Oleh Komunitas Aleut
RENCANA PENCULIKAN NY. DOUWES DEKKER
Buku “Peranan Para Pejuang Bandung Utara dalam Perang Kemerdekaan” yang disusun oleh Tim Jurusan Pendidikan Sejarah UPI dan diterbitkan oleh IKIP Bandung (1984) mencatat peristiwa yang terjadi di sepanjang Jalan Setiabudhi, sekitar Villa Isola (Kampus UPI sekarang). Dari cerita ini teranglah asal-usul beberapa nama orang yang dijadikan nama jalan di sekitarnya.
Tanggal 18 Desember 1945, Batalyon TKR Bandung Utara mendapat informasi bahwa pihak Sekutu akan menculik istri pejuang kebangsaan Indonesia, EFE Douwes Dekker, dari rumahnya di Lembangweg (sekarang Jalan Setiabudhi). Upaya penculikan ini dilakukan untuk melemahkan perjuangan Douwes Dekker. Sukanda Bratamanggala menugaskan Letnan Hamid, Sersan Bajuri, Sersan Sodik, dan Sersan Surip, untuk lebih dulu menjemput Ibu Douwes Dekker.
Malam itu usaha pendahuluan sebelum penjemputan pun berlangsung. Mereka membuat rintangan-rintangan di jalan untuk menghambat gerak musuh, di antaranya dengan menumbangkan beberapa pohon mahoni dan meletakkannya memalang jalan di sekitar batas kampus UPI sekarang sampai ke mulut Jalan Gegerkalong Hilir sekarang. Para pemuda Sukarasa di bawah pimpinan Sukarya turut membantu upaya perintangan jalan ini. Pohon-pohon yang sudah melintang itu ditutupi rumput kering dan disirami bensin yang akan siap terbakar bila nanti diperlukan. Sebagai pemimpin untuk menahan kemungkinan serangan dari pihak Sekutu, ialah Kapten Sentot Iskandardinata.

Pagi pukul 06.00, ketika Letnan Hamid tiba di sekitar lokasi FKIT waktu itu, terdengar suara-suara tembakan. Tentara Sekutu dari arah selatan berusaha menembus pertahanan Indonesia di sebelah utara. Setelah menitipkan Ibu Douwes Dekker, Letnan Hamid bergegas menghampiri medan pertempuran untuk memperkuat pasukan yang sedang menahan gempuran Sekutu.
Ada empat pos pertahanan BKR di sekitar Vill Isola, yang terdepan berada di seberang gedung FKIT, di bawah pimpinan Letnan Kustama. Ke sanalah Letnan Hamid bergabung. Pos pertahanan lainnya, masing-masing dipimpin oleh Letnan Mahdar, Letnan Anda Mansyur, dan Sersan Mayor Muhtar. Semua pos tersebut terletak di tepi jalan Lembangweg.
Pertempuran sengit terjadi di sekitar rintangan pohon yang sudah dipasang sebelumnya. Sekutu menggunakan tank-tank untuk menerobos rintangan itu. Setelah sekitar limaja, pertempuran mereda, dan pasukan Sekutu kembali ke arah Kota Bandung. Setelah suasan tenang, dilakukan pemeriksaan ke bekas lokasi pertempuran, ternyata di sekitar Jalan Panorama ditemukan empat sosok tubuh pejuang BKR yang sudah tidak bernyawa. Mereka adalah Letnan Hamid, Sersan Bajuri, Sersan Sodik, dan Sersan Surip.
Kelak, nama keempat pahlawan yang gugur ini dijadikan nama-nama jalan di sekitar lokasi terjadinya pertempuran. Dari laskar perjuangan lainnya yang turut bertempur, ditemukan sekitar 30 orang korban. Korban-korban dari pihak musuh sudah diangkut bersamaan dengan kembalinya pasukan musuh ke Bandung.

KETERANGAN SENTOT ISKANDARDINATA
Sentot Iskandardinata yang ketika itu menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Kapten, mencatat peristiwa tanggal 19 Desember itu sebagai berikut (dikutip utuh):
“Pada siang hari mulai tampak barisan pelopor musuh yang terdiri dari infantri dan beberapa tank. Pada waktu itu saya ada pada Pleton I, bersama Komandan Pletonnya melihat musuh. Melihat situasi, maka kepada Pleton 1 diberikan tugas untuk mengadakan gerakan peyingkiran setelah penembakan dimulai. Maka dengan perintah ini saya tinggalkan mereka. Kepada kelompok-kelompok senapan mesin, saya beritahukan keadaan musuh dan tugas yang diberikan kepada Pleton 1.
Pada saat saya ada pada Pleton 3, mulai terdengar tembakan, walaupun belum terlihat api pada rintangan di jalan sebagaimana telah direncanakan. Senapan mesin a dan c mulai menembak, tandanya musuh sudah masuk daerah penembakannya. Tidak lama kemudian datang seorang ordonans yang melaporkan bahwa Pleton 2 mundur karena hampir terkepung. Usaha mengirimkan ordonans ke Pleton 1 tidak berhasil, karena tembakan yang hebat dari musuh, bahkan Pleton 3 mulai ditembaki. Senapan mesin ringan c diperintahkan menggabungkan dengan Pleton 3, dan senapan mesin a menggabungkan dengan Pleton 4 untuk membantu Pleton 2.
Situasi menjadi buruk dan kita mulai kehilangan kedudukan. Kepada semua anggota yang tidak bersenjata diperintahkan menjadi satu pasukan dan menutup jalan raya ke Lembang dengan bantuan rakyat. Sementara itu jalannya pertempuran dilaporkan kepada Komandan Batalyon yang telah datang.
Hubungan antara Pleton dengan Pleton tidak ada. Sayap kanan yang terdiri dari sisa-sisa Pleton 3 dan Pleton 4 dan senapan mesin a dan b masih dapat dihubungkan dengan ordonans, tetapi dengan Pleton 1 sama sekali tidak ada hubungan. Tembakan dari pihak sendiri hampir tidak ada, hanya senapan mesin yang kadang-kadang masih mengeluarkan rentetan, sedang musuh terus menghujani kita dengan peluru. Memang, senapan mesin kita banyak jasanya, tetapi akhirnya juga harus mengalah.
Setelah kurang lebih satu jam, kita mendapat perintah untuk mundur ke kedudukan baru. Dengan segala akal diusahakan agar perintah ini dapat disampaikan pada seluruh pasukan, dan untuk mencari hubungan dengan Pleton 1, ditinggalkan satu kelompok. Untung bagi kita, musuh tidak mengadakan pengejaran, hanya kita diikuti penembakan dengan senjata infantri berat. Kita diterima oleh kawan kita yang menduduki tempat yang kita tuju sebagai pertahanan kedua. Lelah sekali rasanya, dan ini terasa betul setelah kita lepas dari suasana pertempuran.
Jauh petang hari datanglah penghubung dari kelompok yang ditinggalkan membawa berita, bahwa Pleton 1 dapat meloloskan diri dan menuju Lembang membawa korban 3 orang, di antaranya Komandan Pletonnya sendiri.”
Demikianlah catatan Sentot Iskandardinata, Komandan Kompi yang memimpin perlawanan untuk menahan serangan musuh. Ada perbedaan angka korban dari Pleton 1 yang disebutkan, tapi yang sebenarnya adalah memang 4 orang. Keempat jenazah itu kemudian dimakamkan di suatu bukit kecil di daerah Batureok, Lembang, yang sampai sekarang dikenal sebagai Pasir Pahlawan.
PEREBUTAN LEMBANG
Sejak akhir bulan Desember 1945 sampai Januari 1946, tentara Inggris terus melakukan serangan terhadap pertahanan pejuang Republik di Bandung. Salah satu tujuan utamanya adalah membawa pasukan Angkatan Laut Jepang di bawah pimpinan Laksamana Maeda yang sedang ditahan di kamp tawanan Ciater. Kisah ini diceritakan dalam buku “Sekitar Perang Kemerdekaan, Jilid 3” karangan AH Nasution (Angkasa, Bandung, 1977).
Pemimpin militer Inggris sudah meminta agar Laksamana Maeda turun ke Bandung. Tentu saja untuk turun melewati wilayah yang dikuasai oleh pejuang Republik akan menimbulkan masalah. Akhirnya, Laksamana Maeda menghubungi Komandan TKR Bandung Utara, Mayor Sukanda Bratamanggala, yang sudah saling mengenal dengan baik, untuk melakukan perundingan.
Dalam perundingan itu, Laksamana Maeda menyerahkan pedang samurai, yang didapatnya dari Kaisar Kepang ketika lulus Akademi Angkatan Laut, kepada Sukanda sebagai tanda persahabatan, dan disepakati suatu skenario, yaitu bahwa telah terjadi pertemuran antara TKR dengan pasukan Jepang yang menghalangi mereka untuk turun ke Bandung, dan akhirnya seluruh pasukan Jepang itu ditahan dengan kekerasan. Itulah yang kemudian dilaporkan kepada pemimpin militer Inggris.
27 Januari 1946, Inggris dengan tentara Gurkhanya meneruskan gerakan militernya ke Ciumbuleuit, ke Stasiun Radio yang dipertahankan oleh pasukan Batalyon TRI (dua hari sebelumnya terjadi perubahan nama TKR menjadi TRI) Bandung Utara. Di sini, pasukan TRI berhasil dipukul mundur.
Tanggal 16 Februari 1946, Pasukan Gurkha yang disertai tentara-tentara Belanda, kembali menyerang pertahanan TRI di Villa Isola. Beberapa tank masuk ke kampung-kampung. Sementara pesawat udara menggempur dengan bom bakar, akibatnya, rumah-rumah penduduk di sekitar Villa Isola terbakar. Kekuatan militer ini terus bergerak menuju Lembang. Pada tanggal 10 Maret 1946, pasukan yang dipimpin oleh Jendral Morel ini berhasil merebut Lembang dan dilanjutkan ke Ciater menuju kamp tawanan Jepang di sana. Dalam upaya merebut Lembang ini, Inggris telah mengerahkan sekitar lima ribu serdadu dengan persenjataan lengkap.

MUNDUR KE GUNUNG KASUR
Kedudukan Batalyon TRI Bandung Utara kemudian pindah ke Gunung Kasur. Kurang dari dua minggu sejak Inggris menduduki Lembang, keluar instruksi pemerintah RI tentang pengosongan Kota Bandung. Sebagai Komandan Batalyon TRI, Sukanda Bratamanggala menyatakan: “ Sebagai tentara tentu harus taat kepada perintah atasan, tetapi sebagai pemuda pejuang dapat lebih mudah bergerak dalam menghadapi musuh. Atas pertimbangan itu, diambillah keputusan menanggalkan tanda-tanda pangkat, sehingga berubahlah status sebagai anggota tentara menjadi pemuda-pemuda pejuang yang bertekad menghancurkan Kota Bandung.”
Demikianlah, Batalyon TRI Bandung Utara melaksanakan keputusan melakukan bumi hangus dengan menyebar ke berbagai tempat di sekitar Kota Bandung bagian utara dan membakar serta menghancurkan bangunan-bangunan yang dianggap penting, kecuali Villa Isola, yang sudah menjadi simbol perjuangan mereka dalam menentang kekuatan asing.
Beberapa saat setelah gugurnya Letnan Hamid dan kawan-kawan, muncul ide untuk membuat Panji Batalyon TKR Bandung Utara. Panji itu berupa bendera merah putih dengan lukisan Villa Isola di sudut kanan atas, dan sebagai latar belakangnya, lukisan Gunung Tangkubanparahu. ***


