Oleh: Komunitas Aleut
Ketika sedang membolak-balik buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI (Jakarta, 1982), kami temukan sebuah catatan dari Kol. Inf. Doko Sastrawiria yang diberi judul “Pengalaman Pribadi pada Waktu Perang Kemerdekaan I (Clas ke-1) di Daerah Jawa Barat”. Ternyata pengalaman yang dituliskannya berhubungan langsung dengan cerita pada postingan sebelumnya, yaitu tentang kiprah Achmad Wiranatakusumah dan Batalyon Siluman Merah A3W.
Pengalaman yang ditulis oleh Doko Sastrawiria ini bukanlah satu pengalaman panjang yang mewakili beberapa periode kehidupan, melainkan hanya sebuah fragmen saja, yaitu ketika menjalankan satu perintah dari Komandan Batalyon A3W, Achmad Wiranatakusumah. Kami tulis ulang pengalaman tersebut di sini agar dapat dibaca oleh banyak orang.
…
Menjelang Hari-H, pelaksanaan persetujuan Linggarjati, Doko Sastrawiria mendapat perintah dari Komandan Batalyon Achmad Wiranatakusumah, untuk berangkat menyusup ke kota Bandung mencari bahan-bahan perbekalan, obat-obatan, dan pakaian, bagi anggota pasukan Batalyon.
Risiko menyusup ke kota-kota yang diduduki oleh musuh adalah nyawa sebagai taruhannya. Tetapi kehormatan seperti itu jarang terjadi, kecuali kepada anggota-anggota tertentu, itu pun setelah melalui pertimbangan yang ketat dari pemimpin batalyon sendiri. Tanpa seleksi ketat, bisa terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya gagalnya tugas, atau bahkan melakukan desersi, tidak kembali lagi ke hutan.
Pada hari yang sudah ditentukan, Doko berangkat dari satu tempat di Bandung Selatan yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari Kota Bandung dengan ditemani oleh seorang anggota batalyon, yaitu Kopral Sa’i. Perjalanan tentu saja melalui jalur-jalur yang jauh dari jangkauan patroli-patroli Belanda.
Pernah secara tiba-tiba muncul patroli Belanda muncul di hadapan mereka tanpa sempat menghindar. Walaupun sebenarnya mereka memiliki surat keterangan (palsu) yang menjelaskan bahwa mereka adalah pedagang pikulan, namun secara naluriah Kopral Sa’i yang berjalan di depan sudah bersiap dengan posisi hendak lari. Dengan sigap Doko menjegal kaki Kopral Sa’i sehingga terjatuh berguling-guling ke sawah yang berada di bawah jalan.
Di persawahan kebetulan sedang ada para petani yang sedang menggarap sawah, dan secara naluriah pula mereka membantu Kopral Sa’i sambil memberikan penjelasan bahwa mereka adalah anggota keluarga yang sedang ikut mengerjakan sawah. Mereka menyodorkan cangkul kepada Kopral Sa’i sambil memberikan isyarat kepada Doko agar segera ikut turun ke sawah dan berlagak ikut bekerja.
Setelah perjalanan sekian hari dan malam, sampai juga mereka di Kota Bandung, dan segera menghubungi agen-agen, antara lain Pak Yusuf di Jalan Pangarang. Setelah mengumpulkan barang-barang yang akan dibawa, mereka akan langsung berangkat kembali ke pangkalan batalyon Achmad. Saat itulah tiba-tiba mereka mendapat kabar bahwa batalyon mereka, bersama dengan seluruh batalyon Divisi Siliwangi, akan segera berangkat hijrah ke Yogyakarta, sesuai dengan persetujuan Linggarjati.
Malahan anggota-anggota Batalyon A3W pimpinan Kapten Achmad Wiranatakusumah sudah berada di suatu titik kumpul yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Kebingungan melanda Doko dan Sa’i, bagaimana cara mereka dapat kembali bergabung dengan batalyonnya, sementara jarak titik kumpul itu dengan Kota Bandung antara 40-50 kilometer, dan pula mereka sedang membawa barang-barang yang sedemian banyaknya. Dipertimbangkan dua alternatif. Pertama, kembali berjalan kaki dengan rute yang sama seperti kedatangan mereka ke Bandung. Risikonya, mereka akan ketinggalan oleh batalyonnya. Kedua, berjalan terang-terangan dan memberitahukan ke pihak Belanda bahwa mereka adalah anggota pasukan dari Batalyon A3W yang sedang bergerilya di kota dan ingin menggabungkan diri dengan induk pasukan untuk ikut hijrah ke Yogyakarta. Risikonya, ya ditangkap Belanda.
Setelah berembuk dengan rekan-rekan pejuang lainnya di Kota Bandung, maka diputuskan untuk mengambil pilihan kedua, dengan pertimbangan bahwa Belanda tidak akan melakukan penangkapan karena tindakan mereka bersesuaian dengan persetujuan Linggarti, hijrah ke Yogyakarta. Pilihan pertama sudah cukup jelas, mereka tidak akan sempat bergabung dengan batalyonnya, dan mungkin tidak akan dapat ikut hijrah.
Setelah keputusan diambil, mereka pun mencari kontak pihak Belanda untuk menyempaikan maksudnya. Ternyata, Belanda mau mengurus mereka dan beberapa rekan pejuang lainnya agar dapat bergabung dengan pasukan-pasukannya yang sudah siap berngkat hijrah. Pada saat itu pula pihak Belanda terheran-heran karena di Bandung yang segi keamanannya mereka bangga-banggakan seakan seekor tikus pun tidak dapat lolos keluar masuk kota, ternyata justru dipenuhi oleh sarang-sarang gerilyawan.
Belanda ini mungkin mau membantu para gerilyawan yang akan bergabung untuk hijrah dengan pikiran realistis. Ya, daripada terus mengadakan kekacauan di daerah pendudukan Belanda, lebih baik dibiarkan ikut hijrah saja. Apalagi mereka punya tanggung jawab besar untuk menjaga keamanan Kota Bandung.

Tiba di titik kumpul, Kapten Achmad Wiranatakusumah pun terheran-heran karena Doko dan Sa’i bisa datang dan bergabung tepat waktu, apalagi dengan membawa barang-barang yang begitu banyak dan mendapat fasilitas penuh pula dari pihak musuh.
Tanggal 3 Februari 1948, eselon pertama pasukan Batalyon A3W berangkat dalam suasana kesedihan yang mendalam yang ditunjukkan oleh rakyat. Bagi Doko, tak kurang sedihnya, karena apa yang sebelumnya sudah dipertahankan secara mati-matian itu harus segera ditinggalkan dan bukan karena kalah dalam pertempuran, melainkan kalah karena pertempuran diplomasi Linggarjati. ***