Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 3

Oleh: Komunitas Aleut

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara”

Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini, dan bagian 2 bisa dibaca di sini.

KANTONG GERILYA DESA SINDANGLAYA DAN PRAJURIT KATMANTA

Malam berikutnya, Belanda melakukan serangan balasan setelah mengetahui lokasi pangkalan gerilya di Desa Sirap. Tembakan houwitser bertubi-tubi dilancarkan ke Desa Sirap. Untunglah, tak satupun peluru houwitser itu yang jatuh di wilayah permukiman desa. Semuanya berjatuhan di area persawahan dan membuat lubang-lubang besar bekas ledakan. Sore sebelumnya, Batalyon Sudarsono sudah meninggalkan Desa Sirap menuju Cikampek, sementara pasukan gerilya pun tidak ada di Desa Sirap karena ikut mengantarkan sampai ke Kampung Ciseupan, Desa Rancamanggung.

Beberapa hari kemudian, pasukan Belanda di Kasomalang melakukan serangan dan mengepung Desa Sirap, tetapi pada waktu itu pasukan gerilya sudah berpindah ke Desa Sindanglaya. Seorang prajurit ordonans bernama Katmanta yang akan meneruskan pesan agar pasukan yang berada di Kampung Kalapa segera mundur, terperangkap kepungan musuh yang datang dari arah Kampung Sirap. Karena tidak mau memberitahukan keberadaan pasukan gerilya, prajurit Katmanta diberondong oleh peluru pasukan Belanda.

Suara rentetan peluru itu terdengar oleh pasukan gerilya di Desa Sindanglaya. Dengan segera komandan pasukan memberi perintah agar semua penduduk tiarap di lantai atau di kolong rumah. Semua anggota pasukan bergerak cepat menyusuri galengan dan gawir solokan menuju wahangan di batas Desa Sindanglaya dan Desa Rancamanggung.

Sepeninggal pasukan Belanda dari Desa Sirap, Lettu Maman menyusun kembali pasukannya, dan memakamkan jenazah Katmanta di pemakaman umum Kampung Kalapa, Desa Sirap, sebagai seorang pahlawan. Kelak, pada 17 Agustus 91945, kerangka prajurit Katmanta dan pahlawan-pahlawan lainnya dipindahkan oleh Panitia Negara ke Taman Makam Pahlawan di Subang.

PENYERANGAN KE PABRIK CIMALAKA

Setelah peristiwa Desa Sirap, Lettu Maman membawa pasukan gerilyanya masuk ke daerah Tanjungkerta, Sumedang, dan bergabung dengan pasukan gerilya setempat. Sebagai pangkalan, ditempatkan di Kampung Bangbayang, di lereng barat Gunung Tampomas. Di pangkalan baru ini Lettu Maman bersama pasukan gerilya setempat merencanakan serangan malam ke pos penjagaan pasukan KNIL di Pabrik Cimalaka, Sumedang. Setelah diadakan penyelidikan, disusunlah suatu strategi penyerangan.

Malam itu, pasukan bergerak dari pangkalannya ke Cimalaka di kaki Gunung Tampomas yang berjarak sekitar 7 kilometer. Setiap regu pasukan dibantu seorang warga desa sebagai penunjuk jalan. Sekitar pukul 01.00 pasukan tiba di Kampung Cipanteuneun dan segera bersiap untuk melakukan penyerangan dalam jarak dekat. Mortir-mortir segera ditembakkan ke pos musuh di gerbang Pabrik Cimalaka. Tak lama, datang bantuan musuh dengan tiga brecarrier yang melancarkan tembakan-tembakan ke arah Kampung Cipanteuneun. Untungnya, sebelum malam itu, warga Kampung Cipanteuneun sudah diungsikan ke lain tempat. Pertempuran berlangsung sampai subuh. Pasukan gerilya mundur ke dekat jalan utama antara Cimalaka dan Tanjungkerta yang aman dari jangkauan tembakan musuh. Semua dalam keadaan letih kehabisan tenaga. Baru pagi harinya pasukan dapat kembali ke pangkalan dalam keadaan selamat. Malam itu hampir semua pasukan musuh berhasil mereka tewaskan. Setelah beberapa hari di Bangbayang, Lettu Maman memutuskan untuk membawa pasukannya kembali ke pangkalan semula di Cisalak.

PANGKALAN KAMPUNG DAGO PATROL, DESA CIMEUHMAL

Kali ini mereka menggunakan Kampung Dago Patrol di Desa Cimeuhmal sebagai pangkalan. Letaknya sangat strategis dan terlindungi oleh pepohonan besar serta hutan kecil di tengah-tengah hamparan sawah. Di sebelah timur mengalir sungai Ci Karamas yang menjadi batas alam antara Kabupaten Subang dan Sumedang. Di sebelah selatan ada Kampung Pagelaran di lereng Gunung Canggah. Di kampung itu ada Pondok Pesantren Pagelaran yang dipimpin oleh Kiai Muchidin. Di pondok bermukim sekitar 20 orang anggota pasukan Hizbullah yang menjadi mitra perjuangan bersenjatakan golok atau pedang dan beberapa senapan laras panjang.

Di pangkalan baru ini pasukan gerilya mengatur siasat untuk menyerang kedudukan Belanda di Kasomalang. Menurut penduduk, selama pasukan gerilya ke Sumedang, pasukan Belanda terus melakukan patroli secara lebih sering dan lebih berani. Rupanya mereka merasa aman karena tidak ada lagi gangguan dari pasukan gerilya.

Rencana sudah disiapkan. Kelompok I di bawah pimpinan Lettu Maman dan Pelda Djarkasih menetapkan Desa Bojongloa sebagai pangkalan darurat dan akan melakukan serangan malam dengan sasaran patroli Belanda di jalan utama antara perkebunan Kasomalang dan Tambakan. Senjata-senjata disembunyikan dahulu di lumbung-lumbung padi di bawah pengaturan Kuwu Abud, Kepala Desa Bojongloa.

Kelompok II dipimpin oleh Sjarif Hidajat melancarkan serangan siang terhadap patroli di jalan utama antara Cisalak dan Tanjungsiang. Sebagai pangkalannya di Kampung Cimanggu. Kelompok ini berhasil menggempur dua jeep patroli musuh dan menewaskan 7 orang tentara Belanda, termasuk pemimpinnya. Dari kelompok ini Prajurit Kastim tertembak bahunya dan setelah kembali ke pangkalan dibawa ke Rumah Sakit Umum Sumedang, yang jaraknya sekitar 25 kilometer, dengan berjalan kaki. Pengurusan prajurit terluka ini dilakukan oleh Kelompok III di bawah pimpinan Letda Oetja Soetadji.

Jembatan di Kasomalang. Foto: Google Maps.

PERISTIWA PERTEMPURAN SAWAH REANG

Beberapa hari kemudian, pasukan Belanda melakukan serangan balasan dengan mengerahkan 1 pleton infantri yang diangkut dengan 3 truk dan 2 jeep. Di Tanjungsiang, mereka turun membagi tiga kelompoknya. Satu kelompok tetap tinggal di dekat kendaraan, kelompok kedua dan ketiga turun menyusuri pematang sawah masing-masing menuju Kampung Dago Patrol dan Kampung Pagelaran. Semua gerak gerik musuh ini teramati dengan jelas dari Kampung Dago Patrol yang berada di ketinggian.

Pasukan musuh yang mengintai melakukan tembakan-tembakan pancingan, namun tidak mendapatkan balasan dari pasukan gerilya, agar membuat pasukan musuh berpikir bahwa kampung-kampung itu sudah kosong. Kemudian, komandannya menembakkan pistol komando agar pasukannya berhenti dan kembali ke induk pasukannya di Tanjungsiang. Pada saat lengah inilah pasukan gerilya bermunculan dari balik-balik pohonan dan menmbaki pasukan Belanda yang sedang menyebrangi sungai Ci Kembang untuk kembali ke induk pasukannya. Sejumlah anggota pasukan musuh tewas dan hanyut di sungai, sebagian lagi yang tewas berhasil mereka bawa ke induk pasukannya.

Dari pihak pasukan gerilya, Prajurit Kastim gugur tertembak musuh di Sawah Reang karena tertembak ketika mengejar pasukan musuh yang sedang berusaha menyebrangi sungai Ci Kembang. Jenazah Prajurit Kastim dimakamkan sore itu juga di Kampung Dago Patrol. Peristiwa ini kemudian biasa disebut sebagai Peristiwa Pertempuran Sawah Reang.

Seminggu kemudian, kembali pasukan Belanda melakukan penyerangan, kali ini dengan tambahan bantuan yang cukup besar, termasuk dari pesawat-pesawat pengintai. Pasukan gerilya yang sudah berpengalaman, seperti biasa tidak membalas serangan itu, melainkan tetap berbaur dengan penduduk, sehingga sampai serangan usai, tidak ada korban jiwa, selain beberapa rumah saja yang mengalami kerusakan karena terkena tembakan. Pasukan Belanda pun kembali ke pangkalannya. Setelah itu, Jembatan Cikembang yang baru saja diperbaiki oleh pasukan zeni Belanda untuk menyeberangkan pasukannya ke Kampung Dago Patrol, diruntuhkan lagi oleh pasukan gerilya. Semua materialnya dihanyutkan ke sungai.

GERILYA DI GUNUNG CANGGAH

Selanjutnya, pasukan gerilya segera meninggalkan Kampung Dago Patrol yang telah diketahui musuh, menuju hutan belantara di lereng utara Gunung Canggah menggunakan jalan setapak sepanjang 4 kilometer dari Kampung Dago Patrol. Sore itu mereka mendirikan beberapa gubug menggunakan daun tepus. Ini adalah kesempatan bagi pasukan untuk mengistirahatkan lahir dan batinnya.

Setelah ini, masih ada beberapa pertempuran gerilya yang berlangsung melawan pasukan Belanda yang berkedudukan di Kasomalang. Pasukan Gerilya, dengan bantuan penduduk yang mengenal wilayah hutan belantara Gunung Canggah, Ki Sahmadi dan Ki Imasik dari Desa Sirap, terus melakukan perjalanan menembus hutan, sungai, dan lembah di Gunung Canggah. Sampai tiba Perjanjian Renville yang memaksa seluruh tentara untuk hijrah ke Jawa Tengah.

Kompi Mamam Soemantri pun turun gunung menuju titik kumpul di Kampung Cihideung, Desa Cihideung, untuk selanjutnya diberangkatkan ke Cirebon. Dari Cirebon, dengan kereta api mereka ke Gombong melalui Purwokerto, Lalu masuk demarkasi di daerah Kemit dan mereka menyerahkan seluruh persenjataannya. Selanjutnya, dari Kemit ke Karanganyar dilakukan dengan berjalan kaki. ***

Kawasan Gunung Canggah di tengah-kanan, dataran di sebelah kirinya adalah daerah Bukanagara, dan di bawahnya, Gunung Bukittunggul. Foto: Google Maps.
Iklan

2 pemikiran pada “Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 3

  1. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 2 | Dunia Aleut!

  2. Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Bandung Utara” Bagian 1 | Dunia Aleut!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s