang selama menjabat kerap berseberangan ide dengan rezim Jerman. Karena itulah posisinya digantikan oleh Westra.

Semasa menjabat sebagai walikota, Westra terlibat dalam serangkaian kejahatan. Dia secara aktif berpartisipasi dalam penganiayaan terhadap orang Yahudi. Saat itu di Den Haag memiliki 17.000 penduduk Yahudi. Pada tanggal 9 Juli 1942, sesuai dengan Pasal 41 Peraturan Umum Kepolisian Den Haag, ia menetapkan sejumlah wilayah yang terlarang bagi orang Yahudi, antara lain di Apendans, Binnenhof, Doelenstraat, Heerenstraat, Houtstraat, Plein, Poten, dan Vijverberg. Ia juga memerintahkan penggantian semua nama jalan di Den Haag yang terkait dengan orang Yahudi. Antara Agustus 1942 dan April 1943, mayoritas orang Yahudi di Den Haag dideportasi ke kamp Westerbork untuk kemudian dikirim ke kamp pemusnahan.

Pada 1943 ia turut membuat daftar nama laki-laki Yahudi untuk ditangkap dan dihukum melakukan kerja paksa. Berkat sumbangsihnya ia dianugerahi penghargaan Krieg Verdien Strutz kelas 2, yakni sebuah penghargaan militer yang diberikan oleh Nazi selama Perang Dunia II kepada warga sipil. Penghargaan ini diciptakan oleh Hitler pada tahun 1939 dan diberikan kepada mereka yang menunjukkan dedikasi dan keberanian dalam mendukung upaya perang Jerman (Haags Gemeentearchief-archief Leidschendam-Voorburg).

Penangkapan

Menjelang masa akhir perang dan kekalahan Jerman, kondisi kesehatan Westra menurun. Keadaan itu memaksanya mengundurkan diri, dan posisinya digantikan oleh Henri van Maasdijk, sesama anggota NSB. Tak berselang lama Westra ditangkap bersama para anggota NSB lainnya. Mereka ditahan di rumah tahanan Scheveningen.

Dalam persidangan Harmen dituntut dengan hukuman mati, namun hakim akhirnya memutuskan Westra diganjar hukuman 20 tahun penjara. Pada 1947 ia mengajukan banding sehingga hukumannya berkurang menjadi 12 tahun. Walaupun begitu, Westra tidak menjalani hukuman secara penuh. Karena kondisi kesehatannya yang buruk, Ratu Juliana memberinya grasi pada 1951. Pada 10 September 1951, surat kabar Belanda melaporkan bahwa Westra telah bebas dan kembali ke Den Haag. Ia meninggal pada 23 Desember 1959.

Foto Harmen Westra (ketiga dari kanan) di rumah tahanan Scheveningen bersama Anton Musser (di tengah) ketua NSB (Sumber: rijnmond.nl).

***

Bandoengsche Kunstkring dan Pentas Tribute Jaman Baheula

Irfan Pradana

Selama tiga tahun belakangan, saya kerap diminta tampil dalam pertunjukan tahunan musik tribute band internasional. Saya ditugasi mengisi gitar untuk memainkan lagu-lagu band asal Amerika Serikat, The Strokes. Acara yang saya ikuti biasanya menampilkan tribute untuk beberapa band sekaligus, misalnya Arctic Monkeys, Blur, atau Oasis. Kebanyakan band yang tenar di era 90-an.

Pertunjukan tersebut biasanya digelar di cafe atau bar. Sekali waktu kami berkesempatan menggung di Braga Sky yang di zaman kolonial dulu merupakan sebuah bioskop. Saat ini Braga Sky beralih fungsi menjadi bar. Sebelum naik ke atas panggung, saya malah sibuk ke sana kemari memperhatikan interior gedung ini, barangkali menemukan ornamen atau benda kuno di sana.

Bisa jadi karena energi tempatnya, bukannya menghafalkan bagan-bagan melodi gitar, saat itu pikiran saya malah disibukkan dengan pertanyaan, “Apakah di Bandung baheula ada pertunjukan musik tribute seperti sekarang?”

Meskipun pertunjukannya berjalan mulus, pertanyaan itu lama sekali mengendap di kepala, hingga suatu hari Komunitas Aleut kedatangan dosen dari prodi Hubungan Internasional dari salah satu kampus di Bandung yang menjajagi materi sejarah Kota Bandung dalam perspektif ilmu Hubungan Internasional.

Kami lantas membuka beberapa literatur dan arsip lama. Beberapa kawan menemukan data tentang Bandung — di masa kolonial — yang pernah menjadi tuan rumah bagi event internasional, seperti kongres atau konferensi. Namun ada satu temuan yang menarik perhatian saya, yakni Bandoengsche Kunstkring.

Nama ini muncul dalam event Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik Keempat, tahun 1929. Bandoengsche Kunstkring bertindak sebagai panitia untuk acara yang digelar di Museum Geologi ini. Seperti keran mampet yang berhasil terbuka, temuan ini mengalirkan kami ke data-data sejarah berikutnya.

Sesuai namanya, Bandoeng Kunstkring atau Lingkar Seni Bandung adalah sebuah perkumpulan warga pecinta seni. Organisasi ini didirikan pada tahun 1905, satu tahun sebelum Bandung ditetapkan sebagai Gemeente. Sederet nama besar pernah menjadi pengurus dan donatur di perkumpulan ini, antara lain P. A. J. Moojen, B. Coops, kakak beradik Schoemaker, R. A. Kerkhoven, dan A. Bertling.

Pieter Adriaan Jacobus Moojen, ketua pertama Bandoengsche Kunstkring

Meski disebut sebagai Lingkar Seni, pada perjalanannya, Bandoengsche Kunstkring melebarkan sayapnya untuk mengurusi bidang lain. Contohnya adalah Konferensi Ilmu Pengetahuan Pasifik di atas. Namun bagi saya, perjumpaan paling menarik dengan literatur Bandoengsche Kunstkring adalah perannya dalam memajukan apresiasi seni di Kota Bandung.

Misalnya yang satu ini. Sejak tahun 1926 mereka berupaya mendatangkan seorang balerina tersohor dunia kala itu, Anna Pavlova. Anna merupakan balerina asal Rusia yang berhasil memopulerkan seni pertunjukan ballet ke seluruh dunia dengan menggelar tur dari satu negara ke negara lain. Anna dan kelompok seninya mempelopori konsep tur ballet pada saat itu. Hingga akhirnya pada 1929 Anna mampir ke Bandung dan menggelar pertunjukan di Societeit Concordia.

Foto Anna Pavlova lengkap dengan tanda tangannya ketika tampil di Bandung 1929. Koleksi milik mantan Walikota, B. Coops. (Gedenkschrift Bandoengsche Kunstkring 1905-1930)

Temuan ini memantik kami untuk terus mencari informasi seputar Bandoeng Kunstkring. Beberapa dokumen yang berkaitan dengannya dapat dihimpun, antara lain booklet pertunjukan musik tribute untuk para komposer elit dunia yang pernah digelar di Bandung antara tahun 1920-an sampai 1930-an.

Booklet ini berisikan biografi singkat sang komposer, ditambah lirik dan komposisi lagu yang akan dimainkan. Nama-nama komposer yang karyanya pernah ditampilkan antara lain, Wolfgang Amadeus Mozart, Johann Sebastian Bach, dan Ludwig van Beethoven.

Booklet tersebut dibagikan kepada warga sebelum pertunjukan digelar. Saya coba bagikan beberapa potongan booklet yang berhasil dihimpun.

Tribute untuk Wolfgang Amadeus Mozart dan Johann Sebastian Bach

Konser ini diadakan pada bulan September 1929. Nampak Bandoengsche Kunstkring begitu serius dalam menyajikan pertunjukan ini. Para penonton sebelumnya diberi sebuah booklet berisikan biografi singkat Mozart lengkap dengan lirik lagu yang akan dibawakan.

Cover konser pemuda keempat didedikasikan untuk Wolfgang Amadeus Mozart (Bandoengsche Kunstkring)

Booklet konser pemuda kedelapan didedikasikan untuk Johann Sebastian Bach (Bandoengsche Kunstkring)

Pertunjukan ini digelar pada tanggal 31 Maret 1931. Kali ini Bandoengsche Kunstkring menyasar kelompok yang lebih spesifik, yakni para siswa sekolah. Para penampil yang turut serta dalam konser instrumental ini antara lain:

  • Ny. Johanna van der Wissel – piano
  • A. F. Binkhorst – flute
  • Ir. Jac. P. Thijsse Jr. – biola

Sedikit kisah tentang pianis Johanna van der Wissel yang disebut di atas. Ketika menulis artikel ini saya menemukan namanya muncul di situs Oorlogsslachtoffer, yakni sebuah laman yang memuat data para korban Perang Dunia II di Hindia Belanda.

Dari informasi itu diketahui bahwa Johanna van der Wissel ternyata seorang pianis terkemuka yang lama malang melintang berkarir di Eropa dan Hindia Belanda. Ia pindah ke Hindia Belanda pada tahun 1895 dan selama itu menghabiskan hidupnya untuk mengembangkan seni piano di Hindia Belanda. Johanna tercatat rutin menampilkan karya Bach hingga tahun 1935.

Pada saat Jepang datang, Johanna ditangkap dan ditahan di Kamp Banceuy hingga meninggal dunia pada 10 April 1945. Jasadnya kemudian dimakamkan di pemakaman Pandu.

Potret Johanna van der Wissel 1929 (Kiri: Sophie Drinker Institut. Kanan: Oorlogsslachtoffer)

Tribute untuk Ludwig van Beethoven

Pementasan ini dilangsungkan pada bulan Januari 1931. Saya merasa perlu memasukkan booklet ini karena adanya nama kahot yang turut berpartisipasi dalam acara ini. Perhatikan nama terakhir di susunan komite acara. Ya, ada nama Jaap Kunst di sana terlibat sebagai komite acara.

Cover Booklet dan Susunan Komite Acara.

Jaap Kunst (Tropenmuseum)

Bagi pemerhati sejarah musik tanah air agaknya tidak asing dengan nama ini. Ia adalah seorang etnomusikolog ternama yang dikenal sebagai salah satu pelopor dalam bidang etnomusikologi, sebuah studi musik dalam konteks budaya dan sosial. Jaap Kunst menghabiskan banyak waktu di Hindia Belanda untuk mempelajari musik gamelan dan musik tradisional lainnya.

Hasil penelitiannya ia tuangkan dalam buku dua jilid berjudul “Music in Java”, yang menjadi referensi penting dalam studi musik tradisional Jawa. Kunst juga yang mempopulerkan istilah “etnomusikologi”, hingga kemudian menjadi nama resmi untuk bidang akademik ini.

Begitu besar namanya di bidang musik. Hingga pada tahun 2019 lalu, Museum Nasional menggelar pameran 100 tahun Kunst untuk mengenang 100 tahun perjalanan karirnya di Hindia Belanda. Acara itu memamerkan koleksi pemberian Kunst pada tahun 1936.

Tulisan ini hanya mengulas serba sedikit saja – dari sekian banyak – sepak terjang Bandoengsche Kunstkring dalam pemajuan kesenian di Kota Bandung. Seperti sempat disinggung pada awal tulisan bahwa dari waktu ke waktu Bandoengsche Kunstkring mengalami kemajuan yang pesat. Mereka tak hanya menjamah dunia kesenian, namun turut terjun dalam pemajuan ilmu pengetahuan secara umum. Masih banyak dokumen tentangnya yang menunggu untuk diterjemahkan dan dikaji sebagai bahan materi diskursus akan arah pemajuan kebudayaan Bandung ke depan.

Mungkin pembaca pernah atau sering mendengar pernyataan kalau Bandung dianggap sebagai barometer kesenian di Indonesia? Sepertinya pernyataan itu bisa kita cari akar peristiwanya dengan secara serius mempelajari perjalanan Bandoengsche Kunstkring.  ***

Dari Siliwangi untuk Rakyat Jawa Barat

Muhammad Naufal Fadilah

Pertengahan tahun 2024 lalu kami mendapat kontak dari Majalah Museografia yang mengajak membuat tulisan dengan tema “Museum untuk Pendidikan dan Penelitian” sebagai bagian kegiatan Penyusunan Bahan Publikasi Warisan Budaya dari Direktorat Pelindungan Kebudayaan. Tulisan yang dibuat akan dipublikasikan dalam Majalah Museografia edisi Vol XIX/2024. Penulisan artikel dari Komunitas Aleut diwakili oleh Muhammad Naufal Fadilah (Nofal – ADP 2023).

Majalah Museografia yang disebut di atas sudah terbit dan sudah kami terima di sekretariat bersama satu majalah lain, “Catra Budaya” (Media Informasi Warisan Budaya Takbenda) edisi Vol 5/2024.

Berikut ini adalah tulisan berjudul “Dari Siliwangi untuk Rakyat Jawa Barat” karya Nofal yang sudah diterbitkan dan kami unggah di sini dalam format jpg. Selamat membaca.

Catatan Momotoran ke Parentas, Cisampang, dan Sodonghilir

Oleh: Sem Fikri Pamungkas

Tulisan ini sebenarnya merupakan bagian dari sebuah story maps dan sudah dipost di https://storymaps.arcgis.com/stories/6b616932afc449009bf863bbe8d51b36, yang dimuat di sini sudah dimodifikasi disesuaikan dengan kebiasaan di website ini.


Suara alarm berbunyi nyaring pukul 04.30 membangunkan saya dan segera terduduk di atas kasur. Belakangan ini kegiatan momotoran Komunitas Aleut selalu dimulai dini hari dengan beberapa alasan, rentang waktu perjalanan yang lebih banyak, menghindari kemacetan dan panasnya cuaca di perjalanan, juga apabila diperlukan bisa pulang sebelum terlalu malam. Hari ini saya dan kawan-kawan akan melanjutkan serial perjalanan bertema DI/TII dan tujuan kali ini adalah Desa Parentas di Kecamatan Cigalontang dan Desa Muncang, Sodonghilir, keduanya di Tasikmalaya.

Sehari sebelumnya, kami sudah berkumpul dan membuat rencana perjalanan. Mendiskusikan rute-rute terbaik yang akan kami tempuh. Sebelumnya, secara sepintas sudah diajukan dua pilihan rute, yang pertama adalah langsung menuju Sodonghilir yang letaknya terpisah jauh di selatan, dan yang kedua masuk lewat Sucinaraja lalu ke Parentas dan terakhir menuju Sodonghilir. Akhirnya kami bersepakat untuk memilih rute kedua, ke Parentas terlebih dulu baru ke Sodonghilir dan pulangnya akan sedikit backtrack. Pilihan ini kami rasa lebih nyaman ketimbang rute pertama yang mungkin akan memaksa kami menghabiskan sore, bahkan hingga malam, di sekitar Parentas. Apalagi menimbang bahwa Parentas terletak di kawasan pergunungan dengan medan yang mungkin tidak mudah. Dari cerita kawan yang sebelumnya sudah pernah ke sana, kawasan berbukit-bukit itu khas sekali konturnya, jalanan kecil naik-turun, penuh kelokan, dan belum semua kondisi jalannya bagus.

Seperti biasanya, sebelum memulai perjalanan momotoran, kami selalu dibekali dengan wawasan umum yang mencakup informasi mengenai kawasan yang akan dikunjungi maupun konteks peristiwa sejarahnya. Hal ini menjadi modal penting dalam perjalanan, setidaknya untuk memahami maksud dan tujuan kegiatan. Begitupun dengan  saya sendiri yang meluangkan waktu untuk membaca beberapa sumber yang dibagikan oleh teman-teman Aleut. Sumber-sumber tersebut berupa buku, artikel, hingga video yang berkaitan dengan tema momotoran kali ini. Hal ini sangat membantu memberikan gambaran awal tentang apa yang akan kami lalui dan temui di lapangan. Beberapa tempat yang menjadi tujuan kali ini memang sudah pernah dikunjungi oleh Aleut. Informasi dan dokumentasinya cukup lengkap dalam arsip, sebagian kecil dipublikasikan juga situs web Aleut. Namun, bagi saya pribadi, perjalanan menuju daerah Parentas dan Sodonghilir ini adalah pengalaman pertama. Ada rasa penasaran membayangkan seperti apa perjalanan dan pengalaman  baru yang akan saya alami di sana.

Pasar minggu di Jalan Kadungora, Garut. Foto: Sem Fikri.

Singkat cerita, kami tiba di Garut saat hari masih pagi sekali. Setelah memasuki jalan Kadungora, kami berbelok ke kiri menuju Leuwigoong. Udara terasa sejuk, dan jalanan tidak terlalu ramai, kecuali di sekitar pasar mingguan yang lumayan padat. Saat kami melewatinya, banyak pedagang yang sedang melayani pembelinya, Sebagian orang lagi terlihat asyik menikmati jajanan dengan berjalan kaki dan berlari pagi.

Berbelok ke arah Leuwigoong ini sebenarnya tidak termasuk ke dalam rencana awal perjalanan. Namun, seorang rekan secara spontan mengusulkan untuk mampir ke sebuah danau yang belakangan ini katanya sedang populer, namanya Situ Sarkanjut. Sepintas nama situ ini terdengar nyeleneh dan jorang, tapi ternyata ada penjelasan yang menarik dari Kamus Sunda Digital, yaitu bahwa kanjut sebenarnya berarti kantung kecil tempat menyimpan uang. Lalu bagaimana kata ini bisa terkesan jorang seperti yang saya kenal sekarang, ya mungkin dapat dibayangkan masing-masing berdasarkan makna kamusnya itu.

Gapura dan Makam di Situ Sarkanjut. Foto: Sem Fikri.

Lokasi Situ Sarkanjut cukup mudah ditemukan. Dari jalan, terlihat sebuah gapura yang menjadi pintu masuk situ tersebut, sedangkan di sampingnya terdapat bangunan sekolah SMPN 2 Leuwigoong. Saat kami tiba, suasana terasa sepi. Hanya ada beberapa warung yang berjajar di sekitar situ, tetapi semuanya dalam kondisi tertutup. Di pinggir situ, terlihat bekas wahana bebek gowes air. Di atasnya, ada sebuah area menyerupai makam berupa susunan batu yang dikelilingi tembok pendek sebagai pembatas. Karena sunyi senyap, kami sekejap saja berada di sini dan segera melanjutkan perjalanan. Saat melewati pasar Banyuresmi, kami memutuskan untuk berhenti dan mencari sarapan di sini.

Pasar Banyuresmi, Garut. Foto: Sem Fikri.

Cigadog-Parentas

Cigadog dan Parentas adalah dua desa yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Garut dan Tasikmalaya. Jalur ini juga merupakan salah satu alternatif penghubung kedua kabupaten, tetapi tidak direkomendasikan karena medan jalannya yang cukup ekstrim. Saat kami melewati perkampungan Desa Cigadog, sebagian jalan masih dalam kondisi baik. Namun, semakin dekat dengan perbatasan, jalan mulai menanjak dan berkelok-kelok. Kami harus ekstra hati-hati mengendarai motor, terutama karena jalanan licin akibat musim hujan. Beberapa kali kami menemui genangan air yang tak terduga seberapa dalamnya.

Meski jalannya sulit, suasana di sepanjang rute menyejukkan. Di sisi jalan, pemandangan perkebunan warga terbentang luas, sehingga kesegaran alam yang masih asri masih dapat kami rasakan. Sesekali, kami berpapasan dengan warga lokal yang sedang berjalan menuju ladang, dan beberapa warga lainnya terlihat sudah sibuk menggarap lahan.

Jalur Cigadog-Parentas. Foto: Sem Fikri.

Setelah melewati gapura perbatasan yang menandakan kami telah memasuki Desa Parentas, Kabupaten Tasikmalaya, suasana menjadi terasa berbeda. Tapi mungkin juga perbedaannya hanya ada pada benak saya yang sudah mendapatkan informasi mengenai latar sejarah kelam desa ini pada masa revolusi dulu. Bukti sejarah itu langsung kami dapati tak lama setelah melintasi gapura desa. Di depan kami, atau tepatnya di bawah tempat kami berdiri di tepi jalan desa, terpancang sebuah prasasti yang menjadi pengingat sebuah peristiwa kelam di masa lalu, persisnya pada 17 Agustus 1961. Prasasti ini terletak di atas fondasi tembok berbentuk persegi yang sekaligus berfungsi sebagai alas tiang bendera. Mengenai isi prasasti dan peristiwanya sudah dituliskan oleh kawan lain di sini dan di sini.

Desa yang asri dan terasa nyaman ini sangat sepi, saya tak melihat seorang pun warga di sekitar. Benar-benar sunyi. Kami sempatkan berkeliling  kampung sebentar sebelum beranjak ke tujuan berikutnya, yaitu Kampung Cisampang.

Jalur Parentas-Cidugaleun. Foto: Sem Fikri.

Sebagian jalur dari Parentas menuju Cisampang ternyata lebih ekstrim dibandingkan jalur sebelumnya. Jalanan yang berbatu dan dikelilingi rimbunnya hutan menyelimuti sepanjang perjalanan ini. Saya sempat menyangka bahwa jalur ini sudah sepenuhnya selesai dibangun, setelah melihat video orang yang melewati rute Parentas-Cidugaleun yang tampaknya sudah mulus. Namun, kenyataannya baru sebagian yang selesai dibangun, sementara sisanya masih dalam kondisi yang cukup sulit dilalui. Ini menjadi pengingat bahwa video-video di internet sering kali menampilkan bagian-bagian yang terlihat baik saja, tanpa menunjukkan sisi lainnya. Keadaan jalan yang sebenarnya jauh lebih berat membuat kami harus semakin berhati-hati.

Warung di dekat curug Dua Cipederesi, Parentas. Foto: Sem Fikri.

Saya bersama Kang Irfan berada di urutan paling depan saat melaju di jalan berbatu dan menanjak. Beberapa kali saya menengok ke belakang dan masih melihat rekan-rekan kami, namun semakin lama mereka semakin jauh. Tidak kelihatan dan tertinggal di belakang. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah belokan yang agak menanjak. Di sekitar belokan tersebut, terdapat sebuah warung tutup. Di depannya terdapat pohon besar yang dipasangi plang kayu bertuliskan “Curug Dua Cipederesi”. Curug ini masih merupakan bagian dari Desa Parentas.

Sesaat saya mengamati sekitar, tampaknya warung tersebut sudah cukup lama tutup, hanya menyisakan bekasnya saja. Curugnya sendiri tidak kelihatan, hanya terdengar gemuruh air terjunnya dari kejauhan. Sungguh sulit membayangkan bahwa di kawasan seperti ini pernah bermarkas pasukan gabungan TNI yang bernama Gerilja Galoenggoeng dan setahun berikutnya kembali menjadi lokasi markas militer, kali ini pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Kami menunggu beberapa saat, berharap rekan-rekan kami segera menyusul. Setelah menyusul, ternyata salah satu motor di belakang mengalami masalah kehabisan bensin, sehingga harus menyedot bensin dari motor lainnya untuk bisa melanjutkan perjalanan.

Curug Ciparay. Foto: Sem Fikri.

Masih di daerah Parentas, saya merasa lega ketika akhirnya melewati jalan yang kondisinya sudah bagus. Jalan ini baru saja selesai dibangun beberapa bulan lalu, meskipun proses pembangunannya masih dilakukan secara bertahap. Bahkan, saat kami melaluinya, beberapa warga masih bekerja memperbaiki jalan, karena tanah di pinggir belum rata dengan bahu jalan.

Dari kejauhan kami melihat dua curug  dan ketika lebih dekat ternyata banyak orang yang memarkirkan motor di bawah jalan, tepat di tikungan. Di samping kiri kami, tampak Curug Ciparay, yang menarik perhatian kami untuk berhenti, tapi bukan di tempat wisatanya, melainkan lebih maju ke depannya, ke sebuah warung kecil.

Warung dekat dengan Curug Ciparay, Parentas. Foto: Sem Fikri.

Kami menikmati jajan sambil beristirahat, dan kesempatan itu juga kami manfaatkan untuk mengobrol dengan pemilik warung dan beberapa pekerja jalan yang sedang beristirahat. Ibu warung tersebut bercerita dengan semangat, mengatakan bahwa di Kampung Buligir sering ada orang dari luar, terutama content creator, yang datang untuk membuat video. Ceritanya mengalir dengan santai, memberikan wawasan baru tentang kehidupan lokal dan aktivitas yang ada di sekitar tempat wisata tersebut.

Cisampang

Cuaca mulai gelap, hujan sudah mulai membasahi wajah kami. Setelah berpamitan dengan ibu pemilik warung, kami beranjak menuju Cisampang. Dengan kondisi jalan yang bagus, kami berharap bisa sampai tujuan lebih cepat tanpa harus mengenakan jas hujan.

Tujuan kami ke Cisampang adalah untuk melihat langsung kawasan kampung yang disebut-sebut dalam buku dan artikel-artikel memiliki kisah bersejarah sebagai markas Darul Islam dan tempat diproklamasikannya Negara Islam Indonesia. Dari jalan utama Parentas-Cidugaleun, akses menuju Cisampang atas cukup sulit, hanya bisa dilalui oleh satu motor saja.

Kampung Cisampang, Cigalontang. Foto: Sem Fikri.

Sesampainya di atas, tepat di kampungnya, saya langsung melirik sebuah rumah yang bentuknya lebih modern dibanding tetangga-tetangganya. Saya langsung mengenalinya karena sudah pernah melihat fotonya dalam artikel tulisan Bambang Arifianto di pikiranrakyat.com. Rumah tersebut tidak langsung terlihat dari jalan yang kami lalui; untuk mencapainya, kami harus turun sedikit dan berbelok. Saya yang berada di depan langsung belok dan berhenti di depan rumah itu, sementara rekan-rekan lainnya melanjutkan perjalanan lurus menuju Masjid At-Tarbiyah yang terletak lebih di atas. Di depan rumah, saya tidak menemukan siapa pun yang bisa diajak bicara, hanya ada anak kecil yang sedang bermain di teras.

Masjid At-Tarbiyah terletak di Kampung Cisampang Atas, di sekitarnya hanya ada beberapa rumah warga. Kami mampir ke sebuah warung yang berada di samping masjid, sudah ada beberapa warga yang sedang berteduh. Kami pun ikut berteduh dan jajan, sambil membuka obrolan ringan tentang Kampung Cisampang. Dari warung ini kami dapatkan keterangan tentang makam salah seorang putra Kartosoewirjo. Letaknya di bawah sebuah pohon aren, hanya ditandai dengan batu, tanpa keterangan nama.

Warung Nasi di Kampung Cibatu, Desa Sukaharja. Foto: Sem Fikri.

Dari Cisampang perjalanan masih akan kami lanjutkan ke tujuan terakhir, yaitu Kampung Sudi di Sodonghilir. Perjalanan di bagian ini terasa lebih melelahkan karena hujan deras yang terus mengguyur. Kondisi jalan yang licin dan medan yang sulit, khususnya saat turun dari kampung Cisampang Atas. Di tengah perjalanan, sekitar Sukaharja, kami berhenti sebentar di sebuah warung nasi sederhana yang terlewati. Sejak berangkat subuh tadi, baru di sinilah kami berkesempatan makan yang seharusnya.

Monumen peringatan penghadangan konvoy tentara Belanda oleh Republik. Foto: Sem Fikri.

Usai makan, di tengah perjalanan menuju Sodonghilir, dan masih di jalur utama Jalan Raya Garut-Tasikmalaya, terlihat sebuah monumen yang menarik perhatian. Saya menyempatkan berhenti untuk mengambil beberapa foto. Pada monumen tersebut tertulis:

Di jalan tikungan Cidolog Saeebu Singaparna pada September 1947, Kompi Lukito (Bat. S.L Tobing) mengadakan penghadangan terhadap iringan konvoi yang membawa Jenderal Buurman van Vreeden, Kepala STAE Umum tentara Belanda, sehingga dapat dikacaukan dan dokumen-dokumennya, termasuk stempel, jatuh ke tangan kita.”

Puspahiang-Sodonghilir

Pada bagian ini saya berada di urutan paling depan memandu jalan menggunakan google maps. Hujan yang tak kunjung reda membuat saya kesulitan melihat layar ponsel, yang basah terkena air hujan. Beberapa kali kami harus berputar balik karena saya ragu memilih jalur yang tepat. Ketika tiba di sekitar Puspahiang, saya membuka peta untuk mencari rute alternatif yang lebih cepat menuju Desa Muncang, lewat Kampung Cikupa, Kampung Cimenyan, dan tembus ke Desa Cikalong. Meskipun agak ragu, saya memutuskan untuk mengambil jalur tersebut.

Ternyata, sepanjang jalur Cikupa – Cimenyan, kami harus melewati bukit-bukit yang naik turun. Untungnya, kondisi jalan tidak terlalu buruk, tetapi dengan hujan yang terus turun, perjalanan tetap terasa ekstrim. Saat berada di hutan Cikupa, sekitar setengah empat sore, rasanya seperti menjelang magrib karena kabut yang mulai turun. Suasana semakin sepi serta hujan masih terus mengguyur. Sesekali kami berhenti untuk menunggu rekan yang tertinggal di belakang. Saya juga melihat warga yang tampaknya heran melihat orang-orang seperti kami yang membawa motor menempuh jalur ini di tengah hujan. Setelah keluar dari hutan, kami kembali ke jalur utama, Jalan Raya Sodonghilir, dan akhirnya sampai di tujuan.

Kuburan Massal Korban Keganasan DI/TII di Kampung Sudi, Desa Muncang, Sodonghilir.
Foto: Sem Fikri.

Di tempat terakhir ini, saat kami melihat lokasi permakaman massal tersebut, saya merasakan keprihatinan. Permakaman itu kini terhalang oleh tembok yang sedang dibangun, sehingga tulisan yang ada di monumen atau penanda sejarah tersebut jadi sulit terbaca. Saya tidak tahu pasti apa yang sedang dibangun di sekitar sana, namun yang jelas, ada kemungkinan lokasi bersejarah ini akan terpinggirkan dan mungkin segera terlupakan. Tanpa pemeliharaan dan perlindungan, tempat ini bisa hilang begitu saja, dan kisah sejarah tentang keganasan gerombolan yang terjadi di masa lalu akan terlupakan oleh generasi mendatang. Ini adalah pengingat betapa pentingnya menjaga dan merawat situs-situs bersejarah agar cerita-cerita masa lalu tetap hidup dan dikenang untuk pembelajaran di masa yang akan datang. ***

Momotoran ke Madinah

Oleh: Irfan Pradana

Momotoran kali ini terasa menjadi pengingat, sekaligus kelanjutan dari Momotoran perdana saya bersama Komunitas Aleut beberapa waktu lalu. Saat itu kami dengan lima motor menyusuri kawasan Malangbong, Cibugel, Citengah, hingga Desa Baginda di Sumedang. Salah satu tujuannya adalah mengunjungi jejak-jejak pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Pada perjalanan sebelumnya kami menjumpai Ibu Ane, cucu Kartosoewirjo dari putra ketiganya, Sardjono. Di rumahnya yang berada di Malangbong kami mendapatkan cerita-cerita menarik seputar sepak terjang kakeknya selama menjadi pucuk pimpinan DI/TII. Selain itu Ane juga bercerita terkait pengalaman pribadinya sebagai cucu dari seorang pimpinan salah satu gerakan bersenjata paling besar di Indonesia dan salah satu kegiatannya bersama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang sudah menerbitkan beberapa buku, di antaranya The Children of War (Kompas Penerbit Buku, 2014).

Setelah terpaut waktu cukup lama, akhirnya kami kembali Momotoran dengan tema serupa, DI/TII, tapi dengan daerah tujuan yang berbeda, yaitu beberapa lokasi yang memang sudah ada dalam catatan dan agenda, tapi masih belum sempat kami sambangi, di antaranya, Cisampang di Cigalontang dan Kampung Sudi di Sodonghilir.

Perjalanan kami mulai sekitar pukul lima dini hari. Dari Bandung kami mengambil jalur Cileunyi – Nagreg, lalu Kadungora – Leuwigoong. Seorang kawan spontan mengusulkan untuk mengunjungi sebuah situ (danau) yang belakangan namanya tengah viral di media sosial. Sekadar mampir sekalian mencari sarapan. Namanya, Situ Sarkanjut.

Tidak terlalu lama, kami sudah tiba di depan sebuah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Situ Sarkanjut Desa Dungusiku.”

Situ Sarkanjut. Foto: Deuis Raniarti.

Dalam pemahaman saya selama ini, istilah kanjut dalam bahasa Sunda padan pengertiannya dengan alat kelamin pria, penis. Kawan-kawan lain pun menyatakan hal serupa. Tapi untuk meyakinkan lagi kenapa istilah ini digunakan sebagai nama tempat, saya coba informasi, dan menemukannya di website Sundadigi. Kanjut dijelaskan sebagai sarupa kantong leutik (wadah duit jst), selanjutnya, dikanjutan sama dengan diwadahan ku kanjut. Ya begitulah kira-kira, ternyata kanjut adalah sejenis kantung kecil tempat menyimpan uang. Keterangan lebih lanjut menyebutkan bahwa kantung tersebut memiliki tali pengikat yang dapat dikerutkan di bagian atasnya.

Continue reading

M.A.J. Kelling dan Rumah Wijde Blik di Kromhoutweg

Oleh: Aditya Wijaya

Rumah Wijde Blik (Arsip Komunitas Aleut, 2001)

Rumah dalam foto di atas ini terletak di sudut antara Jalan Dayang Sumbi dan Taman Sari, Kota Bandung. Rumah ini ada di pertigaan dan dapat terlihat jelas jika sedang berkendara karena lokasinya yang strategis.

Jika kita melihat foto lama rumah, di atas pintu masuk tertulis “Wijde Blik”. Saya mencoba mencari arti dari kata Wijde Blik melalui Chatgpt. Wijde Blik diterjemahkan menjadi “Pandangan Luas” atau “Perspektif Luas”.

Rasanya arti kata Wijde Blik mencerminkan saat kita memandang rumah ini. Rumah yang luas, dalam sudut pandang orang yang melihatnya.

Rumah Wijde Blik dimiliki oleh Martin Amandus Jonathan Kelling. Bangunannya dirancang oleh arsitek J.C.J. Piso yang memiliki nama lengkap Jelle Carel Johannes Piso. Dalam buku Arsitektur di Nusantara yang disusun oleh Obbe Norbruis, termuat sebuah iklan dari dari arsitek J.C.J. Piso.

Iklan Arsitek J.C.J. Piso (Arsitektur di Nusantara)

Rumah Modern di Hindia Belanda

Dalam sebuah artikel berjudul “De Modernne Indische Woning”  di majalah Tropisch Nederland Edisi No. 6, 13 Juli 1928 yang dijelaskan secara rinci deskripsi rumah ini. Dari judulnya, dapat diterka isi bahasannya adalah gambaran mengenai model atau tipe rumah modern di Hindia Belanda. Artikel ini ditulis oleh sang pemilik rumah, M.A.J. Kelling. Dia adalah adik dari Ernst Gerard Oscar Kelling yang namanya tertulis pada prasasti pendirian rumah sebagai peletak batu pertama dalam pembangunan rumah Wijde Blik. Terpahat juga tanggalnya, yaitu 2 Maret 1927.

Rumah Wijde Blik (majalah Tropisch Nederland)
Prasasti peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Ernst Gerard Oscar Kelling (Arsip Komunitas Aleut 2011)

Berikut ini deskripsi rumah Wijde Blik yang dijelaskan dalam artikel:

Dari luar, rumah tinggal ini terlihat seperti sebuah atap dengan empat dinding putih, di mana terdapat beberapa pintu dan jendela. Di dalamnya terdapat beberapa ruangan persegi dengan dinding putih. Ada teras depan yang terbuka dan teras belakang yang terbuka juga. Teras ini dihubungkan dengan koridor beratap besi yang menuju ke “bangunan tambahan” atau bisa juga disebut “bangunan luar”.

Yang dimaksud dengan “bangunan tambahan” adalah deretan kamar-kamar kecil, tempat dapur, kamar mandi, WC, gudang dan kamar-kamar untuk pelayan. Perabotan sepenuhnya selaras dengan dinding-dinding putih yang kaku. Di teras depan biasanya terdapat “set kursi” yang elegan, sebuah meja kecil dengan daun marmer dan empat kursi goyang yang diatur simetris, dikelilingi beberapa pot berisi pohon palem atau begonia di atas dudukan.

Ruang belajar di rumah Wijde Blik. Semua furnitur yang terlihat di ruangan ini dibuat di Hindia Belanda oleh arsitek furnitur Jac Rietdijk. (Tropisch Nederland)

Teras belakang yang biasanya menjadi ruang makan dan ruang keluarga sekaligus, dilengkapi dengan meja persegi panjang dengan enam kursi. Sebuah lemari dengan pintu kawat hijau (untuk menyimpan makanan, roti, mentega, dll.) serta bufet coklat tua, semuanya dibuat oleh seorang Tionghoa. Di kamar tidur terdapat tempat tidur besi dengan kelambu (tirai nyamuk), lemari linen, meja cuci dengan baskom dan kendi, dan tentu saja sebuah “meja kecil”, karena terlalu jauh untuk pergi ke bangunan tambahan di malam hari. Kamar tamu dan jika ada kamar anak-anak, sama dalam hal perabotan. Jika ada ruangan yang tersisa, ruangan itu diberi nama ruang besar “kantor”, yaitu ruang kerja tuan rumah. Di sana ada meja tulis sederhana dengan kursi putar, sebuah rak buku dan sebuah kursi rotan.

Hiasan untuk dinding terdapat beberapa gambar berwarna, gravur baja, dan rak-rak berisi tanaman hias. Penerangan terdiri dari lampu dinding gantung minyak tanah, kadang-kadang lampu gasolin (dengan atau tanpa tekanan), gas penerangan dan pada tahun-tahun berikutnya listrik.

Dari tulisan di atas, terbaca M.A.J. Kelling sedang menyampaikan sebuah gambaran mengenai gaya rumah Indis modern berdasarkan rumahnya yang baru dibangun di Kromhoutweg.

Ruang Penerimaan. Furnitur yang Anda lihat di foto ini, tanpa kecuali, seluruhnya dibuat di Hindia Belanda oleh pedagang furnitur Fa. Jac. Rietdijk. Lukisan menggambarkan pemandangan alam Hindia Belanda yaitu Teluk Sabang (Tropisch Nederland)

M.A.J. Kelling

M.A.J. Kelling menjabat sebagai sekretaris bendahara dari Bandoeng Vooruit. Dia juga menulis satu artikel mengenai “Sejarah Bandung” di majalah Mooi Bandoeng yang sering dijadikan rujukan bagi tulisan populer kesejarahan Kota Bandung. Selain menjabat di Bandoeng Vooruit ia juga menjadi administratur Middenstandsvereeniging (Asosiasi Usaha Kecil). Setelah masa revolusi ia menjabat sebagai Secretary of the Vereeniging van Belanghebbenden bij Onroerende Zaken (sekretaris Asosiasi Pemangku Kepentingan Real Estate). Kelling juga menulis beberapa buku bertemakan hotel, wisata, kebersihan, perbankan dlsb.

Selain itu, Kelling menjadi redaktur di majalah kereta api bernama “Java Expres” yang diterbitkan Staatsspoorwegen beralamatkan di Kromhoutweg No. 8. Jika melihat kepemilikan Wijde Blik saat ini yang dimiliki oleh PT. KAI, bisa saja informasi ini menjadi sebab kenapa rumah tersebut bisa dimiliki oleh KAI. Selain itu, berdasarkan buku Telefoongids Bandoeng (Preanger) 1936, beberapa rumah lain di Kromhoutweg juga ternyata dihuni oleh pegawai dan staf perkeretaapian.

Rumah Wijde Blik pernah dipugar pada tahun 2010 dan diberi nama Graha Parahyangan. Rencananya akan dijadikan museum dan galeri kereta api. ***

Catatan: *Tulisan ini mengandung persepsi dan pendapat pribadi penulis.

Mas Alimu dan Hukuman Gantung di Bale Bandung

Ariyono Wahyu

Alun-alun biasanya menandakan lokasi ibukota sebuah kerajaan atau kabupaten (bahkan ada juga hingga tingkat kawedanaan atau kecamatan). Sebagai pusat kota, Alun-alun mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan administratif dan sosial-kultural khususnya bagi masyarakat pribumi. Sebagai lahan terbuka (plein) di tengah ibukota, Alun-alun sering dipergunakan untuk berbagai acara. Banyak kegiatan dilaksanakan di Alun-alun, dari mulai gelar pasukan kerajaan, acara keagamaan, untuk menyampaikan pengumuman-pengumuman penting, hingga ke pelaksanaan hukuman mati (hukuman gantung). Begitupun halnya dengan di Alun-alun Bandung dahulu.

Dalam buku Pak Kunto, “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, ada cerita mengenai Mas Alimu yang menggelapkan kiriman kopi dari gudang kopi (koffiepakhuis) milik Andries de Wilde, yang seharusnya dikirimkan ke Cikao di Purwakarta, malah dilarikannya dan kemudian dijual ke orang Inggris di Cirebon. Konon, Mas Alimu melakukannya sebagai bentuk perlawanan terhadap keserakahan monopoli kebijakan pemerintah Belanda melalui Cultuurstelsel. Mas Alimu ditangkap, lalu diadili di Bale Bandung yang terletak di pojok tenggara Alun-alun. Ia dikenai hukuman mati dengan cara digantung di atas sebuah panggung kayu tempat tiang gantungan berada. Lokasi pelaksanaan hukuman gantung ini terletak di depan bekas Bioskop Dian sekarang ini. Dalam pelaksanaan hukuman gantung itu, daftar kejahatan  atau daftar dosa terhukum akan dituliskan pada selembar kertas yang kemudian dikalungkan di leher sang terhukum.

Tempat mengadili Mas Alimu yang disebut Bale Bandung ini dulu berada di pojok tenggara Alun-alun. Di depan Bale Bandung terletak sebuah panggung kayu dengan tiang untuk pelaksanaan hukuman mati. Bangunan Bale Bandung serupa bangsal dengan tiang-tiang besar yang menyangga atap bersusun, lantainya ditinggikan dua atau tiga kaki dari atas tanah. Bale Bandung ini biasa digunakan sebagai tempat bersidang, rapat, atau menerima tamu bagi Patih dan Jaksa. Tempat tinggal Patih saat itu berada di luar kompleks benteng Pendopo, lokasinya berada di daerah yang dinamakan Kepatihan sekarang ini. Di sebelah timur Alun-alun ada bangunan lain, yaitu rumah gedong tempat tinggal putra sulung Bupati. Di lokasi ini kelak akan hadir kompleks bioskop Oriental, Varia, dan Elita.

Siapakah Mas Alimu? Ternyata terhukum mati ini adalah seorang jurutulis di koffiepakhuis, dia membelot dan berkomplot dengan Mandor Padati dalam perbuatannya. Mas Alimu tidak terima keserakahan Belanda dalam monopoli perdagangan kopi, karena itu ia membawa lari hasil panenan saat itu. Dari sebuah jalan kecil yang saat itu disebut Jalan Pedati (Karrenweg, atau kelak akan dikenal dengan nama Jl. Braga), Mas Alimu mengangkut curiannya menuju Grootepostweg ke arah Sumedang.

Continue reading

Pembunuhan J.F.W. de Kort, Juragan Bioskop di Bandung

Oleh: Irfan Pradana

Foto: Lim Yap Collectables

Siapa yang hobinya menonton film di bioskop? Rasanya selalu menyenangkan menatap gambar bergerak di layar raksasa dilengkapi dengan tata suara yang menggelegar. Saat ini umumnya fasilitas bioskop berada satu gedung dengan pusat perbelanjaan. Di masa lalu kondisinya tidak begitu. Dulu bioskop memiliki gedung sendiri dan dikhususkan untuk memutar film.

Keberadaan bioskop dengan format seperti itu pernah menjamur di kota Bandung dari zaman kolonial hingga ke awal 2000-an. Kemunculan gedung-gedung bioskop tersebut seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pada awal abad ke-20 di kota Bandung.

Perubahan status Bandung menjadi Gemeente  semakin mendorong penambahan jumlah penduduk, terutama kalangan warga Eropa. Praktis hal ini berimbas juga pada kebutuhan sarana hiburan. Setelah taman, hotel, restoran, dan gedung pertemuan, bioskop tak ingin ketinggalan, turut meramaikan gemerlapnya kehidupan warga pada kala itu.

Mengutip artikel di mooibandoeng.com, gedung bioskop permanen baru muncul pada tahun 1908 dengan berdirinya Elita Biograph. Setelah itu bioskop-bioskop lain mulai menjamur, antara lain Varia, Oriental, Luxor, Roxy, Majestic, Rex, hingga Radio City. Menariknya, sederetan nama bioskop tersebut berada dalam kepemilikan utama dari tiga orang saja, yakni F.A. Busse, Thio Tjoan Tek, dan J.F.W. de Kort.

Usai menulis kasus pembunuhan oleh W.F. Winckel (Wakil Ketua Bandung Vooruit) yang sudah diunggah di sini beberapa waktu lalu, seorang kawan di Komunitas Aleut memberikan ide untuk terus mendokumentasikan kasus-kasus kriminal yang pernah terjadi di Bandung pada masa lalu. Saat mengobrol santai terkait bioskop di zaman baheula, kami menemukan sepotong cerita tentang hidup pengelola bioskop Radio City, J.F.W de Kort, yang berakhir tragis.

Continue reading

Guyur Bandung di Kebonkalapa

Insan Bagus Raharja

Minggu, 6 Oktober 2024 lalu, saya jalan-jalan ke sekitaran Jalan Mohammad Toha, Kecamatan Pungkur, Kota Bandung, dengan suatu tujuan. Di situ saya mengunjungi tiga tempat yaitu, SDN 008 Mohammad Toha, Gang Asep, dan Jalan Asmi. Tiga tempat itu saya datangi karena ingin melihat lokasi-lokasi yang saya duga menjadi tempat terjadinya peristiwa pembunuhan di pertengahan tahun 1934. Informasi peristiwa itu saya dapatkan dari berita koran-koran lokal, seperti Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan. Peristiwanya terjadi pada hari Sabtu, 21 Juli 1934 dini hari di salah satu rumah yang terletak di Jalan Kebonkalapa. Karena saya tak tahu secara pasti lokasinya, maka jalan-jalan di sore itu bertujuan mencari keterangan dan membuat beberapa foto akan saya gunakan untuk mencari kecocokan antara Jalan Mohammad Toha-Pungkur kini dengan lokasi yang disebutkan di koran-koran lama.

Saya sampai di Jalan Mohammad Toha-Pungkur sekitar pukul empat sore. Motor saya parkirkan persis di depan SDN 008 Mohammad Toha. Kebetulan tak jauh di depan saya ada seorang bapak yang sedang duduk-duduk santai di halte bus. Setelah memarkirkan motor, saya mendatanginya dan membuka obrolan.   

Bangunan paling kiri dari SDN 008 Mohammad Toha (Insan Bagus Raharja)

Bade ka mana,  A? (Mau ke mana A?),” tanyanya

Ieu pak bade motoan bangunan-bangunan tua. (Ini pak mau motoin bangunan-bangunan tua),” jawab saya.

Oh kitu, bangunan SD ieu ge da peninggalan Walanda (O iya bangunan SD ini juga peninggalan Belanda),” ujarnya sambil menunjuk bangunan SDN 008 Mohammad Toha yang ada di depan kami.

Ohhh. Ai bangunan ieu teh tilas naon? (Ohh. Kalo bangunan ini dulunya bekas apa?),” tanya saya.

Kapungkur mah ieu teh tilas rumah sakit (Dulunya bangunan ini dipakai untuk rumah sakit).” jawabnya.

Oh rumah sakit naon pak namina? (rumah sakit apa pak namanya?),” tanya saya lagi.

Duka atuh A kirang terang, da tos lami (Kurang tahu A, udah lama soalnya),” jawabnya.

Muhun atuh pak ai kitu mah, abi sambil motoan nya (iyah pak, saya sambil foto-foto ya),” jawab saya.

Jawaban si Bapak membuat saya agak takjub, karena yang saya temukan di arsip-arsip lama sangat berbeda dengan apa yang ia ungkapkan barusan. Jika melihat peta lama dan berita dari koran-koran lama seperti Sipatahoenan dan Sinar Pasoendan, gambaran rumah yang menjadi lokasi utama kejadian naas itu memiliki beberapa kesamaan dengan bangunan yang kini menjadi gedung milik SDN 008 Mohammad Toha. Memang ada perbedaan-perbedaan, khususnya pada bagian tengah bangunan yang bentuknya sudah tidak menyerupai rumah yang ada di kiri dan kanan nya, tetapi kesamaannya terlihat cukup jelas, khususnya dari deskripsi lokasi yang tertera di sumber-sumber yang saya jadikan rujukan.

Guyur Bandung dalam Berita

Koran Sipatahoenan edisi 21 Juli 1934 melaporkan suatu peristiwa pembunuhan dengan judul “Drama Anoe Pohara Kedjemna.” Kejadiannya berlangsung di rumah Kiagus Abdullah (Asep Berlian) yang berada di Kebonkalapaweg. Pada hari yang sama, koran Sinar Pasoendan juga kejadian naas tersebut dengan judul “Radjapati Anoe Kedjem” disertai dengan keterangan “Tina perkara ieu radjapati pohara matak ngageunjleungkeun teh, tina kadjadianana teh sasat di tengah-tengah kota pisan toer di sisi jalan deui. (Peristiwa pembunuhan ini sangat menggemparkan. Kejadiannya di tengah kota dan persis di pinggir jalan…)”.

Continue reading

Kisah Jan Bouwer yang Luput dari Interniran Jepang

Oleh Irfan Pradana

Jan Bouwer, Nederlands Dagblad, 17 Desember 1988 (delpher.nl)

Di tengah kekejaman perang, terdapat banyak catatan menarik tentang cara orang untuk bertahan hidup. Salah satu yang paling dikenal adalah kisah Anne Frank yang bersembunyi di sebuah ruangan (Het Achterhuis) di dalam rumahnya di Amsterdam pada masa pendudukan Belanda oleh tentara Nazi.

Selama dua tahun dalam persembunyiannya, Anne Frank menuliskan semua hal yang dialami dan dipikirkannya dalam buku diary yang belum lama dia dapatkan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-13. Namun, pada Agustus 1944 ruang persembunyian ini diketahui oleh polisi dan semua penghuninya dibawa ke kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau di Polandia.

Setahun berikutnya, Anne Frank dan kakaknya Margot, meninggal karena sakit di Kamp Bergen-Belsen di Jerman. Ibunya, Edith, beserta orang-orang sepersembunyian meninggal di Auschwitz. Hanya ayahnya, Otto Frank, yang dapat bertahan hidup hingga berakhirnya Perang Dunia ke-2. Catatan harian Anne Frank yang juga dapat diselamatkan, kemudian diterbitkan pada tahun 1947 dan menjadi salah satu kisah paling berpengaruh di dunia.

Dalam rentang waktu yang sama, Hindia Belanda juga menyimpan cerita tentang orang yang bersembunyi selama masa Perang Dunia II. Awal mula kisah ini sama seperti kisah Anne Frank di atas, yaitu masuknya pasukan Nazi Jerman ke Belanda pada tahun 1940. Saat itu seorang jurnalis bernama Jan Bouwer memilih melarikan diri ke Hindia Belanda.

Jan adalah seorang Belanda yang lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Pada 1938 ia pergi ke Belanda untuk bekerja, namun invasi Nazi memaksanya untuk melarikan diri dan kembali lagi ke Hindia Belanda. Di sini ia menikah dengan seorang indo bernama Ivonne dan melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis untuk media Algemeen Nieuws- en Telegraaf-Agentschap (Aneta).

Kegentingan perang seolah terus mengikuti Jan. Ia lari dari kejaran Jerman untuk kemudian terjebak dalam invasi Jepang di Hindia Belanda. Pada tahun 1942 Jepang berhasil memaksa HIndia Belanda menyerah. Lewat perjanjian Kalijati Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Dai Nippon. Tak berselang lama dari perjanjian penyerahan kekuasaan tersebut, Jepang mulai memasuki kota Bandung.

Di sini pasukan Jepang mulai menangkapi orang-orang Eropa. Mereka yang ditangkap dijadikan tawanan perang dan dijebloskan ke kamp konsentrasi atau yang sering disebut sebagai kamp interniran.

Kamp ini dibagi menjadi beberapa sektor, di antaranya kamp untuk tawanan sipil pria, remaja, wanita, dan anak-anak. Lalu ada kamp untuk pejabat tinggi Hindia Belanda. Kamp ini tidak hanya diisi oleh orang Belanda, tapi juga orang Amerika, Inggris, dan Australia. Profesinya bermacam-macam, mulai dari seperti misionaris, administratur perkebunan, pengusaha, biarawati, serta perawat dan dokter.

Kondisi di kamp interniran sangat memprihatinkan. Seluruh komplek kamp dibentengi oleh pagar yang terbuat dari anyaman bambu dan kawat berduri. Para tahanan harus hidup berdesakan dan serba kekurangan. Kabarnya setiap hari mereka hanya diberi makan bubur kanji. Jika ingin makan lebih layak mereka harus bersiasat menghindari patroli agar bisa membeli makanan dari warga pribumi lewat celah-celah pagar. Cilaka dua belas kalau kepergok petugas, mereka bisa mendapat hukuman sangat berat.

Akibat keterbatasan ini kebanyakan tahanan mengalami gizi buruk, terutama anak-anak. Belum lagi masalah sanitasi di dalam kamp yang buruk sehingga memicu timbulnya berbagai macam penyakit mulai dari disentri hingga kolera.

Para tahanan pria umumnya dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat seperti pembangunan jalur kereta dan bangunan. Sementara tahanan wanita banyak yang dipaksa untuk melayani nafsu birahi para tentara Jepang.

Penyakit, gizi buruk, dan beratnya pekerjaan menyebabkan banyak tahanan meregang nyawa. Dengan segala kengerian  yang ada, kamp ini ibarat tempat buat menunggu dijemput ajal.

Ajaibnya Jan Bouwer berhasil lolos dari seluruh kesengsaraan di atas. Selama 3,5 tahun pendudukan Jepang, Jan bersama sang istri bisa hidup bebas. Lantas bagaimana caranya Jan bisa selamat?

Rupanya sejak mengetahui kabar kedatangan Jepang ke Bandung Jan mengundi nasibnya dengan bersembunyi di halaman belakang rumahnya. Saat itu Jan bersama istrinya tinggal di kawasan Dago, tepatnya di rumah bernomor 42B. Kini lokasinya telah berganti rupa menjadi pusat perbelanjaan Superindo Dago.

Waktu ditinggali Jan, rumah itu punya halaman belakang yang rimbun oleh belukar. Jan menyebutnya sebagai mijn rimboe atau “Hutanku”. Jadi setiap ada patroli dari serdadu Jepang atau polisi Indonesia, Jan akan bersembunyi di hutannya itu. Seringkali dia harus berada di sana selama berjam-jam, terkena terik matahari dan hujan demi menghindari pemeriksaan petugas. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata tetangga Jan adalah orang Jepang. Namun keberadaannya tak pernah terendus oleh pihak Jepang.

Jan bersembunyi sendiri, karena Ivy, nama panggilan istrinya yang seorang Indo tidak termasuk golongan yang ikut ditangkap oleh Jepang. Lucunya di tengah segala ketegangan ini, Jan dan Ivy masih sempat-sempatnya berkembang biak. Kehamilan Ivy menimbulkan berita miring bagi warga sekitar. Mereka menduga Ivy main serong dengan lelaki lain, padahal Jan sendiri lah pelakunya.

Seperti Anne Frank, Jan juga membuat catatan harian selama masa persembunyiannya. Apalagi Jan adalah seorang jurnalis, jadi meskipun harus main petak umpet, ia masih menyempatkan diri untuk mengakses informasi. Lewat istrinya ia memperoleh perkembangan dunia melalui surat kabar lokal seperti Tjahaja dan Soeara Asia.

Tidak hanya melalui surat kabar, Jan juga mengakses informasi secara diam-diam melalui siaran radio luar negeri. Saat itu pemerintah Jepang melakukan sensor yang ketat terhadap media, salah satunya terhadap saluran mancanegara. Jadi setiap ada pemeriksaan, Jan harus mengubur perangkat radionya agar tidak ketahuan.

Senasib dengan penulisnya, catatan harian Jan di masa persembunyian selamat sentosa. Pada tahun 1983 catatan ini dibukukan dengan bantuan seorang sejarawan Belanda, Loe De Jong. Bukunya berjudul “Het Vermoorde Land”.

Melalui catatannya Jan mengisahkan detik-detik awal kedatangan Jepang ke Bandung. Ia ingat persis tanggal 10 Maret 1942 jam 6 sore harus kehilangan mobilnya di depan hotel Preanger. Seorang serdadu Jepang memaksanya keluar dari mobil lalu merampas kuncinya. Jan mengenali serdadu itu karena beberapa kali bertemu di sebuah toko pencucian film foto di Batavia.

Sabtu, 18 Maret 1942, Jan mencatat bahwa Bandung menjadi saksi peristiwa tragis. Pimpinan pemerintahan Hindia Belanda diperintahkan berbaris menuju stasiun kereta untuk diberangkatkan ke Batavia. Gubernur Jenderal Tjarda diangkut dengan truk, sementara para jenderal KNIL seperti Ter Poorten, Uhl, dan Pesman, berjalan di belakangnya.

Jan juga menceritakan tanggal 20 Maret setidaknya ada 1500 orang ditangkap dan dijebloskan ke penjara Struiswijk. Mereka diharuskan membersihkan toilet, mengepel lantai, dan menyemir sepatu serdadu Jepang. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer masih berada di Bandung, tepatnya di Villa Mei Ling. Tjarda terus diinterogasi, dan diperkirakan akan dibawa ke luar Pulau Jawa.

Menjelang akhir April 1942, kurang dari dua bulan setelah Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, masyarakat di Bandung ramai menjual bendera Nippon untuk merayakan ulang tahun Kaisar Hirohito pada 29 April. Gubernur Jepang untuk Jawa Barat, Kolonel Matsui, telah menetap di Ciumbuleuit. Ada pelarian dari kamp-kamp tawanan militer di sekitar Bandung, dan Jepang mengancam akan menembak mati lima orang untuk setiap satu tawanan yang melarikan diri.

Cerita menarik lain pada akhir April 1943, Jan mencatat momen perayaan ulang tahun Kaisar Hirohito yang tidak semeriah sebelumnya. Hal ini dipicu oleh masyarakat Indonesia yang mulai merasakan kesulitan hidup akibat melonjaknya harga beras.

Di Alun-alun Bandung, diadakan rapat umum yang diinisiasi oleh Oto Iskandardinata, Gondhokoesoemo, dan Dokter Moerdjani dengan tema “Hancurkan Amerika dan Inggris.”

Sementara di Jakarta, Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpin oleh Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer, juga mengadakan rapat umum. Soekarno menyerukan semboyan, “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis.”

Jan bukan seorang Belanda yang progresif. Secara pandangan politik ia sama dengan para kolonialis Belanda kebanyakan. Misalnya dalam tulisan Jan kerap menggunakan kalimat “Soekarno en zijn kornuiten” (Soekarno dan konco-konconya). Ia juga menunjukan skeptisisme terhadap kemampuan pribumi ketika Jepang membuka kembali sekolah pendidikan dokter. Jan sangsi akan ada dokter yang kompeten dari kalangan pribumi.

Pada 19 Agustus Jan menyebut “pengibaran bendera pemberontak” untuk peristiwa proklamasi 17 Agustus. Menurutnya berdirinya republik Indonesia malah menimbulkan kecemasan ketimbang kebahagiaan. 19 Agustus juga jadi hari terakhir persembunyian Jan.

Di hari itu ia mengunjungi seorang Belanda lain yang bernasib mujur sepertinya mampu lolos dari penangkapan. Nama orang itu Van Vierssen yang bekerja di British American Tobaco Company. Keduanya berjumpa merayakan kebebasan sambil menenggak bir seraya menyesap rokok bersama.

Setelah itu Jan Bouwer melanjutkan kerja jurnalistiknya di Nieuwsgier, Jakarta. Pada 15 Agustus 1949, ia turut meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Setelah penyerahan kedaulatan, Jan tetap bekerja sebagai wartawan di Indonesia, namun pada tahun 1955, ia meninggalkan Jakarta untuk menjadi koresponden surat kabar Katolik De Volkskrant di Bonn. Setelah itu Jan tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. ***

Pembunuhan Sadis oleh Sekretaris Bandoeng Vooruit

Oleh Irfan Pradana

Belakangan ini waktu saya di Komunitas Aleut sedang banyak saya gunakan untuk mengulik informasi tentang Bandoeng Vooruit. Perkumpulan ini didirikan tahun 1925 dengan tujuan utama untuk memajukan kota Bandung, khususnya di bidang pariwisata.

Untuk menambah dayanya, sejak 1933 Bandoeng Vooruit menerbitkan majalah bulanan bernama Mooi Bandoeng. Melalui majalah ini Bandoeng Vooruit menginformasikan seluruh programnya kepada publik. Tidak hanya itu, selain memuat berbagai artikel promosi wisata serta trivia yang menarik, majalah ini juga membuat banyak sekali liputan mengenai keadaan kota Bandung, perkembangannya, serta berbagai aktivitas warganya.

Lewat arsip majalah Mooi Bandoeng ini juga saya mendapatkan beragam informasi unik yang bisa memantik ide untuk melakukan riset kecil-kecilan. Salah satu yang dapat saya catat adalah jejak apotek swasta pertama di Kota Bandung yang berawal dari sepotong informasi dari Mooi Bandoeng. Artikelnya bisa dibaca di sini.

Beberapa waktu lalu saat tengah asyik bergumul dengan kata kunci “Bandoeng Vooruit”, saya menemukan berita menghebohkan. Ternyata, di balik sepak terjangnya dalam mengembangkan sektor pariwisata, Bandoeng Vooruit juga tak lepas dari skandal dan kontroversi. Berikut ini adalah salah satu yang sangat menarik perhatian saya.

Continue reading

Catatan Momotoran Cililin; Susur Jalur Desa

Oleh: Fikri Mubarok Pamungkas

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Mapay jalan satapak

Ngajugjug ka hiji lembur

Henteu maliré kacapé

Sabab aya nu ditéang

Dalam perjalanan momotoran ke wilayah Cililin (lagi) minggu lalu, saya teringat lirik lagu Mawar Bodas dari Doel Sumbang itu. Momotoran di Aleut memang sudah dapat dipastikan akan melewati kampung-kampung alias lembur, kawasan yang jauh dari daerah padatnya perkotaan. Begitupun dengan perjalanan momotoran kali ini yang justru kebanyakan melewati perkampungan, mungkin mirip susur kampung.

Kami telah merencanakan momotoran ini seminggu sebelumnya dengan tujuan latihan menulis catatan perjalanan bagi anggota ADP 2023 dengan media belajar momotoran. Tak banyak rencana destinasi yang akan dikunjungi, hanya beberapa saja, itu pun sekeinginannya di jalan. Momotoran kali ini juga tak seperti biasanya karena tidak menargetkan kunjungan ke tempat bersejarah, seketemunya saja. Karena itu, pada tulisan kali ini saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saja dalam mengikuti perjalanan momotoran itu.

Saya merasa senang bisa momotoran lagi ke kawasan Cililin bersama Aleut, dan ini adalah momotoran yang ketiga kalinya buat saya ke daerah ini. Seperti sebelumnya, kali ini pun kami menempuh jalur jalan yang berbeda. Dalam perjalanan terakhir, kami mengambil jalur Jatisari lalu berbelok ke tanjakan cukup berat di Bahubang Legok, kemudian masuk ke jalur jalan berlumpur. Hari ini kami mengambil jalan lurus ke Jati Bunikasih, lalu Mariuk, Cipapar-Cibadak, dan melewati Desa Situwangi lagi tapi di kawasan yang berbeda.

Perjalanan sejak pagi tadi cukup menyenangkan, dimulai dari sekretariat Aleut, kemudian ke kompleks TKI untuk menjemput seorang rekan yang memang tinggal dekat daerah itu, lalu menuju Jatisari yang menjadi gerbang untuk kawasan yang akan kami datangi hari ini. Menjelang Mariuk, di Kampung Cibadak, kebetulan saya berada di urutan paling depan, sedangkan kawan-kawan lain di belakang dengan jarak tidak terlalu berjauhan. Di sebuah tanjakan, kawan paling belakang membunyikan klakson dan menghentikan motornya. Rupanya mau menyetel rem. Pada saat itulah ia sepertinya melihat sesuatu yang menarik perhatian dan memanggil kami yang berada di depan untuk memutar balik.

Ternyata ia melihat sebuah warung yang tampak menarik lokasinya, di dasar lembah berdampingan dengan hamparan sawah yang sedang menghijau segar. Pemandangan ini memang langsung terasa sangat menarik, membuat kami memutuskan untuk melihat langsung warung itu dari dekat. Jadi, kami putar balik, dan berbelok di sebuah jalan menurun yang agak teduh karena lebatnya rumpun-rumpun bambu di sisi kiri dan kanannya. Jalannya tidak lebar, tapi kondisinya termasuk bagus untuk ukuran daerah itu. Tidak terlalu jauh dari belokan tadi, kami sudah tiba di sebuah gapura bambu berukuran kecil di sisi kanan jalan. Gapura ini diapit oleh pagar bambu yang cukup tinggi sehingga bangunan di dalamnya hanya terlihat bagian atapnya saja.

Pemandangan ke arah Batu Nini dari Warung Lugina. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Sebelum masuk ke area warung, dari kejauhan saya melihat batu besar yang menjulang tinggi di lereng gunung di sebelah kiri saya. Batu itu sudah tak asing lagi buat saya karena beberapa waktu lalu pernah mendaki ke atasnya. Sungguh pengalaman luar biasa bisa berada di atas batu itu. Ketika melihat ke bawahnya, ada perasaan ngeri juga, karena merupakan jurang yang dalam. Dari sana asyik sekali mengamati kebun-kebun, hutan, sawah, dan permukiman yang tersebar jauh di bawah. Andai sebelum mendaki itu saya sudah tahu keberadaan warung ini, tentu saya akan mencari-cari lokasinya dari atas sana.

Gerbang Warung Lugina yang berbatasan dengan persawahan. Foto: Fikri Mubarok Pamungkas.

Kembali ke warung ini. Di gapura terbaca namanya: Warung Lugina. Tempatnya terlihat nyaman, didominasi warna hijau, merah marun, dan coklat. Warna hijau dari sawah yang menghampar di belakang serta tetumbuhan di seluruh area warung, merah marun dari warna atap warung, dan coklat dari warna pagar dan bangunan warung yang terbuat dari kayu dan bambu. Baru beberapa langkah, terasa beruntung juga menemukan keberadaan warung dengan lokasi yang nyaman di sini, apalagi mengingat sebelumnya sempat ada obrolan selintas ingin mampir ke sebuah resto atau cafe yang pernah populer bernama Breeze. Saat lewat, rasanya tempatnya terlalu modern bagi kami.

Kami menghabiskan waktu sekitar satu jam di Warung Lugina. Mengobrol seru dengan pengelolanya, Pak Rahmat, yang ramah dan senang bertukar cerita. Sambil ngobrol, beliau menggoreng beberapa piring bala-bala dan tempe, juga menyeduh minuman pesanan kami. Semua dilakukannya sendiri. Lalu tiba juga waktunya berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Saya dan kawan-kawan menyimpan beberapa catatan dari obrolan yang santai dan menyenangkan ini, terutama mengenai pengalaman hidup Pak Rahmat sejak usia mudanya.

Kami kembali menyusuri jalanan di Kampung Cibadak menuju Desa Situwangi. Ruas jalannya tidak terlalu besar, bila dua mobil berpapasan, mungkin harus mengatur jarak agar bisa lewat satu per satu. Jalannya sih sudah dilapisi beton, buat motor cukup memudahkan. Perkampungan demi perkampungan kami lalui, juga hutan-hutan kecil, hingga sampailah kami di Desa Situwangi.

Dari Desa Situwangi kami mengambil jalan ke arah kiri dan tepat di sebuah pertigaan, rekan yang berada paling depan berhenti untuk menunggu rekan lainnya. Lalu ada seorang warga yang menanyakan “bade ka saha?” sontak kami sedikit bingung untuk menjawabnya. Untungnya saat melihat petunjuk arah di hp langsung teringat, bahwa kami akan mengunjungi Makam Eyang Dalem Angga Yuda. Maka kami pun langsung menjawabnya dan bertanya apakah jalur ini betul atau salah. Ternyata benar, jalan ini ialah jalur menuju Makom yang dimaksud.

Jalanan menuju makom lumayan menanjak dan semakin sempit di atasnya, mungkin hanya bisa dilewati oleh dua motor saja. Kami melewati sebuah kampung kecil dengan sawah-sawah di sebelah kiri jalan, sedangkan sebelah kanan jalan terdapat rumpun-rumpun pohon bambu, hutan kecil, dan ladang. Tepat di puncak, terdapat sebuah baliho yang menunjukkan bahwa makam Eyang Dalem Angga Yuda. berada di sekitar tempat ini, namun masih harus jalan kaki ke atas bukit.

Tidak ada tempat parkir di sini, sehingga kami harus menyusun motor-motor di lahan-lahan sempit di sela rumah paling depan. Dari sini berjalan kaki sedikit, lalu di sebelah kiri ada lorong sempit bertangga batu yang penuh lumut untuk naik ke atas bukit. Tidak terlalu jauh naiknya, mungkin sekitar 20 meteran.

Bagian atas bukit ini seluruhnya terisi oleh permakaman umum dan di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat makam yang dikeramatkan, yaitu makam Eyang Angga Yuda. Makam-makam paling depan yang kami temui ukurannya tidak biasa, sekitar 3-4 meter panjangnya. Ketika bertanya pada dua orang bapak warga lokal yang sedang duduk-duduk dekat area makam keramat, ternyata mereka juga tidak tahu kenapa makam-makam di depan itu ukurannya panjang-panjang.

Lorong tangga menuju kompleks makam dan makam panjang yang kebanyakan tanpa nama. Foto: Deuis Raniarti.

Di dekat bangunan makam keramat ada sebuah bangunan lain dengan ukuran lebih kecil, katanya sih warung. Saya kira warung ini aktifnya bila sedang ramai orang datang berziarah ke sana. Makam-makam seperti ini memang selalu ramai sekali pada hari-hari atau event tertentu. Di salah satu sisi dinding luar bangunan ini terdapat spanduk besar berisi keterangan silsilah Eyang Dalem Angga Yuda. Bertanya tentang nama-nama yang tercantum pada bapak-bapak tadi pun hasilnya sama saja, nihil. Kejadian seperti ini cukup sering kami temui di tempat-tempat yang dikeramatkan seperti ini, para pengunjung seringkali tidak tahu apa-apa tentang siapa yang diziarahinya. Fenomena yang sangat menarik.

Saat kami datang ini ada beberapa orang yang sedang berziarah juga, termasuk satu pasangan sepuh yang berjalan dengan tertatih-tatih. Mereka baru saja keluar dari bangunan utama dan sepertinya sudah selesai dengan kegiatannya. Si ibu tampak bersemangat melihat rombongan kami dan menyerukan sesuatu, semacam “Tah kitu atuh anu ngarora, sok pada ziarah.”

Kami pun melihat-lihat ruangan dalam bangunan utama yang berisi makam Eyang Dalem Angga Yuda. Cukup luas juga dan terdapat sebuah area untuk tawasulan. Setelah itu kami mengelilingi area makam yang ada di belakangnya. Walaupun berada di ketinggian, tapi dari atas sini pandangan ke bawah tidak bebas, karena padat dan rimbunnya pepohonan yang mengelilingi area makam ini.

Kami tidak terlalu lama berada di area makam ini, kemudian turun lagi dan melanjutkan perjalanan menyusuri kampung yang cukup padat dengan jalan-jalan sempit yang cukup tajam tanjakannya. Kampung-kampung ini walaupun terlihat padat, tapi umumnya sepi. Mungkin sebagian besar penghuninya sedang sibuk berladang atau menggarap sawah. Tak terbayangkan sih keseharian warga di sini, bila akan pergi ke tetangga dekat saja harus berjalan kaki menempuh tanjakan atau turunan yang curam-curam begini.

Usai tanjakan panjang dan setelah SDN Budiwangi, kami bertemu jalan utama Bahubang-Batukarut. Ke kanan menuju Cihampelas, ke kiri ke Bahubang Legok yang sudah pernah kami lalui dalam perjalanan terdahulu. Di sini kami spontan mengambil jalan ke kanan untuk menuju lokasi berikutnya, yaitu ke Walahir. Jalanannya cukup bagus, di sisi kiri kanan jalan tidak terlihat ada rumah-rumah, hanya ladang dan tanah kosong. Di beberapa bagian ada jalanan rusak dan berpasir yang membuat motor kadang agak goyah. Sampai di bawah, kami baru menyadari bahwa jalan ini menuju ke Desa Utama, artinya kami malah balik lagi ke jalan utama, tidak jauh dari lokasi tadi bertanya tentang makam Eyang Dalem Angga Yuda, haha. Putar balik deh.

Lucunya, setelah putar balik ini, rombongan malah kepencar-pencar. Ada dua motor yang sudah melaju cepat jauh di depan dan tidak terlihat lagi dari pandangan. Nanti kami ketahui bahwa dua motor di depan ini pun ternyata terpisah cukup jauh, walaupun masih berada di jalur yang sama. Saya bersama dua motor lagi yang tertinggal di belakang berinisiatif mengambil sebuah jalan beton yang belok ke kanan. Jalan ini agak terlindung di balik lebatnya rumpun-rumpun bambu yang tinggi. Sedari tadi saya sudah mengetahui jalur jalan ini melalui google maps dan terlihat jalur ini merupakan yang terpendek untuk menuju ke Puncak Gantole.

Setelah agak jauh ke dalam dan tiba di sebuah pertigaan, hati mulai ragu, karena tidak terlihat rekan-rekan yang sudah duluan di depan. Ini tentu saja tidak biasa, karena di Aleut, bila berada di kawasan yang belum akrab dan menemui jalur bercabang seperti ini, sudah pasti akan ada yang menunggu agar yang di belakang tidak terpisah karena salah ambil jalur jalan. Saya pun memutar balik dan di bawah bertemu dengan satu motor lain yang rupanya menyusul kami karena tidak kunjung muncul di jalur yang sudah mereka tempuh. Kami kembali ke jalur jalan utama Bahubang-Batukarut.

Kawasan yang membuat rombongan kami terpencar-pencar. Jalannya mah lurus-lurus aja, tapi karena masing-masing pegang google maps, ya itulah yang akhirnya memisahkan haha. Foto: Deuis Raniarti.

Lagi-lagi di sebuah pertigaan, rekan yang di belakang saya ternyata tidak mengikuti dengan cepat sehingga terpisah kembali. Saya memutuskan berbelok ke kiri yang jalannya agak menanjak lalu menunggu di atas, sembari menunggu balasan chat dari rekan yang telah berada di depan. Setelah menerima balasan, kami memutuskan mengambil jalan lurus, sebab jika dilihat dari peta gmaps ada jalan yang mengarah ke rekan yang berlokasi di sana. Tapi setelah kami ikuti jalur ini, ternyata malah semakin menyempit, mungkin hanya cukup satu motor saja sehingga kami pun kembali berputar arah dan mencoba jalan lain yang berbelok ke kiri. Jalan ini justru lebih parah sampai ke ujung jalan beton dan mengarah ke hutan.

Akhirnya teknologi whatsapp juga yang menyelesaikan persoalan salah mengerti ini. Kami kembali ke jalan utama Bahubang-Batukarut, belok kanan, lalu menyusul rekan-rekan yang menunggu jauh sekali di depan. Akhirnya kami bertemu kembali bersama rombongan, setelah terpisah mungkin sekitar 20 menit.

Dari sini kami menempuh jalur jalan perkampungan yang kecil menuju Pojok Walahir dan Puncak Gantole. Menempuh lagi jalur tanjakan Cipamonokan sampai ketemu pertigaan ke Gedugan. Lalu belok kanan ke Pasirpanjang-Cijeruk yang menanjak dan mengikuti jalur jalan berliku. Jalan di sini kondisinya sangat baik dan nyaman dilalui. Jalanan yang mulus sangat membantu motor kami yang tenaganya pas-pasan ini dalam menapaki tanjakan. Di ujung tanjakan, persis di tikungan patah ke arah kiri, ada sebuah warung kecil di tepi jalan. Ke situlah kami mampir sebentar. Di dalam warung ini, ada sedikit teras menghadap ke lembah di bawahnya. Jajaran pergunungan di utara Bandung pun terlihat cukup baik, apalagi bila udaranya bersih. Sayangnya di teras dalam yang sempit ini sudah terisi oleh sepasang muda-mudi yang asyik masyuk selonjoran melupakan dunia sekitar. Jadi kami pilih teras yang sedikit lebih lega, tapi pemandangannya sepertinya ke arah Soreang, itu pun terhalang pergunungan yang baru saja kami lalui. Sebagian rekan duduk-duduk di bangku luar warung sambil memesan ini-itu.

Warung Pengkolan yang bikin betah nongkrong. Foto: Deuis Raniarti.

Warung ini memang nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat, terutama setelah menempuh perjalanan menghadapi tanjakan yang cukup melelahkan. Angin sepoy-sepoy dan sejuknya hutan pinus di sebelah warung membuat betah berlama-lama di sini. Jualannya sih biasa saja seperti warung pada umumnya, mi instan, seblak, baso, berbagai minuman kemasan, dan kelapa muda. Lokasinya yang membuatnya jadi istimewa.

Lewat tengah hari, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan, masuk lebih dalam melewati hutan pinus yang dijadikan tempat wisata, namanya Pinus Pananjung. Sepertinya tempat ini tidak banyak pengunjungnya, apa mungkin musimnya sudah berlalu? Di sebelah kanan jalan ada area yang agak lapang dan bangunan yang dari bentuknya seperti toilet, namun kurang terawat. Di sebelah kiri jalan berjejer warung-warung bambu yang cukup teduh karena berada dalam lindungan pepohonan. Tampaknya sedap juga buat sekadar nongkrong di situ bila kapan-kapan lewat lagi.

Setelah melalui tempat wisata lain yang cukup ngehits, yaitu Langit Gantole, kami pun memasuki sebuah kampung yang terlihat cukup padat. Modelnya kampung modern dengan rumah-rumah tembok. Warga cukup ramai berlalu-lalang, dan ternyatalah sedang ada keramaian, syukuran khitanan. Dari arah depan kami berjalan arak-arakan dengan kuda renggong dan di paling belakang berjalan pelan sebuah mobil bak yang membawa soundsystem dengan suara keras. Karena pemandangan seperti ini cukup langka bagi kami, jadi kami menepikan motor dan menunggu sampai seluruh arak-arakan lewat. Meriah sekali.

Foto atas: arak-arakan kuda renggong. Foto bawah di lapangan Puncak Gantole. Foto: Deuis Raniarti dan Fikri Mubarok Pamungkas.

Tidak jauh dari kampung barusan, lingkungannya sudah merupakan area terbuka yang termasuk ke kawasan Puncak Gantole. Di sebelah kanan sedang ada pembangunan pondok-pondok kayu berbentuk segitiga yang belakangan ini banyak ditemukan di mana-mana. Sepertinya sedang ada persiapan pembuatan lokasi wisata baru lagi. Melihat bentuknya sih, sama saja dengan banyak lokasi wisata yang sedang populer belakangan ini. Seragam.

Akhrinya kami tiba di Puncak Gantole dan menepi ke sebuah warung kecil. Pemilik warungnya senang bercerita, sedikit saja salah satu rekan kami bertanya, si ibu warung akan menjawabnya dengan panjang lebar, sambil selalu bercerita tentang keadaan pribadinya. Lama-lama malah si ibu curhat segala macam. Ya begitulah obrolan warung, bisa tidak terduga arah obrolannya. Usai rekan-rekan lain berkeliling area gantole dan berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini akan mencoba jalur Gedugan, jadi kami agak memutar balik sedikit sampai pertigaan di bawah Warung Pengkolan tadi. Di sini ambil jalan ke kanan yang menuju ke Desa Kidangpananjung. Jalur jalan di sini tidak sebaik sebelumnya, tapi juga bukan jalan yang terlalu rusak. Beberapa kampung kami lewati, sampai tiba di sebuah pertigaan yang tidak terlalu mencolok karena belokan ke kirinya berupa jalan kecil berbatu-batu. Setelah melewati kantor Desa Kidangpananjung, kami berhenti sejenak di sebuah pertigaan kecil untuk memastikan jalur, karena sempat ada rencana untuk mencoba jalur ke kiri yang menuju Cicapeu.

Pada saat berhenti itu muncul serombongan ibu-ibu dari arah kiri yang menanyakan kami mau ke mana, ketika menyebutkan Cicapeu, ibu-ibu ini menyarankan untuk tidak melanjutkannya, karena kondisi jalan yang rusak parah serta jalurnya naik-turun curam. Katanya, orang situ pun enggan menggunakan jalur itu dan memilih jalur memutar-mutar saja bila ada tujuan ke arah sana. Berdasarkan google maps, jalur ini sebetulnya dapat tembus sampai Kutawaringin, tapi kali ini kami memilih percaya kepada warga lokal saja.

Sebetulnya ada beberapa rute jalan potong lain ke Soreang atau Kutawaringin dari tempat kami berada itu, misalnya lewat jalur Cikoneng-Puncakmulya yang akan melipir Puncak Gunung Aul dan bertemu dengan Simpang Lima Gunung Geulis dan Ciririp-Bangsaya bagian timur yang sudah pernah kami lalui beberapa waktu lalu. Bisa juga lewat jalur Gedugan Kulon ke selatan melalui Nagrog lalu bertemu dengan jalur Tegalpanjang yang ke arah timurnya akan bertemu dengan Desa Sukamulya, dan selanjutnya melipir Puncak Gunung Aul. Jalur ini menapaki punggungan perbukitan Puncak Paseban. Satu jalur lainnya adalah melewati jalan kecil belok ke kiri yang lokasinya tak jauh dari kantor Desa Kidangpananjung. Jalur ini terlihat lebih ringkas, tapi kurang meyakinkan karena garisnya yang tipis, jangan-jangan… Jalur yang melewati daerah Cibauk ini bisa langsung sampai Cibodas, Kutawaringin. Yah lain kali aja deh kayanya, kalau sudah ada informasi tambahan, apakah dapat dilalui oleh motor-motor matic manja kami ini.

Akhirnya kami memilih jalur yang sebenarnya menjauh, yaitu ke arah Kampung Lembang dan selanjutnya Mukapayung yang dapat dikatakan sudah cukup sering kami datangi atau lewati. Yah lumayanlah, menghindari jalan rusak ekstrim, ketemunya jalur turunan panjang yang tak kalah ekstrimnya. Dari sini kami melewati tempat wisata Lembah Curugan Gunung Putri, lalu keluar di Cililin. Akhirnya spontan spontan saja mampir beberapa tempat  bersejarah, di antaranya, Radio NIROM Cililin yang catatannya sudah ditulis oleh rekan lain beberapa waktu lalu. ***

Catatan versi Story Maps ada di sini.

Momotoran Sinumbra-Cipelah: Cerita dari Pemetik Teh Kebun Sinumbra

Oleh: Irfan Pradana

Plang Pabrik Teh di Kebun Sinumbra. Foto: Deuis Raniarti.

Semalam sepulang bekerja saya sempatkan untuk membeli nasi goreng di tempat langganan sejak kecil. Sambil menunggu pesanan datang, saya disuguhi segelas besar teh tawar hangat. Gratis dan bisa diisi ulang sesuka hati.

Saya jadi teringat pada masa-masa saya tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap warung makan di Jogja, teh tidak diberikan secara cuma-cuma. Pengunjung harus merogoh kocek tambahan jika ingin meminum teh, baik teh tawar maupun teh manis. Jika tak ingin keluar duit lagi, silakan minum air putih.

Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sempat merekam fenomena ini. Teh di wilayah priangan adalah komoditas utama penopang perekonomian. Perkebunan teh membentang luas menguasai lahan yang berada di Jawa Barat. Imbasnya persediaan teh jadi melimpah ruah.

Sebagaimana hukum ekonomi, ketika supply melimpah, maka harga akan turun. Penjual makanan mungkin sudah memasukkan teh sebagai komponen harga pokok produksinya. Entah, yang pasti teh tawar disuguhkan gratis.

Membicarakan perkebunan teh —khususnya di wilayah Bandung— akan mempertemukan kita pada nama-nama pembesar, juragan teh, seperti Bosscha atau keluarga Kerkhoven. Nama mereka telah diabadikan di banyak monumen maupun literatur sejarah. Bosscha misalnya, namanya tetap harum hingga saat ini berkat sumbangsihnya dalam bidang pendidikan di kota Bandung. Namanya terpatri sebagai nama peneropong bintang di utara Bandung sana.

Lantas bagaimana cerita dari sekrup paling penting dari industri yang membesarkan nama-nama seperti Bosscha?

Tulisan ini merangkum isi perjumpaan kami dengan seorang mantan buruh pemetik teh di perkebunan Sinumbra, Rancabali. Namanya Ibu Iwin.

Ngalor Ngidul dengan Bu Iwin, Pensiunan Pemetik Teh di Sinumbra

Minggu lalu Komunitas Aleut kembali mengadakan kegiatan momotoran, kali ini tujuannya ke sekitar Sinumbra-Cipelah. Kami berkeliling di seputar Ciwidey dan Rancabali untuk menyusuri jejak Siluman Merah, Max Salhuteru, Perkebunan Teh Sinumbra, Desa Sukaati, hingga ke wilayah Cipelah, Cianjur.

Rute ini dibuat dengan satu jalur, sehingga seluruh destinasi kami lewati dua kali. Kami bertemu dengan Bu Iwin di perkebunan Sinumbra saat perjalanan pulang. Awalnya di Sinumbra kami hanya melawat ke pabrik dan masjid yang dibangun oleh Max Salhuteru. Mungkin bu Iwin masih bekerja di kebun saat pertama singgah tadi.

Continue reading