Oleh: Komunitas Aleut
Dalam pembahasan sekitar peristiwa Bandung Lautan Api, ada banyak nama yang selalu disebut berulang karena perannya yang aktif atau cukup sentral dalam perjuangan fisik di Bandung dan sekitarnya, atau juga karena kiprahnya kemudian menjadi panjang dalam sejarah Republik Indonesia. Salah satu nama itu adalah Husinsyah, yang selalu dikaitkan dengan Laskar Hizbullah.
Tulisan berikut ini disarikan dari sumbangan tulisannya untuk buku “Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan” yang diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia (Jakarta, 1982).
Nama lengkapnya adalah Sutan Husinsyah, dilahirkan di Natal, Mandailing, pada 8 Februari 1921. Husinsyah mendapatkan modal dasar kemiliteran dari kesertaannya di lapangan kepanduan dengan mengikuti Hizbul Wathan (kepanduan dalam organisasi Muhammadyah) sampai tingkat Pemimpin Distrik, dan pada zaman Jepang mengikuti pelatihan Seinendan.
Setelah tersiarnya berita Proklamasi, Husinsyah, sebagai bagian dari gerakan pemuda-pemuda di Bandung waktu itu, ikut berbondong-bondong menyerbu dan mengambil alih apa-apa yang berada di tangan Jepang. Namun, tidak larut dalam gerakan massal, Husinsyah hanya menempeli gedung-gedung dengan teks “Milik Republik”, begitu pula dengan senjata yang ditemukan, diambil seperlunya, dan sisanya diserahkan kepada KNI (Komite Nasional Indonesia) atau Polisi. Salah satu lembaga pemerintah yang diambil secara utuh ialah PTT oleh gerakan di bawah pimpinan Sutoko.
Husinsyah tidak sepenuhnya mengikuti jalannya pemerintahan, dalam pikirannya semuanya berjalan dengan lancar saja. Begitu pun ketika sekali waktu ikut mengepung Kenpetai yang berakhir dengan keluarnya pemimpin BKR di atas tank yang menyatakan bahwa segala sesuatu sudah beres dan massa diminta untuk bubar, perkiraannya memang semuanya sudah serba beres. Tetapi, kenyataan selanjutnya ternyata terjadi perampasan kembali persenjataan oleh pihak Jepang. Riuhlah desas-desus bahwa telah terjadi suatu pengkhianatan.
Keadaan semula yang sepertinya sudah bersatu, menjadi saling mencurigai, terutama terhadap oknum pemerintah. Tentara Jepang pun sudah mulai kembali bertindak keras dan merampasi kembali persenjataan yang ada di tangan masyarakat.
PEMERIKSAAN DI CIMINDI
Husinsyah, bersama dengan Nursiwan, Pesta Marpaung (seorang pelajar SMT), dan Sumarsono, membentuk satu kelompok sendiri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi situasi saat itu. Dalam suatu perjalanan ke Cimahi yang cukup lancar, pulangnya ternyata mereka dicegat oleh suatu pos pemeriksaan oleh tentara Jepang di Cimindi. Pemeriksaan itu dilakukan karena ada tentara Jepang yang terbunuh. Ketika mobil mereka digeledah, kedapatanlah mereka membawa senjata.
Kelima pemuda ini dibawa ke pos pemeriksaan dengan tangan diikat ke belakang. Kepada mereka diperlihatkan seorang pemuda yang baru mereka bunuh, dan seorang tentara Jepang yang sudah mati. Samurai Jepang yang masih berlumuran darah itu digosok-gosokkan ke hidung Husinsyah. Tentara Jepang itu mengancam akan membunuh mereka berlima. Benar-benar sudah tidak ada harapan untuk hidup waktu itu.
Tak lama dari itu, datang lagi serombongan orang dibawa ke tempat kelompok Husinsyah ditahan. Mereka orang-orang yang sudah cukup berumur, bukan dari kalangan pemuda seperti Husinsyah. Setelah tidak berhasil menemukan apapun, orang-orang tua itu pun dilepaskan kembali. Padahal sebenarnya orang-orang berumur itu adalah rekan seperjuangan para pemuda di Bandung. Dua dari mereka, yaitu Djamaludin Malik dan Moh. Rais, mengenal Jendral Mabuci dengan baik, dan setelah kembali ke Bandung mengupayakan agar Husinsyah dkk dilepaskan dari penahanan.
Tak lama, datang seorang perwira Jepang, pangkatnya letnan, dan rupanya komandan dari pasukan Jepang yang mencegat Husinsyah. Dalam bahasa Jepang Husinsyah menjelaskan bahwa mereka adalah bagian dari para pejuang kemerdekaan. Akhirnya Husinsyah dkk dibawa ke Andir dan dikurung dalam kandang ayam. Setelah tiga jam dan waktu sudah malam. Husinsyah dkk dibawa ke sebuah ruangan untuk diberi makan. Harapan bebas mulai muncul. Dan betullah, datang pula seorang Perwira Piket dari Bandung, seorang kolonel, yang menjemput Husinsyah dkk beserta mobil milik mereka.
SITUASI BANDUNG
Sementara itu keadaan di dalam Kota Bandung terasa menekan dengan patroli terus menerus dari tentara Jepang yang melakukan penggeledahan kepemilikan senjata. Gerakan massa terasa agak menurun semangatnya, sedangkan kecurigaan terhadap badan-badan resmi pun meningkat. Para pemuda mencoba berinisiatif dengan membentuk kelompok-kelompok perjuangan masing-masing.
Sumarsono dari kelompok Husinsyah diangkat menjadi Komandan TRI, rekan-rekan lainnya bergabung dengan kelompok-kelompok lain yang sesuai dengan keinginan masing-masing. Kelompok kecil yang dibentuk Husinsyah ini pun membubarkan diri.
Kelompok-kelompok pemuda bermunculan, seperti API, BPRI, Barisan Banteng, KRIS, PIM, Barisan Merah Putih, atau Kesatuan PTT. Sedangkan Husinsyah menyusun kekuatan sendiri dengan laskar Hizbullah. Kemudian kelompok-kelompok pemuda ini bergabung dalam suatu koordinasi di bawah MP3 dengan para pemimpinnya, yaitu Aruji, Hidayat, dan Sutoko.
Bandung sudah terbelah dua dengan garis pemisah jalur jalan kereta api. Pihak Sekutu dan Belanda menguasai bagian utara, sedangkan Pejuang Republik berada di sisi selatan. Di sepanjang garis pemisah ini terus terjadi konflik dan pertempuran. Sebenarnya ada bagian selatan yang dikuasai oleh Sekutu, yaitu sekitar Hotel Preanger dan Hotel Homann yang dijadikan markas Sekutu dengan penjagaan oleh tentara Gurkha di bawah Inggris.
Beberapa pertempuran besar terjadi di Cicadas, Pasirkaliki, Viaduct Ciwaringin, dan di Jalan Lengkong Besar. Husinsyah bersama kelompok Hizbullah-nya terlibat dalam pertempuran terakhir ini. Gerakan mereka tidak terlalu terkoordinasi ketika itu, dengan perlengkapan sederhana seperti bambu runcing, keris, atau golok, para pemuda ini merangsek menyerbu dan menaiki tank-tank musuh. Ada banyak korban berjatuhan, terutama dari laskar Hizbullah.
Selanjutnya, mengikuti perintah dari Panglima TRI, AH Nasution, untuk mengosongkan Kota Bandung, mereka pun ikut mundur ke selatan setelah sebelumnya melakukan bumi hangus bangunan-bangunan di sisi selatan jalur kereta api. Terjadilah peristiwa yang disebut sebagai “Bandung Lautan Api”.

MARKAS DI CIPARAY-MAJALAYA
Husinsyah dan Hizbullah mundur ke Majalaya dan pada saat inilah Husinsyah menjadi pemimpin kesatuan Hizbullah yang dijadikan satu batalyon. Batalyon ini adalah satu dari empat batalyon yang tergabung dalam Resimen Tentara Perjuangan dengan komandannya Sutoko. Resimen ini dimasukkan ke dalam Resimen 9, Brigade IV Guntur, yang selanjutnya menjadi Brigade Taruma Negara dengan markasnya di Jalan Empang, Ciparay.
Serangan-serangan ke daerah yang diduduki Belanda terus dilakukan, termasuk oleh Rachmat Sulaiman yang berjibaku meledakkan gudang senjata. Yang paling dikenal tentunya peristiwa peledakan gudang mesiu yang telah mengorbankan nyawa Moh. Ramdhan dan Moh. Toha. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin yang datang meninjau ke Ciparay, menyerahkan surat penghargaan dan samurai untuk diteruskan kepada keluarga kedua pahlawan itu. Satu diterima oleh Husinsyah atas nama Mohamad Ramdhan, dan satu lagi diterima oleh Rahmat Sukiman, komandan kesatuan Moh. Toha, atas nama Mohamad Toha. Belakangan, nama mereka dijadikan nama jalan di Kota Bandung.

Dukungan para pemuda Hizbullah dari daerah terus berdatangan ke Kota Bandung, terutama dari Ciamis dan Tasikmalaya. Korban-korban pertempuran terus berjatuhan, terutama di daerah Buahbatu. Dari segi persenjataan, tentu saja sangat tidak seimbang, karena laskar Hizbullah yang hanya bersenjata seadanya menghadapi tentara Belanda yang memiliki persenjataan lengkap.
Serangan-serangan ke utara ini dibalas oleh Belanda dengan melakukan serangan udara dan pemboman ke daerah Banjaran, Ciparay, Majalaya, dan Cicalengka. Jalur-jalur penghubung yang mereka curigai terus dibom. Di Majalaya, asrama pasukan LASWI juga terkena serangan bom. Untuk bertahan, pihak pemuda hanya memiliki satu meriam lapangan dengan peluru terbatas. Itu pun pinjaman dari Divisi Jawa Tengah. Meriam yang satu-satunya ini terpaksa dipindah-pindah dari satu sektor ke sektor lainnya.
Ketika meriam ditempatkan di Manggahang dengan arah arah sasaran ke Palasari, sudah disiapkan 40 peluru. Sementara itu Husinsyah dan pasukannya maju ke arah Dayeuhkolot, namun dalam perjalanannya, Husinsyah menghitung hanya ada 5 atau 10 kali tembakan saja, rupanya ada banyak peluru yang tidak mau meletus. Percobaan penembakan ke Bojongemas pada malam harinya pun demikian, peluru tidak meletus.
PEMBENTUKAN WEHRKREISE
Dari Ciparay, kelompok Husinsyah bergeser ke Cibatu, Garut. Di sana berkedudukan Komando Pos dari kesatuann tentara yang dipimpin oleh Letkol Bahrum dari Jawa Tengah. Di lokasi baru ini, baik Husinsyah mapun Letkol Bahrum, sama-sama kebingungan karena belum sempat mempelajari perubahan sistem gerilya yang berbeda dengan di lokasi sebelumnya. Kesatuan dari Jawa Tengah yang diperbantukan untuk front Ujungberung itu pun tidak dapat bertahan dari serangan Belanda, dan terpaksa mundur kembali ke tempat asalnya. Husinsyah dan laskarnya pun melakukan gerakan mundur, kali ini ke kawasan hutan pergunungan di perbatasan Garut dan Tasikmalaya.
Pada saat inilah terjadi pembagian wilayah gerilya yang disebut Wehrkreise. Pengaturan Wehrkreise ini dilakukan oleh Kolonel Hidayat dan Husinsyah ditunjuk untuk berada di sub-wehrkreise daerah Tasikmalaya, Malangbong, dan Blubur Limbangan. Husinsyah sempat menerima sebuah buku tentang pengetahuan gerilya dari Kolonel Hidayat. Isinya tentang gerilya-gerilya yang dilakukan oleh Jendral Wingate ketika menghadapi Jepang di Birma dalam Perang Dunia II.
Satu hal sangat penting dalam gerakan gerilya adalah dukungan dari masyarakat sekitar, di mana pun pasukan berada. Rakyat adalah intel yang akan secara sukarela memberikan informasi tentang gerakan dan kedudukan tentara musuh. Selain itu, tentu saja ke mana lagi dapat mengharapkan pengadaan berbagai kebutuhan sehari-hari agar dapat bertahan dalam pertempuran. Sekitar dua minggu setelah konsolidasi kesatuan, aksi-aksi serangan mulai dilakukan terhadap tentara Belanda. Di sepanjang jalan besar Bagreg-Ciawi, patroli-patroli Belanda dapat mereka cegat.

*Besambung ke Bagian 2
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Husinsyah” Bagian 2 | Dunia Aleut!