Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung”
Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan bagian 2 bisa dibaca di sini.
PEMBOMAN GUDANG DKA ANDIR DAN CICADAS
Tentara Sekutu melihat bagaimana bala bantuan laskar-laskar dari utara ke Lengkong Besar dan mengetahui bahwa jalur yang digunakan oleh laskar-laskar itu adalah melalui Cicadas. Ini membuat tentara Sekutu mulai mengincar Cicadas. Seminggu setelah penyerangan Lengkong Besar, tanggal 14 Desember 1945, tentara Sekutu melakukan dua penyerangan, termasuk ke Cicadas.
Pertama, serangan ke gudang DKA di Andir karena kondisi bahan makanan Sekutu di daerah utara sudah dalam keadaan darurat. Dan kedua, serangan dengan mengerahkan pesawat-pesawat pembom ke Cicadas. Akibatnya, banyak lubang-lubang besar seperti sumur di jalanan sekitar Cicadas, bahkan ada yang lebarnya sampai 20 meter. Pasar Cicadas, rumah-rumah, dan pertokoan milik orang Tionghoa semua hancur lebur. Ada banyak korban akibat penyerangan ini. Usai serangan udara, masih dilanjutkan dengan gempuran beberapa tank dengan tujuan mengambil tentara Jepang yang berada di Bojongkoneng sambil menghancurkan pertahanan pejuang-pejuang Indonesia.
Laskar-laskar pemuda yang berada di Cicadas berlindung di lobang-lobang perlindungan yang memang sudah mereka buat sebelumnya. Begitu pula dengan Sudarman dan laskar Pemuda Pesindo (sebelumnya PRI) yang memiliki pertahanan di daerah timur Bandung, berlindung dari lobang ke lobang. Mereka ini laskar yang sangat aktif dan mendapat julukan The Blue Monkey karena seragam biru yang mereka gunakan dan dikenal selalu mengganggu pos-pos jaga di Houtmanstraat (Jalan Supratman). Namun kali ini, karena persenjataan yang tidak memadai, laskar-laskar pemuda hanya mampu melihat saja pergerakan tank Sekutu tanpa mampu berbuat banyak. Sejak saat itu pula pasukan Gurkha mendirikan front-nya di depan RS Santo Jusuf, tujuan utamanya, memotong jalur koordinasi laskar-laskar Indonesia dari utara ke selatan.
Pemboman daerah Cicadas masih berlanjut pada minggu berikutnya, bahkan pada saat para petugas PMI (Palang Merah Indonesia) membantu mengumpulkan korban, tembakan-tembakan dan bom dari Sekutu tidak juga berhenti.

PEMBOMAN TEGALLEGA
Setelah beberapa bulan melakukan siaran-siaran tentang perjuangan kemerdekaan yang yang tak henti dilakukan para pemuda di Bandung, pemuda-pemuda Radio Republik Indonesia Bandung baru membentuk Dewan Pimpinan RRI Bandung di akhir tahun 1945. Sebagai Kepala Studio RRI, diangkatlah Sakti Alamsjah, bersama RA Darja sebagai Kepala Siaran, dan B Sukiun sebagai Kepala Teknik. Karena ada keberatan dari Sakti, posisi Sakti dan Darja kemudian ditukar.
Suatu pagi, seorang perempuan penyiar, Odas Sumadilaga, sedang berjalan melintasi lapangan Tegallega untuk menuju Studio RRI Bandung. Tiba-tiba saja didengarnya suara dentuman ledakan, dan di udara melintas pula beberapa pesawat pemburu sambil menjatuhkan bom-bom di daerah sekitar Tegallega. Ketika itu, di Tegallega juga ada markas TKR, yaitu Batalyonn Soemarsono.
Odas segera tiarap, meratakan diri dengan tanah. Dari Studio RRI, perempuan penyiar lainnya, Tike Imrad, terlihat mengendap keluar. Beberapa petugas radio lainnya juga turut berhamburan keluar. Piringan hitam masih terus berputar memainkan lagu. Semua karyawan RRI mengendap menuju sawah di belakang studio. Tak lama, serangan berhenti, dan semua orang kembali ke tempatnya sambil memeriksa kerusakan atau bila ada korban. Dinding bangunan studio terlihat berlobang-lobang, begitu pula atapnya. Diketahui kemudian bahwa di sekitar Tegallega jatuh korban gugur sebanyak 17 orang, dan 18 orang luka-luka berat dan ringan.
Walikota Sjamsurizal mengajukan protes ke pihak Sekutu, namun mendapatkan jawaban bahwa serangan ke Tegallega itu adalah pembalasan karena malam-malam sebelumnya ada laskar-laskar yang menyerang wilayah utara dengan tembakan dan mortir, sehingga banyak jatuh korban, terumata perempuan dan anak-anak. Dilanjutkan pula, bahwa bila masih terjadi serangan ke arah utara, maka pihak Sekutu akan sama sekali menghancurkan wilayah Bandung Selatan.

PERTEMPURAN FOKKER
Makin banyaknya tentara Sekutu, terutama orang Inggris dan tentara Gurkha, yang masuk Kota Bandung, semakin meningkatkan ketegangan situasi. Laskar-laskar pemuda terpikir untuk menghentikan kedatangan pasukan Sekutu yang masuk dari sebelah barat ini. Tanggal 20 Maret 1946, ke sanalah para pemuda pergi, ke pertigaan Jalan Raya Pos dengan Fokkerweg (sekarang Jalan Garuda), mengintai kedatangan tentara Sekutu dari balik-balik pohon dan benteng di pinggiran jalan.
Rencana ini tidaklah spontan, sudah beberapa hari dibicarakan di Cibuntu antara Hizbullah, TKR Situ Aksan, TKR Cijerah, PBRI (Pasukan Banteng Republik Indonesia), dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Batalyon II Soemarsono bersama Komanda Kompi I Salkon Wigena yang bermarkas di Situaksan, sudah siaga. Begitu pula kompi campuran dari pemuda-pemuda PIM, KRIS, dan laskar lainnya.
Sekitar pukul 09.00 pagi, konvoi kendaraan dan pasukan dari arah Jakarta sudah bergerak memasuki Fokkerweg. Konvoi ini cukup panjang, terdiri dari power wagon, truk-truk, jeep, motor, dengan kurang lebih seribu orang tentara Inggris dan Gurkha. Tiba-tiba berhamburanlah peluru dan granat dari balik-balik pohon, dari benteng dan parit, ke arah konvoi. Meletusnya sebuah pertempuran yang sangat sengit, bahkan hari itu, berlangsung sampai 12 jam lamanya.
Salkon Wigena tertembak kaki kirinya, dan segera dilarikan ke garis belakang, selanjutnya dibawa ke RS Situsaeur. Sementara dari arah Andir datang pula bala bantuan pihak Sekutu. Walaupun para pejuang sudah menyiapkan posisi untuk mundur di Situ Aksan dan Pagarsih, namun dari belakang ternyata banyak datang bantuan dari laskar-laskar lain, termasuk kompi mortir dari Tatang Aruman. Kedatangan pasukan tambahan ini mebambah semangat bertempur para pemuda di garis depan.
Tak terduga, seorang kapten Gurkha bernama Mirza bersama anak-anak buahnya datang ke pihak Republik dan menyatakan bergabung. Kapten Mirza membawa menyebrang dengan membawa power wagon yang berisi senjata-senjata, peluru, dan perbekalan. Selanjutnya, Kapten Mirza ikut bersama Batalyon II Soemarsono.
Menjelang gelap, pasukan Republik mundur ke sekitar Situ Aksan, pertempuran pun berhenti. Pencegatan ini berhasil merebut banyak perbekalan, di antaranya sebuah pemancar radio. Begitu pula dari tentara-tentara Gurkha yang menyeberang, didapatkan cukup banyak perbekalan dan peralatan lainnya.

Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Palagan Bandung” Bagian 2 | Dunia Aleut!