Sekitar Bandung Lautan Api: “Denki, Kulalet, Sepen, Baleendah, dan Ciparay”

Ditulis oleh: Aditya Wijaya

Tulisan-tulisan sekitar Bandung Lautan Api dan lokasi-lokasi yang berhubungan dengan peristiwa tersebut sudah cukup banyak ditulis. Di dalam Kota Bandung ada 10 stilasi yang dirancang oleh Bandung Heritage, dan dipasang di 10 lokasi dengan tujuan sebagai pengingat peristiwa Bandung Lautan Api. Sayangnya, belum semua orang mengerti fungsi stilasi itu, sehingga sering kali tugu-tugu tersebut kedapatan dalam keadaan rusak oleh tangan-tangan gatal.

Di dalam Kota Bandung saja tentu ada lebih dari 10 lokasi yang berhubungan dengan peristiwa Bandung Lautan Api, ada banyak lokasi lain yang tak kurang peran dan pentingnya dibanding 10 lokasi yang sudah diberi tugu-tugu tersebut. Lokasi-lokasi itu sebagian sudah ditandai oleh pemerintah dengan mendirikan monumen-monumen seperti Monumen Fokkerweg, Monumen Lengkong, atau monumen di Gedung Sate.

Kota Bandung bagian Selatan yang dibakar oleh para pejuang sesaat sebelum ditinggalkan, menghasilkan asap tebal yang membumbung tinggi yang bisa terlihat dari kejauhan. Foto: IPPHOS

Berikut ini adalah fragmen-fragmen Peristiwa Bandung Lautan Api yang ditulis lagi oleh Komunitas Aleut berdasarkan beberapa kegiatan lapangan dan momotoran selama bulan Maret ini. Kami coba perkenalkan beberapa lokasi di luar Kota Bandung yang punya hubungan erat dengan peristiwa Bandung Lautan Api. Tulisan ini akan kami bagi dalam beberapa bagian.

Ini beberapa lokasi dari kegiatan momotoran pada 19 Maret 2023. Rutenya agak random, karena mencoba melewati beberapa jalur awal pengungsian warga Kota Bandung ke daerah selatan, terutama ke Dayeuhkolot, Banjaran, dan Ciparay-Majalaya. Jalur-jalur jalan utama yang digunakan warga ketika itu adalah yang sekarang menjadi ruas-ruas Jalan Moh. Toha sampai Dayeuhkolot, Jalan Kopo sampai Soreang, Jalan Buahbatu sampai Ciparay dan Majalaya. Selain jalur-jalur utama itu, digunakan juga berbagai jalan kecil lain yang arahnya sama, ke Ciparay.

Berikut ini beberapa tempat yang kami lewati:

DENKI – GEDONG LISTRIK

Lokasi yang kami kunjungi hari ini letaknya di daerah Bandung Selatan. Dimulai dengan melewati Jalan Denki yang letaknya tak jauh dari sekretariat Komunitas Aleut. Denki adalah listrik dalam bahasa Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, perusahaan Djawa Denki Djigyo Sha Bandoeng Shi Sa membangun instalasi pendistribusian listrik dengan wilayah kerja di seluruh Pulau Jawa.

Dulu, salah seorang rekan Aleut pernah mendapat info bahwa daerah Denki di sekitar Cigereleng sekarang adalah kawasan pengelolaan kelistrikan di Bandung. Selain untuk urusan listrik, gudang-gudang Denki juga digunakan sebagai tempat produksi dan penyimpanan bahan-bahan peledak seperti yang pernah terdapat Dayeuhkolot dengan nama Denki Amunition. Warga menyebutnya Gedong Listrik.

“… kira-kira 200 meter sebelah timur dari jembatan Citarum (Dayeuhkolot), nampaklah sebuah bangunan bertingkat dua, terbuat daripada beton, yang dulu dipergunakan sebagai gudang pusat penyimpanan alat-alat listrik daerah Priangan. Pada waktu yang akhir-akhir ini gedung itu dijelmakan menjadi benteng pertahanan musuh yang kokoh dan kuat. Dari tempat itulah dilepaskan musuh, mortier, houwitser, peluru meriam dan mitralyur ke arah pertahanan pemuda-pemuda kita yang siang malam menjaga agar supaya musuh tidak dapat maju. Tembakan-tembakan itu tidak sedikit minta pengorbanan jiwa rakyat kita, terutama perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak berdosa. Hal inilah yang menimbulkan amarahnya pemuda-pemuda kita. Keadaan gedung yang letaknya jelas menjulai itu, menyolok mata dan bangunan listrik ini terasa seolah-olah revolver yang diarahkan pada dada pertahanan kita.

Selain dari pada gedung itu, adalah pula sebuah bangunan dari beton pula yang letaknya tidak seberapa jauh dari gedung listrik tadi.

Adapun letaknya di kampung Pesayuran, dan dijaman Belanda dipergunakan sebagai tempat menyimpan alat-alat perang, seperti mesiu, senjata berat dan lain sebagainya lagi. Juga di jaman Jepang gedung itu dipergunakan untuk menyimpan alat-alat perang. Semua perjurit dan badan-badan perjuangan umumnya mengetahui akan hal itu. Juga Toha. (Edi S. Ekadjati, dkk. 1981. Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan (1945-1950). Bandung: Pemda Kotamadya Bandung)

Gedung Listrik atau gudang mesiu ini sudah tidak ada lagi sekarang karena diledakkan oleh Mohamad Toha, seorang pejuang dari Barisan Banteng Republik Indonesia. Peledakan gudang yang menyimpan 1.100 ton bahan peledak itu terjadi pada 11 Juli 1946 pagi. Mohamad Toha turut gugur akibat ledakan itu, begitu pula dengan Mohamad Ramdan, rekannya dari laskar Hizbullah.

Lokasi bekas Gedong Listrik itu sekarang sudah menjadi kolam dengan kedalaman sekitar 3-4 meter. Pada tahun 1957, area di sekitarnya dijadikan situs pengingat peristiwa peledakan dengan mendirikan patung dada Moh. Toha, monumen Lautan Api yang cukup tinggi, lalu ada sebuah tembok berisi daftar nama para pejuang yang gugur dalam rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api, dan di seberang kolam dipasang tembok memanjang dengan relief yang bercerita tentang peristiwa Bandung Lautan Api. Situs ini diresmikan bertepatan dengan Hari Pahlawan, 10 November 1957. Kawasan di sekitar kolam ini sekarang menjadi kampung Babakan Toha dengan sistem jalan di dalamnya yang semuanya diberi nama Gang Toha.

Relief bergambar Denki Amunition di Monumen Moh. Toha, Dayeuhkolot. Foto: Komunitas Aleut, 2011
Monumen yang memuat daftar nama para pejuang yang gugur dalam rangkaian peristiwa Bandung Lautan Api. Di belakang monumen adalah kolam yang sebelumnya merupakan lokasi Gedong Listrik yang diledakkan oleh Moh. Toha. Foto: Komunitas Aleut, 2023.

KULALET

Pemimpin tentara Sekutu di Bandung, Mayor Jenderal Hawthorn mengeluarkan ultimatum, bahwa sebelum pukul 24.00 hari Minggu tanggal 24 Maret 1946, semua pasukan RI harus sudah keluar dari kota Bandung ke selatan dengan radius 11 kilometer dari pusat kota.

Lalu, seperti yang dituturkan dalam buku “Bandung Lautan Api” karya Djajusman (Angkasa, 1986), pada hari itu juga komandan Divisi III, Kolonel AH Nasution, mengeluarkan perintah pengunduran TRI ke Bandung Selatan. Perintah mundur ini juga mengandung strategi dalam mendukung perjuangan diplomasi nasional:

a. Semua pegawai dan rakyat harus ke luar kota sebelum pukul 24.00.

b. Semua kekuatan bersenjata melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang ada.

c. Sesudah matahari terbenam, kedudukan musuh di sebelah utara rel kereta api supaya diserang oleh para pejuang yang ada di daerah utara sambil sedapat mungkin melakukan bumi hangus. Begitu pula dari selatan harus melakukan penyusupan ke utara, sebagai serangan perpisahan.

d. Pos Komando dipindahkan ke Kulalet.

Kolonel Nasution juga mengirimkan pesan kepada Pemerintah Kota Bandung agar sebelum pukul 22.00 sudah harus meninggalkan kota, sebab seluruh kota akan dihancurkan.

Saat terjadinya Peristiwa Bandung Lautan Api, Kulalet menjadi pos komando para pejuang, sekaligus juga menjadi jalur pengungsian masyarakat untuk menuju ke arah selatan, baik ke Ciparay, Banjaran-Pangalengan, atau Ciwidey.

Beberapa hari setelah terjadi Peristiwa Mohamad Toha yang meledakkan gudang mesiu di Dayeuhkolot, Belanda melakukan serangan ke Markas Komando TRI di Kulalet dengan menembakan mortir dan houwitser serta mengirim 2 buah truk berisi NICA. Selain serangan-serangan yang dilakukan, Belanda menaruh ranjau-ranjau darat di sekitar Kulalet untuk menghalangi gerak para pejuang. Markas Komando TRI pun dipindahkan lagi, kali ini ke Kiangroke, Banjaran. Nama Kulalet mungkin tidak terlalu akrab bagi sebagian besar dari kita, walaupun pada masa peperangan ini sempat memiliki posisi penting. Kulalet terletak di sebelah selatan Kota Bandung, tepatnya di seberang Sungai Citarum sebelah selatan dan berbatasan langsung dengan Sungai Cisangkuy. Hamparan sawah masih bisa kita lihat dari Kulalet saat ini, sementara di kiri kanan jalan terlihat rumah penduduk yang sudah cukup padat.

Hamparan sawah di Kulalet. Foto: Komunitas Aleut

Dari Denki, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Kulalet yang tidak terlalu lebar itu, mencari-cari sesuatu yang mungkin tersisa dari masa peperangan. Setelah beberapa saat, kami tiba di suatu lokasi agak tersembunyi yang dipenuhi oleh pohon hanjuang merah. Pastilah itu permakaman.

Di sini kami mencoba mencari jejak sejarah apa pun itu seperti makam-makam era BLA atau makam-makam keramat, tapi sepertinya tidak ada. Tak berselang lama ada beberapa warga yang menanyai tujuan kami. Saat itu kami mencoba mengobrol dan mendapatkan sedikit informasi. Ternyata lokasi kuburan tempat kami berdiri ini berada di atas sodetan Sungai Cisangkuy. Menurut warga di Kulalet tidak pernah ada jejak sejarah entah itu monumen atau tugu penanda Peristiwa Bandung Lautan Api. Bahkan nama Kulalet sudah jarang digunakan, Kampung Kulalet pun akan diganti oleh nama baru yaitu Cikutra.

SEPEN

Dari Kulalet kita menuju Sepen melalui daerah bernama Pameutingan. Nama Pameutingan ini unik karena jika diartikan dalam Bahasa Indonesia berarti tempat bermalam. Entah ada hubungan dengan BLA atau tidak. Ketika kami berkunjung ke Sepen, menurut rekan Aleut suasananya sudah banyak berubah. Jalan Sepen hanyalah sebuah jalan kecil seperti gang yang sekarang ini sudah diisi oleh permukiman padat, hanya di bagian ujung yang berbatasan dengan sebuah bukit kecil yang masih agak terbuka.

Beberapa tahun lalu rekan-rekan dari Aleut sudah pernah mengunjungi Sepen dan bertemu dengan beberapa warga yang menjadi saksi sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api. Bahkan rekan Aleut bertemu dengan warga yang masih bisa menyanyi lagu-lag mars Jepang dan memberi gerakan hormat ala Jepang.

Sepen merupakan lokasi yang berhubungan dengan Peristiwa Bandung Lautan Api. Sama seperti Kulalet, Sepen merupakan jalur lokasi pengungsian masyarakat saat itu. Di Sepen dahulunya terdapat Pabrik Mesiu dan Senjata VI dari Persenjataan Divisi. Sebenarnya ada juga pabrik senjata dan bagian kimia persenjataan dari para mahasiswa Kogyo Daigaku dan Senmon Gakko Oyokagaku (ITB) yang letaknya di Bojongmanggu. Sayang tak ada petunjuk di mana bekas lokasinya saat ini. Persenjataan Divisi di Sepen ini didirikan pada awal bulan Desember 1945 di salah sebuah rumah di Jalan Lengkong Besar, dekat Jembatan Baru, tempat yang kemudian terkenal sebagai daerah Pertempuran Lengkong. Dari Lengkong mundur ke Cigereleng dekat Tegalega, dan kemudian mundur lagi ke luar kota (Sepen dan Bojongmanggu), lalu ke Ciparay dekat Bale Endah.

Plang nama Jl. Sepen. Foto: Komunitas Aleut

TUGU JUANG SILIWANGI

Perjalanan dilanjutkan menuju Tugu Juang Siliwangi di Baleendah. Di lokasi ini kami menyempatkan untuk membeli sarapan sambil mencari seorang pedagang bubur yang menjadi saksi sejarah yang berhubungan dengan BLA. Pedagang tersebut juga masih bisa menyanyi dengan Bahasa Jepang. Tapi sayang beliau ternyata sudah tidak berdagang digantikan oleh istrinya karena kondisi usia dan kesehatan yang sudah sepuh. Rasanya mencari orang-orang pelaku sejarah BLA saat ini sudah sulit bahkan mungkin sudah tidak dapat kita temui. Kita harus terus berpacu dengan waktu karena kejadian BLA sudah berlalu puluhan waktu silam.

Jika sekarang tahun 2023 dan Peristiwa Bandung Lautan Api terjadi tahun 1946 maka sekarang sudah menginjak ke-77 tahun. Orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut usianya sudah 80 tahun lebih sekarang, sulit untuk menemuinya. Jika pun ada yang bisa bercerita maka cerita-cerita tersebut didapat dari penceritaan orang-orang tua atau sesepuh mereka.

Menuju Tugu Juang kami harus berjalan menanjak sedikit ke atas bukit kecil. Di Tugu Juang kita dapat melihat relief-relief gambaran Peristiwa Perjuangan Bandung Lautan Api. Dari mulai nama-nama pasukan yang terlibat hingga gambaran peristiwa tembak menembak. Rasanya yang membuat monumen ini sama seperti Monumen Mohamad Toha di Dayeuhkolot. Di atas Tugu Juang kita dapat melihat ke arah Utara yaitu ke arah Kota Bandung dan sekitarnya. Bisa dibayangkan jika kita melihatnya saat terjadi Peristiwa Bandung Lautan Api. Bandung tampak akan memerah dengan kobaran api.

Kolonel AH Nasution dan Komandan Polisi Tentara Rukana, penah mendaki bukit di Selatan untuk melihat pelaksanaan Bandung dibumihanguskan dari puncak bukit itu. Mungkin saja lokasi Tugu Juang merupakan bukit tersebut tapi di sekitar Baleendah memang terdapat banyak lokasi-lokasi yang cukup tinggi untuk melihat ke arah Bandung, seperti pertambangan batu di sekitar Situ Sipatahunan juga merupakan lokasi yang cukup tinggi. Belum dapat dipastikan lokasi di mana AH Nasution dan Rukana melihat ke arah Bandung saat itu.

Tugu Juang Siliwangi. Foto: Komunitas Aleut

SITUS PRASASTI PERJUANGAN

Dari Dayeuhkolot kami menuju Ciparay, cukup jauh memang dengan kondisi cuaca panas terik saat itu membuat tenaga cepat terkuras. Ciparay merupakan salah satu lokasi pengungsian BLA. Di Ciparay beberapa laskar perjuangan mendirikan markas dan poskonya seperti LASWI, dlsb.

Situs Prasasti Perjuangan merupakan markas tempat berkumpulnya para pejuang seperti Mohamad Toha, Ibrahim Adjie dan Aang Kunaefi untuk mengatur rencana penyerangan. Di sini juga merupakan tempat berkumpulnya LASWI.

Situs ini terletak di Jl. Toha Ramdan. Seperti yang kita tau bahwa Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan merupakan pelaku sejarah BLA. Di Situs ini juga terdapat plakat yang menyebutkan bahwa tempat ini semasa revolusi kemerdekaan menjadi markas Majelis Persatuan Perjuangan Priangan atau MP3 dan Resimen Tentara Perjuangan atau RTP. Plakat ini tertanggal 2 Januari 1985 atas nama Soetoko. Tak jauh dari rumah ini ada sebuah heleran atau penggilingan padi yang di atas bangunannya terdapat sebuah tulisan “Pahlawan”. Dahulunya heleran ini merupakan bekas bioskop. Mungkin dinamakan “Pahlawan” karena lokasinya berdekatan dengan Situs Prasasti Perjuangan.

Plakat di Situs Prasasti Perjuangan. Foto: Komunitas Aleut
Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s