Oleh: Komunitas Aleut
Maman Soemantri adalah seorang pelajar di Shihan Gakko (Sekolah Guru Laki-laki) di Jalan Tegallega Timur No.17, Bandung. Ia juga tinggal di asrama sekolah itu. Menyusul Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di mana-mana terjadi kebangkitan semangat kaum muda, mereka mendirikan kelompok-kelompok perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, terutama dari pihak Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah Indonesia.
Begitu pula yang terjadi di Sekolah Guru tempat Maman belajar. Para siswa berusia antara 16-18 tahun yang tinggal di asrama itu tidak mau ketinggalan. Mereka mulai mengadakan latihan-latihan taktik perjuangan dan mengatur strategi. Di dalam kelas, ada kegiatan baru, belajar mengenal bagian-bagian senjata api dan cara menggunakannya. Pengetahuan dasar tentang ini sebenarnya sudah mereka dapatkan sebelumnya, karena pada Jepang itu setiap hari diadakan kyoren atau latihan dasar kemiliteran.

Kegiatan pelajar Sekolah Guru itu pada masa awal revolusi merupakan Sekolah Kader yang dipimpin oleh seorang guru muda, yaitu Pak Oteng (kemudian Prof. Dr. Oteng Soetisna, M. Sc.). Untuk pelatihan-pelatihannya dibantu oleh Letkol. Hidayat yang menyediakan tim eks KNIL serta sejumlah senjata otomatis. Kemudian terbentuklah Pasukan Pemuda Pelajar Tegallega yang menjadi cikal bakal Batalyon II TKR Resimen VIII.
Salah satu peristiwa heroik dari kesatuan pelajar ini adalah peristiwa penyobekan bendera Belanda di atas gedung DENIS di Jalan Braga. Bendera berwarna merah putih dan biru itu disobek bagian birunya, menyisakan hanya warna merah putihnya saja, kemudian dikerek naik kembali dan dikibarkan di atas tiang bendera. Peristiwa itu dilakukan oleh seorang pemuda pelajar kelas 4 dari Sekolah Kader, namanya Karmas (Drs. E. Karmas Soemantadiraja, kemudian mengajar seni rupa di IKIP sampai pensiun pada tahun 1986).
MENGIKUTI PELATIHAN DI PASIRIPIS DAN KAMPUNG BONGKOR
Pada akhir bulan Agustus, di Lembang berdiri suatu kesatuan bersenjata di bawah pimpinan Sukanda Bratamanggala, mantan Cudanco (komandan kompi) Daidan (batalyon) III Tentara PETA di Cipaganti, Bandung. Kemudian kelompok ini menjadi BKR Bandung Utara, dan pada bulan Oktober menjadi TKR Batalyon Bandung Utara dengan pemimpinnya Mayor Sukanda Bratamanggala.
Sepanjang bulan Oktober-November 1945 di Pasiripis, kaki Gunung Tangkubanparahu, dan di Kampung Bongkor, Cikidang, diselenggarakan pendidikan kilat minaraisikan (calon perwira) yang mengutamakan pelatihan tempur serta praktik menggunakan senjata api menggunakan senjata-senjata rampasan dari tentara Jepang. Beberapa pelatihnya adalah mantan Shodanco (komandan pleton) tentara PETA, seperti Sumardja Adidjaja, Djaka Wargadinata, dan Amir Machmud (kelak menjadi Menteri Dalam Negeri/Ketua DPR/MPR RI).
Angkatan kedua pelatihan ini, termasuk Maman Soemantri, mendapatkan tugas untuk menguasai Kantor Telepon Bandung Utara yang terletak di Bojonagara, wilayah yang sudah dikuasai oleh Gurkha/Inggris. Pos pertahanan terdepan Batalyon TKR Bandung Utara berada di Vill Isola, sedangkan untuk markas perhubungan digunakan sebuah Vill kecil bernama Villa de Vluchtheuvel yang terletak sekitar 500 meter di utara Vill Isola.
Regu yang dipilih untuk tugas ini adalah mereka yang dapat berbahasa Belanda atau Inggris, dan tanpa senjata, kecuali belati, mereka melakukan penyamaran sebagai telefonis (pegawai telepon). Dua-dua mereka memasuki wilayah Sekutu, melalui pos penjagaan Jepang, lalu melakukan penyadapan telepon sambil mengawasi gerak-gerik musuh. Mereka berhasil melakukannya.
SERANGAN KE VILLA ISOLA
Pada bulan November, terjadi sebuah penyerangan dari dengan tembakan artileri (houwitser) dari halaman Gedung Sate ke Vill Isola. Ini adalah tindakan balasan karena sebelumnya TKR Bandung Utara melakukan gangguan ke pos-pos militer di wilayah Bandung Utara dengan kekuatan lima pleton dengan perlengkapan dua senapan mesin berat, dua senapan mesin ringan, dan empat puluh pucuk senjata biasa. Akibat serangan dari Gedung Sate itu, beberapa bagian Vill Isola mengalami kerusakan dan berlubang-lubang di sana-sini.

Setelah ultimatum dari pihak Sekutu yang menuntut pengosongan wilayah Bandung Utara, maka sejak tanggal 29 November 1945, Kota Bandung terbelah dua, menjadi Bandung Utara dan Bandung Selatan. Walaupun begitu, laskar-laskar Republik terus melakukan penyusupan ke utara dan melakukan berbagai gangguan terhadap pihak Sekutu. Akibatnya pihak Sekutu merasakan situasi yang tidak aman. Sebagai balasan atas gangguan-gangguan tersebut, tanggal 14 Desember 1945, Sekutu melakukan pemboman terhadap pertahanan para pejuang Indonesia di Cicadas. Wilayah Cicadas adalah jalur perhubungan dan penyusupan laskar-laskar dari selatan ke utara.
Sukanda Bratamanggala juga menugaskan anggota pasukannya untuk menjadi opsir teritorial di desa-desa seluruh Kecamatan Lembang. Mereka harus menyusun organisasi perlawanan rakyat desa dengan membentuk Tentara Cadangan yang terdiri dari pemuda-pemuda militan dan memobilisasi mereka untuk berperan aktif dalam perjuangan bersenjata. Para opsir teritorial itu adalah: E. Kusnadi di Desa Lembang, Achmad Somantri dan Jojo Soenarja di Desa Pagerwangi, Abas Usman di Desa Cikidang, Abdul Patah dan Oetja Soetadji di Desa Cibogo, Maman Soemantri dan Halimi Basri di Desa Cibodas.
Selain tugas sebagai organisator perlawanan rakyat, mereka juga berperan sebagai dinamisator dan pembina pemerintahan sipil di desa-desa tersebut. Lurah-lurah desa itu adalah: Soemarni di Desa Lembang, Dachlan di Desa Pagerwangi, Danoemihardja di Desa Cikidang, Soelaeman di Desa Cibogo, dan Odong di Desa Cibodas. Yang menjadi camat adalah Memed (R. Achmad) dan wedananya Soemadilaga.
Batalyon TKR Bandung Utara menyusun pertahanannya dalam tiga lini. Yang pertama di Vill Isola, kedua di Cirateun, Cihideung, dan Cijengkol, dengan pos pengawas di bukit Peneropongan Bintang, dan lini ketiga di Kota Lembang, tempat markas batalyon dan pasukan cadangan. Sementara Kompi Sentot Iskandardinata bertugas di daerah Cisarua untuk menjaga penyusupan musuh dari arah Cimahi.

SERANGAN MALAM KE PANORAMA DAN PERTEMPURAN CIKAWARI
Suatu hari di bulan Maret 1946, sekelompok Tentara Cadangan bersama dua kelompok lain dari pasukan TRI Bandung Utara, di bawah pimpinan Letnan Moechtar, melakukan serangan malam ke pos-pos musuh di Panorama, sebelah utara dan timur Kota Lembang. Persenjataan yang digunakan adalah stengun, karaben, pistol, granat, dan beberapa alat peledak lain. Musuh membalas dengan tembakan membabi buta ke segala arah sambil menembakkan lichtkogels (peluru sinar terang). Pasukan Republik pun mundur dan menyusuri gawir tepi jalan melewati Kampung Pangragajian menuju daerah Cikidang sebagai terugvalbasis (pangkalan kembali).
Saat apel pasukan di Cikidang, ternyata Letnan Sapri yang bersenjatakan stengun tidak hadir. Tidak diketahui pula bagaimana nasibnya. Baru keesokan harinya, Letnan Sapri muncul di pangkalan dalam keadaan selamat. Ternyata saat menghadapi gempuran tembakan tadi malam dia terpaksa masuk ke dalam sumur untuk berlindung. Baru keesokan harinya dia dapat keluar dari sumur itu dan kembali ke pangkalan.
Pertempuran lain terjadi di daerah Cikawari, sebelah timur Lembang, dengan patroli Belanda. Ketika itu seorang Tentara Cadangan, Abdul Patah, tertembak hingga peluru menembus perutnya. Abdul Patah segera dilarikan ke Pos PMI di Bukanagara lewat Puncak Eurad. Kemudian diangkut lagi ke RS Bayu Asih di Purwakarta, namun karena perjalanan yang terlalu lama, sementara darah terus keluar, Abdul Patah wafat dalam perjalanan, dan kemudian dimakamkan di Purwakarta.

BATALYON TRI GUERILLA DI KASOMALANG, CISALAK, SUBANG
Setelah Lembang diduduki Sekutu dan Batalyon TKR Bandung Utara ditarik ke Tasikmalaya, pimpinan batalyon pun diserahkan kepada Mayor Sentot Iskandardinata. Pada awal bulan April, dibentuk Komandemen Pertahanan TRI Karawang Timur-Bandung Utara (Kratibo = Krawang Timoer-Bandoeng Oetara) di bawah pimpinan Letkol Sukanda Bratamanggala dengan markas di Kota Subang dan garis depan pertahanannya di perbatasan Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung yang merupakan kawasan eks P & T Landen yang terdiri dari perkebunan-perkebunan Ciater, Salireja, Bukanagara, dan Cipunagara.
Sukanda Bratamanggala juga mendirikan Depot Batalyon TRI di kompleks gedung eks penguasa P & T Landen, Subang, dan menjadi tempat pelatihan para prajurit TRI. Sebagai pemimpin Depot ini ditunjuk Mayor Djamhari Wiriasaputra, mantan guru profesional alumnus Normaalschool di Purwakarta. Pada masa Jepang, Djamhari pernah mengikuti pendidikan dan latihan kemiliteran Bo Ei Gyugun Tokubetsu Jugekitai atau Kesatuan Gerilya Istimewa Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Lembang.
Sebagai arena latihan tempur dipilih kawasan perkebunan karet di sekitar Subang. Para opsir Tentara Cadangan, seperti Achmad Somantri, Abas Usman, Jojo Soenarja, Oetja Soetadji, Maman Soemantri, dan Halimi Basri, ditugaskan sebagai pelatih-pelatih, sementara opsir termuda, E. Koesnadi, yang masih berusia 16 tahun dikembalikan ke bangku sekolah di SMPN Subang (kelak menjadi dokter setelah lulus dari UGM). Dalam waktu tiga bulan, Depot Batalyon TRI Subang berhasil melatih sekitar 300 orang pemuda pejuang.
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 2 | Dunia Aleut!
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: Bandung Utara | Dunia Aleut!