Oleh: Komunitas Aleut
Profesor Sudjoko, Ph.D, seorang guru besar ITB, pernah menulis, bahwa “Tanpa rekaman tertulis sebanyak-banyaknya, Indonesia Merdeka akan dilanjutkan kisahnya oleh rakyat yang hanya memiliki pengetahuan samar dan sesat mengenai Revolusi Agung itu. Selama puluhan tahun kita masih tetap saja mandek di tahap pandai bicara tentang Pewarisan Nilai-nilai Empat Lima.”
Selanjutnya, “Inilah jenis pewarisan yang nyata, yang kelak tidak tergantung lagi pada ada tidaknya Pejuang Revolusi di lingkungan kita. Pustaka mempunyai kehidupan sendiri, dapat hidup ribuan tahun dan dapat dibaca ratusan juta orang. Rekaman jenis lain ialah film dan sinetron.
Kita sekarang sudah bosan membuatnya dan saya yakin karena sudah bosan pada kisah Revolusi. Seakan terdengar suara bosan. ‘Lupakan saja masa silam. Kita punya urusan yang lebih penting.’ Pemodal bosan, wartawan bosan, dan semua bosan. Jumlah orang yang masih mau mengingat Revolusi susut dengan deras. Hampir semua tidak punya saya apa-apa dan dibiarkan terlantar.”
Cuplikan tulisan di atas dibuat oleh Sudjoko sebagai sambutan atas terbitnya buku “Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947” karangan R.J. Rusady W. yang diterbitkan oleh PT Luxima Metro Media dan USR Associates pada tahun 2010.
RJ Rusady W adalah seorang pelaku perjuangan di Front Bandung Timur yang ketika itu menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Kapten dalam usia 20 tahun.
Sudjoko adalah mantan Kepala Bagian Intendans di Batalyon 33 Resimen Pelopor. Buku ini sebenarnya sudah pernah terbit secara terbatas pada tahun 1996, hanya dibagikan kepada para pejuang mantan anggota Batalyon 33 Pelopor. Dalam edisi terbatas itu sudah termuat tulisan Sudjoko yang dikutip di atas.
MARKAS DI KAUTAMAAN ISTRI
Mulanya, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, Rusady menggabungkan diri dengan kelompok pemuda-pelajar dengan markas di Jalan Kautamaan Istri, statusnya adalah kort verband, semacam ikatan dinas yang bersifat sementara yang anggotanya kebanyakan para mahasiswa dan pelajar. Sebagai pemimpinnya adalah Simon Lumbantobing, seorang mahasiswa Sekolah Teknik Tinggi (sekarang ITB).
Tak jauh dari Kautamaan Istri, di Jalan Adisuren dan di Pangeran Sumedangweg terdapat dapur umum yang dikelola oleh ibu-ibu pejuang. Sementara di Jalan Pungkur di bekas perusahaan Sonda, terletak Pos Palang Merah. Jadi dapat dibayangkan situasi di sekitar Alun-alun dan Pendopo ketika itu cukup sibuk.
Kelompok ini kemudian berkembang menjadi Polisi Istimewa di bawah Kolonel AH Nasution, kemudian menjadi Detasemen Pelopor, dan akhirnya menjadi Batalyon 33 Pelopor. Perubahan nama menjadi Detasemen Pelopor karena pasukan ini selalu ditempatkan di front terdepan dalam berbagai pertempuran. Pada saat ini markasnya dipindah ke Cibangkong, di Jalan Papandajan (sekarang Jalan Gatot Subroto).

FRONT BANDUNG TIMUR
Setelah ada perintah dari Pemerintah RI untuk mengosongkan Kota Bandung di bulan Maret 1946, maka kelompok-kelompok pejuang pun mundur dan membuat pos-pos pertahanan di sekeliling Kota Bandung. Detasemen Pelopor mun meninggalkan Cibangkong dan berjalan kaki tengah malam dalam keadaan hujan lebat sampai ke Cipamokolan. Mereka menginap malam itu di sebuah bangunan sekolah yang kosong di tengah persawahan. Baru keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju pos di Ujungberung.
Front Bandung Timur sering mengalami pertempuran dalam jarak dekat, seperti di Jamaras, Sukamiskin, Cipadung, Cilameta, Gedebage, dan Pasar Ujungberung. Di kawasan perbukitan pun terjadi berbagai pertempuran seperti yang terjadi di Cikadut, Bihbul, dan Bongkor.
Pada bulan Juli 1946 terjadi beberapa pertempuran dengan Kompi Ambon “Anjing Nica” dengan akibat jatuhnya puluhan korban dari pihak laskar Hizbullah. Selain itu, Rusady menyebutkan ada rangkaian pertempuran yang disebut sebagai “Peristiwa 21”.
Istilah itu untuk menyebutkan pertempuran di Cipamokolan yang mengakibatkan jatuhnya korban dari Batalyon sebanyak 21 orang, lalu pada pertempuran di Pangaritan juga jatuh korban dari Pasukan Istimewa sebanyak 21 orang, dan peda pertempuran di Gedebage juga jatuh korban dari KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) sebanyak 21 orang. Menurut Rusady, nama “Anjing Nica” mulanya adalah ejekan dan hinaan bagi tentara eks KNIL yang tergabung dalam Batalyon V di bawah pimpinan Letkol Adrianus van Santen. Mereka ini umumnya tentara eks tawanan Jepang yang berasal dari berbagai suku Indonesia.

PERISTIWA PANGARITAN
Dalam buku “Mohamad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945” (Bandung, 1984), tertulis sedikit latar belakang peristiwa pertempuran Front Bandung Timur di Pangaritan. Pada tanggal 20 Oktober 1946, setelah keluarnya suatu Komunike Bersama untuk Gencatan Senjata, Komandan Sektor Belanda mendatangi Komandan Sektor Indonesia untuk merundingkan soal pembagian daerah, namun pertemuan ini tidak mencapai satu kesepakatan.
Setelah Komandan Sektor Belanda kembali ke daerahnya, secara tiba-tiba terjadi serbuan Belanda ke daerah Pangaritan yang terletak tidak jauh dari pertahanan Ujungberung. Pasukan Istimewa yang tidak menduga sama sekali akan ada serangan seperti itu berusaha mati-matian bertahan. Namun, tak dapat dihindari juga jatuhnya korban sebanyak 20 orang.
Dalam upacara pemakaman ke 20 jenazah itu, Mayor Rivai menyampaikan pidatonya, “Peristiwa ini merupakan bukti kurang kompaknya kesatuan komando di daerah Bandung Timur ini. Kalau kesatuan komando itu memang benar ada, tidaklah mungkin prajurit-prajurit dari Pasukan Istimewa ini akan terkepung dan menderita korban yang demikian besar.
Saya harapkan untuk masa yang akan datang, supaya kesatuan komando itu dan rasa setia kawan sesama pejuang kemerdekaan dipelihara dengan baik. Jangan asyik mau menyelamatkan diri sendiri dan golongannya saja, baik terhadap badan-badan yang sudah tergabung ke dalam MP3, apalagi kepada TKR sebagai tentara resmi negara! Mestinya kita bahu-membahu menghadapi musuh negara kita.”

