Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung” Bagian 1

Oleh: Komunitas Aleut

Pada 29 September 1945, tentara Sekutu yang dipimpin oleh Panglima Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), Letjen Sir Philip Christison, melakukan pendaratan di Tanjung Priok. Kapal perang bernama Cumberland ini mengangkut tiga divisi tentara Sekutu, salah satunya, 23rd Division yang dipimpin oleh Mayjen DC Hawthorn yang akan bertugas di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.

Malam sebelumnya, Panglima South East Asia Command (SEAC), Lord Louis Mountbatten, mengeluarkan pengumuman dari Singapura yang menyatakan bahwa kedatangan tentara Sekutu tersebut adalah untuk melindungi dan mengungsikan tawan-tawan perang, lalu melakukan pelucutan dan mengembalikan tentara Jepang, dan menjaga keamanan dan ketentraman wilayah dalam melakukan dua tugas tersebut.

Rakyat Indonesia tidak serta merta mempercayai rencana ini. Terbukti, pada hari berikutnya, tentara Sekutu meminta untuk menempatkan pasukan-pasukannya di Bogor dan Bandung. Menghadapi ini, Gubernur Jawa Barat, Sutarjo Kartohadikusumo dan Residen Ardiwinangun membuat pertemuan dengan dengan pemimpin-pemimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan badan-badan perjuangan.

Dengan berat hati, kedatangan Sekutu ke wilayah Jawa Barat disetujui, tapi dengan syarat menggunakan kereta api khusus dan dikawal oleh pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pengawasan dari utusan pemerintah pusat.

KEDATANGAN TENTARA SEKUTU DI BANDUNG

Tanggal 12 Oktober 1945 pagi, satu brigade tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigjen MacDonald, tiba di Stasiun Bandung dan disambut oleh Gubernur Jawa Barat dan tokoh-tokoh dari Komite Nasional. Rakyat turut berjejalan di sekitar stasiun sambil melambai-lambaikan bendera merah putih berukuran kecil.

Tentara-tentara Sekutu ditempatkan di beberapa gedung di Bandung sebelah utara dan di beberapa hotel di selatan rel kereta api, di antaranya di Hotel Homann, Hotel Preanger, dan Hotel Braga. Ternyata kemudian diketahui bahwa kedatangan tentara Sekutu ini tidaklah bersih, karena diam-diam disusupi oleh tentara-tentara Belanda yang menyamar sebagai tentara Sekutu/Inggris. Penyusupan ini diketahui ketika beberapa tentara dipancing ngobrol dan ternyata fasih berbahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa Inggris terlihat kurang lancar.

Sebenarnya, sehari sebelum ketibaan tentara Sekutu di Bandung, terjadi sebuah keriuhan. Panglima Tentara Jepang, Jendral Mabuci, memerintahkan tentara Jepang untuk melakukan razia besar-besaran di Bandung dan sekitarnya. Tujuannya mencari dan mengumpulkan kembali persenjataan Jepang yang sudah diambil oleh para pejuang Indonesia. Sejak subuh tentara-tentara Jepang secara brutal menggedor rumah-rumah, dan merusakkan rumah-rumah yang tidak mau membukakan pintunya. Setiap laki-laki yang ditemui ditangkap dan diperiksa, bahkan dengan kekerasan.

Seluruh jalan masuk ke Bandung, baik dari Cimahi di barat, Lembang di utara, dan Ujungberung di timur, dijaga oleh tentara Jepang. Di selatan, barikade Jepang berjaga di Baleendah, Majalaya, sampai ke Rancaekek dan Sumedang. Di dalam kota Bandung, jalan-jalan raya hingga lorong-lorongnya pun dijaga oleh tentara Jepang.

Nyata pula kemudian bahwa Brigade MacDonald memberikan senjata kepada orang-orang Belanda eks tawanan Jepang. Rupanya hal ini terkait suatu perjanjian, Civil Affairs Agreement (CAA), antara Inggris dan Belanda tanggal 24 Agustus 1945 di London, Inggris, yang isinya adalah bahwa Sekutu akan mengembalikan Hindia Belanda kepada Belanda.

PEMBAKARAN GUDANG AMACAB DI BRAGA

Suatu hari di awal November 1945, tentara Belanda mengibarkan benderanya di tiang di halaman Allied Military Administration Civil Affairs Branch (AMACAB), padahal sebelumnya tentara Sekutu sudah menjanjikan tidak akan membawa tentara Belanda ke Bandung. Sebagian tentara Belanda ini sering nongkrong di sebuah bangunan bekas restoran yang dijadikan gudang peralatan di Jalan Braga. Di dekatnya, ada gedung eks Insulinde Oliefabrieken yang digunakan oleh tentara Inggris, dan eks Javaschebank yang diisi oleh tentara Jepang.

Melihat itu, Mohamad Rivai, Komandan BPRI yang bermarkas di Gang Coorde No.2 , berunding dengan Maulana Harahap dan Udin untuk membumihanguskan gudang tersebut. Malamnya, sekitar pukul 01.00, Rivai, Harahap, dan Udin mengendap-endap ke sekitar gudang AMACAB dan berhasil menyiramkan bensin ke seliling bangunan. Pasukan pelindung berjaga-jaga disekitarnya, bersiap-siap bila terjadi sesuatu di luar rencana. Pasukan pembakar pun memantikkan korek api dan dalam sekejap api sudah menjilat bangunan tersebut dan terdengar pula ledakan-ledakan dari dalam gedung.

Tanggal 15 November 1945, Panglima Sekutu mengirimkan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat, isinya: “Semua kaum extremis dan penduduk Bandung yang memegang senjata api dan senjata tajam lainnya, agar menyerahkannya secepatnya kepada tentara Sekutu, selambatnya tanggal 17 November 1945 pukul 12.00 tengah malam. Jika perintah ini tidak dipatuhi, tentara Sekutu akan mengambil tindakan secara kekerasan.” Namun sore harinya, Panglima Sekutu menelepon Residen Ardiwinangun dan menyatakan mencabut ultimatum tersebut. Sebaliknya, ia mengajak agar rakyat Indonesia dapat bekerja sama sebaik-baiknya dengan Sekutu. Walaupun demikian, pasukan Sekutu tetap mengadakan show of forces dengan berpatroli ke sekeliling Bandung.

SERANGAN UMUM KE BANDUNG UTARA, HOTEL HOMANN, DAN HOTEL PREANGER

Tanggal 23 November 1945 malam, para pemimpin KNI, MDPP, TKR, dan laskar-laskar perjuangan mengadakan suatu pertemuan yang menghasilkan kesepatakan untuk melaksanakan serangan umum ke daerah Bandung Utara dan hotel Homann dan Preanger. Penyerangan akan dilakukan pada 24 November mulai pukul 19.00 dengan sebelumnya akan memutus jaringan listrik dan air di Kota Bandung. Sebagai komandan penyerangan ini ditetapkan Kolonel Arudji Kartawinata dan wakilnya, Letkol Sutoko. Pasukan ini diperkuat oleh satu batalyon yang didatangkan dari Ciamis yang pernah dilatih oleh Mohamad Rivai sewaktu masih menjadi Komandan Pasukan Komite Nasional. Mereka dibaurkan dengan pasukan-pasukan yang bersiaga di sekitar Situsaeur, Pasirkaliki, Alun-alun, Kosambi, dan Cicadas.

Pukul 18.00 pasokan listrik dan air ke kota Bandung sudah dipadamkan. Ini tanda serangan segera dilaksanakan. Pertahanan-pertahan Sekutu di Bandung Utara, di Hotel Homann dan Preanger, diserbu para pejuang dan mendapatkan balasan tembakan-tembakan membabi buta dari tentara Sekutu.

Keesokan harinya, serangan ini mendapatkan protes dari Panglima Sekutu dan dalam perundingan dengan Residen Datuk Djamin, pihak Sekutu meminta agar pertempuran dihentikan dulu selama satu hari penuh. Sementara itu, para pejuang tetap bersiap, sambil berencana bahwa bila perundingan itu gagal, maka akan dijalankan serangan umum berikutnya pada malam itu juga pukul 19.00.

BANJIR BESAR CI KAPUNDUNG

Hari itu, 25 November, gerimis berlangsung sepanjang hari di Bandung. Menjelang malam, air sungai Ci Kapundung meluap dan menggenangi jalanan. Beberapa kampung di selatan sudah mulai dilanda banjir. Di kota, banjir meluas ke Balubur, Banceuy, Sasakgantung, Lengkong, dan Cilentah. Menurut Tatang Endan, yang menuliskan pengalamannya dalam buku “Bandung Lautan Api: Puncakna Perjoangan Rakyat Bandung Ngalawan Sekutu” (2005), di daerah Braga tinggi air sampai sekitar selutut, lebih ke selatan semakin dalam. Kantor Surat Kabar “Tjahaja” bahkan terendam sampai 3 meter.

Di sana-sini, korban berjatuhan, terseret arus banjir. Warga membunyikan kentongan sebagai peringatan banjir besar malah diserang dan ditembaki tentara Gurkha dan NICA karena mengira bunyi kentongan itu sebagai tanda penyerangan. Di Hotel Homann, beberapa orang tentara Gurkha yang bertugas menjaga markas Inggris dengan senjata lengkap dan mendekati rakyat yang kebanjiran, di luar dugaan mereka, rakyat merampas senjata dan menembakinya. Tentara Gurkha lain yang mengetahui kejadian ini lantas menembaki rakyat yang sebagian besar tak bersenjata itu.

Jumlah korban akibat banjir dan tembakan-tembakan tentara Gurkha ini cukup banyak, John RW Smail dalam bukunya “Bandung Awal Revolusi 1945-1946” menyebutkan paling tidak ada 500 rumah dan lebih dari 200 korban jiwa”. Buku Mohamad Rivai, dengan mengutip laporan pemerintah, menyebutkan ada 152 orang tewas dan 2500 orang kehilangan rumah dan harta bendanya. Tidak pernah sebelumnya Bandung dilanda banjir Ci Kapundung seperti saat itu. Orang-orang merasa heran.

Beberapa saksi mata warga Viaduct kemudian menyebutkan bahwa sore itu terlihat ada sekitar lima orang dengan pakaian seperti pejuang, dengan pistol dan karaben, mendatangi Viaduct. Mohamad Rivai menyebutkan bahwa ada dua orang mata-mata NICA yang membuka pintu air Cikapundung. Tugas itu datang dari Panglima Sekutu, MacDonald, sebagai upaya mematahkan rencana serangan umum kedua yang akan dilakukan oleh pejuang Indonesia malam itu. Rencana ini sudah didengarnya dari mata-mata NICA.

Tahun 2007, Cikapundung pernah meluap agak besar dan mengakibatkan kebanjiran di perkampungan sekitar Braga-Banceuy. Foto: Komunitas Aleut.

Bersambung ke Bagian 2

2 pemikiran pada “Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung” Bagian 1

  1. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung” | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung” Bagian 3 | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s