Oleh: Komunitas Aleut

Tanggal 23 Maret 1946 sore, tentara Sekutu menyebarkan pamflet-pamflet di Bandung, isinya menyatakan bahwa sebelum pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 semua pasukan bersenjata harus sudah ke luar dari Kota Bandung.
Pagi hari tanggal 24 Maret, Kolonel Nasution menemui Kolonel Hunt dari Staf Divisi Sekutu di Bandung yang menanyakan keputusan dari pertemuan Nasution dengan Perdana Menteri Syahrir tentang keharusan mengosongkan Kota Bandung. Katanya, hari itu juga Nasution harus mengeluarkan semua pasukan bersenjata sampai di luar lingkaran 10 kilometer dari kota.
Nasution menjawab, bahwa tidak mungkin mengungsikan lebih dari 10.000 orang tentara dan laskar , apalagi dengan barang-barang perlengkapannya. Yang pasti, tidak akan terhindarkan terjadinya pertempuran.Pengosongan kota juga akan mengakibatkan pengungsian sejuta rakyat Bandung.
Ketika itu Pemerintah Pusat sudah menyetujui rencana pengosongan Kota Bandung dengan syarat, bahwa pemerintah sipil tetap berada di dalam kota. Pukul 10.00 Nasution dijemput oleh Kapten Sugih Arto seraya melaporkan bahwa bom-bom patok sudah dipasang di jalan-jalan. Di pos komando di Regentsweg (Jalan Dewi Sartika) diadakan rapat kilat dengan komandan dan staf dari MP3, Pemerintah Sipil, dan tokoh-tokoh KNI (Komite Nasional Indonesia).
Pihak sipil mencoba meminta penundaan batas waktu, namun ditolak oleh pihak Sekutu. Wakil Persatuan Perjuangan, Kamran dan Sutoko, memberikan pertimbangan agar laskar-laskar bersama rakyat semua keluar saja, tapi Bandung harus dibakar.
Akhirnya, disepakati beberapa hal seperti yang sudah disampaikan dalam tulisan sebelumnya, di antaranya bahwa semua pegawai dan rakyat akan ke luar kota sebelum pukul 24.00, tentara akan melakukan bumi hangus semua bangunan yang ada, dan rencana bahwa sesudah matahari terbenam pasukan dari utara akan melakukan bumi hangus wilayah Bandung Utara dan dari pasukan-pasukan di selatan akan melakukan penyusupan ke utara.
Malamnya, Kolonel Nasution bersama Mayor Rukana menyaksikan semua persiapan ini dari perbukitan di selatan Dayeuhkolot. Terlihat api dan asap yang disertai suara-suara dentuman mulai dari daerah Cimahi sampai Ujungberung. DI bagian utara kebakaran terjadi hanya di wilayah pinggiran. Beberapa serangan terjadi di sekitar bekas KMA di Jalan Supratman, di Ciumbuleuit, di Sukajadi, dan di beberapa tempat lainnya. Kebakaran paling hebat terjadi di sekitar Tegallega karena dibakarnya persediaan bahan bakar yang ada di situ oleh kelompok yang dipimpin oleh Eddy Kowara. Begitu pula di Cicadas, api berkobar dengan hebat.

Pemerintah sipil yang sebelumnya akan tetap tinggal di dalam kota Bandung didesak oleh Kolonel Nasution agar ikut mengungsi ke luar kota. Wali kota Syamsurizal kemudian menugaskan pemimpin Laskar Rakyat, Ema Bratakusumah, untuk mempersiapkan, mengurus, dan membantu pengungsian pemerintah dan masyarakat Kota Bandung agar dapat berjalan lancar dan aman.
Dalam buku “Kajian tentang Perjuangan Mohamad Toha (1927-1946)” karangan Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S., diceritakan bahwa pada 24 Maret pukul 17.30 seluruh staf pemerintahan telah berkumpul di Markas Laskar Rakyat. Hari sudah gelap, hujan pula. Rombongan berjalan ke arah Jalan Pangeran Sumedang (Jalan Oto Iskandar Dinata), lalu ke Tegallega, selanjutnya menyusuri Jalan Cigereleng (Jalan Moh. Toha) menuju Dayeuhkolot. Baru pukul 01.00 rombongan pemerintahan ini tiba di Citeureup, Dayeuhkolot. Wali kota Syamsurizal dan sekretarisnya, Basuni, ditempatkan di Soreang. Sementara kegiatan pemerintahan ditempatkan di Banjaran. Para pegawai pemerintahan disebar ke beberapa lokasi.
Bupati Bandung, RE Suriasaputra dan para pegawainya, sebelumnya sudah pindah pula. Rombongan ini dipimpin oleh Oetit Gandakusumah, Kepala Bagian Pekerjaan Umum, dengan menggunakan kendaraan untuk mengangkut barang-barang kantor dan rumah tangga kabupaten ke Banjaran.
Konon, kendaraan yang membawa peralatan rumah tangga dicegat oleh sebuah pasukan rakyat di Bojongloa dan diminta agar mengembalikan barang-barang tersebut. Kemudian barang-barang dikembalikan ke halaman kabupaten, namun akhirnya berhilangan.
Masih dalam buku Nina Lubis di atas, diceritakan pula bahwa Pemerintah Kabupaten mulanya diungsikan ke Cililin. Kantornya berada dekat markas dan asrama TKR yang menempati bangunan sekolah. Namun baru beberapa hari, kantor kabupaten ini diserang oleh tentara dengan mortir dan peluru. Ketika itu tentara Belanda memiliki markas di Batujajar. Akhirnya kantor kabupaten dialihkan ke Soreang, menempati sebuah sekolah, tetapi karena ruangannya tidak memadai, kantor dipindah lagi ke Kamasan, Banjaran, sementara Bupati RE Suriasaputra tinggal di rumahnya sendiri di Soreang.
Rumah Bupari RE Suriasaputra juga dijadikan semacam dapur umum yang membagikan makanan bagi pasukan-pasukan perjuangan. Beras yang didatangkan dari Sumedang dan Lembang habis untuk kebutuhan para pejuang. Rumah Bupati RE Suriasaputra di Soreang ini masih ada sampai sekarang dan diberi nama Bale Soeriasapoetra.

