Oleh: Komunitas Aleut
Kisah berikut ini disarikan dari buku “Letjen TNI Achmad Wiranatakusumah; Komandan Siluman Merah” yang ditulis oleh Aam Taram, RH Sastranegara, dan Iip D. Yahya, dan diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2019. Beberapa informasi lain, kami dapatkan dari sejumlah buku lain yang menyinggung kiprah Achmad Wiranatakusumah, dan dari rangkaian perjalanan Komunitas Aleut menyusuri sejumlah jejak Bandung Lautan Api di luar Kota Bandung selama bulan Maret-April 2023.
PADJADJARAN JEUGD TROEP
Achmad Wiranatakusumah dilahirkan di Bandung pada 11 Oktober 1925. Dari namanya, mudah diterka, dia keturunan keluarga Bupati Bandung. Ayahnya, Muharam Wiranatakusumah, adalah Bupati Bandung antara tahun 1920-1931, dan sebelumnya merupakan Bupati Cianjur periode 1912-1920. Ibunya, RA Oekon Sangkaningrat, adalah keturunan Bupati Sumedang, dan merupakan perempuan pertama yang menjadi anggota Gemeenteraad Bandung.
Lahir dari keluarga pemimpin, Achmad pun sudah menunjukkan sifat kepemimpinan sejak belia. Saat usianya 10 tahun, Achmad ikut ibunya keluar dari lingkungan kabupaten. Pada usianya yang ke-14, Achmad bersama saudara-saudara dan teman-temannya mendirikan organisasi pemuda Padjadjaran Jeugd Troep. Kelompok ini menyelenggarakan banyak pelatihan, kepanduan, lintas alam, baris berbaris, berkemah, drum band, hingga pelatihan militer. Untuk yang terakhir ini, Achmad menyewa seorang sersan Belanda, Schouten, sebagai pelatihnya.
PENGAWAS UDARA DI ISOLA
Pada saat kedatangan Jepang ke wilayah Bandung, pemerintah Belanda menjadikan anggota Padjadjaran Jeugd Troep sebagai luchwacht (pengawas udara) di daerah Bandung Utara dengan pos komando di Gedung Isola. Kedatangan Jepang membuat banyak tentara Belanda membuang senjata. Achmad dan kelompoknya mengambil senjata-senjata itu dan menyembunyikannya di beberapa tempat rahasia. Jepang akhirnya mengetahui perbuatan Achmad, lalu menangkap dan menahannya di markas intelijen di Jalan Wastukancana. Ibu Achmad yang berhubungan baik dengan para perwira Jepang berhasil membebaskan Achmad.
Pada akhir kekuasaan Jepang, seorang perwira Jepang meminta Achmad memimpin bekas tentara KNIL yang masuk Heiho. Ketika itu Achmad sudah memiliki rumah di Jalan Angsana dan sering digunakan sebagai tempat berkumpul dan menyusun rencana-rencana perlawanan terhadap Jepang. Setelah mendengar berita kekalahan Jepang dari ibunya, Achmad mencuri sebuah mobil milik tentara Jepang yang diparkir di Jalan Dago dan dengan mobil itu ia menemui kakaknya, Male Wiranatakusumah di Tasikmalaya, dilanjutkan ke Jakarta untuk bertemu pemuda-pemuda di Jalan Prapatan 10.

BKR MENDUDUKI ANDIR
Pada tanggal 23 Agustus 1945 pemerintah mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Arudji Kartawinata memanggil para eks Peta, Heiho, KNIL, dan pemuda-pemuda untuk berkumpul di sudut Jalan Ksatrian. Ada sekitar 200 orang yang memenuhi panggilan itu dan dibentuklah BKR Bandung. Jumlah ini masih akan terus bertambah sesuai perkembangan waktu dan situasi. Achmad memimpin BKR di lapangan udara Andir yang memiliki 250 pesawat terbang
Pada 10 Oktober 1945, Achmad dengan BKR dan Sutomo yang memimpin Polisi Istimewa, berhasil menduduki Andir dan menawan sekitar 200 orang tentara Jepang. Situasi berbalik pada malam harinya ketika tentara Jepang datang dari Bogor untuk membebaskan kawan-kawannya. Dua orang anggota Polisi Istimewa yang bertugas jaga gugur. Jepang berhasil menahan 64 orang, termasuk Sutomo dan Achmad Wiranatakusumah.
Achmad berhasil lolos dari tawanan Jepang berkat bantuan saudaranya, Memed Wiranatakusumah, yang menghubungi Letnan Poublon, seorang penerbang Belanda yang ikut RAPWI. Setelah bebas, Achmad pergi ke Jalan Siti Munigar, tempat berkumpulnya Pemuda Republik Indonesia (PRI – yang kemudian menjadi Pesindo – Pemuda Sosialis Indonesia). Mashudi, pemimpin PRI menyarankan agar Achmad keluar kota menyusun kekuatan. Achmad membongkar tempat penyembunyian senjatanya di waktu lalu dan mengumpulkannya di Jalan Kepatihan No.9. Achmad mengumpulkan beberapa anggota eks Padjadjaran Jeugd Troep yang ketika itu sudah banyak bergabung dengan Polisi Tentara di Pajagalan di bawah pimpinan Harjo.

MENYUSUN KEKUATAN DI SUKAATI
Kemudian peti-peti senjata diangkut dengan tiga kretek ke Stasiun Karees lalu diangku ke dalam gerbong. Saat dalam kereta, mereka sebenarnya tidak tahu ke mana kereta tersebut pergi. Tujuan akhirnya baru diketahui setelah kereta berhenti di Ciwidey. Peti-peti senjata kemudian diangkut dengan truk ke Perkebunan Sukaati, cukup jauh dari Ciwidey. Di sini Achmad mengumpulkan para pemuda untuk dilatih militer. Mereka berdatangan dari Ciwidey, Soreang, Banjaran, Majalaya, dan dari wilayah sekitar Sukaati.
Tanggal 7 Oktober 1945, Achmad mendirikan kesatuan tentara dengan jumlah kurang dari 200 orang. Untuk seragamnya, mereka gunakan karung goni tipis yang didapat dari wilayah perkebunan. Setelah siap, mereka bergerak ke Soreang dan bergabung dengan Resimen 9 di bawah pimpinan Gandawijaya yang bertugas di Bandung Selatan. Lalu Achmad menempatkan Kompi I di Citaliktik, Lembur Tegal, Cikarasak, dan Warung Lobak, serta Kompi II di Cirangrang.

MARKAR BATALYON III DI CILENTAH-KARAPITAN
Achmad dan Komandan Kompi II, Ating Soeriadilaga, sempat membawa satu regu untuk ikut bertempur di Ciroyom. Di sana dia bertemu dengan Kapten Sugih Arto, ajudan Komandan Resimen 8, Omon Abdurachman, yang mengajaknya untuk menjadi salah satu batalyon di Resimen 8. Pada 8 Januari 1946, pasukan Achmad resmi menjadi Batalyon III Resimen 8 dengan pos komando di Cilentah dan Jalan Karapitan dan wilayah operasional sampai Cicadas.
Suatu waktu, Achmad berhasil menangkap seorang tentara Gurkha yang sedang mengendarai jeep ke selatan menuju Jalan Sunda. Achmad menawannya di markas. Kemudian, Sutoko, Komandan MDPP, mengadakan perundingan dengan Inggris dan menukar tawanan Gurkha tersebut, berikut jeep dan senjatanya, dengan 30 orang pemuda pejuang yang ditawan oleh tentara Sekutu.
Setelah keluarnya ultimatum Sekutu agar Bandung dikosongkan dari para pejuang, Achmad ikut mundur ke Bandung Selatan. Kemudian, terjadilah peristiwa Bandung Lautan Api. Menurut Achmad Wiranatakusumah, situasi kala itu tidaklah menguntungkan untuk kelanjutan gerakan militer, karena semestinya yang prioritas untuk dihancurkan adalah gedung-gedung dan bukan rumah-rumah penduduk di daerah perkampungan seperti di Andir, Tegallega, Nyengseret, dll. Tentara pejuang menjadi tidak bisa bergerilya. Di sisi lain, tentara Indonesia tidak memiliki bahan peledak dengan kekuatan besar, juga tidak memiliki kemahiran di bidang itu. Terbukti oleh Achmad sendiri ketika mendinamit gedung-gedung di Simpang Lima, tidak hancur karena kurang kuatnya peledak yang ada.

Bersambung ke Bagian 2
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Achmad Wiranatakusumah” Bagian 2 | Dunia Aleut!