Jejak Gerombolan di Parentas

Ditulis oleh: Komunitas Aleut

Hari Sabtu, 18 Februari 2023, Komunitas Aleut melakukan perjalanan ke Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan kami saat berkunjung ke Parentas.

PARENTAS

Parentas merupakan sebuah desa yang berada di perbatasan antara Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasik, letaknya berada di atas pegunungan dikelilingi oleh lembah curam. Cukup sulit jika ingin menuju Parentas terutama menggunakan kendaraan roda empat. Jalur menuju Parentas sebagian jalannya rusak dan tikungan jalannya sangat tajam dan pendek-pendek. Butuh kewaspadaan ekstra jika ingin menuju Parentas.

Jalan menuju Parentas. Foto: Komunitas Aleut

Desa Parentas pernah mengalami peristiwa memilukan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1961. Tepatnya 17 Agustus 1961. Sebanyak 51 orang tewas di Desa Parentas, mereka semua diserang oleh gerombolan DI/TII. Terdapat sebuah monumen sebagai tanda terjadinya peristiwa memilukan tersebut.

Melihat monumen dan merasakan suasana desa inilah tujuan kami datang ke Parentas. Ya siapa tahu juga kami bisa mendapatkan cerita-cerita lain dari warga desa.

Monumen Peristiwa DI/TII di Parentas. Foto: Komunitas Aleut

Kisah mengenai Desa Parentas kami dapatkan dari sejumlah artikel yang biasa kami kumpulkan untuk kegiatan-kegiatan lapangan Komunitas Aleut. Namun karena berbagai tulisan itu selalu menyebutkan kondisi jalan yang parah, jadi butuh beberapa waktu, sampai kami siap dulu, baru berangkat ke sana. Biasanya dalam menentukan tujuan kunjungan, kami siapkan juga beberapa lokasi lain yang dapat sekalian kami datangi. Begitu juga dengan kunjungan hari ini, ada beberapa lokasi lain yang kami datangi, tapi ceritanya kami pisahkan di tulisan lain.

Setelah melalui jalur nanjak berliku, kami tiba di sebuah kampung yang terasa agak tidak biasa, suasananya sangat sepi. Tidak terlihat banyak orang. Hanya sekali dua saja terlihat ada orang berjalan atau motor petani yang lewat. Tidak ada orang berkumpul atau nongkrong di luar rumah. Benar-benar sepi.

Tidak sulit menemukan tugu DI/TII yang kami cari, karena letaknya di sisi jalan utama yang sedang kami lalui. Tugu ini berada di halaman sebuah rumah yang letaknya lebih rendah dari badan jalan. Ada tangga semen lebar untuk turun ke halaman rumah. Sebenarnya, bila datang dari arah samping kanan rumah, letaknya sejajar dengan badan jalan, namun di bagian depan rumah, jalanan menanjak, sehingga rumah ada di bawah jalan.

Kami turunin tangga semen menuju monumen yang berbagi alas dengan tiang bendera itu. Kami amati rumahnya mencari seseorang untuk meminta izin, tapi sepertinya sedang kosong. Saat di halaman itu gerimis turun tipis-tipis.

Terbaca tulisan pada monumen:

“Bumi ieu anu nyaksi. Getih suci nyiram bumi. Lima puluh hiji jalmi. Rampak lastari sawengi. 17 Agustus genep hiji. Ku kabiadaban DI/TII.”

Belakangan, dari salah satu warga kami dapatkan cerita bahwa monumen ini dibangun oleh Kepala Desa Parentas saat itu, Pa Ucu Sofyan Sukendar. Ada hal menarik jika kita memperhatikan isi kalimat dari monumen tersebut. Isi monumen tersebut seperti sebuah puisi dalam bahasa Sunda. Jumlah guru wilangannya jika diperhatikan berjumlah 8, seperti Pupuh Kinanti, sedangkan guru lagunya yaitu diakhiri huruf “i”.

Setelah membuat beberapa foto, kami kembali ke kendaraan untuk berkeliling desa, tapi hujan menderas. Akhirnya mampir dulu ke sebuah warung. Di sini pun sama saja, sangat sepi dan tidak banyak orang. Beberapa petani lewat sambil hujan-hujanan. Satu-satunya orang lain yang datang hanyalah seorang pengampas yang datang dari Wanaraja, Garut.

Sebenarnya di Parentas kami sempat berjumpa seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan yang ketika melihat kami, pandangannya agak menyelidik. Setelah agak lama, dengan ragu dan berhati-hati sekali beliau menceritakan sebagian pengalaman ibunya yang pernah didengarnya sendiri secara langsung. Di antara cerita itu adalah bagaimana ibunya yang masih belum remaja dipaksa akan dibunuh bila tidak mau ikut pasukan DI/TII bergerilya. Sang ibu akhirnya dibawa oleh gerombolan dan ikut bersama mereka selama hampir 10 tahun. Tidak semua kisah dari ibu ini dapat kami ceritakan lagi di sini karena sejak awal menceritakannya sang ibu meminta kami berjanji untuk tidak menceritakannya lagi, apalagi menuliskannya buat dibaca orang.

Campur aduk perasaan saat mendengar si ibu berkisah. Tak terbayang bagaimana ketakutannya warga saat penyerangan DI/TII ke kampung itu dan membakar rumah-rumah serta membunuhi orang-orang yang tidak tahu apa-apa, bahkan yang sudah dalam keadaan tidak berdaya.

DAERAH DI/TII

Kami buka lagi sebuah potongan berita dari koran Merdeka No 1461, 21 Oktober 1950, yang menyebutkan bahwa Parentas merupakan daerah Darul Islam.

“Bandung, 19-10 (Antara): KEPADA, Antara” dikabarkan, bahwa sekarang telah ada 200 rakjat dari daerah DI, jaitu dari daerah Parentas (ketjamatan Tjisajong) turun ke Wanaradja. Kebanjakan dari mereka itu menderita penjakit kelaparan, penjakit kulit, malaria dan disenteri. Dr. Maskawan dari Garut telah mengusahakan untuk menolong mereka, bahkan diantaranja ada jang telah diangkut ke Tjibatu, untuk dirawat didalam klinik disitu. Djuga djawatan sosial memberi pertolongan kepada mereka. Seperti diketahui Parentas letaknja dilereng gunung Galunggung sebelah Utara, jg sedjak lama merupakan daerah beku dan tidak mempunjai perhubungan dengan tempat2 lainnja sehingga rakjat pun tidak mendapat bahan makanan jang setjukupnja, ketjuali tumbuh2an jang terdapat dipegunungan itu sadja”.

Penyebutan Parentas sebagai daerah DI dalam artikel tersebut sepertinya lebih menyatakan sebagai daerah yang ada dalam wilayah kekuasaan DI. Letaknya memang tidak terlalu jauh dari pusat DI/TII ketika itu di Cisampang, dan seperti diketahui, DI/TII biasa meminta bahan makanan atau keperluan sehari-hari dari warga-warga kampung dengan cara paksa, menjarah, sampai melakukan pembunuhan.

Berita lainnya kami dapatkan dari koran Kedaulatan Rakjat, edisi 4 Mei 1956. Isinya tentang kejadian tembak menembak sebuah patroli tentara dari Batalion 306 yang menewaskan 6 orang dari pihak gerombolan DI/TII.

“Sebuah patroli tentara dari Bn. 306 dikampung Parentas (ketjamatan Tjigalontang, distrik Singaparna) telah adakan tembak-menembak dengan 20 gerombolan Darul Islam, dan dipimpin oleh Achmad Keja. Dalam pertempuran jang berkobar disitu dari pihak gerombolan ada 6 orang jang mati dan 4 putjuk sendjata dirampas oleh tentara”.

Cerita tentang peristiwa yang berhubungan langsung dengan monumen di atas kami temukan dari tulisan Hendi Jo yang berjudul “Banjir Darah di Parentas” di https://www.merdeka.com/:

Pada hari Rabu, 16 Agustus 1961, warga Parentas sedang mengadakan persiapan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar suara tembak menembak dari arah Pasirkopo ke pos Batalion 304 Siliwangi pimpinan Letda Murad yang berada di bukit kecil, Kancah Nangkub.

Ternyata pos tentara sedang terkepung oleh pasukan DI/TII, sementara sebagian gerombolan itu memasuki kawasan permukiman sambil mengadakan perusakan dengan membakar rumah-rumah, menjarah, dan membantai siapapun orang yang mereka temui saat itu. Benar-benar tidak pandang bulu, tua muda, perempuan, kakek-kakek, hingga anak-anak, semua dibantai.

Gerombolan bahkan memeriksa petak-petak sawah buat memastikan tidak ada yang bersembunyi. Akibat penyerangan ini 51 orang warga Parentas tewas, ratusan rumah rusak dan hangus. Dari pihak tentara terdapat korban 3 prajurit, sementara dari pihak DI/TII hanya ditemukan satu orang tewas dengan lubang peluru di kepala.

Penyerangan DI/TII ke Parentas terjadi karena warga Parentas tidak mau lagi memberikan upeti dan makanan kepada gerombolan, ditambah pulaa kebanyakan warga Parentas adalah pendukung Bung Karno, orang yang sangat dibenci oleh DI/TII.

***

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s