Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Minggu, 19 Maret 2023. Komunitas Aleut mengadakan kegiatan Momotoran bertema Bandung Lautan Api. Momotoran ini mengunjungi beberapa lokasi di Bandung Selatan yang berhubungan dengan Peristiwa Bandung Lautan Api.
KIANGROKE

Kiangroke dahulunya merupakan markas TRI, markas ini pindahan dari Kulalet karena markas komando TRI di Kulalet sering mendapat serangan dari tentara Belanda. 28 Juni 1946 pukul 19.30 serdadu Belanda melakukan bombardemen terhadap Kota Banjaran dengan menggunakan meriam dan peluru howitser (sejenis peluru meriam yang berisi granat, apabila ditembakan ke atas maka tersemburlah granat tadi). Dalam serangan tersebut ada sebuah howitser yang jatuh ditempat keramaian tontonan wayang golek, sehingga rakyat tidak berdosa jatuh menjadi korban. Rakyat yang menjadi korban akibat serangan itu adalah 22 orang meninggal dunia dan 120 orang menderita luka-luka berat dan ringan.
Menuju Kiangroke tidaklah sulit. Kiangroke terletak tidak jauh dari Banjaran, kita harus melalui Jl. Raya Pangalengan lalu berbelok ke arah kanan menuju Jl. Pahlawan. Ada hal menarik mengenai penamaan Jl. Pahlawan. Penamaan ini mungkin didasari oleh adanya Peristiwa Sasak Rawayan yang terjadi di Kiangroke.
MONUMEN PERJUANGAN RAWAYAN
Menurut buku “Monumen Perjuangan Daerah Jawa Barat” monumen ini didirikan pada tahun 1981. Monumen ini merupakan monumen pindahan dari monumen pertama yang letaknya berada di tengah permukiman warga. Monumen Perjuangan Rawayan saat ini terletak di pinggir lapangan Kampung Bunut berdekatan dengan SD Pahlawan.
Monumen ini memiliki tiang besi bulat sebanyak 10 buah, terdiri atas 5 buah yang atasnya runcing dan ukurannya lebih besar melambangkan bambu runcing sebagai senjata para pejuang. Sedangkan 5 buah lainnya berukuran lebih kecil dan lebih panjang, bagian atasnya terdapat bekas peluru mortir sebagai senjata tentara Belanda.
Pada monumen ini terdapat prasati dengan keterangan sebagai berikut:
“Tugu Peringatan. Telah gugur 43 kesatria pahlawan bangsa ketika mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Belanda di sekitar sasak Rawayan pada hari Senin tanggal 26-8-1946/28 Ramadhan 1365” dan di bawahnya tertera angka tahun 1946.
Sasak Rawayan merupakan sebuah jembatan besi yang dibuat oleh Belanda. Sasak berarti jembatan dan Rawayan merupakan tumbuhan rambat yang menggantung terlihat seperti jembatan. Lokasi persis Sasak Rawayan berada di sekitar sutet di atas aliran Sungai Cisangkuy Kampung Pataruman Desa Kiangroke. Saat ini sasak tersebut sudah tidak ada dan digantikan oleh sasak yang terbuat dari bambu oleh warga sekitar untuk digunakan beraktivitas menggarap sawah.
PERISTIWA SASAK RAWAYAN

Peristiwa pertempuran yang terjadi di sekitar Sasak Rawayan merupakan rangkaian dari Peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi pada tahun 1946. Hari Senin tanggal 26 Agustus 1946 sejumlah pasukan perjuangan yang terdiri dari beberapa kesatuan, seperti TRIKA pimpinan Kapten Kadarusno, Kesatuan Polisi Tentara pimpinan Kapten Gandawijaya, mereka melintas ke daerah sekitar Sasak Rawayan.
Mereka berjalan menyusuri pematang sawah. Di sana mereka tidak tahu bahwa sudah bersiap pasukan Belanda yang hendak menyergap ketika pasukan para pejuang melintas. Akhirnya di mulai pukul 8 pagi rentetan tembakan membuka pertempuran di Sasak Rawayan.
Cukup lama pertempuran terjadi hingga akhirnya tersiar kabar bahwa banyak korban berjatuhan di Sasak Rawayan. Penduduk banyak yang tidak berani mendekat ke lokasi khususnya para laki-laki yang memilih bersembunyi karena takut. Hingga akhirnya ada beberapa orang penduduk desa yang paling dekat jaraknya dengan Sasak Rawayan yaitu penduduk Kampung Pataruman Desa Kiangroke. Penduduk di sini bukanlah bapak-bapak melainkan para ibu-ibu yang paling dahulu mendekat dan mengevakuasi para jenazah korban pertempuran. Ibu-ibu tersebut yaitu Sukaesih, Eras, Darsih, dll. Dengan penuh perjuangan mereka mengangkat korban satu persatu dari tengah sawah untuk di bawa ke perkampungan.
Karena terbatasnya tenaga ibu-ibu untuk mengangkut korban, mereka menggunakan alat berupa taraje (tangga, biasanya terbuat dari bambu dan kayu) dan badodon (alat menangkap ikan yang terbuat dari bambu). Jumlah korban dari tentara kita yang gugur berjumlah 43 orang, sebagian besar berasal dari pasukan TRIKA.
Mayat mereka lalu dikumpulkan di Balai Desa Kiangroke dan markas TRI di Kampung Tarigu (Desa Kiangroke). Besok harinya diangkut menggunakan truk PKKB ke Pangalengan untuk dimakamkan di Ciwidara dan Cinere. Dari 43 korban itu ada 16 orang yang diketahui nama dan asal kesatuannya. Mereka adalah Suparman, Rasdi, Unus, ldi, Omon, Enjo, Iding, Uding, Pepe, Sumar, Adung, Ayub, lyas dan Haris yang berasal dari kesatuan TRIKA. Enung yang berasal dari kesatuan Polisi Tentara (PT), dan H. Sarbini yang berasal dari masyarakat setempat. Kecuali H. Sarbini, para pejuang Iainnya bukanlah penduduk desa tersebut. Ada yang mengatakan, kebanyakan dari mereka berasal dari Tasikmalaya.
EMA YOYOH

Ema Yoyoh merupakan saksi sejarah dari Peristiwa Sasak Rawayan. Saat ini Ema Yoyoh berusia 89 tahun. Ema Yoyoh saat itu menceritakan kisahnya kepada kami ketika menyaksikan korban-korban Peristiwa Sasak Rawayan.
Dengan perlahan Ema Yoyoh mencoba mendekat dan berbisik sembari menanyakan maksud dan tujuan kedatangan kami ke rumahnya. Rupanya Ema Yoyoh sudah sering kedatangan tamu bahkan keluarga salah satu korban Peristiwa Sasak Rawayan sudah pernah ke rumahnya.
Ema Yoyoh menceritakan sesaat setelah Peristiwa Sasak Rawayan terjadi dia dan abahnya pergi melihat ke lokasi. Ketika Ema Yoyoh bercerita dia memelankan suaranya dan mencoba ngaharewos atau sedikit berbisik sembari mengeluarkan ekspresi yang mengagetkan. “Abah tingali Haji Sarbinimah eweuh kanjutan” (Abah lihat Haji Sarbini ….). “Abah tuh tingali bom batok, jelegur tuh di dieu” (Abah tuh lihat bom batok, meledak tuh di sini). “Abah itu cing itu hos hosan, depa salarea depa” (Abah lihat itu pesawat hos hosan, tiarap semuanya tiarap). “Abah ieu geus meunang sakieu, kunaon abah ieu dibungkusanana” “Tong loba omong kasur buka, kepukeun kapukna tah eta soekkeun eta bungkusna” (Aba ini sudah dapat segini, dengan apa dikafaninya) (Jangan banyak omong kasur buka, keluarkan kapuknya sobek, nah itu kafannya).
Ema Yoyoh menuturkan bahwa yang membawa para korban ialah ibu-ibu sementara bapak-bapaknya sembunyi ketakutan di atas pare (bagian antara atap dan plafon). Karena yang membawanya adalah para ibu maka bisa dibayangkan tenaganya pun tenaga perempuan. Beberapa bagian tubuh korban pun berjatuhan ketika proses evakuasi menuju Balai Desa Kiangroke. Menurut ema alat-alat yang digunakan membawa korban yaitu taraje pernah menumpuk di halaman rumahnya, warga sekitar banyak yang tidak berani untuk membawanya karena takut. Esok harinya baru para korban dibawa ke Pasir Nyungkun di Pangalengan untuk dimakamkan. Saat ini makamnya sudah dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cikutra, di Bandung.
Selain mendapat cerita mengenai Sasak Rawayan kami pun mendapat cerita bahwa Ema Yoyoh pernah bertugas menjadi hansip di Kiangroke. Ema mendapat pelatihan menjadi hansip di Gn. Puntang dan saat di asrama tentara Dayeuhkolot. Ema ikut dengan Batalyon Infanteri 330, saat itu ia sedang melakukan perjalanan (sepertinya gerilya untuk menumpas gerombolan) ke daerah Langkaplancar, Pamarican, Sukahayu, Jenggala dan Gn. Tilu. “Da ayeuna mah ngadenge bedil ge ngarenjak, hmm baretomah resep” (Da sekarang mah mendengar suara tembakan teh tersentak, hmm dahulumah senang). Ema juga bercerita sulitnya menyebrangi sungai, harus membuat rakit yang terbuat dari bambu terlebih dahulu lalu diseret.
ARJASARI
Setelah dari rumah Ema Yoyoh kami melanjutkan perjalanan untuk pulang ke Bandung melewati Arjasari. Di sini ada satu kisah yang diceritakan AH Nasution dalam bukunya “Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 3”. AH Nasution memiliki pengawal dari Batalyon Pasukan Istimewa (PI).
Pengawal yang merangkap ajudan tersebut ialah Sersan Saragih yang kemudian gugur di Arjasari. Menurut Nasution, nama Saragih masih terdapat di Arjasari. Nama ini menjadi nama Jalan Saragih dan Kampung Saragih. Kami melewati Arjasari rencananya ingin menelusuri keberadaan Saragih di Arjasari. Tapi sayang kami tak sempat karena fisik dan stamina yang sudah habis terkuras oleh teriknya panas matahari. Mungkin di lain waktu bisa berkunjung kembali. Dahulu para pejuang jika ingin pergi ke Soreang dari Banjaran harus melewati Arjasari karena adanya meriam-meriam yang ditaruh Belanda di sekitar Sungai Citarum. Bayangkan mereka harus memutar ke arah pegunungan untuk bisa pergi ke Soreang.