Sekitar Bandung Lautan Api: “Banjir Darah di Cijawura Buahbatu Bandung”*

Oleh: Komunitas Aleut

Mesjid Pasantren Margasari Cijawura yang pernah dibombandir Belanda sehingga hancur berantakan.

KEPERCAYAAN TERHADAP MAGIS

Ada hal menarik yang kami baca dari buku Bandung in the Early Revolution, 1945-1946 karya John R.W. Smail yang diterbitkan oleh Cornell University, lthaca, New York, tahun 1964. Di halaman 103 tertulis: “Something of the extraordinary atmosphere which prevailed in Bandung during these weeks of anarchy can be conveyed by a description of three of the most characteristic aspects, the heightened reliance on magic, the widespread and almost paranoiac suspicion and the practice of atrocities”. (Suasana luar biasa yang terjadi di Bandung selama beberapa minggu penuh kekacauan dapat dideskripsikan dalam tiga aspek yang paling khas, yaitu ketergantungan yang meningkat terhadap magis, kecurigaan yang luas dan hampir paranoik, serta praktik kekejaman).

Pada halaman-halaman selanjutnya, John R.W. Smail mengutip beberapa cerita tentang kepercayaan pada aspek magis ini. Ada seorang kiai yang memimpin murid-muridnya untuk ikut bertempur melawan Inggris di Bandung. Sebelum berangkat, sang kiai mengumpulkan murid-muridnya itu dan meminta mereka membuat bungkusan-bungkusan kecil dari daun. Katanya, bungkusan-bungkusan kecil itu nanti akan digunakan untuk menyimpan mayat-mayat prajurit Gurkha.

Lalu ada kisah seorang kiai dari Cibatu, di pinggiran timur Kota Bandung, yang menyucikan bambu runcing dan golok, serta membagikan jimat kepada ribuan orang yang akan ikut bertempur.

Salah satu cerita yang paling populer adalah yang terjadi di sebuah kampung dekat pantai selatan di Kabupaten Ciamis, yaitu bagaimana seorang kiai yang sangat terkenal namanya di Bandung sering menyirami orang yang datang kepadanya dengan air sumurnya. Tujuannya, untuk mendapatkan kekebalan. Konon, sudah ribuan pemuda yang mendatanginya untuk keperluan itu.

Kisah terakhir ini teritulis agak lengkap dalam buku “Mohamad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (Bandung, 1984) dengan mengutip penuturan dari Raden Haji Amandisastra yang menyaksikan sendiri dari awal hingga akhir peristiwa tersebut. Di bawah ini ringkasannya.

KISAH ABDULHAMID DAN HAJI AJID

Semangat rebut kembali Bandung bergelora dengan hebat dalam dada setiap pejuang. Situasi tersebut ternyata dimanfaatkan oleh Abdulhamid, seorang penduduk Ciamis, yang telah mengangkat dirinya sendiri sebagai Ajengan, bahkan sebagai Imam. Ia kemudian berhasil mengatur beberapa pesantren dengan ribuan muridnya untuk bergerak merebut kembali Bandung dan berlebaran di sana. Para calon pejuang lalu dikumpulkan di sebuah pesantren yang dipimpin oleh Haji Ajid di Babakan Termas, Cipaku, di pinggiran timur Bandung. Haji Ajid juga telah mengangkat dirinya sendiri sebagai Ajengan. Di sini mereka menyusun rencana-rencana penyerbuan ke Bandung, tanpa konsultasi dengan MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) sebagai koordinator pertempuran.

Abdulhamid dan Haji Ajid mengatakan bahwa para pengikut mereka tidak akan mempan peluru dan untuk bertempur nanti hanya akan dibekali beberapa pucuk bedil, bambu hitam yang sudah diruncingkan, golok, tombak, keris, bandring, panah, engang, dan bubu. Kemudian seluruh pejuang dimandikan pada sebuah kolam besar di dekat pesantren.

Usai salat subuh, berangkatlah rombongan besar ini menuju Sapan. Dala perjalanan, banyak pula orang yang secara spontan menggabungkan diri. Pasukan ini membawa spanduk-spanduk yang masing-masing diberi gantungan sebuah jimat besar yang diteriak-teriakkan sebagai penangkal peluru.

Dari Sapan, mereka mengarah ke Cijawura. Di sini ternyata pasukan Belanda yang sudah mengetahui rencana mereka ini sudah mengintai dari berbagai tempat dan segera melakukan tembakan-tembakan ke arah rombongan yang datang itu. Sementara tembakan-tembakan masih berlangsung, datang pula serangan udara dari sebuah pesawat pemburu, sehingga menimbulkan banyak sekali korban. Diperkirakan mencapai 250 orang tewas.

RH Amandisastra yang bertemu dengan Abdulhamid yang sedang bergerak mundur ke Sapan menanyakan kenapa begitu banyak korban dan kenapa mereka ternyata tidak kebal senjata. Dijawab oleh Abdulhamid bahwa banyak anggota pasukan yang bercampur baur dengan orang-orang kotor sehingga ilmu kebal senjata itu pun hilang. Setelah kembali ke Ciamis, Abdulhamid disambut oleh rakyat yang marah dan membunuhnya, bahkan setelah menjadi mayat, masih dicincang oleh banyak orang dengan tuduhan bahwa ia sebenarnya kaki-tangan Belanda. Korban-korban yang bergelimpangan di Cijawura sebagian dimakamkan di area masjid, sebagian lagi dibiarkan saja di tempat, daerah itu sudah kosong untuk waktu lama karena penduduknya mengungsi ke selatan. Belakangan, makam ini dipindah ke Taman Makam Pahlawan Cikutra dan diberi tanda sebagai pahlawan-pahlawan tak dikenal. Di bekas lokasinya kemudian didirikan sebuah monumen untuk mengingat peristiwa tersebut.

MASJID PESANTREN CIJAWURA

Sebuah tulisan di https://jaringansantri.com/akar-sejarah-nahdlatul-ulama-di-bandung/ menyebut bahwa Pondok Pesantren Cijawura atau sering disebut juga Pondok Pesantren Margasari didirikan pada tahun 1926 oleh RM Burhan, cucu pendiri Pesantren Keresek, Garut. RM Burhan mendalami ilmu agama di Pesantren Keresek Garut, Pesantren Fauzan Garut, Pesantren Sukamiskin Bandung, Pesantren Gentur Cianjur, Pesantren Sindangsari Bandung, dan Pesantren Sempur Purwakarta.

Cerita lain yang tertulis di https://tugubandung.id/masjid-pesantren-cijawura-saksi-bisu-syiar-islam-dan-gugurnya-200-pejuang/ menyebutkan bahwa pondok pesantren Cijawura sudah ada pada tahun 1925, mulanya berupa sebuah musala dan kemudian dijadikan masjid oleh H. Abdul Syukur. Ketika itu H. Abdul Syukur membutuhkan orang untuk mengajar agama di sekitar Cijawura. Ia mendatangi Pesantren Sukamiskin dan bertemu dengan RM Burhan. Pada tahun 1930 didirikanlah pondok pesantren di lokasi tersebut.

Selanjutnya diceritakan bahwa pada tahun 1945 pondok pesantren ini menjadi basis pertahanan para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Ketika itu warga Pesantren Cijawura mengungsi ke Ciparay sehingga tempat yang kosong itu digunakan sebagai posko perjuangan sampai terjadinya peristiwa gempuran tentara Belanda pada tahun 1946 yang menewaskan 200-an pejuang.

Awalnya mereka yang gugur dimakamkan di halaman masjid, namun pada tahun 1993 Pemerintah Kota Bandung memindahkan makam-makam tersebut ke Taman Makam Pahlawan Cikutra.

Monumen lama di halaman masjid Cijawura.
Monumen baru di halaman masjid Cijawura. Foto: Deuis Raniarti

* Judul ini diambil dari buku “Mohamad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (Bandung, 1984), halaman 154. Begitu juga foto lama Monumen Cijawura diambil dari buku yang sama.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s