Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara”
Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.
BATALYON GUERILLA DI KASOMALANG
Sebagai hasil pelatihan ini dibentuklah satu batalyon TRI di lingkungan Komandemen Pertahanan Karawang Timur-Bandung Utara, dengan nama Batalyon Guerilla di bawah pimpinan Mayor Djamhari. Batalyon ini terdiri dari 10 seksi atau pleton dan tiap seksi terdiri dari tiga regu yang masing-masing terdiri dari 13 orang. Batalyon ini ditempatkan di Kasomalang, sekitar 7 kilometer sebelah timur Jalan Cagak. Sebagai markasnya, mereka gunakan kompleks Pabrik Teh Kasomalang, termasuk rumah-rumah stafnya.
Berdampingan dengan markas itu, terdapat rumah sakit pembantu, Rumah Sakit Palang Merah Indonesia, yang menempati gedung administratur yang besar dan berhalaman luas. Rumah sakit ini berada di bawah pengawasan dokter dari Rumah Sakit Umum Subang. RS PMI memiliki pos-pos kesehatan, di antaranya di Bukanagara yang dipimpin oleh I. Soetia, seorang perawat profesional dari RS Rancabadak yang membawa keluarganya mengungsi ke daerah perkebunan teh di Bukanagara.

Wilayah operasional Batalyon Guerilla berada di lereng-lereng utara Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu, dan Gunung Bukittunggul, meliputi daerah-daerah Sagalaherang, Ciater, Cibeusi, Salireja, Cipunegara, dan Bukanagara. Di front perbatasan ini ditempatkan juga satu pasukan BM (dala risalah karangan Maman Soemantri memang ditulis sebagai pasukan “Berani Mati,” namun dalam banyak sumber lai, sebenarnya kelompok ini bernama “Barisan Maling”) bantuan dari Surabaya yang dipimpin oleh Kolonel Dokter Mustopo. Setelah Letkol Sukanda Bratamanggala pindah tugas ke Brigade I Tirtayasa di Banten, Kolonel Mustopo yang menjadi Komandan Pertahanan Karawang Timur-Bandung Utara.
Tentang Sukanda Bratamanggala, ternyata berasal dari kalangan pendidikan keguruan juga. Maman Soemantri menuliskan informasi berikut ini. Beliau berasal dari lingkungan dunia pendidikan juga, lulusan Hollands Inlandsche Kweekschool, Sekolah Guru 6 Tahun, di Bandung. Pada masa akhir kekuasaan Hindia Belanda, beliau aktif sebagai Ketua Yasana Obor Pasundan, sebuah organisasi pemuda perjuangan di lingkungan Paguyuban Pasundan Bandung. Pada masa Jepang, menjadi Cudanco (Komandan Kompi) Daidan (Batalyon) III Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Cipaganti, Bandung.
REORGANISASI MILITER
Pada 25 Januari 1946, Pemerintah RI melakukan reorganisasi ketentaraan yang membuat Komandemen I Jawa Barat dengan 15 Resimen dan 3 Divisinya menjadi 1 Divisi dengan nama Divisi I Siliwangi yang terdiri dari 5 Brigade (gabungan resimen-resimen), yaitu: Brigade I Tirtayasa di Serang, Banten, Brigade II Suryakancana di Sukabumi, Cianjur, dan Bogor, Brigade III Kiansantang di Purwakarta, termasuk Karawang dan Subang, Brigade IV Guntur di wilayah Priangan, dan Brigade V Gunungjati di Cirebon. Batalyon Guerilla juga mengalami perubahan menjadi Batalyon IV, Resimen V, Brigade III Kiansantang, Divisi I Siliwangi. Menjabat sebagai Panglima Divisi adalah AH Nasution.
Pada masa gencatan senjata bulan November 1946 berkaitan dengan penyelenggaraan perundingan di Linggarjati, Kuningan, Batalyon IV Kasomalang mendapatkan bantuan persenjataan artileri beserta kru-nya, yaitu satu battery meriam Houwitser yang sebelumnya pernah digunakan oleh TRI di daerah Gekbrong untuk menyerang pasukan musuh di Cianjur. Meriam ini ditempatkan di halaman depan RS PMI dengan moncong diarahkan ke kedudukan musuh di Lembang. Salah satu dari 4 kompi di bawah Batalyon Guerilla (Batalyon IV) adalah Kompi IV yang merupakan kesatuan tambahan yang terdiri dari laskar-laskar rakyat yang sudah discreening terlebih dahulu. Kompi ini berkedudukan di Sukamandi, terpisah dari pasukannya di Kasomalang dan berada di bawah pimpinan komandan kompi Letnan Satu Endang Rachman. Dari sini Kompi IV dipindahkan ke kompleks Pabrik Teh Tambakan di dekat Jalan Cagak.
AGRESI MILTER I DAN PERTAHANAN KAMPUNG CISEUPAN
Tanggal 21 Juli 1947, pasukan-pasukan Belanda memulai agresi militernya yang pertama dengan melancarkan suatu serangan umum. Belanda mengerahkan dua Divisinya, yaitu “Divisi 7 Desember” yang dipimpin oleh Jemdral Mayor Durst Brit dan “Divisi B” yang dipimpin oleh Jendral Mayor De Waal, untuk melakukan penyerangan-penyerangan. Dari Bandung, mereka berhasil merebut Cirebon, kemudian Garut, dan Tasikmalaya. Subang diserbu dari arah Purwakarta dan Kalijati. Kompi-kompi I, II, dan III, menjalankan perintah untuk membumihanguskan objek-objek vital di Bukanagara, Cipunagara, dan Ciater, dan setelah itu turun ke lokasi pengunduran pasukan Batalyon IV, yaitu Kampung Ciseupan, Desa Rancamanggung, di sebelah timur laut Kasomalang.
Maman Soemantri yang memimpin Kompi III dan telah meledakkan pabrik teh di Cipunagara dan Bukanagara, juga menuju Kampung Ciseupan sambil meledakkan jembatan-jembatan besar di antara Kasomalang dan Tanjungsiang, untuk menghambat pasukan Belanda yang datang dari Purwakarta dan Subang menuju Sumedang. Ada sekitar 5 jembatan besar di jalur itu, di antaranya Cipunagara di Kasomalang dan Cikembang di Tanjungsiang. Dengan begitu pasukan Belanda tertahan di Kasomalang, sedangkan daerah Cisalak dapat dipertahankan seterusnya sebagai kantong gerilya yang tidak tertembus oleh musuh sampai tiba saatnya hijrah ke Jawa Tengah pada bulan Februari 1948.
Komandan Batalyon IV Kapten Djamhari memberi perintah agar semua anggota pasukan menghilangkan jejak ketentaraannya dengan mengubur semua persenjataan, termasuk alat berat, di Desa Rancamanggung. Ciri-ciri fisik dan visual pun sedapatnya disembunyikan. Anggota pasukan harus berbaur dengan masyarakat atau keluarga pengungsi, sambil tetap terus waspada.
Pada bulan Agustus 1947, Lettu Maman Soemantri menyamar sebagai penduduk setempat dengan berbaju kampret dan celana sontog yang serba hitam, lengkap dengan ikat kepala atau totopong serta tidak memakai alas kaki. Sebuah pistol otomatik Jepang disembunyikan dengan sangat rapi di pinggangnya. Tiba-tiba Lettu Maman mendapat pesan dari Kapten Djamhari, melalui Sersan Didi, agar menemuinya di tempat rahasia di Buahdua, Sumedang.

PERTEMUAN DI BUAHDUA DAN KANTONG GERILYA DESA SIRAP
Dalam pertemuan rahasia di rumah istri Kapten Djamhari di Buahdua itu, Lettu Maman menerima perintah lisan agar segera menyusun kekuatan pasukan militan dan membentuk kantong gerilya di perbatasan antara kabupaten-kabupaten Subang, Sumedang, dan Bandung. Selain itu harus melakukan koordinasi sebaik-baiknya dengan rakyat sebagai mitra perjuangan dalam perang gerilya yang batas waktunya tidak ditentukan. Perintah itu disertai dengan penyerahan pistol komando (pistol otomatik Parabellum) dari Kapten Djamhari. Pistol itu sebelumnya pernah digunakan dalam sebuah pertempuran di sekitar Gunung Masigit di Cimareme pada bulan Desember 1945, ketika beliau bertugas di kesatuan TRI Batalyon V Resimen 9 yang berkedudukan di Purabaya, Padalarang, Kabupaten Bandung.
Dalam waktu singkat, Lettu Maman dapat menyusun pasukan gerilya kompi gabungan dari Batalyon IV yang terdiri dari 3 pleton kecil yang masing-masing dipimpin oleh Letda Oetja Soetadji dan Serma Sukarna dari Kompi I, Letda Sjarif Hidajat dan Pelda Hafiatin dari Kompi II, dan Pelda Djarkasih dan Sersan Muksin dari Kompi III. Tiap pleton dibagi dalam regu-regu kecil yang terdiri dari 3-5 orang, dan semua diperlengkapi dengan senjata ringan, seperti karaben, stengun, granat tangan, dan bom batok. Pasukan lain yang tanpa senjata tetap berbaur dengan penduduk. Pangkalan gerilya ditempatkan di Desa Sirap.
Ketika Batalyon Sudarsono dari Brigade Sadikin mencoba melakukan penyusupan dari Sumedang ke Karawan-Bekasi dan singgah di Desa Sirap, salah satu kompinya yang dipimpin oleh Lettu Lukas Kustario, bersama dengan pasukan gerilya Lettu Maman Soemantri, melancarkan serangan malam ke Kasomalang dan terhadap patroli Belanda di Cisalak. Serangan dengan kekuatan cukup besar ini memakan cukup banyak korban di pihak Belanda, sementara dari pihak Republik, semua kembali ke Desa Sirap dalam keadaan selamat.

Bersambung ke Bagian 3
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: Bandung Utara | Dunia Aleut!
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 1 | Dunia Aleut!