Oleh: Komunitas Aleut
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Sekitar Bandung Lautan Api: “Husinsyah”
Tulisan Bagian 1 bisa dibaca di sini.
HIJRAH KE JAWA TENGAH
Lalu, muncullah satu persetujuan baru, yaitu Renville, yang mengharuskan gencatan senjata, dan bahwa seluruh kesatuan Divisi Siliwangi, di mana pun berada, harus segera hijrah ke Jawa Tengah. Di Jawa Barat, laskar Sabilillah yang dipimpin oleh Onih dan Kartosuwiryo, tidak mau menerima Perjanjian Renville, dan memutuskan untuk tetap tinggal di kantong-kantong pertahanan yang ditinggalkan oleh tentara Siliwangi. Husinsyah dan kesatuannya ikut pergi menuju titik kumpul atau pangkalan di Cibeureum. Di sana mereka harus menyerahkan senjata-senjata yang dimiliki, karena dalam hijrah ke Jawa Tengah itu tidak diperkenankan membawa senjata.
Dalam proses pengumpulan senjata sempat terjadi ketegangan. Tentara-tentara Belanda marah melihat beberapa senjata LE dan senjata teman-temannya ternyata ada di tangan kelompok Husinsyah. Dari pangkalan Cibeureum, rombongan dinaikkan ke truk dan diberangkatkan ke pelabuhan Cirebon. Di sepanjang jalan rakyat berdiri, mengelu-elukan laskar yang berada di atas truk sambil berteriak “Merdeka!”, “Merdeka!”.
Dari pelabuhan Cirebon, dengan kapal LST mereka berangkat menuju Rembang dengan pengawalan dari Speciale Troopen berbaret hijau yang kebanyakan orang-orang dari Indonesia Timur. Mulanya mereka bersikap kasar, namun setelah ditengahi dan diberi penjelasa oleh komandan mereka, Mayor Pelupessy, suasana pun berubah, menjadi cair, bahkan berteman.
Di Rembang, pasukan disambut oleh GPH Jatikusumo dan Sudirman. Merka tinggal beberapa hari di Rembang, kemudian dipindahkan ke Pati, terus ke Magelang, dan akhirnya ke Purworejo.


PEMBERONTAKAN MADIUN
Setelah terjadinya pemberontakan PKI di Madiun, Husinsyah mendapatkan perintah untuk memindahkan batalyonnya ke Klaten. Waktu itu Divisi Siliwangi termasuk dalam Kesatuan Reserve Umum, panglima kesatuan ini adalah Mustopo. Ketika Batalyon bertugas ke Wonogiri sampai wilayah selatannya yang dikuasai oleh PKI. Usai menyelesaikan Wonogiri, Batalyon Nasuhi melanjutkan operasi pembersihan ke Pacitan, sementara Husinsyah menduduki Wonogiri menggantikan Nasuhi, sesuai dengan penunjukan oleh Gubernur Militer, Gatot Subroto.
Selesai dari Wonogiri, Batalyon Husinsyah menuju Purwantoro, begitu pula dengan Batalyon Nasuhi, dari Pacitan bergerak ke Purwantoro, dari arah Madiun, kesatuan yang dipimpin oleh Mayor Umar pun bergerak ke Purwantoro. Dan bertemulah batalyon-batalyon ini dengan keberhasilan operasi menumpas PKI untuk daerah Solo Selatan, Pacitan, dan Purwantoro. Batalyon Husinsyah pun kembali ke Purworejo.
Tanggal 19 Desember 1948 pasukan payung Belanda melakukan serang terhadap Lapangan Udara Maguwo yang terletak sekitar 6 km di timur ibu kota RI, Yogyakarta. Dengan begitu, dimulailah Agresi Militer Belanda Kedua. Panglima Sudirman langsung mengeluarkan perintah agar semua angkatan perang bersiap untuk menghadapi Belanda.Pada hari itu juga Belanda berhasil merebut Yogyakarta. Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah pejabat negara mereka tawan sebelum akhirnya diasingkan ke luar Jawa.

LONG MARCH
Angkatan Perang pun mundur ke luar kota untuk melakukan perang gerilya, sementara pasukan Siliwangi yang sebelumnya hijrah ke Jawa Tengah, akan kembali ke Jawa Barat dengan cara long march, berjalan kaki. Pasukan yang masih berada di Purworejo menyaksikan pesawat-pesawat pemburu berputar-putar di udara, dan setelah itu, terdengar suara-suara dentuman dan tembakan. Pasukan Husinsyah berangkat ke Gebang dan Bruno, di sebelah utara Purworejo, sebagai tempat kumpul tahap pertama.
Jumlah rombongan ini sekitar seribu orang, termasuk anggota keluarga pasukan. Sebagian perbekalan ditinggal di desa-desa yang mereka lewati, karena tidak mungkin juga membawa perkebalan terlalu banyak, apalagi dengan ransel-ransel yang tidak terlalu kuat karena dibuat dari karung goni. Perbekalan di jalan nanti akan mengandalkan desa-desa yang dilalui saja. Pasukan Siliwangi menempuh dua jalur yang berbeda, yaitu utara dan selatan Gunung Slamet. Batalyon Husinsyah menggunakan jalur utara.
Kian hari perjalanan semakin terasa berat, terutama karena membawa keluarga dan persediaan makanan yang terus menipis. Desa-desa yang dilalui tidak selalu dapat diandalkan, mengingat jumlah rombongan yang begitu besar. Hubungan dengan masyarakat terus terjalin dengan baik, warga membantu pasukan dengan informasi keberadaan tentara Belanda atau menunjukkan jalur-jalur jalan. Sebagian besar perjalanan ini ditempuh siang hari, kecuali bila ada informasi keberadaan pasukan Belanda yang cukup besar, maka perjalanan malam pun dilakukan.
Melintasi Gunung Slamet dan Sungai Serayu adalah bagian perjalanan terberat yang dirasakan oleh pasukan Husinsyah. Penyeberangan Sungai Serayu dilakukan malam hari dengan sangat hati-hati. Pernah pula dalam satu hari perjalanan sepanjang sekitar 40 kilometer, tak satu orang pun mereka temui. Desa-desa yang terlewati sudah kosong dan rusak-rusak akibat serangan udara Belanda.
Sebelum menempuh jalur Gunung Slamet, Husinsyah memutuskan agar keluarga turun saja ke daerah penduduk dan mencari kendaraan umum untuk kembali ke Jawa Barat sebagai pengungsi yang kembali. Anggota-anggota keluarga lalu turun di beberapa tempat, di antaranya di Banjarnegara dan Purbalingga. Belakangan diketahui bahwa keluarga-keluarga ini mendapatkan berbagai bantuan dari masyarakat desa yang mereka lalui.
Keputusan memisahkan keluarga ini ternyata tepat, karena ketika mendaki Gunung Slamet, pasukan mendapatkan serangan mortir dari tentara Belanda. Setelah turun dari gunung pun, ternyata tentara Belanda sudah mengintai dan melakukan serangan. Untunglah posisi pasukan Siliwangi cukup menguntungkan, sehingga berhasil memukul mundur tentara Belanda.

Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
Tiba di perbatasan Jawa Barat, beredar informasi tentang tindakan-tindakan DI/TII terhadap TNI, termasuk tentang sejumlah tentara yang lepas dari kesatuannya dan diracun oleh DI/TII yang mengundang mereka makan. Tujuannya adalah mendapatkan persenjataan yang dibawa oleh TNI.
Sesuai rencananya, batalyon Husinsyah kembali ke wehrkreise-nya di Tasikmalaya Barat, Cisayong, dan Singaparna. Ternyata, wilayah itu sudah menjadi pusat gerakan Darul Islam. Situasi itu terasa sangat rumit. Faktor bahan makanan membuat pasukan tidak dapat berkumpul di satu tempat, terpaksa berpencar-pencar. Walaupun masyarakat saat itu sedang berada di bawah tekanan DI, namun mereka tetap berusaha membantu TNI dengan memberi tempat atau makan. Akibatnya DI yang mengetahui hal ini mengancam akan membakar kampung-kampung yang memberikan bantuan itu, beserta segala isinya. Dan DI/TII benar-benar melakukannya.
Beberapa kali TNI terlibat pertempuran segitiga, karena saat terjadi konflik dengan DI, datang pula Belanda dan ikut dalam ajang pertempuran. Dalam melakukan penyerangan, pihak DI minimal mengerahkan sekitar 500 orang, sedangkan kekuatan TNI di situ hanya terdiri dari 1 atau 2 pleton saja. Persediaan peluru yang tidak banyak, dan radio komunikasi yang rusak karena terjatuh saat long march, membuat situasi makin sulit.
Dalam keadaan seperti itu, datang seorang camat menyampaikan pesan dari Komandan Belanda di Tasikmalaya agar mengadakan gencatan senjata lokal seperti yang sudah dilakukan di Ciamis dan di Bandung Selatan. Dengan begitu, TNI hanya akan menghadapi laskar Darul Islam saja. Husinsyah menolak tawaran gencatan senjata ini dengan pertimbangan bahwa secara militer tindakan itu kurang tepat, akan melemahkan posisi TNI, baik secara militer ataupun politis. Akibatnya, gempuran dari pihak Belanda, dan juga Darul Islam, terus menjepit pasukan Husinsyah.
Pada masa inilah salah satu sahabat karib Husinsyah, yaitu Mayor Utaria, yang sama-sama berasal dari Hizbullah dan ketika ini menjadi Perwira Teritorial Staf Divisi Siliwangi, berusaha mencai jalan damai dengan pihak DI. Husinsyah sudah melarangnya untuk mendatangi markas DI dan menyarankan melakukan perundingan di daerah TNI saja yang lebih aman. Namun Mayor Utaria berkeras hati dan dengan dikawal oleh satu kompi berangkat ke markas DI. Namun, dengan tipu muslihat DI, Mayor Utaria dipisahkan dari pasukan kawalnya. Ternyata kemudian bahwa Mayor Utaria dipaksa bergabung dengan DI/TII, tetapi karena terus menolak, akhirnya dibunuh dengan keji. ***
