Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Achmad Wiranatakusumah”
Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.
POSKO DI SAPAN-CIPAMOKOLAN DAN PERISTIWA BUAHBATU
Setelah BLA, Batalyon III Resimen 8 pimpinan Mayor Achmad Wiranatakusumah mengambil posisi di daerah Sapan dengan garis demarkasi di Cipamokolan. Salah satu regunya dari Kompi II pimpinan Sersan Mayor Sirodz yang berpatroli di daerah Buahbatu, berpapasan dengan patroli Belanda, dan pertempuran pun tak terhindarkan. Komandan patroli yang bernama De Hand tewas. Regu Sirodz membawa mayat De Hand dengan pedati dan di sepanjang jalan mayat itu disoraki orang. Kemudian mayat itu dipamerkan dengan disandarkan di pagar posko.

Belanda yang marah karena peristiwa itu menyerang pertahanan regu Sirodz dengan mortir dan mengejarnya dengan brencarier. Walaupun tidak ada korban jiwa, namun peristiwa ini membuat Batalyon Achmad mundur ke Talun, Garut. Dari Garut, Batalyon achmad pindah lagi ke Soreang, dekat perbatasan Ci Tarum. Di sini Achmad mendapat tambahan dua personil, yaitu HR Dharsono dan Lettu Poniman. Dalam suatu pertempuran dengan Belanda yang berhasil merebut Soreang, Batalyon Achmad pindah ke Ciwidey dengan posko di Pasirjambu.

PERTAHANAN DI CEBEK, SOREANG
Tanggal 10 Juli 1946, tentara Belanda menyerang Batalyon Hutagalung yang mempertahankan Soreang dan berhasil menguasainya selama 24 jam. Setelah itu Soreang dibiarkan kosong dan baru sembilan hari kemudian Batalyon Achmad menduduki Soreang dengan pos komando di rumah Uso Somawinata di Kampung Cebek. Front pertahanan ditetapkan di Warunglobak, Citaliktik, Gajah, Pameuntasan, Ceuri, Cingcin, Tegalilat, Baranta, Parungserab, Kopo, Bojongbuah, dan sepanjang sungai Ci Tarum sebelah barat. Front-front ini berhadapan dengan front Belanda yang berada di sisi timur Ci Tarum.
Tanggal 1 September 1946, tentara Belanda menyerang front batalyon Achmad dengan meriam dan serangan udara. Pasar Soreang dan perkampungan di sekitarnya rusak berat. Ketika itu batalyon Achmad sudah membuat parit-parit perlindungan dengan jarak setiap dua kilometer ke belakang dan kedalaman yang memadai. Dengan cara ini batalyon dapat menjebak pasukan Belanda yang memasuki wilayahnya sehingga pasukan Achmad berada di belakang pasukan Belanda.
PERTAHANAN DI GUNUNG SADU Pada akhirnya batalyon Achmad harus mundur juga, kali ini ke Cibeureum, dengan pos pertahanan di Gunung Sadu, memanjang ke Cebek, Bojong, sampai Panyirapan. Mereka dapat bertahan beberapa hari di sini. Sementara itu pasukan Belanda sudah menduduki Pangalengan dan Cililin. Pertahanan Gunung Sadu terus digempur dari darat dan udara. Suatu hari Panglima Divisi Siliwangi, AH Nasution, memanggil Achmad dan memintanya untuk tidak terus bertahan di Gunung Sadu, melainkan menanggalkan seragam tentara, mengubur senjata, dan berbaur dengan rakyat. Bila pasukan Belanda sudah menguasai Soreang, barulah Achmad dan pasukannya melakukan gerilya.


PERTAHANAN DI BARUTUNGGUL DAN CIPELAH
Belanda terus mengejar Batalyon Achmad di mana pun mereka bertahan. Pertahanan Batalyon Achmad yang kuat, sulit ditaklukkan musuh, dan seringkali mengecoh seperti siluman, itulah yang membuat batalyon ini kemudian mendapatkan julukan “Siluman Merah.” Nama “Merah” di situ diambil dari nama kesatuan Red Devil, resimen paratroop tentara Inggris. Ada bentuk bintang pada lambang Siluman Merah, ini diambil dari 2nd Infantry Division Indianhead, sementara gambar kepala Indian diganti menjadi kepala siluman. Lambang ini digambar oleh Prajurit Oyo dari Regu Gerilya yang dipimpin oleh Maman Darmawan.
Pasukan Belanda di Pangalengan berhasil menduduki Ciwidey setelah menerobos hutan Gunungtilu ke Gambung. Ketika pasukan Achmad sudah berkedudukan di Barutunggul. Kompi Dharsono yang berada di Cipeuteuy, sebelah barat Gunung Sadu, melakukan gerilya siang malam sambil menyamar sebagai petani aau pedagang. Pertahanan Barutunggul ternyata sangat cocok untuk pasukan Achmad, mereka dapat bertahan hingga berbulan-bulan, bahkan pasukan Belanda kewalahan menghadapinya, walaupun terus menerus melakukan serangan udara dan meriam.
Pasukan Belanda yang sudah mendekati Barutunggul, di Babakan Jampang, bahkan kesulitan untuk menembus pertahanan Barutunggul, malah salah satu pesawat pengintainya tertembak jatuh di Lembah Cikarancang, Gunung Tambakruyung, tak jauh dari pertahanan Barutunggul. Kedua pilotnya ditawan hidup-hidup dan dibawa ke markas batalyon yang terletak jauh di selatan, di Cipelah. Pada bulan Juni 1947 kedua tawanan ini ditukar dengan perwira-perwira yang ditawan Belanda, yaitu Kapten Daeng Kosasih Ardiwinata, Kapten Djoehari, dan Kapten Kresno.

Sebelumnya, Achmad sudah pernah melakukan pertukaran tawanan, yaitu seorang Gurkha. Dalam melakukan kontak untuk pertukaran ini, Achmad punya call sign, yaitu Ajax en Drie Willem atau A3W. Call sign ini kemudian melengkapi nama batalyon menjadi Batalyon Siluman Merah A3W.
Karena selalu gagal menembus Barutunggul, pasukan Belanda mengirimkan pasukan baru, Resimen Stoodroepen dan Brigade Princes Irene yang segera mengerahkan semua kekuatan tempurnya dan berhasil menembus pertahanan Barutunggul, bahkan sampai ke Sukaati dan Cibitu. Demi menghindar dari jatuhnya lebih banyak korban, pasukan Siluman Merah mundur dari Barutunggul ke Pondokdatar dan Cibuni, dengan garis pertahanan depan berada di Cibitu dan Cipelah. Staf batalyon ditempatkan di Balegede.
Ketika bermarkas di Pondokdatar, pasukan Siluman Merah melakukan penyerangan ke pertahanan Belanda yang sudah berada di Dawuan. Pada tanggal 2 Agustus 1947, Batalyon Siluman Merah melakukan suatu serengan serempak dengan mengepung pos Belanda di Cimanggu. Kompi Poniman berjaga di Barutunggul untuk menahan pasukan Belanda dari Ciwidey, sementara Kompi Ating di Rancawalini, siap menahan tentara Belanda bila datang dari Rancabali. Pasukan utama menyerbu Cimanggu yang menjadi kunci bagi delapan pos pertahanan Belanda di belakangnya, yaitu di Rancabali, Dawuan, Sperata, Indragiri, Sukaati, Sinumbra, Rancawalini, dan Ciwidey. Mereka akan mundur kembali ke Ciwidey.
Keberhasilan penyerbuan Cimanggu ini jarang sekali terjadi sebelumnya, karena tentara Indonesia berhasil menguasai kembali suatu daerah yang telah dikuasi oleh Belanda melalui suatu pertempuran. Sejak itu, Barutunggul tidak pernah lagi diserang Belanda sampai akhirnya ditinggalkan karena seluruh tentara Indonesia hijrah ke Jawa Tengah. ***
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Achmad Wiranatakusumah” Bagian 1 | Dunia Aleut!