Sekitar Bandung Lautan Api: Dayeuhkolot, Cilampeni

Oleh: Komunitas Aleut

Jembatan Dayeuhkolot, baru (kiri) dan lama (kanan). Foto: Deuis Raniarti.

PERTAHANAN DI SEPANJANG GARIS DEMARKASI CI TARUM

Setelah Kota Bandung dikosongkan pada tanggal 24 Maret 1946 (baca tulisan sebelumnya dalam serial “Sekitar Bandung Lautan Api” ini), baru keesokan harinya pasukan Inggris berani memasuki daerah Bandung Selatan. Saat itu, AH Nasution sebagai Komandan Divisi III sudah menempatkan markas komandonya di Kulalet, di sisi selatan Jembatan Dayeuhkolot. Resimen 9/Bandung yang dipimpin oleh Letkol Gandawijaya, Resimen 8/Cililin yang dipimpin Abdurachman, Resimen Pelopor yang dipimpin Abdullah, dan MP3 yang dipimpin oleh Sutoko, masing-masing sudah mengambil posisi pertahanan di sepanjang sungai Ci Tarum. Pertahanan-pertahanan baru berada di Dayeuhkolot, Cilampeni, Batujajar, dan di timur Ujungberung.

Pada bulan Mei 1946, seluruh penjagaan di pinggir Kota Bandung diserahkan oleh pasukan Sekutu kepada pasukan Belanda yang menempatkan beberapa meriam di perbatasan itu. Pasukan Belanda juga melintasi demarkasi Ci Tarum dengan membentuk bruggehoofen (pondasi jembatan di seberang sungai yang bila diperlukan tinggal memasang papan lintasannya) karena jembatan aslinya sudah dihancurkan oleh para pejuang. Di seberang Ci Tarum mereka melakukan penembakan di sana-sini, di tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para pejuang.

Setiap hari sampai bulan Juni 1946 pasukan Belanda melakukan penyerbuan terhadap pertahanan pejuang di selatan dan mendirikan pos pertahan terluar di seberang sungai. Pada malam tanggal 28 Juni 1946 Belanda membombardir kota Banjaran dengan meriam dan peluru howitser (sejenis peluru meriam berisi granat). Salah satu howister jatuh di tengah keramaian penduduk Banjaran yang tengah menonton pertunjukan wayang golek. Akibatnya ada 22 orang tewas dan sekitar 120 lainnya mengalami luka-luka.

Tugu di Jembatan Dayeuhkolot yang diperbaiki tahun 1951 oleh Ukar Bratakusumah. Foto: Deuis Raniarti.

LEDAKAN GUDANG MESIU DAYEUHKOLOT

Pada hari terjadinya ledakan Gudang Listrik di Dayeuhkolot, 11 Juli 1946, di Arjasari sedang terjadi suatu koordinasi antara MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) yang dipimpin oleh Letkol Sutoko, dan Divisi I Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel AH Nasution. Komandan MP3 langsung membentuk tim untuk mengadakan penyelidikan dan didapatlah informasi bahwa gedung listrik yang digunakan sebagai tempat penyimpanan alat-alat perang Sekutu di Dayeuhkolot sudah hancur lebur. Gedung dan rumah-rumah di sekitarnya rusak total. Disebutkan juga bahwa ada 18 orang serdadu yang tewas, belum termasuk yang luka-luka.

Dalam buku “Mohamad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (Bandung, 1984), disebutkan tidak ditemukan mayat orang yang meledakkan gudang mesiu tersebut. Di sekitar gudang ditemukan potongan badan manusia mulai dari pinggang hingga kaki dalam keadaan terbakar, sehingga dipastikan bahwa itulah mayat Mohamad Toha yang peristiwanya sudah diceritakan dalam tulisan sebelumnya.

Monumen Mohamad Toha diambil dari seberang kolam bekas gudang mesiu yang diledakkannya. Foto: Deuis Raniarti.

Pada tanggal 8 September 1946, dalam kunjungan meninjau Front Bandung Selatan di Ciparay1, Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertahanan, Amir Sjarifuddin, menyerahkan dua bilah pedang tanda penghargaan atas nama Mohamad Toha dan Mohamad Ramdhan yang gugur dalam peristiwa peledakan gudang mesiu Dayeuhkolot. Mohamad Ramdhan gugur pada malam sebelumnya setelah berhasil menyeberangi sungai Ci Tarum ke Desa Dengklok, di dekat lokasi gudang mesiu. Mohamad Ramdhan ternyata terkena ranjau yang meledak dan wafat seketika. Sembilan rekan lain yang ikut menyeberang bersama Mohamad Toha dan Mohamad Ramdhan mengalami luka-luka, namun masih dapat kembali menyebrang sambil menggotong jenazah Mohamad Ramdhan. Mohamad Toha tinggal sendiri dalam keadaan luka-luka dan berniat melanjutkan rencananya meledakkan gudang mesiu.

RENCANA SERANGAN UMUM

Hasil dari rapat koordinasi di Arjasari itu adalah sebagai berikut:

  1. Melakukan serangan umum untuk merebut kembali Bandung dan akan dilakukan seminggu menjelang Lebaran,
  2. Sebelum pelaksanaan serangan umum, regu-regu penembak dan regu bumi hangus akan diselundupkan ke daerah musuh,
  3. Serangan umum itu akan serentak dilakukan dengan serangan umum ke seluruh jalur jalan raya antara Cianjur dan Cimahi-Bandung, untuk memutus jalur ke Bogor dan Jakarta,
  4. Serangan umum dilakukan bersama oleh pasukan-pasukan perjuangan yang tergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3), Hizbullah, Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), dan Yon-yon dari Divisi Siliwangi,
  5. Untuk menggelorakan semangat juang, mulai awal puasa 16 Juli 1946 akan dikerahkan tim kampanye perebutan kembali Bandung.

PERTAHANAN CILAMPENI

Namun di luar dugaan, sejak matahari terbit pada 15 Juli 1946, ternyata terjadi gempuran gabungan dari tentara Inggris dan Belanda secara besar-besaran ke seluruh pertahanan para pejuang di luar kota Bandung. Gempuran ini serentak datang dari darat dan udara. Pertahanan di Batujajar, Leuwigajah, Cilampeni, Bojongkoneng, dan Dayeuhkolot, digempur habis.

Mohamad Rivai dan pasukan BPRi-nya bertahan mati-matian di Cilampeni menghadapi musuh yang datang dari arah Margahayu. Pertahanan ini tak mampu bertahan lama, karena dari arah barat ternyata musuh sudah datang. Artinya, pertahanan Leuwigajah telah lumpuh. Begitu juga dengan pertahanan Bojongkoneng rupanya telah buyar, sehingga pasukan Mohamad Rivai menghadapi serang musuh yang datang serentak dari utara, timur, dan barat.

Tak ada yang dapat dilakukan selain menempuh jalur selatan sambil bertahan dari gempuran. Akibatnya, sebelas orang prajurit menjadi korban, tujuh di antaranya gugur, yaitu: Iyan (eks tentara Jepang yang memihak Indonesia), Endi (penembak bren), Saleh (komandan regu), dan prajurit Emur, Ruhiyat, Arifin, dan Sanusi.

Setelah gempuran mereda dan pasukan musuh mundur dari Cilampeni, barulah ketujuh orang pejuang yang gugur itu dapat diambil dari sekitar Jembatan Cilampeni. Mereka semua dimakamkan malam hari itu juga dengan bantuan warga desa. Usai pemakaman, pasukan Rivai mundur ke Soreang, namun sambil mempertahankan pos terdepan mereka di Cilampeni. Sebagai markas, ditetapkan rumah di jalan raya Soreang-Ciwidey dengan nomor 170 milik Haji Aisyah dan zender radio pemberontak BPRI ditempatkan di sebuah rumah lainnya di dekat rel kereta api.

Jembatan Cilampeni. Foto: Annisa Almumfahannah.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s