Oleh: Komunitas Aleut
KELUARGA
Nama Amirmachmud sangat populer pada masa Order Baru, terutama berkait dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang menjadi pijakan peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Pada rentang karirnya, pernah menjabat sebagai Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat, Panglima Kodam V/Jaya, dan Menteri Dalam Negeri sejak 1963 yang berlanjut sampai masa Orde Baru (1983). Pernah menjadi Ketua MPR (1982) dan DPR (1982-1987).
Amirmachmud dilahirkan pada 21 Februari 1923 di Kampung Nyeyerean, Desa Cibeber, persis di sebelah selatan kota militer, Cimahi. Berdasarkan silsilahnya, keluarga Amirmachmud dari garis ibunya masih keturunan Embah Dalem Kabul yang makamnya di Desa Eretan, Kecamatan Soreang, sangat dikeramatkan.
Ayahnya, Atang, berasal dari Babakan/Cianjur, dan pernah bekerja dalam proyek pembuatan jalur kereta api antara Palembang-Telukbetung sampai tahun 1912. Setelah itu ke Cimahi untuk bekerja di apotek rumah sakit militer yang sekarang dikenal sebagai RS Dustira. Pada saat inilah ayahnya berkenalan dengan perempuan yang kelak menjadi ibunya, Nyimas Ganirah, yang masih keturunan keluarga Bupati Batulayang. Kemudian ayahnya mendapatkan pekerjaan sebagai Wegopziener (pengawas jalan) di Regentschapwerken (Kantor Pekerjaan Umum) di Bandung, sehingga keluarga ini pun pindah ke Jalan Dago, Bandung.

PENDIDIKAN
Sebelum mengalami pendidikan formal, Amirmachmud dan kakak-kakaknya mendapatkan pendidikan dalam keluarga dari tiga nenek NR Sangki, kakek Tirtawinata (suami pertama NR Sangki yang menghilang), dan kakek Kinja (suami kedua NR Sangki). Ketiganya adalah pesilat ulung yang cukup dikenal di Cibeber.
Pada usia 7 tahun, Amirmachmud disekolahkan di ELS (Europesch Lagere School) yang menggunakan pengantar bahasa Belanda. Di sini tidak lama, karena ayahnya dipindahkan ke Lembang untuk pekerjaan yang sama. Ketika itu di Lembang tidak ada ELS, sehingga Amirmachmud dimasukkan ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) Arjuna. Sekolah ini merupakan sekolah latihan atau tempat praktik bagi siswa-siswa HIK (Hollandsch Inlandsche Kweekschool), sekolah pendidikan untuk kalangan pribumi. Sore harinya, Amirmachmud dan kakak-kakaknya mengikuti pelajaran di madrasah. Malam harinya, bersama anak-anak tetangga, mengikuti pengajian dengan guru ngaji yang didatangkan oleh ayahnya. Pada tahun 1935, ayah Amirmachmud pindah tugas lagi ke Soreang, orang tua dan adik-adiknya ikut pindah, sementara anak-anak yang lebih tua tetap tinggal di Lembang bersama kakak perempuan tertua. Lulus dari HIS, Amirmachmud melanjutkan pendidikannya ke jurusan mesin di sekolah teknik, Gemeentelijke Ambach School), di Jalan Pajajaran, Bandung, dengan lama pendidikan dua tahun, dan berhasil lulus pada tahun 1940. Sementara adiknya, Kamar Tuti Achmar, bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager School) di Bandung. Lulus dari Ambach School, Amirmachmud melanjutkan ikut kursus mesin werktuigkunde selama satu tahun dan ikut kursus pemetaan yang diselenggarakan oleh Topografische Dienst selama tiga bulan.

PERKENALAN AWAL DENGAN NASIONALISME DAN PEKERJAAN DI PERKEBUNAN KARET PALEMBANG
Pada masa sekolah teknik, Amirmachmud sudah memiliki ketertarikan terhadap kiprah Sukarno beserta gagasan-gagasannya tentang Indonesia Merdeka. Sebetulnya, salah satu rekan pergerakan Sukarno, Maskun Sumadireja, pernah juga tinggal di Cibeber, sebelum diasingkan ke Digul pada tahun 1930. Rumah Maskun di Cibeber bersebelahan dengan rumah nenek Amirmachmud, sehingga mereka saling mengenal dengan cukup baik. Maskun menikah dengan seorang perempuan aktivis dari Cimahi, Nyi Raden Juhaeni. Sukarno sering menemui Maskun di Cibeber, bahkan sempat mendirikan sebuah sekolah dasar swasta.
Walaupun tidak ikut dalam organisasi-organisasi kebangsaan waktu itu, namun Amirmachmud, melalui buku pidato pembelaannya, “Indonesia Klaagt Aan” (Indonesia Menggugat), mulai memiliki pemahaman soal kolonialisme, imperialisma, kapitalisme, liberalisme, dlsb.
Usai kursus-kursusnya, Amirmachmud melamar kerja ke Pabrik Mesiu (ACW – Algemeene Centrale Werkplaats) di Ciroyom (?). Hari pertama kerja, Amirmachmud merasa bosan, lalu duduk-duduk di atas sebuah selongsong meriam kosong. Tak disangka, seorang dari jajaran pemimpinannya yang kebetulan lewat, memaki-makinya dalam bahasa Belanda dan membuat Amirmachmud tersinggung. Ia langsung keluar dan tak pernah kembali lagi ke kantor itu. Ijazah-ijazahnya yang masih ada di sana, kelak diambilkan oleh kenalan ayahnya yang kebetulan adalah pemimpin pengawas di situ. Pekerjaan berikutnya sebagai pengawas pembuatan jalan di Kantor Pekerjaan Umum Cimahi, juga tidak membuatnya betah.

Baru ketika bekerja di Dinas Pemetaan dan mendapatkan tugas ke Palembang, lalu ke Lubuklinggau, dan Baturaja, Amirmachmud merasakan kepuasan. Selama dua tahun Amirmachmud melakukan pekerjaan pengukuran perkebunan-perkebunan karet di wilayah Palembang. Setelah itu, Jepang masuk, dan menawan semua orang Belanda, termasuk para pengelola perkebunan karet itu. Setelah bekerja sebentar di sebuah bengkel mobil, Amirmachmud memutuskan kembali ke Bandung.
PELATIHAN MILITER JEPANG DI CIMAHI DAN BOGOR
Tahun 1943, Amirmachmud menemukan iklan tentara Jepang yang membutuhkan pemuda-pemuda dengan pendidikan teknik untuk dipekerjakan di bidang perkeretaapian. Amirmachmud mendatangi tempat pendaftaran di Balaikota Bandung, dan langsung diterima. Saat itu juga Amirmachmud dan pemuda-pemuda lainnya dinaikkan ke truk dan dibawa ke Cimahi. Di sini mereka semua digunduli, dan baru mengetahui bahwa mereka semua akan menjalani pelatihan untuk menjadi pemimpin Heiho.
Keluarga-keluarga yang merasa kehilangan anak-anaknya karena keberangkatan mereka yang tiba-tiba ini baru dapat mengetahui keberadaan dan mengunjungi anak-anaknya setelah lewat seminggu kemudian. Setelah dua bulan latihan di Cimahi, rombongan pemuda ini dibawa ke Bogor dan diberikan pelatihan lanjutan untuk menjadi Komandan Shodanco (pleton) pada PETA (Pembela Tanah Air).
Di tempat latihan di Bogor, Amirmachmud bertemu banyak pemuda lain yang kelak nama-namanya dikenal secara nasional, di antaranya, Umar Wirahadikusumah, Akil, dan Kemal Idris.
Dalam pelatihan di Bogor ini, Amirmachmud mulai mengenal kedisiplinan tentara, selain semangat bushido, bahwa tak sepantasnya pemuda hidup santai-santai saja. Nilai-nilai bushido mengajarkan kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan bela diri, dan kehormatan sampai mati. Amirmachmud sangat terkesan melihat bagaimana dalamnya kecintaan tentara-tentara Jepang itu kepada negaranya.

MENJADI SHODANCO DI BANDUNG
Usai pelatihan, Amirmachmud ditempatkan di Daidan (Batalyon) Tasikmalaya, tapi kemudian dipindahkan ke Bandung untuk menjadi Komandan Shodanco. Kedudukan Daidan di Bandung berada di Sukajadi, dengan Daidanco atau Komandan Batalyonnya, Ilyas Sasmita, eks guru kepala yang kelak menjadi mertuanya Mensesneg Sudharmono. Para Komandan Kompi antara lain, Sukanda Bratamanggala, Ganda, Samsu Suradilaga, dan Suhari, seorang jago pencak silat Bandung.
Tugas Amirmachmud dkk pada umumnya adalah melakukan penjagaan di tempat-tempat yang dianggap penting, seperti gudang peluru atau gudang perbekalan bensin. Amirmachmud ditempatkan di gudang peluru di Bojongkoneng. Suatu hari, Amirmachmud terpaksa meninggalkan tugasnya di Bojongkoneng. Akibatnya, Amirmachmud mendapat hukuman dengan bertugas di tempat terpencil, di pantai Pameungpeuk, Priangan Selatan. Tugasnya mengintai kapal-kapal Sekutu yang diperkirakan akan datang dari Australia.
HUKUMAN DI PAMEUNGPEUK, PRIANGAN SELATAN
Saat di Tasikmalaya, Amirmachmud sempat berkenalan dengan seorang perempuan bernama Siti Endah Chadidjah, putri dari M. Sumawiharja di Manonjaya. Ternyata Siti sering mengunjungi familnya di sekitar Leuwigajah, tidak jauh dari tempat keluarga Amirmachmud, sehingga perkenalan lebih dekat berlangsung di sini.Setelah kesepakatan untuk menikah dan tanggal pernikahan pun sudah ditetapkan, ternyata Amirmachmud tidak mendapatkan izin meninggalkan tugas dari komandannya, terutama karena sedang dikonsiyir (penggarapan kerja secara intensif di suatu tempat).
Amirmachmud meminta adiknya, Achmar yang sedang ber-Sekolah Guru Tinggi di Jakarta, untuk mewakilinya dengan membawa keris sebagai lambang kehadiran Amirmachmud dalam pernikahan itu. Beberapa hari kemudian, Siti Chadidjah dibawa ke rumah paman Amirmachmud, Juju Danuwiharsa, di Bojongloa, Bandung. Mengetahui istrinya sedang berada di Bojongloa, Amirmachmud pun menyelinap kabur dari tugasnya. Namun ternyata ketidakhadirannya di Bojongkoneng ketahuan juga. Subuh-subuh rumah Paman Juju digedor oleh Daidanco Ilyas Sasmita, bersama Sidokang (penasehat), dan Kempeitai (Polisi Militer). Amirmachmud kemudian dibawa ke markas di Sukajadi dan selama dua minggu tidak diberi tugas apa-apa sampai kemudian dikirim ke Pameungpeuk dan bertugas selama dua bulan.
Walaupun menjalani hukuman di Pameungpeuk, karena telah menikah, Amirmachmud diberi rumah di Jalan Lembang (Lembangweg). Ternyata selama berada di Pameungpeuk, seorang perwira Jepang telah menyerobot rumah itu dan akibatnya terjadi pertengkaran dan akhirnya perkelahian. Dalam pemeriksaan, tentu saja Amirmachmud disalahkan dan akibatnya Amirmachmud diberhentikan dari dinas PETA.

*Bersambung ke Bagian 2 dan Bagian 3
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Amirmachmud, Prajurit Pejuang dari Cibeber, Cimahi” Bagian 2 | Dunia Aleut!
Ping balik: Sekitar Bandung Lautan Api: “Amirmachmud, Prajurit Pejuang dari Cibeber, Cimahi” Bagian 3 | Dunia Aleut!